Tampilkan postingan dengan label Rumah Tangga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rumah Tangga. Tampilkan semua postingan

04/06/23

Menjaga Perempuan

Manusia diciptakan dengan sangat unik; penampilan fisik, suara, gerak-gerik bahkan karakter begitu berbeda-beda.

Setelah menikah, setiap laki-laki dengan karakter yang melekat pada dirinya memiliki caranya masing-masing dalam menjaga pasangan mereka.

Hari ini laki-laki yang menikahiku mengirimkan sebuah pesan, "Fii amanillah ya kemanapun kamu pergi.." 

Caranya menjagaku adalah dengan tak sekadar menemani kemanapun tempat yang kutuju—tetapi juga mempercayaiku ketika aku pergi seorang diri, mengizinkanku melangkah kemanapun, dan menungguku pulang kembali, serta mendengar seluruh cerita di perjalananku.

Dalam perjalanan, aku bertemu seorang kawan lama, kini ia telah menikah. Ia bercerita bahwa sejak menikah ada banyak hal yang berubah dalam hidupnya, seperti; suaminya tak membolehkannya naik ojol (ojek online) lagi karena kebanyakan ojol itu laki-laki, bukan mahrom, hingga bahkan ia tak diizinkan melepas jilbabnya saat kami menginap bersama meski dalam satu rumah semuanya perempuan.

"Suamiku memperlakukan aku seperti itu, tapi aku nyaman," ucapnya dengan mata berbinar bahagia.

Ya, kawanku ini sebelumnya pernah menikah tetapi kemudian berpisah. Kini akhirnya dipertemukan lagi dengan laki-laki lain yang membuat ia merasa sangat dihargai dan dijaga sampai sebegitunya.

Lagi-lagi kita tak pernah tahu tentang hidup orang lain. Orang yang kadang kita kasihani karena perlakuan pasangannya terhadap dirinya, nyatanya ia bahagia dan nyaman dengan cara pasangannya itu menjaganya.

Menurutku, perempuan itu tak perlu terlalu digenggam hingga ia kesulitan bergerak, tetapi jangan terlalu dibiarkan sebab khawatir ia lupa dengan batasan. Ya.. sedang-sedang saja.

Setiap laki-laki memiliki cara masing-masing dalam menjaga perempuannya, tetapi cara terbaik adalah dengan apa yang Allah sukai serta tak mengundang murka-Nya.


Jatinangor, 30 Mei 2023 

Sebuah Evaluasi Pernikahan

Tentang kendali diri. Mungkin bagi yang telah menikah, di suatu hari pernah ada momen-momen dimana diri menjadi hilang kendali, bingung hadapi situasi, diduga masih terus berlangsungnya proses adaptasi, ya memang tanpa henti.


Apa yang membuat kita hilang kendali?

Sebelum pernikahan terjadi, di dalam pikiran—kita punya konsep ideal tentang sebuah pernikahan. Kemudian ada suatu hal yg tak sesuai ekspektasi kita. Wajar kecewa. Ada sebab-akibat.


Apa yang dilakukan ketika mulai hilang kendali? 

Cobalah untuk tidak merespon emosi secara langsung. Berhitung dulu, tidak langsung reaktif.

Lakukan deeptalk dengan pasangan. Tanyakan hal apa yang bikin kamu tak nyaman soal aku? Dan sebaliknya. Jangan pernah bosan lakukan obrolan ini, kasih tahu lagi, kasih tahu terus, bahas berulang-ulang karena memang seperti itu, perlu diingatkan.

Selain itu, buat satu aktivitas bersama di luar aktivitas harian yang menjenuhkan. Kembalikan memorinya untuk mengingat tentang kita, bukan tentang tugas-tugas keseharian.


Apa yang penting untuk disadari?

STANDAR PENTING antara kita dan pasangan boleh jadi berbeda. Tak penting bagiku, bisa penting baginya, juga sebaliknya.

