“Ada seseorang yang menuntunmu pulang
ke apa pun itu yang kau sebut rumah. Tugasnya sampai di situ saja; di depan
pagar rumahmu, bukan untuk bertamu, lebih-lebih untuk menetap. Sementara seseorang
yang ditakdirkan Tuhan untuk tinggal di sana, justru mungkin bukanlah sosok
yang membuatmu tertakjub-takjub seperti sebelumnya, bukan pula yang menepukmu
di kondisi paling buruk. Ia bisa jadi justru orang yang paling asing.” – Azure Azalea
Anak laki-laki itu
bernama Ade, bukan karena namanya Ade, tetapi sejak kecil seluruh anggota
keluarganya bahkan keluarga besarnya memanggilnya Adek. Diceritakan oleh para eyang, Ade adalah cucu kesayangan
kakeknya.
Ade kecil saat
berusia sembilan tahun sudah menggunakan kacamata karena kesukaannya membaca buku
sambil berbaring dan mungkin dengan jarak dekat. Saat pulang sekolah, bukan
cuci tangan lalu mengambil makan siang yang dilakukannya, tetapi begitu sampai
di rumah ia masih saja nyerocos tentang pelajarannya tadi di sekolah, tentang
soal-soal yang dia kerjakan, tentang matematika mungkin juga. Saat saudara-saudara
laki-lakinya bahkan saudara perempuannya seringkali membawa pacar mereka ke
rumah, Ade adalah satu-satunya yang tidak pernah sekalipun membicarakan perihal
perempuan yang ditaksir apalagi membawanya sekedar ke rumah, tidak pernah
sekalipun. Entahlah, mungkin ia terlalu naksir dengan pelajaran-pelajarannya di
sekolah.
Hingga menduduki
bangku SMA, ia selalu berhasil masuk di sekolah unggulan di daerahnya. Tibalah masa
ia memasuki jenjang perguruan tinggi. Anak laki-laki yang menggilai pelajaran matematika
itu berhasil lulus ujian masuk ITB jurusan geodesi. Namun, rupanya STAN
memperebutkannya. Oleh karena ayahnya salah paham, dipikirnya Ade diterima di
UGM, bukan ITB, yang artinya tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya, maka
ayahnya memilihkannya untuk masuk STAN yang berada di Jakarta, yang artinya
pula jauh dari rumah agar ia merantau, belajar untuk mandiri di kota orang.
Jakarta 1994,
waktu subuh kala itu, anak laki-laki itu mengimami shalat kedua orangtuanya di
sebuah kontrakan kecil yang ditinggalinya selama di perantauan.
“Pak, Bu. Saya akan
menikah.”
Terkejutlah kedua
orangtuanya, mengetahui bahwa selama ini tak pernah sekalipun anak laki-laki
mereka yang itu membicarakan soal perempuan, lantas tahu-tahu saja mengatakan
bahwa ia berkeinginan untuk melamar seorang gadis.
“Bagaimana bisa?
Perempuan yang mana? Kamu tidak pernah sekalipun membawa perempuan ke rumah.”
Jatuhlah air
mata anak laki-laki itu di hadapan kedua orangtuanya. Bagaimana mungkin seorang
anak laki-laki yang selama ini tertutup soal perempuan, yang kerjaannya hanya
mengurusi angka-angka dan pekerjaannya, tetiba saja mengatakan akan menikah.