Kedai Kopi, pukul 20.46
Pria itu meneguk
cangkir kopinya lagi dan lagi sampai pada tegukan yang terakhir, habis. Entah
karena ia memang benar-benar haus atau penat dengan sederetan perisitwa yang
akhir-akhir ini tiada juga habis menghujam pikiran dan hatinya. Bayangan gadis
itu masih berkelebat di sana, dalam pikirannya, setiap waktu, jam, menit,
detik. Pikirannya amat berlebihan, cintanya pada gadis itu juga demikian.
Benaknya
dipenuhi oleh masa lalunya, gadis itu. Masa lalu yang telah benar-benar berlalu
bagi gadis yang pernah dilukainya itu. Tetapi, baginya gadis itu tak pernah
mati dalam hatinya. Selalu hidup, gadis itu tiada tandingannya dengan
gadis-gadis lain yang pernah ia temani bicara cinta.
Gadis masa
lalunya berbeda, sayangnya gadis itu jauh telah pergi dengan yang lain. Tetapi,
ada satu yang ia yakini dari balik sepasang mata gadis itu yang diam-diam ia
tatap tiap kali mereka berpapasan; kenangan bahwa dulu ada ‘kita’ di antara
mereka yang dengan jahatnya ia lepas, gadis itu tak akan pernah bisa
melupakannya, gadis itu menelan pahitnya ketika pria itu lebih memilih bersanding
dengan yang lain. Dulu, dulu sekali, gadis itu amat lama terlarut dalam pahit
yang pria itu tinggalkan.
“Aku
mau kita seperti dulu.”
“Seperti
apa?”
“Ada
kita.”
“Dulu
kan sudah.”
“Tapi
aku masih ingin.”
“Dulu
bukannya kamu yang mengakhiri?”
Pahit. Gadis itu
membalikkan kenangan pada sederetan pesan singkat mereka beberapa hari yang
lalu. Pria itu mengutuki dirinya sendiri, bodoh pernah melepasnya. Berkali-berkali
dibenturkan kepalanya ke atas meja kedai kopi itu. Untung saja kopinya telah
habis, jika tidak, mungkin kopinya sempat terguncang, tumpah.
“I
love you, but you don’t love me
I
hate you, but you more hate me
I
miss you, but you miss him.”
Apartemen Lt. 10, pukul 21.36
Sepasang mata
yang terus terjaga tetap mengawasi layar laptop. Bukan, bukan fokus mengerjakan
tugas, bukan juga karena kantuk tak juga datang. Ada yang larut dalam
pandangannya.
“Kenapa
menelpon malam-malam?”
“Aku
kangen.”
“Kangen
sama aku?”
“Iya,
sama kamu.”
“Mending
kangennya kamu simpan saja untuk orang lain.”
Percakapan
beberapa jam yang lalu itu masih terekam di ingatannya. Bagaimana mungkin ‘pria
itu’ datang lagi setelah 3 tahun berlalu? Bagaimana mungkin ‘pria itu’ datang
dan mengemis cintanya lagi untuk kesekian kalinya? Sedangkan tiap kali diberi
kesempatan, tiap itu pula ada janji yang ia dustai.
Gadis itu
memejamkan matanya sesaat, lelah. Hening. Tak ada derai air mata dari matanya.
Ucapan demi ucapan pria itu memenuhi ruang pikirnya lagi. Benaknya silih
berganti dipenuhi wajah pria masa lalunya itu dengan pria lain yang kini
dicintainya, meski ia tahu prianya kini begitu tak peduli.
“Aku tulus.”
“Bukannnya semua pria akan berkata tulus
ketika mereka sedang jatuh hati?”
“Jangan pandang aku sebagai masa lalumu. Aku
tahu kau kecewa dengan hal-hal yang telah berlalu.”
“Tak bisakah jatuh hati pada yang lain?
Jangan aku lagi.”
“Sekarang yang kuinginkan, kamu.”
“Oh, sekarang? Kalau nanti siapa lagi?”
Gadis itu tak
mengerti mengapa ia menghujam pria yang pernah dicintainya itu dengan kalimat
yang menyudutkan hati. Ia terus menerus melawan ingatannya, tak ingin mengingat
kisah 3 tahun silam.
