Satu lagi, sebuah kisah hijrah, yang menjawab
rasa penasaran saya, yang sempat saya tuangkan pada tulisan yang lalu.
Bagaimana bisa begitu cepat ia dibawa menuju
kebaikan? Dari berbagai kisah yang datang inilah membuat saya sadar bahwa
mungkin saja proses setiap orang berbeda-beda, begitu pula takdir dan hidup
yang berubah yang mungkin dikarenakan oleh kekuataan doa atau berbagai aspek
lingkungan dan latar belakang kehidupannya.
Sebentar, tangan saya cukup bergetar untuk
mengetik kisah ini. Cukup panjang dan dalam.
Sedih
rasanya bila mengingat penilaian orang tentang diriku yang dulu. Ya, yang
orang-orang tahu tentangku dahulu adalah seorang model, tukang endorse,
hijaber, suka gaya gonta-ganti warna soflens, pacaran dan katanya aku anak
gaul.
Orang-orang
mungkin terkejut dengan proses berubahku yang teramat cepat ini.
Orang-orang
tahu bagaimana premannya aku di kampus. Aku sadar sikapku yang seperti itu,
sangat tidak pantas untuk dijadikan contoh karena amat miris buat diriku
sendiri. Waktu itu, selalu celanaan ketat, selalu dandan tiap ngampus, baju
juga ketat, jilbab super pendek, aku seperti berpakaian tetapi telanjang.
Mirisnya lagi, bila mengingat bahwa aku adalah lulusan pondok pesantren dan
kini di perkuliahan pun aku mengambil jurusan bahasa dan sastra Arab. Dimana
adabku? Tidak ada sama sekali.
Aku
sangat sadar diri, meski begitu parahnya lagi aku juga berpacaran. Semua orang
juga mungkin tahu tentang hubunganku ini karena aku mempublikasikannya di
sosmed-ku. Orang-orang tahu, aku sering diantar-jemput ke kampus oleh pacarku
itu, kami beda universitas. Iya seperti itu, seperti tidak ada niat untuk
kuliah karena aku lebih fokus pada pacaran, jalan-jalan, ngurus endorse-an,
foto-foto, kebetulan yang menjadi fotograferku itu adalah pacarku sendiri, jadi
kami sering pergi berdua. Yang kulakukan itu sangat tidak berfaedah. Ya,
seperti itu-itu saja rutinitasku.
Di
samping itu, keluargaku juga bermasalah, ayahku nikah siri lagi dengan
perempuan lain dan berubah begitu saja. Sedangkan, aku masih punya dua adik
yang masih kecil-kecil dan perempuan semua. Sementara adikku yang laki-laki
sudah besar. Posisiku sebagai anak perempuan yang paling besar membuatku sadar
akan tugasku menjaga adik-adikku itu. Lalu, pikiranku menjadi kemana-mana, tak
karuan, seperti stress sendiri. Kedua orangtuaku hubungannya seperti itu,
ayahku tidak pernah tidur di rumah, sementara mamaku juga tidur di rumah
orangtuanya alias di rumahnya simbahku. Meski rumah simbah juga di kota yang
sama dengan rumahku, tetapi posisi rumah kami tetap terpisah-pisah, hal itu
yang membuat adik-adikku jadi terombang-ambing dibawa ke sana ke mari,
sampai-sampai aku pusing sebab akulah yang menjaga dan mengasuh adik-adikku
sambil kuliah karena aku tidak ikhlas kalau adikku dibawa ke rumah ayahku dan
istri barunya yang janda itu, gimana aku tidak pusing?