Tampilkan postingan dengan label Bacotan Hati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bacotan Hati. Tampilkan semua postingan

30/12/22

Eyang Uti dan Hal-hal yang Terkenang

Pagi itu aku kembali menyusun banyak rencana untuk hari-hari liburanku ke depan di Bandung dengan setengah rencana telah terlaksana. Namun, mendengar kabar nafas Uti tertatih-tatih, kami segera berkemas dan pagi itu juga pulang ke rumah Magelang.

Uti masuk rumah sakit dan kami bergiliran menjaganya. Esok siangnya, aku tengah makan lotek di lorong rumah sakit. Kala itu, kuamanahkan pada Kak Satriya dan Haikal—sepupuku yang baru berusia sembilan tahun, untuk menjaga Uti.

Lotekku hampir habis bersamaan dengan Kak Satriya yang berlari keluar memberitahu kami bahwa saturasi Uti yang tadinya hampir meraih normal, tiba-tiba turun drastis ke angka 60. Kami semua masuk ke kamar dan saturasi telah berada di angka nol. Haikal menjadi saksi grafik di layar monitor berubah menjadi garis lurus panjang seperti di film-film yang ia tonton, katanya.

Perawat berdatangan, pacu jantung dilakukan, dan kami saling bertangisan dalam ruangan.

Jenazah telah dimandikan, dishalatkan, dikuburkan, sebagaimana kewajiban kami mengantarkannya. Satu-persatu urusan diselesaikan.

Benar kata Bu Cinta, "..tapi, kenapa harus dikeluarkan namanya dari daftar KK?" Ya sudah kalau memang begitu ketentuannya, tapi kenapa harus begitu? :(

Pesan Terakhir

"Jangan lama-lama lho ya di Bandungnya, kamu sudah ada suami.." begitu bunyi pesan terakhir Uti kepadaku yang terus terngiang di benakku.

Rupanya bukan perihal semata karena kehadiran pasangan dalam hidupku, tetapi karena Uti juga akan pergi jauh. Nyatanya aku pulang dari Bandung menyelesaikan liburanku dengan begitu cepat.

"Iya Uti, ini aku sudah pulang tapi Uti juga telah berpulang." Bisikku di samping jenazahnya dengan berlinang air mata.

Uti, minggu ini juga usai Uti tidak ada, Kak Satriya pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan dan Cici—sahabat baikku akan segera pindah ke Makassar hari Selasa besok. Aku sampai bingung harus menangisi yang mana dulu. Semua terjadi dalam satu waktu dan begitu singkat. Apa yang kata Allah terjadi, maka terjadi.

Seperti ketegaran yang selalu Uti ajarkan pada kami, "Eyang Kakung sudah tenang, sudah tidak sakit.." ujar Uti dengan senyuman, pun kini kami akan belajar ikhlas menerima apa yang telah ditakdirkan.

Hanya saja.. ah, tidak ada lagi perempuan tua yang duduk di ruang tengah menantiku pulang ke rumah. 🥀

 

Ditulis di Yogyakarta, 9 Oktober 2022

Bicara Kehidupan

 

Source: Doc. pribadi

Semakin menjalani hari demi hari, sepahamnya kita amat mengetahui bahwa dalam hidup ini lelah adalah sesuatu yang pasti. Masalah demi masalah berhasil kita jalani dengan solusi yang kita ketahui, tetapi bukan berarti ia berhenti. Masalah hanya berganti.

Seseorang pernah menulis dalam blognya, "Saya punya seni tersendiri dalam menikmatinya. Ketika sebuah masalah datang, entah bagaimana saya selalu membandingkan masalah hari itu dengan masalah hari kemarin atau sebelumnya.

Jika hari ini masalah yang saya dapat saya rasa lebih ringan dari hari kemarin, maka harusnya hari ini saya mampu menghadapi, memecahkan dan melewatinya.

Namun, andaikan masalah yang hari ini saya rasa yang paling berat daripada masalah-masalah kemarin, maka saya menganggap hari itu 'level kemampuan menghadapi masalah saya' naik."

Di sisi lain juga, saya sering mengafirmasi pada diri sendiri, "Aku punya Allah yang menciptakanku, kalau nanti aku lelah maka Allah juga yg akan menguatkanku.."

10/07/21

Dua Kali Dinyatakan Positif Covid-19, Faktanya Justru Sebaliknya!

