Tampilkan postingan dengan label All About Life. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label All About Life. Tampilkan semua postingan

04/06/23

Batasan Mengenal Diri

Antara tahu dan sadar

“Mengapa ya ada orang yang melakukan kesalahan, dia tahu yang dilakukannya salah, tetapi tidak kunjung berubah?”

Karena berbeda antara “tahu dan sadar”. Tahu hanya sekedar tahu, tetapi jika sadar akan menghasilkan suatu tindakan atau dengan kata lain ada aksi untuk berubah, untuk memperbaiki.

Kadang, kita tahu bahwa diri kita bermasalah, tetapi kita bingung harus bagaimana. Suatu saat ketika kita telah “sadar” mungkin kita tidak akan kebingungan lagi dengan cara melihat masalah yang ada dalam diri kita dengan kacamata yang berbeda, dengan kacamatanya Allah.

“Jadi, apakah perasaan dalam diriku itu salah? Apakah aku tidak boleh marah, kesal, sedih, menangis, kecewa?”

Benar bahwa perasaan-perasaan yang hadir dalam diri kita baik untuk divalidasi. Namun, tidak berhenti di situ saja. Ingat kata-kata ini; perasaan divalidasi, pikiran dievaluasi.

“Kenapa ya saya sedih dan kecewa?” Oke, mari validasi perasaan diri sendiri. Kemudian pikirkan asal mula kesedihan ini, apakah karena ekspektasi kita yang terlalu tinggi terhadap sesuatu? Apakah kita kecewa dengan takdir yang tak sesuai keinginan kita? Apakah ada bagian dari hati kita yang sulit menerima?

Menyadari bahwa ada hati yang kurang bersyukur adalah hal baik karena telah “sadar”. Nantinya ketika rasa bersyukur telah melanda hati, maka akan lahir hal-hal positif dari perasaan tersebut.

Ya memang, harus berani mengakui bahwa ada kurangnya rasa syukur itu yang menjelma jadi pikiran-pikiran buruk dalam diri, serta melahirkan rasa sedih berkepanjangan. Kita disakiti oleh pikiran kita sendiri.

Dari perasaan-perasaan kita ini saja kita mampu belajar bahwa bersyukur adalah hal mewah.  Efek dari bersyukur adalah membuat hati merasa tenang.

Bukankah ini impian setiap orang? Orang-orang menginginkan hidup yang tenang, tetapi lupa bahwa kadang ketenangan dalam hidup diperoleh dari tenangnya hati.


Ada rahasia di balik perasaan iri

“Kenapa ya dia yang kayak gitu bisa dapat banyak rejeki? Sementara, saya tidak.”

30/12/22

Menjaga Perasaan (Orang Lain)

 Aku melayangkan sebuah tanya bertubi-tubi kepada seorang kawan dekat via whatsApp,

"Oh gtu hahaha eeeeh kok bs pindah gtu siih? Nyari2 lg sendiri atau emang ditransfer sama kantor yg lamaa? Kamu tipenyaa yg gak suka update kerjaan gak siihhh? Asliii lhooo kalo liat story kmuu kyk gak pernah stres krn kerjaan? Apa iya betul kerjaan kamu ga bikin stres? Kalo iyaaa berarti itu berkah dan salah satu rejeki dalam hidup kamu yaaa😃 banyak orang yg aku kenal tuh pada tertekan sm pekerjaan mereka😂 atau nggak, banyak yg gak dpt2 kerjaaa.."

Lalu, apa jawabnya?

 "Aku berusaha untuk keep semuanya karena banyak yg belum dapet kerja plus ada yg kerjaannya banyak problem kayak yg kamu bilang tadi."

Aaaaa iya, menjaga perasaan orang lain! :')

Kalau yang tadi tentang menjaga perasaan orang lain dari hal-hal yang belum berhasil mereka miliki, di sisi lain di hari yang sama aku juga membaca kalimat yang menyentuh dari media quora. Ini tentang penerimaan terhadap diri kita. Ini tentang bagaimana menyikapi takdir yang belum tiba.

"Kalau kita sudah 100% menerima kondisi kita, tidak ada yang bisa membuat kita kesal atau tersinggung :)"

Rezeki

Hari ini dipertemukan dengan dua kalimat keren dari story-nya Prajurit Bumi yang tengah merayakan usia ke-23 dan lulus LPDP.

"Rezeki nggak kemana. Kalau rezeki, pasti nanti sampai juga!"

"Rezeki nggak kemana. Kita yang kemana-mana untuk jemput rezeki!"

Tegas, namun menenangkan.

 

Bdg, 12 Nov '22 | 11.55

Catatan Kesepian

Aku membaca narasi kesepian dimana-mana; tumblr, twitter, story instagram close friend, status whatsapp dan lain-lain.

Hingga aku menyadari; kesepian adalah sebuah fase yang mungkin akan menghampiri setiap orang.

Narasi-narasi itu menjelma jadi keriuhan di media-media dunia maya. Anehnya nadanya berbeda-beda. Ada yang bersyukur dan tertawa di atas kesepian dirinya sendiri, ada yang meratapi, ada yang berusaha menerima dan menganggap masa-masa kesepian akan segera berlalu, tetapi ada juga yang terus saja terjebak seolah mereka terpaku di ruang yang sama; ruang kesepian yang memenjarakan mereka.

Cara menghadapinya juga berbeda-beda. Ada yang memilih sibuk bekerja dan menabung, ada yang rutin menuliskannya di dinding-dinding dunia maya sebagai upaya journaling, ada yang setengah mati melawannya dan menyangkal bahwa ia tidak sedang kesepian, namun ada juga yang berusaha keras memendamnya dan menghadapi dunia dengan ceria seperti biasanya.

Tidak apa-apa kalau kita merasa kesepian. Dalam hidup, ada kalanya hati merasa demikian. Menyaksikan ramainya kehidupan orang lain, sementara hidup kita sendiri begitu sepi, sunyi. Entah sedang merindukan suasana seperti apa, mungkin suasana keramaian yang pernah ada dulu. Namun, kita sendiri lupa seperti apa hari-hari ramai yang menyenangkan itu.

Orang yang Shalat, Tetap Bisa Kena Santet?

Nonton cerita mantan dukun di youtube, dia bilang, "Orang-orang suka mempertanyakan kenapa orang yang shalat tetap bisa kena santet? Lo pikir dulu aja, shalat lo gimana? Ketika shalat, pikiran lo isinya duniawi, gampang bagi kita buat nyantet lo. Makanya kalau mau shalat, dilepas dulu pikiran-pikiran duniawinya."

