Tampilkan postingan dengan label Cerita Hijrah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Hijrah. Tampilkan semua postingan

08/03/19

Bukan Perihal Kapan Kita Mati, Tetapi Bagaimana Kita Mati

Satu lagi, sebuah kisah hijrah, yang menjawab rasa penasaran saya, yang sempat saya tuangkan pada tulisan yang lalu.

Bagaimana bisa begitu cepat ia dibawa menuju kebaikan? Dari berbagai kisah yang datang inilah membuat saya sadar bahwa mungkin saja proses setiap orang berbeda-beda, begitu pula takdir dan hidup yang berubah yang mungkin dikarenakan oleh kekuataan doa atau berbagai aspek lingkungan dan latar belakang kehidupannya.

Sebentar, tangan saya cukup bergetar untuk mengetik kisah ini. Cukup panjang dan dalam.

Sedih rasanya bila mengingat penilaian orang tentang diriku yang dulu. Ya, yang orang-orang tahu tentangku dahulu adalah seorang model, tukang endorse, hijaber, suka gaya gonta-ganti warna soflens, pacaran dan katanya aku anak gaul.

Orang-orang mungkin terkejut dengan proses berubahku yang teramat cepat ini.

Orang-orang tahu bagaimana premannya aku di kampus. Aku sadar sikapku yang seperti itu, sangat tidak pantas untuk dijadikan contoh karena amat miris buat diriku sendiri. Waktu itu, selalu celanaan ketat, selalu dandan tiap ngampus, baju juga ketat, jilbab super pendek, aku seperti berpakaian tetapi telanjang. Mirisnya lagi, bila mengingat bahwa aku adalah lulusan pondok pesantren dan kini di perkuliahan pun aku mengambil jurusan bahasa dan sastra Arab. Dimana adabku? Tidak ada sama sekali.

Aku sangat sadar diri, meski begitu parahnya lagi aku juga berpacaran. Semua orang juga mungkin tahu tentang hubunganku ini karena aku mempublikasikannya di sosmed-ku. Orang-orang tahu, aku sering diantar-jemput ke kampus oleh pacarku itu, kami beda universitas. Iya seperti itu, seperti tidak ada niat untuk kuliah karena aku lebih fokus pada pacaran, jalan-jalan, ngurus endorse-an, foto-foto, kebetulan yang menjadi fotograferku itu adalah pacarku sendiri, jadi kami sering pergi berdua. Yang kulakukan itu sangat tidak berfaedah. Ya, seperti itu-itu saja rutinitasku.

Di samping itu, keluargaku juga bermasalah, ayahku nikah siri lagi dengan perempuan lain dan berubah begitu saja. Sedangkan, aku masih punya dua adik yang masih kecil-kecil dan perempuan semua. Sementara adikku yang laki-laki sudah besar. Posisiku sebagai anak perempuan yang paling besar membuatku sadar akan tugasku menjaga adik-adikku itu. Lalu, pikiranku menjadi kemana-mana, tak karuan, seperti stress sendiri. Kedua orangtuaku hubungannya seperti itu, ayahku tidak pernah tidur di rumah, sementara mamaku juga tidur di rumah orangtuanya alias di rumahnya simbahku. Meski rumah simbah juga di kota yang sama dengan rumahku, tetapi posisi rumah kami tetap terpisah-pisah, hal itu yang membuat adik-adikku jadi terombang-ambing dibawa ke sana ke mari, sampai-sampai aku pusing sebab akulah yang menjaga dan mengasuh adik-adikku sambil kuliah karena aku tidak ikhlas kalau adikku dibawa ke rumah ayahku dan istri barunya yang janda itu, gimana aku tidak pusing?

20/08/18

Panjang Angan


Seseorang telah berusaha menutup diri
Menghindari
Menjauhi

Tak sampai hati bila harus memusuhi
Hanya mampu berserah diri
Jangan sampai terjatuh lagi

Seseorang merenungi,
Andai kata semua hal semudah malam itu,
Saat ia mengatakan, “Panjang angan juga tidak baik dan tidak diperkenankan.”
Lalu dibalaslah, “Jika memang benar begitu, mulai malam ini semua angan itu harus dilenyapkan.”

Benarlah, ia tak kunjung kembali.
Berserah diri pada Illahi.
Berharap takdir terbaik bagi masing-masing kami.

Benarlah, ia pergi.
Menjadi pelayar sejati.
Yang dalam perjalanannya mengenal Tuhan ia dapati.

Benarlah, ia merenungi.
Menggenggam apa yang telah disepakati.
Bahwa panjang angan bukanlah hal baik untuk disimpan dalam pikiran dan hati.

Benarlah, yang terbaik mungkin ia tak perlu kembali.
Sebab seseorang telah berdoa untuknya seringkali.
Semoga kelak ia akan dapati yang sejati mencintai.
Atas balasannya telah sepenuh hati berserah diri pada Illahi.

22/06/18

Seuntai Hikmah di Tepi Pelayaran


Waktu itu, semester tiga dan empat, aku masih tinggal di asrama. Waktu itu juga, sering kali main ke kost seorang teman karena ia datang dari daerah. Di tempat kost itu, banyak tinggal pula perempuan-perempuan atau kebanyakan malah perempuan yang tinggal di tempat kost itu. Menjelang ujian sebelum berlayar ada yang namanya ujian keahlian pelaut (UKP) semacam ujian negaranya pelaut. Aku tahu kalau lulus untuk ujian tersebut itu sulit berdasarkan ceritanya para senior. Hal itu membuatku terus berpikir apakah aku bisa lulus? Mulailah kuperbaiki lagi keseharianku, termasuk sudah jarang main ke kost temanku itu, memperbanyak shalat malam, berdoa meminta kelulusan ujian itu, meminta dipermudah untuk mendapatkan perusahaan untuk praktik.