Kemudian, hadirkan sikap toleran pada pasangan. Ya kali mau mengubah satu orang dalam waktu singkat, sementara dia sudah seperempat abad hidup dengan orang tuanya yang memiliki pola asuh berbeda dengan orang tua kita. Hasilnya tentu ada perbedaan dalam keseharian dan hal-hal kecil lainnya yang memang cukup mengganggu.

Batasan Mengenal Diri

Antara tahu dan sadar

“Mengapa ya ada orang yang melakukan kesalahan, dia tahu yang dilakukannya salah, tetapi tidak kunjung berubah?”

Karena berbeda antara “tahu dan sadar”. Tahu hanya sekedar tahu, tetapi jika sadar akan menghasilkan suatu tindakan atau dengan kata lain ada aksi untuk berubah, untuk memperbaiki.

Kadang, kita tahu bahwa diri kita bermasalah, tetapi kita bingung harus bagaimana. Suatu saat ketika kita telah “sadar” mungkin kita tidak akan kebingungan lagi dengan cara melihat masalah yang ada dalam diri kita dengan kacamata yang berbeda, dengan kacamatanya Allah.

“Jadi, apakah perasaan dalam diriku itu salah? Apakah aku tidak boleh marah, kesal, sedih, menangis, kecewa?”

Benar bahwa perasaan-perasaan yang hadir dalam diri kita baik untuk divalidasi. Namun, tidak berhenti di situ saja. Ingat kata-kata ini; perasaan divalidasi, pikiran dievaluasi.

“Kenapa ya saya sedih dan kecewa?” Oke, mari validasi perasaan diri sendiri. Kemudian pikirkan asal mula kesedihan ini, apakah karena ekspektasi kita yang terlalu tinggi terhadap sesuatu? Apakah kita kecewa dengan takdir yang tak sesuai keinginan kita? Apakah ada bagian dari hati kita yang sulit menerima?

Menyadari bahwa ada hati yang kurang bersyukur adalah hal baik karena telah “sadar”. Nantinya ketika rasa bersyukur telah melanda hati, maka akan lahir hal-hal positif dari perasaan tersebut.

Ya memang, harus berani mengakui bahwa ada kurangnya rasa syukur itu yang menjelma jadi pikiran-pikiran buruk dalam diri, serta melahirkan rasa sedih berkepanjangan. Kita disakiti oleh pikiran kita sendiri.

Dari perasaan-perasaan kita ini saja kita mampu belajar bahwa bersyukur adalah hal mewah.  Efek dari bersyukur adalah membuat hati merasa tenang.

Bukankah ini impian setiap orang? Orang-orang menginginkan hidup yang tenang, tetapi lupa bahwa kadang ketenangan dalam hidup diperoleh dari tenangnya hati.


Ada rahasia di balik perasaan iri

“Kenapa ya dia yang kayak gitu bisa dapat banyak rejeki? Sementara, saya tidak.”

30/12/22

08:11

Ia telah berpamitan sejak tadi, meninggalkan sisa sedikit teh hangat di gelasnya, juga pekat kecap di piringnya, juga basah kecup ungkapan terima kasih, juga pelukan yang bisa bersuara 'hati-hati di rumah'.

Tinggal perempuan itu, menata piring-piring kotor sisa sarapan, mendengar bunyi-bunyian mesin ajaib penyulap baju kembali bersih, bisingnya mesin air juga menghuni, belum lagi suara angin sepoi-sepoi yang muncul dari celah-celah mesin ajaib lainnya, tak ada suara manusia, tapi ada suara tangan-tangan yang bekerja.

Di atas ranjang kusut setiap pada pukul delapan pagi lebih sedikit, di sana ia kumpulkan matahari. Ia butuh panas menyala untuk membuat setiap anggota tubuh berdaya, 'nafas yang Tuhan beri tak boleh jadi sia-sia'

Jadi, hendak merapikan mulai dari mana?