Dia juga ngasih contoh pikiran duniawinya yang relate huhu, "lo shalat tapi pikiran lo abis ini mau make up, mau pake baju apa ya.. itu gampang bagi kita buat nyantet."

Apa kabarnya ibu-ibu yang kalau shalat kepikiran anak, masakan, jemuran baju, dan lain-lain. Huhu. Semoga doa minta kekhusyuan dalam shalat nggak pernah lepas ya dari doa-doa kita.


Yk, 2 Agsts 2022 | 21.26

Eyang Uti dan Hal-hal yang Terkenang

Pagi itu aku kembali menyusun banyak rencana untuk hari-hari liburanku ke depan di Bandung dengan setengah rencana telah terlaksana. Namun, mendengar kabar nafas Uti tertatih-tatih, kami segera berkemas dan pagi itu juga pulang ke rumah Magelang.

Uti masuk rumah sakit dan kami bergiliran menjaganya. Esok siangnya, aku tengah makan lotek di lorong rumah sakit. Kala itu, kuamanahkan pada Kak Satriya dan Haikal—sepupuku yang baru berusia sembilan tahun, untuk menjaga Uti.

Lotekku hampir habis bersamaan dengan Kak Satriya yang berlari keluar memberitahu kami bahwa saturasi Uti yang tadinya hampir meraih normal, tiba-tiba turun drastis ke angka 60. Kami semua masuk ke kamar dan saturasi telah berada di angka nol. Haikal menjadi saksi grafik di layar monitor berubah menjadi garis lurus panjang seperti di film-film yang ia tonton, katanya.

Perawat berdatangan, pacu jantung dilakukan, dan kami saling bertangisan dalam ruangan.

Jenazah telah dimandikan, dishalatkan, dikuburkan, sebagaimana kewajiban kami mengantarkannya. Satu-persatu urusan diselesaikan.

Benar kata Bu Cinta, "..tapi, kenapa harus dikeluarkan namanya dari daftar KK?" Ya sudah kalau memang begitu ketentuannya, tapi kenapa harus begitu? :(

Pesan Terakhir

"Jangan lama-lama lho ya di Bandungnya, kamu sudah ada suami.." begitu bunyi pesan terakhir Uti kepadaku yang terus terngiang di benakku.

Rupanya bukan perihal semata karena kehadiran pasangan dalam hidupku, tetapi karena Uti juga akan pergi jauh. Nyatanya aku pulang dari Bandung menyelesaikan liburanku dengan begitu cepat.

"Iya Uti, ini aku sudah pulang tapi Uti juga telah berpulang." Bisikku di samping jenazahnya dengan berlinang air mata.

Uti, minggu ini juga usai Uti tidak ada, Kak Satriya pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan dan Cici—sahabat baikku akan segera pindah ke Makassar hari Selasa besok. Aku sampai bingung harus menangisi yang mana dulu. Semua terjadi dalam satu waktu dan begitu singkat. Apa yang kata Allah terjadi, maka terjadi.

Seperti ketegaran yang selalu Uti ajarkan pada kami, "Eyang Kakung sudah tenang, sudah tidak sakit.." ujar Uti dengan senyuman, pun kini kami akan belajar ikhlas menerima apa yang telah ditakdirkan.

Hanya saja.. ah, tidak ada lagi perempuan tua yang duduk di ruang tengah menantiku pulang ke rumah. 🥀

 

Ditulis di Yogyakarta, 9 Oktober 2022

Catatan Untuk Diri

Untuk agenda-agenda kebaikan bagi diri, jangan menunggu waktu luang, tetapi mulailah meluangkan waktu.

Untuk mencapai apa-apa yang diniatkan dalam hati, dengan penuh tekad diri, jangan menunggu sampai habis waktu, tetapi mulailah membuat target-target dari target kecil terlebih dahulu.

Untuk menuju sesuatu yang besar, mulailah perhatikan hal-hal kecil. Pelan-pelan mempelajari, mungkin dengan membaca, mendengarkan, atau mengambil pelajaran dari sesuatu yang terjadi.

Semoga Allah mudahkan setiap langkah kita di bumi yang fana ini. Aamiin.

Selamat menyambut pagi!

 

Yk, 12 Juli '22 | 05.59

Amor Fati

"Tiada satupun tak terencana, daun yang jatuh dan hujan yang turun.. Setiap musibah dan kematian telah dituliskan.." begitu bunyi salah satu lirik lagu Opick.

Ternyata semenenangkan ini mencintai takdirMu. Amor fati. Apapun yang telah terjadi, qodarullah. Ternyata semenenangkan ini, hati yang menerima. Ternyata sebersyukur ini di kala ada hal yang membuat kecewa, Allah tetap beri kita hidayah untuk menujuNya.

 

Yk, 16 Jun '22 | 10.58

Berpulang

Benar kata Bu Cinta, kapan waktu kematian seseorang sudah ditentukan sejak ia dalam kandungan, sehingga tidak ada alasan untuk tidak rela. Dan ketika waktu itu tiba, maka kita ucapkan, innaalillahi wa innaailaihi raaji'uun..

Selamat jalan Eril. Sudah tenang ya di sana, tidak terhimpit urusan-urusan dunia lagi seperti kami-kami ini yang masih terus berjuang dalam kehidupan yang fana ini.

Ril, katanya seseorang yang wafat lebih dulu itu berarti bekal akhiratnya mungkin telah cukup. Sehingga kami-kami ini yang masih bernafas di dunia, kemungkinan masih sangat sedikit amalnya.

Ril, sampai berjumpa lagi dengan keluargamu nanti di JannahNya.

Banyak yang mendoakanmu, Ril.

Ah, rasanya baru kali ini aku iri, namun bahagia. Sebab, bukan perkara dunia yang membuatku iri.

 

Dari aku, yang bukan siapa-siapanya Eril

Yk, 13 Jun '22 | 11.04 | Pagi ini Eril dimakamkan 🥀

Menyambut Takdir Terbaik

Pernikahan adalah sebuah momen yang amat sakral—menjadi salah satu dari tiga perjanjian dahsyat yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Mengapa demikian? Karena pernikahan merupakan perjanjian Allah dengan manusia. Dengan demikian, sepatutnya kita tidak menyepelekan pernikahan ini.