Kemudian, UKP dimulai. Hari pertama, ujian hukum maritim dan dari enam nomor, hanya dua nomor yang bisa aku jawab, itupun nomor duanya tidak diisi lengkap. Aku pikir-pikir, tidak mungkin lulus UKP karena sistem ujiannya itu kalau satu mata pelajaran tidak lulus maka semuanya tidak lulus dan harus diulangi tiga bulan kemudian, artinya kalau terus-terusan tidak lulus, maka praktikya telat, berakibat telat wisuda. Tetapi, besok-besoknya kuselesaikan dengan baik ujian yang lainnya didampingi dengan doa terus-menerus.

Pada hari pengumuman, Alhamdulillah tidak disangka aku lulus. Dari 400 orang angkatanku hanya sekitar seratusan yang lulus. Saat itu, aku kaget, ternyata doa malam betul-betul diijabah. Namun, dari semua shalat dan doaku itu, jujur masih banyak sekali perbuatan maksiatku, terutama untuk melihat perempuan-perempuan yang tinggal di daerah kost temanku. Tahu sendirilah bagaimana mata keranjangnya lelaki. Dari segala shalat dan doaku itu juga masih seringkali aku bolos kampus.

Selanjutnya, saat mau praktik, aku tak berharap masuk perusahaan Pertamina, bahkan aku kurang berminat untuk masuk di sana padahal perusahaan minyak terbesar di Indonesia.

Karena keseringan bolos ngampus, rupanya senior-senior di kampus mengadakan test, dan yang lulus bisa ikut test lagi di Pertamina. Karea keseringan bolos, aku tidak mengikuti test itu. Sekitar seratusan orang lulus di test tersebut.

Sekitar sebulan kemudian, datanglah orang-orang dari Pertamina pusat ke kampus, dan mengadakan test. Ternyata banyak yang diusir dari ruangan karena kebanyakan yang lulus test dari senior itu mereka tidak lulus UKP. Akhirnya salah satu orang temanku yang terusir itu memanggilku untuk ikut test yang diadakan oleh Pertamina karena aku lulus test UKP pertama.

Singkat cerita, aku lulus dan masuk di Pertamina, sebuah perusahaan yang tidak aku sangka. Kenapa aku cerita soal ini? Kembali pada doaku tadi, ternyata dipermudah untuk mendapatkan perusaahan praktik. Alhamdulillah, sebab memang susah untuk mendapat perusahaann pelayaran di Jakarta bahkan sampai sekarang masih ada di angkatanku yang belum juga dapat kapal praktik padahal aku tinggal tiga bulan ini sudah mau off dari kapal, artinya tinggal satu tahun lagi pendidikanku.

Kebahagiaan yang Lain


Saya mengenal sosoknya hanya sekedarnya saja. Kami berteman di sosial media juga kampus. Karena kami berada di fakultas yang sama, kerap kali kami bertemu di sepanjang area fakultas.

Pada semester satu kala itu, saya mengenalnya sebgaai hijaber yang bila mana menggunakan jilbab banyak menggunakan jarum pentul karena dililit sana-sini. Dari sosial medianya, saya mengetahui bahwa ia seorang model, hobi hunting foto, juga memiliki olshop. Intinya, ia senang sekali upload foto dan update status di sosmed. Selain itu, ia juga memiliki kekasih yang namanya dipajang di bio akun instagramnya. Kekasihnya memang berbeda universitas, tetapi mereka sering hunting foto bersama atau bisa jadi kekasihnya sendiri yang menjadi fotografernya.

Pada semester dua, ia semakin hitz saja di sosial media, makin sering juga update, makin mesra juga dengan kekasihnya itu karena sempat memosting moment surprise yang ia berikan untuk kekasihnya di tempat kerja sang kekasih. Selain itu, job endorsenya juga mulai banyak terlihat di sosial media. Bila bertemu dengannya semakin merasa pangling saja saya karena make up yang digunakannya. Dari warna-warni kukunya, mungkin dia hobi juga berkuteks-ria dan dari tatapan matanya, saya menyadari bahwa ia juga seringkali gonta-ganti soflens.

Pada semester tiga, sepertinya ia putus hubungan dengan kekasihnya. Saya menduga seperti itu, karena di akunnya maupun akun kekasihnya sudah tidak saling memajang nama. Lalu, ia juga mulai menghapus foto-foto lamanya. Entah. Meski masih sering update story instagram, tetapi sudah jarang mengupload foto. Waktu itu di fakultas, saya bertemu dengannya dan terkejut, wajahnya tak penuh oleh make up lagi, jilbabnya sudah tidak dililit-lilitkan lagi bahkan mungkin tak memerlukan jarum pentul lagi. Kala itu ia juga menggunakan gamis sebagai style-nya ke kampus.

29/03/18

"Mbok, Sabar..”


Dia baru saja memutuskan untuk berjilbab kemarin sore.

Namun, tadi pagi kau sudah mengomentarinya tentang mazhab. Tentang mazhab!

Mbok, sabar…


At least, dia sudah tidak mengumbar aurat seperti yang dulu setiap hari ia lakukan. At least, pakaiannya sudah tertutup dan tidak memamerkan aurat yang itu.

Insyaa Allah, jika ia terus belajar, ia akan tahu bahwa aurat itu beraneka macam bentuk dan maknanya, bukan hanya apa yang biasa nampak, tetapi apa yang perlu dijaga dalam hati, lisan, bahkan pikiran.

Pun, saya, masih sangat perlu banyak belajar.


Mbok, sabar…

Gitu kalau kata orang Jawa.