 

Bogor, 21 Des '22 | 08.28

Bukan Kebetulan

 Barusan tidak sengaja menonton cuplikan kajian Ustadz Harry Santosa,

"Anak itu bukan sebuah kebetulan, begitu juga dengan pernikahan. Orang-orang mengatakan saya KB tapi gagal, atau saya dulu nikahnya dijodoh-jodohkan dan lain sebagainya.

Kita mungkin tidak sedang merencanakan punya anak, atau tidak berencana untuk menikah, tapi ternyata semua itu terjadi. Kita tidak merencanakan, tapi Allah tidak pernah tidak merencanakan kelahiran seorang anak."

Jadi, sambutlah dan temukan hikmah di baliknya..

Selamat menerima dan memetik hikmah! :')

 

Yk, 26 Okt '22 | 21.43

Ketika Telah Menggenap

Ternyata ketika sudah punya pasangan jadi berasa normal banget sebagai perempuan pada umumnya yang pengen dikabarin, pengen didengerin, pengen dibantuin.

Dulu, apa-apa dikerjakan sendiri seringnya. Ngeliat orang-orang yang bergantung pada pasangannya rasanya aneh banget, kenapa nuntut untuk selalu dikabarin, nuntut perhatian, dan lain-lain. Ternyata, oh, wajar ya.. (ketawa dalam hati)

Sudah gitu biasanya barengan terus, tiba-tiba ldr jadi kayak adfghjklm aneh banget. Keluar naik motor sendirian aja bisa bikin melow. Super aneh. Padahal dulu naik motor keluar kota sendirian juga biasa ajaaaa.

Hampir seharian nggak dikabarin masa ngerasanya kayak dilupain hahahahaha aneh banget. Itulah bun sebagai manusia harus punya kesibukan biar nggak suka meratapi nasib.

Tapi di balik perasaan-perasaan seperti ini, ada rasa syukur yang begitu besar karena bisa merasakan hal ini, perasaan ini; perasaan ingin bertemu yang berkecamuk, perasaan resah karena tak kunjung dikabari, perasaan sepi seperti menghadapi dunia hanya seorang diri. Sekaligus tersisipi sebuah pelajaran bagaimana menghargai kebersamaan, memahami keadaan bahwa dalam hidup kadang ada jarak-jarak yang tercipta demi kebaikan bersama, memahami bahwa pentingnya memahami keadaan satu sama lain, saling pengertian, saling berlomba memberi perhatian di tengah kesibukan.

Es Krim di Hari Tua

Beberapa hari yang lalu aku memasuki sebuah minimarket dekat tempat tinggalku. Menyusuri rak demi rak. Mencari apa yang kubutuhkan. Di sana aku berpapasan dengan seorang nenek. Tangannya sibuk memilih-milih es krim dalam lemari pendingin.

"Hmm nenek yang baik hati. Pasti hendak membelikan es krim sebagai oleh-oleh untuk cucunya di rumah!" Seruku dalam hati.

Aku masih mengelilingi satu-persatu rak. Sementara, nenek tersebut sudah tak terlihat lagi. Usai menemukan barang yang kucari, aku lekas membawanya ke kasir.

Langkahku baru saja tiba di hadapan suamiku yang menungguku di halaman minimarket, sepersekian detik aku terkesima. Bukan karena melihat suamiku, ececeh.. tapi ada sebuah pemandangan yang teramat manis disaksikan oleh kedua mataku.

"Kak, nengok belakang deh!" Suruhku padanya.

"Apa?" Suamiku menengok ke belakang.

Rupanya dugaanku tadi keliru. Es krim itu bukan untuk cucunya! Melainkan untuk diri nenek itu sendiri dan suaminya, seorang kakek yang telah menunggunya di dalam mobil jeep mereka.

Di halaman minimarket itu, tepatnya di dalam sebuah mobil jeep, di bawah gerimis siang hari, sepasang kakek dan nenek yang terlihat sudah sangat tua namun masih kuat tersebut tengah bersama menyantap es krim di tangan mereka. Hanya berdua saja. Aaaaaah manis sekali!!