Banyak dari kita, termasuk mungkin saya sendiri, yang seringkali terpukau dengan apa-apa yang ditampilkan dalam pernak-pernik pernikahan seseorang. Khususnya era kini, postingan momen-momen tersebut sangat mudah ditemukan di laman sosmed kita.

Di balik penilaian kita soal pernak-pernik acara pernikahan seseorang, pernahkah kita memaknai lebih dalam, melihat dari sisi lain, tentang perjuangan di belakangnya?

Barangkali bagi sebagian pasangan, dekorasi dan segala tetek-bengeknya tidak begitu penting karena bagi mereka perjuangan hingga bisa memperoleh restu orang tua adalah yang terpenting. Juga, perjuangan-perjuangan lainnya seperti menyangkut materi, kemapanan, dan lain-lain.

Boleh jadi mereka memiliki wedding dream sendiri, tetapi saat waktunya tiba ada ujian-ujian tertentu yang membuat mereka melupakan hal itu dan hanya fokus pada bagaimana caranya agar mereka "sah".

Boleh jadi kita tidak tahu bahwa di balik sebuah akad yang khidmat, ada perjuangan yang begitu berat.

SAMAR

 "Iya, mba.. saya hanya menerima penghuni yang pasangan suami istri sah saja. Kalau pun nikah siri, silahkan perlihatkan bukti suratnya. Pernah ada yang mau ngontrak di sini, katanya tunangan. Saya bilang nggak bisa, harus pasangan yang sudah sah. Saya takut ikut menanggung dosanya kalo nerima penghuni kontrakan yang belum menjadi pasangan resmi.."

Entah, selalu kagum pada mereka yang melek dengan dosa-dosa yang terlihat samar, yang senantiasa berhati-hati dengan setiap langkah dalam hidupnya, yang takut pada Tuhannya. Semoga kita menjadi salah satunya.

 

Yk, 6 Juni '22 | 13.27 | Cerita bulan lalu

12/05/22

/Za•lim/

Berdasar kbbi, men·za·limi berarti menindas; menganiaya; berbuat sewenang-wenang terhadap;

Sementara itu, dikutip dalam buku 73 Golongan Sesat dan Selamat karya Saifuddin Mujtaba, zalimun atau zalimin; artinya adalah orang yang aniaya (termasuk terhadap diri sendiri). Orang zalim adalah orang yang tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Orang yang menghukum tidak berdasarkan hukum yang adil. Orang yang bertindak tidak sesuai dengan permainan yang telah dibuat atau diundangkan. Orang yang melanggar hak-hak asasi Tuhan dan juga melanggar hak-hak asasi manusia.

Jadi, beberapa hari yang lalu seusai bepergian, aku dan kak Satriya mampir ke warung untuk beli sesuatu. Sambil menunggu pesanan, tiba-tiba lewat sebuah motor dengan knalpot bersuara bising yang tentu begitu mengganggu telinga.

Seperti biasa, ketimbang memaki orang-orang semacam itu, cara kak Satriya sederhana saja dalam menghadapi manusia macam begitu. Kak Satriya cuma akan mengangkat jari telunjuknya sambil menunjuk-nunjuk ke arah bagian kepala tempat berpikir, yang jika dilisankan berarti, "otaknya dimana?!" Sedikit kasar tetapi hemat energi karena tidak perlu memaki dengan emosi, hehe.. cukup sedikit geleng-gelengkan kepala sembari menunjuk-nunjuk kepala sendiri.

Saat itu ia juga bilang,

"Aku kepikiran gimana kalo misalnya aja ada orang dengan motor berknalpot seperti itu bepergian dari Bandung ke Jogja? Berapa banyak orang di jalan yang merasa terganggu dengan suara knalpotnya? Bukannya sebanyak itu pula dosanya karena sudah zalim terhadap telinga orang-orang yang terganggu karena knalpotnya dia.."

Sepulangnya, aku termenung. Berapa banyak hal sepele yang mungkin tidak disadari telah kulakukan dan membuat orang-orang di sekelilingku merasa tersakiti karenanya? Semoga termaafkan.. :")

10/07/21

Dua Kali Dinyatakan Positif Covid-19, Faktanya Justru Sebaliknya!

 

Source: freepik.com

Saya tidak menyangka bahwa pada akhirnya laman blog saya sampai pada chapter ini. Sebuah chapter yang siapapun tak inginkan di dalam hidupnya. Pernyataan positif covid yang pertama kali saya terima, membuat saya terduduk diam cukup lama. Bingung. Namun, pernyataan positif covid yang kedua kalinya saya terima, benar-benar saya terima dengan hati legowo. Mungkin karena pada momen itu, saya memang benar-benar ingin istirahat saja. Dua kali saya dinyatakan positif covid, inilah kisah keluarga saya sebagai penyintas covid-19.

 

Melakukan Perjalanan Panjang

Cerita ini akan saya mulai dari sebuah kekacauan yang terjadi di rumah. Usai saya merasa kehilangan diri sendiri, ibu saya akhirnya merestui saya untuk melakukan perjalanan panjang ke selatan pulau Jawa, Banyuwangi, guna menenangkan diri untuk bisa kembali berpikir jernih. Banyuwangi adalah sebuah kota yang sudah lama masuk waiting list saya bahkan jauh sebelum pandemi. Dulu rencananya perjalanan tersebut akan saya lakukan selesai saya sidang skripsi. Namanya juga rencana manusia, tak ada yang pasti. Akhirnya seluruh rencana manusia di 2020 kacau-balau karena datangnya pandemi.  Namun, saya tidak menduga bahwa momen ini akhirnya tiba juga pada bulan Juni tahun ini.

Sebelumnya, saya melakukan searching terkait berita potensi tsunami yang terjadi di Jawa Timur dan memastikan bahwa isu tersebut benar. Hanya saja di sini ada kesalahpahaman pada masyarakat dalam menangkap berita. Potensi bukanlah prediksi. Potensi merupakan hal yang berbeda dengan prediksi. Dengan memantapkan hati, akhirnya saya berangkat ke Banyuwangi dengan sebelumnya mampir terlebih dahulu ke Magelang dan Yogyakarta selama beberapa hari. Saat itu mulai terdengar isu lonjakan kasus covid di Yogyakarta. Khusus Yogyakarta, bukan daerah lainnya selama yang saya ketahui.