Ketika itu
gerimis menghias bumi, gadis itu tersenyum getir. Cemas menanti kabar sosok
yang dicintainya. Ia tahu, sekalipun sosok itu menghubunginya, mungkin hanya
untuk mengakhiri kisah mereka. Tak apa, bagi gadis itu kebahagiaannya bukan
yang utama. Pada akhirnya, ponselnya bergetar, lirih.
“Maudy, aku enggak bisa melanjutkan ini.”
“Kenapa?”
“Kamu tahu, kan? Sahabatku juga jatuh cinta
padamu, aku dan dia saling berdiam diri tak saling menyapa lagi. Kami berjauhan,
Karena jatuh cinta pada orang yang sama. Belum lagi, aku selalu adu mulut
dengan pria-pria lain yang mengejar-ngejarmu. Aku lelah.”
Kala itu,
gerimis tak ingin kalah dengan hujan di hatinya. Deras di luar, bersamaan
dengan derasnya hujan yang turun pada kedua pipinya. Pedih. Pria itu selalu
menyalahkannya. Tak apa, tak apa.
Tetapi, setahun
setelah itu ada seseorang yang hadir. Pria itu tergantikan. Ada yang lebih
indah datang dan membahagiakan. Tetapi, yang lebih indah terkadang tak
sesempurna yang dipikirkan. Sosoknya kini berubah, lebih tak peduli lagi. Tetapi
ia tidak peduli, ia masih mencintai prianya kini, entah masih menjadi prianya
atau tidak. Sekali lagi, ia tak peduli.
Lapangan Basket, pukul 22.05
Kedua tangannya
menyentuh dahi, mengelap keringat yang bercucuran sehabis latihan basket tadi. Masing-masing
yang berada di sana sibuk merapikan bawaan mereka, ada yang belum berhenti
meneguk air di botolnya sejak tadi, ada yang mencari tissunya yang terselip
entah dimana, ada yang bersiap melangkah pulang. Tetapi, pria itu belum juga
beranjak, masih terpaku di tempatnya, lelah.
Tangannya kembali
menyentuh dahinya, keringatnya masih berada di sana. Tiba-tiba senyum kecil
tersinggung di bibirnya. Ia teringat pada gadis yang amat mencintainya. Tiap mereka
bertemu, hidung gadis itu sedikit basah, ada keringat yang tertinggal di sana.
“Maaf, aku lupa beli tissu tadi.”
“Untuk apa?”
“Untuk hidung kamu.”
“Hidung aku kenapa?”
“Keringatan.”
Lalu setelah
percakapan itu keduanya langsung tertawa. Wajah gadis ituu memerah, malu-malu
diperhatikan oleh pria yang dicintainya.
Tetapi, itu
sudah lama sekali. Diam-diam rindu mengerubunginya. Gadis itu telah mengakhiri
hubungan keduanya, tetapi ia tahu gadis itu masih amat mencintainya. Gadis itu
selalu menyapa dan menyupportnya meski hanya lewat pesan singkat. Pria itu
tersenyum, gadis itu tak akan bisa menyembunyikan perasaannya. Cinta, mungkin
masih ada.
Senyumannya lenyap
begitu teringat kabar yang ia dengar beberapa hari ini, kabar yang mengundang
cemburunya. Amarahnya bergejolak, meski tak pernah ia tunjukan, hanya dalam
hati. cemburunya menyeruak. Ah, ia masih mencintai gadis itu juga, sayangnya
tak tahu bagaimana cara menunjukkan perasaannya.
Ia tahu gadis
itu selalu sabar menantinya, tak letih menunggu kabarnya, tetap di sana untuk
mencintainya. Tetapi, bagaimana bila yang lebih indah datang kepada gadis itu?
bagaimana bila ia tergantikan?
Hati kecilnya
menjerit. Takut kehilangan. Tetapi, tak tahu caranya menahan. Sikap tak
pedulinya telah mendarah daging, gadis itu pergi karena kesalahannya. Tiba-tiba
ponselnya bergetar,
“Hai, sudah pulang latihan? Hati-hati
pulangnya, ya.”
Batinnya lega. Gadis
itu benar-benar masih mencintainya. Tidak, ia tidak boleh banyak berharap. Banyak
yang lebih indah tengah mengejar gadis itu.
Ia bangkit dari
kursinya, meraih ranselnya. Bersiap untuk pulang. Ia akan pulang dengan
hati-hati, seperti pesan gadis itu. Tak apa, untuk sekarang ia belum
tergantikan.
Bersambung…
Makassar,
23 November 2013
Memories
of 2013