Aku beralih memandangi suamiku seraya membatin, "Apakah usia kita bisa sama-sama akan sepanjang usia mereka? Lalu di hari tua nanti menikmati es krim di dalam mobil di bawah gerimis kota?"

Akan selalu ada banyak semoga yang kupinta pada-Nya untuk kita, Kak.

 

Yk, 11 Jun '22 | 19.02

Menyambut Takdir Terbaik

Pernikahan adalah sebuah momen yang amat sakral—menjadi salah satu dari tiga perjanjian dahsyat yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Mengapa demikian? Karena pernikahan merupakan perjanjian Allah dengan manusia. Dengan demikian, sepatutnya kita tidak menyepelekan pernikahan ini.

Banyak dari kita, termasuk mungkin saya sendiri, yang seringkali terpukau dengan apa-apa yang ditampilkan dalam pernak-pernik pernikahan seseorang. Khususnya era kini, postingan momen-momen tersebut sangat mudah ditemukan di laman sosmed kita.

Di balik penilaian kita soal pernak-pernik acara pernikahan seseorang, pernahkah kita memaknai lebih dalam, melihat dari sisi lain, tentang perjuangan di belakangnya?

Barangkali bagi sebagian pasangan, dekorasi dan segala tetek-bengeknya tidak begitu penting karena bagi mereka perjuangan hingga bisa memperoleh restu orang tua adalah yang terpenting. Juga, perjuangan-perjuangan lainnya seperti menyangkut materi, kemapanan, dan lain-lain.

Boleh jadi mereka memiliki wedding dream sendiri, tetapi saat waktunya tiba ada ujian-ujian tertentu yang membuat mereka melupakan hal itu dan hanya fokus pada bagaimana caranya agar mereka "sah".

Boleh jadi kita tidak tahu bahwa di balik sebuah akad yang khidmat, ada perjuangan yang begitu berat.

Memaafkan Diri

Source: Tumblr


Setelah beberapa bulan berjalan dalam rumah baru, rumah yang awalnya begitu asing, rumah yang tidak terpikirkan sekalipun, yang pada akhirnya menjadi tempat pulang untuk waktu-waktu sekarang ini.

Ada banyak hal yang terjadi. Ada banyak percakapan yang tercipta. Ada berbagai keresahan yang menenangkan, sebab tahu bahwa semuanya akan dipikirkan bersama-sama.

Satu pelajaran yang telah kupetik dari perjalanan rumah tangga yang baru sangat sebentar ini ialah; betapa pentingnya memaafkan diri sendiri, berdamai dengan diri sendiri, sebelum suatu hari nanti hidup bersama dengan seseorang yang dimana membuat kita terus berupaya merawat perasaan padanya, memaafkan setiap kesalahannya, menerima apa-apa yang masih berproses menuju baik dalam dirinya.

Dahulu, seringkali membaca catatan yang nadanya selalu berulang; "Sembuhkanlah terlebih dahulu lukamu, sebelum kau membersamai seseorang baru yang datang ke dalam hidupmu.." Kini, sedikit memahami bahwa luka mungkin tidak selalu berarti disebabkan orang lain, tetapi juga luka-luka akibat kebodohan diri sendiri.

Maafkanlah diri kita dengan maaf yang baik. Maaf yang membawa diri pada kebaikan yang bertumbuh, bukan maaf yang mewajarkan dan membiasakan setiap salah.

Maafkanlah diri kita sebelum bertemu seseorang yang nantinya dengannya kita juga perlu berupaya untuk memaafkan salahnya. Bagaimana mungkin akan mudah memaafkan yang lain, jika kita sendiri masih bersusah payah untuk memaafkan diri sendiri? Bagaimana mungkin ingin bersama dalam merajut sakinah, namun kita sendiri masih sering mengorek luka-luka lama tanpa berusaha sedikitpun menyembuhkannya?

Untuk setiap hati yang baik, di sana hidup upaya untuk merawat kata maaf; untuk merawat cinta dalam rumah dimana tempat kita seharusnya pulang. ❤️


Yogyakarta, 21 Mei 2022 | 13.51