Berangkatlah saya pada tanggal 12 Juni 2021. Saya menuju ke Magelang terlebih dahulu untuk mengurus berkas-berkas BPJS saya. Dikarenakan saya sudah lulus kuliah, saya harus mengubah BPJS saya menjadi peserta mandiri dan proses ini tidak bisa dilakukan secara online karena terkait dengan persetujuan rekening bank. Saya sedang mengejar waktu untuk menyelesaikan urusan administrasi yang ternyata cukup rumit ini karena tidak cukup mengurusnya dalam satu hari. Saya butuh BPJS karena saya hendak melakukan operasi yang akan berlangsung sebanyak dua kali dengan biaya yang cukup mahal jika dilakukan tanpa BPJS. Errghh. Sabar.

Sembari menunggu berkas selesai, saya ke Yogyakarta menemui teman-teman yang saya sayangi. Teman-teman yang memang ingin saya temui.  Teman-teman yang sedang menghadapi berbagai masalah juga. Saya datang berharap kami bisa saling menguatkan.

 

Dinyatakan Positif Melalui Tes Genose

Tiba H-1 saya akan berangkat menuju Banyuwangi, saya melakukan tes. Hal ini saya lakukan untuk memastikan bahwa diri saya sehat, sebab di Banyuwangi nanti saya akan tinggal di tempat tinggal milik relasi saya. Setidaknya saya harus memastikan bahwa diri saya baik-baik saja agar tidak membawa virus ke tempat orang lain. Tes Genose pertama saya negatif ketika hendak berangkat dengan kereta api dari Bandung menuju Yogyakarta, namun selang beberapa hari begitu saya hendak ke Banyuwangi, tes Genose saya hasilnya positif. Deg. Aduh. Kayaknya gara-gara habis makan sate usus dan lontong sayur deh. Padahal kejadiannya sudah dua jam berlalu dari sebelum tes. Saya diam, kaku, bingung, dan segalanya berputar di pikiran saya.

Saya mengakui bahwa saya sering melakukan perjalanan keluar kota yakni ke Yogyakarta selama pandemi berlangsung. Terhitung di tahun ini sudah tiga kali saya bolak-balik ke Yogyakarta. Dan ini pertama kalinya tes Genose saya hasilnya positif. Kebetulan tesnya memang di RS bukan tes Genose yang bekerjasama dengan  PT. KAI.

Saya segera menenangkan diri, lalu ke apotek beli air NaCl untuk membersihkan hidung dan cepat-cepat ke RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang berada di dekat Malioboro untuk tes Antigen. Saya tidak percaya dengan hasil tes Genose saya, sementara saya harus memastikan status diri saya saat ini terkait covid.

Saya sempat curhat juga ke petugas Antigen, "Pak, saya nggak mau hasilnya positif. Saya nggak boleh positif sekarang soalnya saya baru abis ketemu teman-teman dan keluarga saya."

Saat itu di benak saya cuma kepikiran mereka. Orang-orang yang baru saja saya temui adalah orang-orang yang berharga dalam hidup saya. Apalagi pandemi begini, saya benar-benar memilih untuk bertemu dengan siapa, mengutamakan orang-orang yang prioritas dulu untuk ditemui.

Akhirnya petugas juga ikut menanggapi kegelisahan saya. "Banyak yang kemana-mana tetapi nggak kena, banyak juga yang cuma di rumah saja justru kena." Beliau seolah ingin membesarkan hati saya, memberitahu saya bahwa jangan terlalu panik dan jika terjadi apa-apa jangan terlalu menyalahkan diri sendiri.

 

19/11/20

MADRASAH PERTAMA


Foto: 25 Agustus 2019 – Masa KKN di Dusun Kembaran, Magelang, Jawa tengah.


Hari ini aku bertemu Rasya dan Reynald untuk mengajar mereka. Rasya terlihat begitu banyak bicara walau ia masih duduk di bangku TK, sementara Reynald yang sudah duduk di bangku SD kelas satu terlihat aktif namun gugup ketika berbicara.

Bertemu anak-anak selalu menyenangkan. Rasanya hidup menjadi lebih hidup ketika mendengar suara anak-anak menggema di penjuru ruangan. Namun, sisi menarik lainnya adalah anak-anak selalu membawa pelajaran baru bagi orang-orang dewasa yang masih belajar bagaimana menjadi dewasa itu.

Ada saat dimana ketika Rasya bertanya padaku dengan tiba-tiba.

"Kak, kalau sombong tuh kayak gini bukan, 'eh eh aku punya sepeda bagus lho' itu sombong ya?"

Aku menjawab dengan caraku sembari bertanya balik,

"Jadi sombong itu boleh nggak?"

"Nggak."

Pinter!

Aku juga menjelaskan lawan kata dari sombong itu apa dan bagaimana, agar ia lebih memahami sifat mana kiranya yang baik untuk dimiliki.

Aku juga menambah pertanyaanku padanya karena penasaran.

"Kenapa nanya itu, Rasya?"

Rasya pun menjawab,

"Iya, soalnya aku belum tahu sombong itu apa dan kayak gimana."

JLEB. Dari sini aku sadar betapa pentingnya peran seorang Ibu (yang baik dan punya pemahaman yang cukup) untuk menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya.

Anak-anak ini nampak polos dan banyak belum memahami sesuatu.

Bayangkan jika mereka tinggal di lingkungan yang mengajarkan hal-hal yang tidak benar? Yang justru malah memberi jawaban tidak benar ketika mereka bertanya sesuatu.

Mereka belum tahu apakah hal ini dan itu benar atau tidak karena mereka pun masih mencari tahu apa maknanya ini dan itu, apa maksudnya begini dan begitu. Mereka belum tahu apakah hal yang ini salah, atau hal yang itu benar. Mereka masih sangat butuh pengarahan dan pengajaran yang baik.

Pada masa-masa ini, kita perlu memberi pengajaran yang terbaik, pengajaran yang jujur. Bayangkan bagaimana ini menjadi amalan tersendiri untuk kita ketika kita adalah orang pertama yang mengajarkan mereka apa arti jujur, arti rendah hati, arti dermawan dan lain sebagainya. Bayangkan ketika kita adalah orang pertama yang mengajarkan huruf hijaiyah pada mereka. Bayangkan ketika kita adalah orang pertama yang mengajarkan apa arti tauhid dan iman pada mereka. Bayangkan ketika kita adalah orang pertama yang membacakan kisah para nabi untuk mereka. Bayangkan ketika kita adalah orang pertama yang mengajarkan mereka tentang doa-doa.

Jadi, apakah kita masih ragu untuk menjadi yang pertama bagi anak-anak kita kelak?

