Tampilkan postingan dengan label Love Story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Love Story. Tampilkan semua postingan

01/04/18

Nothing’s Gonna Change My Love for You


“Ada seseorang yang menuntunmu pulang ke apa pun itu yang kau sebut rumah. Tugasnya sampai di situ saja; di depan pagar rumahmu, bukan untuk bertamu, lebih-lebih untuk menetap. Sementara seseorang yang ditakdirkan Tuhan untuk tinggal di sana, justru mungkin bukanlah sosok yang membuatmu tertakjub-takjub seperti sebelumnya, bukan pula yang menepukmu di kondisi paling buruk. Ia bisa jadi justru orang yang paling asing.” – Azure Azalea


Anak laki-laki itu bernama Ade, bukan karena namanya Ade, tetapi sejak kecil seluruh anggota keluarganya bahkan keluarga besarnya memanggilnya Adek. Diceritakan oleh para eyang, Ade adalah cucu kesayangan kakeknya.

Ade kecil saat berusia sembilan tahun sudah menggunakan kacamata karena kesukaannya membaca buku sambil berbaring dan mungkin dengan jarak dekat. Saat pulang sekolah, bukan cuci tangan lalu mengambil makan siang yang dilakukannya, tetapi begitu sampai di rumah ia masih saja nyerocos tentang pelajarannya tadi di sekolah, tentang soal-soal yang dia kerjakan, tentang matematika mungkin juga. Saat saudara-saudara laki-lakinya bahkan saudara perempuannya seringkali membawa pacar mereka ke rumah, Ade adalah satu-satunya yang tidak pernah sekalipun membicarakan perihal perempuan yang ditaksir apalagi membawanya sekedar ke rumah, tidak pernah sekalipun. Entahlah, mungkin ia terlalu naksir dengan pelajaran-pelajarannya di sekolah.

Hingga menduduki bangku SMA, ia selalu berhasil masuk di sekolah unggulan di daerahnya. Tibalah masa ia memasuki jenjang perguruan tinggi. Anak laki-laki yang menggilai pelajaran matematika itu berhasil lulus ujian masuk ITB jurusan geodesi. Namun, rupanya STAN memperebutkannya. Oleh karena ayahnya salah paham, dipikirnya Ade diterima di UGM, bukan ITB, yang artinya tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya, maka ayahnya memilihkannya untuk masuk STAN yang berada di Jakarta, yang artinya pula jauh dari rumah agar ia merantau, belajar untuk mandiri di kota orang.

Jakarta 1994, waktu subuh kala itu, anak laki-laki itu mengimami shalat kedua orangtuanya di sebuah kontrakan kecil yang ditinggalinya selama di perantauan.

“Pak, Bu. Saya akan menikah.”

Terkejutlah kedua orangtuanya, mengetahui bahwa selama ini tak pernah sekalipun anak laki-laki mereka yang itu membicarakan soal perempuan, lantas tahu-tahu saja mengatakan bahwa ia berkeinginan untuk melamar seorang gadis.

“Bagaimana bisa? Perempuan yang mana? Kamu tidak pernah sekalipun membawa perempuan ke rumah.”

Jatuhlah air mata anak laki-laki itu di hadapan kedua orangtuanya. Bagaimana mungkin seorang anak laki-laki yang selama ini tertutup soal perempuan, yang kerjaannya hanya mengurusi angka-angka dan pekerjaannya, tetiba saja mengatakan akan menikah.

21/03/18

My Father, His Extraordinary Love and Loyalty to My Mother


“Tanggung jawab adalah satu - satunya definisi cinta yang sejauh ini dapat kupercaya. Saat kau belum siap bertanggung jawab menjaga kebahagiaan seseorang, jangan memasukkannya ke dalam hidupmu.” – Azure Azalea

Postingan ini akan menjadi postingan pertama dalam label terbaru blog saya, “Love story”. Kisah yang akan saya ceritakan adalah kisah cinta seorang pilot dengan wanita pujaan hatinya. Saya tahu bahwa di luar sana ada banyak jutaan kisah cinta yang menyentuh hati, tetapi biarkan kisah cinta pilot yang satu ini menjadi kisah pertama yang saya tuliskan kembali setelah sebelumnya seseorang juga sudah pernah menuliskannya serta sudah pernah dibagikan dan direpost oleh puluhan orang di jagat sosial media.

About my father.

He is an extraordinary man in many ways. But I want to share story about his extraordinary Love and Loyalty to my mother.

Papa itu anak petani, anak ke-11 dari 13 bersaudara. Dengan segala keterbatasannya. Tiap hari makan seadanya itu bukan karena lagi diet. Emang benar-benar kondisi keuangan keluarganya berat. Sedangkan mama itu anak tentara, cukup berada, segalanya cukup.

Pertama kali papa liat mama itu waktu papa kelas 5 SD, sore-sore lagi bantu ayahnya di sawah, dia lagi duduk di atas kerbau (ngangon munding) mama lewat sama bapak ibunya, naik delman. Imut, cantik, rambutnya dipitain. Papa terpana.

Setiap sore anak kelas 5 SD ini jadi rajin ke sawah, berharap bisa melihat lagi mama. Dan benar seminggu sekali mama lewat. Papa sampai masuk perguruan pencak silat di jalur delman mama lewat. 3 tahun sampai dia SMP gitu saja kerjannya, tiap minggu menunggu mama lewat. Tanpa sekalipun berani mengajak kenalan.

Kelas 2 SMP, papa terpaksa keluar dari Tasik karena  harus ikut kakaknya, kondisi ayahnya tidak mungkin menyekolahkan. 2 tahun tidak bertemu mama, saat kelas 2 SMA, papa kembali ke Tasik karena dapat kabar ayahnya kena serangan jantung lalu meninggal. Dan dapat kabar juga bahwa mama sudah tidak di Tasik, SMA-nya di Jakarta. (Ada emote nangisnya di bagian ini)

Kelas 3 SMA, mama lebaran ke Tasik dan untuk kali ini papa berani menyapa dan kenalan. Mama cuma nanya, “nanti kalau lulus SMA mau kemana?” papa jawab “Kalau enggak ke kedokteran ya pilot.” Terus mama bilang, “wah, aku suka, itu dua profesi yang dipanggil sesuai profesinya.” Kalimat itu nancep banget.

Mama waktu SMA dan kuliah itu cantik pakai banget. Kapten tim basket SMA-nya. Dan pereli waktu umur 20-an, jago banget nyetirnya, juara 2 balap reli DKI. Primadona di sekolah dan kampusnya. Saya liat foto-foto mama jaman itu, terus mikir ini sih saingan papa pasti banyak banget. Terus pas liat foto papa waktu SMA, dalam hati bilang, berat pap, berat.

Papa enggak peduli, langsung dia lihat gimana cara masuk ke kedokteran atau pilot. Pas liat harga, kedokteran mahal sekali, masuk sekolah pilot gratis. Papa daftar masuk. Saingannya 3000 orang, keterima cuma 100. Papa mati-matian belajar, di otaknya cuma ada mama.