 

Catatan Bdg, 18 Nov 2020 | 20.10 

2020; Tahun yang Hampir Usai!

 

Jadi, bingung mau cerita dari mana, setidaknya ketika baru hendak menuliskan ini. Walau nanti tulisan ini seperti punya kerangka dan terarah, tetapi percayalah ketika hendak saya tulis, saya perlu menggali-gali isi pikiran tentang apa yang terjadi belakangan ini.

Sekedar memberi tahu saja, ini hanyalah cerita biasa dari seseorang seperti saya, tetapi barangkali di antara kamu ada yang merindukan kehadiran sederetan kalimat baru di ruang ini, so I’m here. Kamu tidak perlu mencari kemana-mana lagi karena saya telah kembali lagi ke sini. Gimana? Apa benar kamu mencari saya?

Kelihatannya saya sudah tidak mengisi ruang ini selama hampir setengah tahun, kelihatannya saya tidak pernah lagi menulis, tetapi benarkah saya seperti itu? Barangkali ada yang pernah melihat postingan terakhir sebelum tulisan ini ada, tetapi postingan itu sudah tiada karena memang sengaja ditiadakan. Sorry, sepertinya waktu itu saya sulit mengendalikan pikiran saya dan yang terpikir adalah saya perlu posting puisi ala-ala tersebut tanpa memikirkan dampak kedepannya, sehingga maaf jika saya kemudian lancang menghapusnya. Sebenarnya sih, suka-suka saya, kan? Wong saya yang menulis. Jadi, kalau kemudian saya kurang sreg, wajar bila kemudian saya menghapusnya. Tak ada alasan khusus mengapa menghapusnya, jadi tak perlu lagi dipertanyakan.

 

Bertemu Keramaian

Rekor terbanyak pada tahun ini dalam waktu setahun saya sudah empat kali pulang ke rumah. Selain karena hanya fokus pada skripsi, tiket menuju pulang ke rumah juga murah setelah sebelum-sebelumnya rumah saya berada di antah-berantah. Boro-boro mau pulang.

Sebelum corona tiba di Indonesia, saya beberapa kali menghabiskan waktu di dalam keramaian; tempat wisata yang sedang ngehitz, kondangan, acara seminar, meeting, dan hal-hal lainnya dalam keramaian. Suatu kesadaran yang patut untuk disyukuri karena telah memuaskan diri sendiri walau masih awal tahun. Hingga pada akhirnya, berusaha patuh untuk di rumah saja padahal sebenarnya memang tidak ada panggilan untuk kemana-mana, kecuali panggilan hati, sih, teriak-teriak minta jalan-jalan, setidaknya cuma keliling kota gitu, kek.

 

April Produktif

Kelas menulis April Produktif yang saya adakan pada tahun ini adalah ide iseng sembari menunggu antrian skripsi, disembari juga berrharap corona cepat pergi ternyata membawa saya pada banyak gerbang keberkahan dan pintu menuju letak harta karun yang tersembunyi di jagat media sosial yang membisingkan. Ada satu tempat di media sosial yang begitu tentram dan banyak tersembunyi harta karun di sana, juga orang-orang yang menulis dengan teramat jujur di dalamnya. Banyak di antara kami menulis secara anonim, namun saling merepost dan memberi like pada tulisan seolah-olah kami sudah mengenal lama.

Pada blog, saya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk meningkatkan jumlah followers, sementara di ruang baru tersebut, tak sampai setengah tahun, saya berhasil mendapatkan 300 followers. Jika membicarakan angka followers, saya akan dinilai duniawi sekali pikirannya, tetapi bukan itu poin saya. Bahwasannya ruang tersebut benar tentram, tetapi ada banyak sekali penulis di dalamnya dengan berbagai macam pola pikiran juga pandangan mengenai kehidupan. Kebanyakan dari mereka memiliki kesamaan, sama-sama mengajak manusia pada kebaikan dan selalu mengingatkan pada kebesaran Tuhan.

Sebenarnya bagi saya, ruang tersebut bukanlah ruang baru. Saya telah menghuninya sejak 2013, akan tetapi saya mengunjunginya barangkali hanya sekali setahun dengan maksud agar saya tidak pernah lupa menyimpan dimana kuncinya. Beberapa teman yang mengikuti April Produktif memiliki “rumah” di tempat tersebut yang mengharuskan saya harus kembali berkunjung ke rumah lama saya guna mengunjungi “tetangga-tetangga baru” saya di sana.

Begitu tiba di sana, saya terkejut dan mendapati dunia tersebut begitu ramai. Barangkali hal inilah yang menjadi alasan mengapa saya tidak pernah lagi datang ke ruang ini, sebab saya betah berada di sana. Tenang, saya tidak berhenti menulis, sebab di tempat tersebut, hampir setiap hari saya menulis.

Mungkin memang saya tidak pandai menghilang, toh untuk apa juga menghilang jika tak ada yang datang mencari. Kini saya kembali dan berharap bisa membuat suatu terobosan baru di sini.

 

Sidang Skripsi

Saya sangat bersyukur mengadakan kelas menulis April Produktif. Sebab, selama satu bulan tersebut, skripsi saya sama sekali tidak mengalami kemajuan. Bulan April tahun ini memang diciptakan sebagai bulan untuk menunggu bagi saya. Sementara menunggu, rasanya tidak sia-sia setiap hari diberi kesempatan untuk membaca tulisan teman-teman yang begitu luarbiasa dan mencerahkan.

Bulan Mei datang mengejutkan saya, membawa berita baik sekaligus deg-degan karena dosbing saya membiarkan saya menginjak pedal gas tanpa rem hingga diputuskanlah bahwa sidang skripsi saya jatuh pada tanggal 28 Mei 2020. Ada kalanya kita harus berhenti sejenak untuk menunggu, ada kalanya jalan untuk kita terbuka lebar dan kita harus bersiap diri untuk menginjak gas yang sudah disediakan.

Para penguji pun sepertinya tidak sabar untuk menyidang saya. Maka di hari lebaran, salah satu dosen penguji mengirim chat yang awalnya mengucapkan selamat lebaran dan maaf-maafan, namun berakhir dengan “saya tunggu ya file skripsi kamu..”

 

Komunitas Baru

Berkesempatan untuk memiliki teman-teman baru yang berada dalam satu frekuensi adalah salah satu hal yang benar-benar saya syukuri di tahun yang gelap ini. Dengan kecanggihan teknologi pada abad ini, kita tak perlu repot-repot keluar rumah untuk mendapatkan teman baru. Jika ingin, hanya dalam waktu 1x24 jam kita bisa mendapatkan teman sebanyak-banyakanya di jagat dunia maya. Orang-orang yang sefrekuensi di jagat dunia maya ini kelak memiliki kesempatan besar untuk bisa menjadi teman yang nyata di dunia sebenarnya jika kita pandai memelihara hubungan.

 

Wisuda Tanpa Perayaan

Saya pernah berpikiran bagaimana wisuda tanpa perayaan. Nyatanya tahun ini kejadian. Bukan suatu kejutan lagi bagi saya karena pernah membayangkan hal tersebut terjadi. Tanpa ada rasa iri dengki, tetapi rasanya muak melihat bagaimana segala macam perayaan diadakan dengan begitu berlebihan khususnya di media sosial karena sudah mengalami pemolesan yang luarbiasa niatnya.

Semakin bertambah usia, semakin merasa segala macam perayaan adalah sesuatu yang biasa-biasa saja karena memang alur kehidupan akan berjalan seperti itu, dari satu perayaan menemui perayaan lainnya. Banyak orang yang mengadakan perayaan secara berlebihan tanpa mau memaknai lebih dalam arti dari perayaan itu sendiri. Untuk kedepannya, saya berharap bisa menjadi orang yang biasa-biasa saja dalam menjalani perayaan, walau begitu ada rasa terima kasih yang besar dan apresiasi yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata untuk mereka yang berusaha membuat hari-hari perayaan saya menjadi begitu istimewa.

 

Meninggalkan Yogyakarta

Tidak ada yang baik-baik saja ketika harus pergi meninggalkan yang dicintai, tetapi toh untuk apa juga lama-lama bersedih, jika tahu bahwa diri sendiri akan mengusahakan yang terbaik untuk bisa kembali.

Terima kasih Yogyakarta untuk segala pelajarannya. Mungkin ada beberapa hal yang saya sesali di Yogyakarta, tetapi membawa pelajaran tersendiri bagaimana untuk memaafkan diri sendiri dan berusaha untuk memperbaiki apa-apa yang dirasa salah. Yogyakarta telah mempertemukan saya dengan banyak hal, salah satunya jalan bagi saya untuk menemukan diri sendiri. Terima kasih, Yogyakarta!

 

Rumah Baru

Rumah baru berarti kehidupan baru. Bagaimana tidak? Tetangga baru, satpam baru, masjid baru, pertokoan baru, tukang sate baru, tukang fotocopyan baru, tukang galon baru, tukang gas baru, semua serba baru, termasuk hal-hal yang menjadi fokus adaptasi terbaru seperti alergi dan ketidakcocokan dengan suhu udara.

Perjalanan yang terjadi di tahun ini ikut pula dirasakan oleh kulit si yang punya tubuh. Bukan hati dan pikiran saja yang berjuang mati-matian menyelesaikan satu-persatu urusan kehidupan, tetapi kulit juga ikut berjuang bagaimana beradaptasi dari perpisahan satu suhu udara ke suhu udara lainnya. Alhasil alergi tak dapat dihindarkan, juga serangan jerawat yang tanpa perhitungan, mati satu tumbuh seribu.

Ayolah, bayi sungguh kalah menggemaskan dengan jerawat mungil yang memerah di dagumu, yang kemudian tanpa babibu berubah menjadi raksasa yang mendominasi mood kamu sepanjang hari.  Ayolah, ini bukan tentang bersyukur, hanya lebih kepada kekagetan kecil yang sebenarnya bisa diatasi tetapi butuh waktu berbulan-bulan memang untuk menghilangkan bekasnya apalagi teruntuk seseorang seperti saya yang kudet terhadap dunia perskincarean. Yah, setidaknya ada bahan untuk dibicarakan ketika telponan dengan kawan, daripada menggosipi orang lain, lebih baik obrolan mendadak jadi bak ruang konsultasi skincare. Mantap, bukan?

Ayolah, akui saja bahwa jerawat memang salah satu faktor yang dapat membuat kita insecure, tetapi tenang saja, saya berkeyakinan bahwa kita tetap terlihat cantik di mata orang yang tepat.

Jika kita dicintai karena pikiran dan hati kita, maka seharusnya urusan perjerawatan ini bukanlah suatu masalah yang besar.

 

Menjadi Volunteer

Rasanya ingin marah besar pada corona, tetapi tidak jadi karena melihat di media sosial sudah banyak orang yang marah-marah pada corona dengan menggunakan serangkaian kata-kata kasar. Toh juga untuk apa marah, percuma, corona tidak akan pernah tahu juga bahwa kita marah padanya. Menyedihkan.

Tetap ada sedikit rasa jengkel juga, sih, sebab corona mengubah banyak hal yang telah direncanakan. Menjadi volunteer usai lulus kuliah adalah impian saya sejak lama. Namun, mengingat betapa berbahayanya virus ini, membuat saya berpikir ulang untuk bepergian ke luar daerah. Bukan saya sih sebenarnya, tetapi orang tua saya.

Kemudian timbullah suatu keinginan. Menjadi volunteer di rumah sendiri, why not? Untuk apa juga jauh-jauh menyebrangi lautan jika ternyata orang-orang di rumah sendiri membutuhkan bantuan saya. Rencana tetap berjalan, hanya saja lokasinya yang berpindah. Sebagai anak perempuan yang sudah berusia kepala dua, rasanya semakin sedikit waktu untuk berada di rumah sendiri. Menjadi volunteer di rumah sendiri dengan visi untuk memaksimalkan bakti sebelum pangeran berkuda putih atau bermotor Vario atau bermobil (kata Muya) menjemput kita, barangkali adalah suatu keputusan yang tepat di masa pandemi seperti ini.

 

Hidup Minimalis

Kembali ke rumah artinya kembali membereskan seluruh barang-barang pribadi. Sedikit banyak terbantu tercerahkan alias terperdaya oleh kata-kata di dalam buku-buku motivasi hidup minimalis. Akhirnya memutuskan untuk membuang sebagian barang kenangan. Katanya barang kenangan, tetapi dikenang kembali saja tidak pernah. Maka buanglah barang-barang yang bersifat seperti itu, sebab pada dasarnya manusia lebih senang mengenang sesuatu dalam hati dan pikiran mereka, bukan dengan melihat benda-benda yang mengandung kenangan tersebut.

Tahu tidak apa yang memiliki nilai rahasia yang begitu besar? Benar, kenangan! Karena ia berada di hati dan pikiran. Orang lain tidak pernah tahu apa yang saat ini sedang kita kenang. Seram, bukan? Sebab, walau barang kenangan telah dibuang, memori tersebut sudah menjadi salah satu folder di dalam pikiran kita, sudah menyatu dengan diri kita. Benar kata Almarhum Eyang Habibi, bahwa masa lalu saya adalah milik saya, masa lalu kamu adalah milik kamu, tetapi masa depan adalah milik kita. Bagaimana caranya agar kita mampu menghapus folder masa lalu?  Tentu dengan memperbanyak folder masa kini. Ketika kepenuhan, maka dengan terpaksa kita akan menghapus folder-folder lama yang sebenarnya sudah tidak berharga.

Mari saya beritahu prinsip belanja saat ada diskon. Sebelumnya, sini saya bisiki dulu, tidak masalah jika tidak membeli apa-apa pada harbolnas. Kamu tidak harus membeli sesuatu pada harbolnas.

Prinsip belanja saat ada diskon; hanya belanja kebutuhan sehari-hari, misal promo tissue beli 1 gratis 1; belanja suatu barang yang memang sedang dibutuhkan.

Adapun tips untuk menyingkirkan barang-barang; sumbang ke panti asuhan, sumbang ke saudara, jual dengan tagar preloved, atau langsung saja berikan pada yang membutuhkan, siapapun itu. Gampang, kan?

Milih-milihnya yang susah. Kadang, melepaskan memang seperti itu. Susah.

 

Menemui Ruang Konsultasi

Mental health menjadi hal yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini. Orang-orang mengatakan bahwa di tahun yang gelap ini, mental health adalah yang utama. Padahal jikapun tiada covid, mental health tetap menjadi yang utama, bukan?

Memiliki masalah pada kesehatan mental bukanlah hal yang memalukan, tetapi juga tidak perlu digembor-gemborkan. Jika kita tahu ada sesuatu yang salah dengan diri kita, bukankan kita perlu mencari tahu penyebabnya dan mencari solusinya?

Berharap ini tidak pernah terjadi, tetapi mana ada kehidupan yang lurus-lurus saja. Kalau kata Kak Choqi, “itu kehidupan atau penggaris?”

 

Anak Kedua

Usai kelahiran anak pertama (baca: skripsi) yang jatuh di bulan Mei tahun ini, rasanya tak sabar menanti kelahiran anak kedua (baca: kumpulan prosa). Hal-hal memang sebatas rencana dan cita-cita, hingga terwujud barulah menjadi suatu kenyataan, tidak ada salahnya mendoakan agar karya yang tengah dikandung lancar hingga hari kelahiran. Tidak mengincar perayaan, apalagi kepopularitasan. Hanya mencari cara bagaimana bertahan dalam kewarasan di tengah dunia yang kian mencekam.

 

Pernikahan

Sorry, tidak ingin membicarakan ini di sini.

Saat seorang perempuan tidak pernah menunjukkan perasaannya pada anda, barangkali itu merupakan suatu bentuk penjagaan dirinya terhadap hati manusia yang mudah jatuh dan berharap.

 

Untuk apa cerita kali ini? Jawabannya seperti kata Mas Gun, kita menulis untuk mendengarkan diri sendiri, bukan untuk mencari perhatian orang lain atau hal-hal yang tak jauh dari itu.

27/03/20

Masyarakat Indonesia di Tengah Ancaman Covid-19


Minggu-Minggu Awal Wabah Datang

Halo, saya Nina, salah satu masyarakat Indonesia yang ingin berbagi cerita tentang wabah yang melanda hampir seluruh negeri bahkan dunia. Pada minggu-minggu awal wabah datang ke Indonesia, yang mana pasien pertama berlokasi di Depok, Jawa barat, maka kami yang berlokasi di Jawa Tengah tentu masih bersikap biasa saja. Makin lama, wabah ini semakin memakan banyak korban. Orang-orang dinyatakan positif covid-19. Pada awalnya, pemerintah masih mencari sumber jejak penyebaran virus ini sampai pada akhirnya tidak lagi dapat terkendali karena pasien-pasien selanjutnya rupanya tidak mempunyai interaksi dengan pasien-pasien sebelumnya.

Minggu berikutnya, Yogyakarta mulai mengabarkan adanya salah satu warganya yang terkena covid-19 dan kami masih biasa saja. Hari-hari kemudian, satu-persatu sekolah mulai diliburkan, termasuk beberapa universitas. Salah satunya adalah universitas kami. Kami, sebagai mahasiswa perantauan yang sedang kebingungan dalam pergulatan skripsi lantas semakin kebingungan untuk membuat jadwal bimbingan. Para dosen tidak menerima bimbingan face to face padahal kami lebih nyaman untuk bertemu langsung karena akan lebih mudah memahami penjelasan dosen pembimbing yang bersangkutan. Mau dikata apa, surat edaran sudah dibagikan, kami berusaha mengiyakan.

Hari-hari saat itu masih tetap biasa saja, belanja ke warung sayur karena kami hendak memasak bersama. Kami hanya menghabiskan Rp. 20.000,- ribu untuk makan bertiga untuk dua kali makan, pagi dan sore; Sayur asem, tahu goreng, sambal terasi. How a cheap food costs! Wow, yeah, welcome to Jogja, nak! Selain itu, kami juga masih melakukan aktivitas seperti biasanya; menginap bersama, yang satu maskeran wajah, yang satu main handphone, yang satu nonton film, kami bercerita hingga larut malam, bahkan saya juga sempat masih datang ke kafe untuk pertemuan yang memang sudah saya agendakan dengan teman-teman SMA saya. Semua masih terasa biasa saja, meski imbauan love distancing, eh maaf, maksudnya social distancing atau jaga jarak sudah mulai diberlakukan.


Rumah kedua

Satu demi satu teman saya memutuskan untuk pulang ke rumah sebelum wabah kian menyebar dan lockdown yang sesungguhnya mulai diberlakukan. Untuk itu, saya juga segera berkemas bermaksud untuk pulang ke rumah kedua saya di Magelang. Saya bermaksud mengunci diri di daerah yang nyaman itu dengan ladang sawah sejauh mata memandang, juga awan-awan di langit yang berarakan, dan aroma semilir angin yang membuat diri tak berhenti menguap. Berdua dengan sepeda motor, saya melakukan perjalanan pulang yang saya pikir ini akan menjadi liburan yang amat panjang, tetapi semua itu hanya rencana manusia, Allah bisa merubahnya.

Ketenangan yang saya bayangkan ternyata berubah menjadi kebisingan karena rupanya pabrik yang berada di seberang rumah kedua saya itu sedang direnovasi dan dirobohkan, suara-suara yang dihasilkan dari alat-alat keras tersebut membuat saya terbangun dari tidur. Pagi itu, untuk kesekian kalinya ibu saya menghubungi saya dan lagi-lagi memberikan penawaran untuk pulang ke Bandung. Saya sudah sampaikan bahwa adanya imbauan sebaiknya tidak melakukan pulang kampung. Telepon berakhir dengan saya yang tidak berhasil dibujuk. Tidak berselang sampai lima menit, beliau menghubungi kembali. Kali ini yang terdengar adalah suara ayah saya. Wow. Tumben sekali.  Saya masih tidak berhasil dibujuk. Orangtua saya hanya memberikan penawaran yang menurut saya itu masih bisa ditolak, berbeda dengan perintah. Sambungan diputus, tetapi, di akhir pembicaraan saya mendengar helaan nafas yang panjang dan dalam dari ayah saya yang akhirnya membuat saya memutuskan untuk mengiyakan dan pulang ke rumah di Bandung dengan naik kereta esok paginya. Saya berkemas kembali setelah semalam saya sudah menata barang-barang saya di lemari kamar, sedih rasanya harus packing kembali, alias saya malas. Saya tipe manusia yang kalau packing h-beberapa jam. Karena nanti sore saya hendak balik ke Jogja, maka sekarang saya harus packing.

Sore hari saya pamit, hujan sudah benar-benar reda, gerimis pun tak ada. Akan tetapi, baru tiga menit keluar ke jalan raya, hujan turun dengan deras dan mengagetkan pengguna jalan. Orang-orang berteduh. Saya memang membawa mantel tetapi saya juga membawa buku yang banyak. Jika tidak membawa buku, mungkin saya bisa menerobos hujan ini. Pada faktanya, saya berteduh samapi tujuh kali setiap hujan mulai deras. Setiap mereda, saya berjalan kembali. Begitu sampai di kamar kos, buku-buku saya basah, termasuk duit-duit yang terbuat dari kertas itu. Semalaman saya putar kipas agar buku-buku itu kering. Anak-anak yang malang.


Orang-Orang Indonesia Dalam Mata Perjalanan

Tiba di stasiun, para penumpang yang hendak masuk diperiksa suhu tubuhnya terlebih dahulu. Di stasiun juga sudah mulai diberlakukan social distancing dengan cara menandai silang pada kursi-kursi tertentu dengan tujuan untuk mengatur jarak duduk. Hingga saat saya menuliskan tulisan ini sudah ada 450 pasien positif covid-19, 20 pasien yang sembuh, dan 38 pasien meninggal dunia. Meski tulisan ini akan saya posting entah saat angka kasus dan kematian sudah berubah banyak atau tidak.

Dalam tulisani ini, saya ingin menceritakan hal-hal apa saja yang saya lihat selama di perjalanan. Bukan, bukan mengenai indahnya pemandangan, hijaunya sawah sejauh mata memandang, atau teriknya mentari. Ini tentang hal-hal yang dilakukan masyarakat kita, masyarakat Indonesia, sepanjang jalan Yogyakarta menuju Bandung. Sebelumnya, saya mau cerita dulu bahwa keadaan kereta lengang, sangat lengang untuk ukuran gerbong ekonomi, tidak banyak penumpang bahkan di gerbong kereta belakang saya, penumpangnya dapat dihitung jari. Saking lengangnya, rasa dingin AC sampai menusuk-nusuk. Lalu, apa saja yang saya lihat sepanjang perjalanan ini?

12/01/20

Pentingnya Solidaritas Terhadap Kondisi Dunia


Liburan tahun baru sempat diisi dengan membaca sebuah buku yang bagus berjudul “Rumah Cinta Hasan al-Banna” yang disusun oleh Muhammad Lili Nur Aulia, isinya tentang bagaimana Hasan al-Banna membangun rumah tangganya dan bagaimana ia mendidik keluarganya. Salah satunya ada pembahasan ketika Hasan al-Banna marah.

Pembahasan tersebut berada pada sub bab “Tanamkan Solidaritas Terhadap Kondisi Dunia Islam”. Diceritakan ada sebuah persitiwa yang paling membuat raut wajah Hasan al-Banna berubah karena memendam kesedihan sekaligus kemarahan. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1948 ketika pasukan al-Ikhwan terlibat dalam perang di Palestina.

Sana, seorang anak dari Hasan al-Banna bercerita, “Ketika itu, aku takkan lupa selamanya seperti apa pandangan mata ayah. Ibu bersama bibi dan nenekku berada dalam sebuah ruangan di rumah. Mereka bersama-sama membuat berbagai kue untuk menyambut hari raya. Ayah memandang ibu dan berkata, ‘Ya Ummu Wafa, apakah engkau akan tetap membuat roti, sedangkan ada dua belas orang dari kader-kader al-Ikhwan yang gugur di Palestina..’ setelah itu, ayah meminta salah seorang pembantu kami untuk membereskan peralatan roti dan kue, termasuk bahan bakunya. Ibuku tidak jadi meneruskan pembuatan roti. Sejak hari itu, Ibu memang tidak pernah membuat roti lagi di rumah. Ibu setidaknya pernah membuat biskuit, tetapi tidak pernah membuat roti, bahkan sampai setelah ayah meningggal.”

Apa kabarnya kita yang setiap hari dengan begitu mudahnya upload enak-enak di sosmed?

05/01/20

'Oh..'


Suatu hari ketika disakiti, hati membatin begini, ‘Oh, ada toh orang yang kayak gini. Aku nggak mau menyakiti orang lain seperti orang ini menyakiti aku.’

Suatu hari lainnya, ‘Oh, ada toh orang yang kayak gini. Aku nggak mau punya bad attitude kayak orang ini karena sangat tidak menyenangkan dan mengganggu suasana.’

Seharusnya hati yang tersakiti dan perlakuan sikap buruk orang lain terhadap kita mampu membuat kita sadar untuk tidak menjadi sosok yang demikian, harusnya mampu membuat kita memiliki hati yang lebih baik lagi.



/Bandung, 4 Januari 2020/