 

Source: freepik.com

Saya tidak menyangka bahwa pada akhirnya laman blog saya sampai pada chapter ini. Sebuah chapter yang siapapun tak inginkan di dalam hidupnya. Pernyataan positif covid yang pertama kali saya terima, membuat saya terduduk diam cukup lama. Bingung. Namun, pernyataan positif covid yang kedua kalinya saya terima, benar-benar saya terima dengan hati legowo. Mungkin karena pada momen itu, saya memang benar-benar ingin istirahat saja. Dua kali saya dinyatakan positif covid, inilah kisah keluarga saya sebagai penyintas covid-19.

 

Melakukan Perjalanan Panjang

Cerita ini akan saya mulai dari sebuah kekacauan yang terjadi di rumah. Usai saya merasa kehilangan diri sendiri, ibu saya akhirnya merestui saya untuk melakukan perjalanan panjang ke selatan pulau Jawa, Banyuwangi, guna menenangkan diri untuk bisa kembali berpikir jernih. Banyuwangi adalah sebuah kota yang sudah lama masuk waiting list saya bahkan jauh sebelum pandemi. Dulu rencananya perjalanan tersebut akan saya lakukan selesai saya sidang skripsi. Namanya juga rencana manusia, tak ada yang pasti. Akhirnya seluruh rencana manusia di 2020 kacau-balau karena datangnya pandemi.  Namun, saya tidak menduga bahwa momen ini akhirnya tiba juga pada bulan Juni tahun ini.

Sebelumnya, saya melakukan searching terkait berita potensi tsunami yang terjadi di Jawa Timur dan memastikan bahwa isu tersebut benar. Hanya saja di sini ada kesalahpahaman pada masyarakat dalam menangkap berita. Potensi bukanlah prediksi. Potensi merupakan hal yang berbeda dengan prediksi. Dengan memantapkan hati, akhirnya saya berangkat ke Banyuwangi dengan sebelumnya mampir terlebih dahulu ke Magelang dan Yogyakarta selama beberapa hari. Saat itu mulai terdengar isu lonjakan kasus covid di Yogyakarta. Khusus Yogyakarta, bukan daerah lainnya selama yang saya ketahui.

Berangkatlah saya pada tanggal 12 Juni 2021. Saya menuju ke Magelang terlebih dahulu untuk mengurus berkas-berkas BPJS saya. Dikarenakan saya sudah lulus kuliah, saya harus mengubah BPJS saya menjadi peserta mandiri dan proses ini tidak bisa dilakukan secara online karena terkait dengan persetujuan rekening bank. Saya sedang mengejar waktu untuk menyelesaikan urusan administrasi yang ternyata cukup rumit ini karena tidak cukup mengurusnya dalam satu hari. Saya butuh BPJS karena saya hendak melakukan operasi yang akan berlangsung sebanyak dua kali dengan biaya yang cukup mahal jika dilakukan tanpa BPJS. Errghh. Sabar.

Sembari menunggu berkas selesai, saya ke Yogyakarta menemui teman-teman yang saya sayangi. Teman-teman yang memang ingin saya temui.  Teman-teman yang sedang menghadapi berbagai masalah juga. Saya datang berharap kami bisa saling menguatkan.

 

Dinyatakan Positif Melalui Tes Genose

Tiba H-1 saya akan berangkat menuju Banyuwangi, saya melakukan tes. Hal ini saya lakukan untuk memastikan bahwa diri saya sehat, sebab di Banyuwangi nanti saya akan tinggal di tempat tinggal milik relasi saya. Setidaknya saya harus memastikan bahwa diri saya baik-baik saja agar tidak membawa virus ke tempat orang lain. Tes Genose pertama saya negatif ketika hendak berangkat dengan kereta api dari Bandung menuju Yogyakarta, namun selang beberapa hari begitu saya hendak ke Banyuwangi, tes Genose saya hasilnya positif. Deg. Aduh. Kayaknya gara-gara habis makan sate usus dan lontong sayur deh. Padahal kejadiannya sudah dua jam berlalu dari sebelum tes. Saya diam, kaku, bingung, dan segalanya berputar di pikiran saya.

Saya mengakui bahwa saya sering melakukan perjalanan keluar kota yakni ke Yogyakarta selama pandemi berlangsung. Terhitung di tahun ini sudah tiga kali saya bolak-balik ke Yogyakarta. Dan ini pertama kalinya tes Genose saya hasilnya positif. Kebetulan tesnya memang di RS bukan tes Genose yang bekerjasama dengan  PT. KAI.

Saya segera menenangkan diri, lalu ke apotek beli air NaCl untuk membersihkan hidung dan cepat-cepat ke RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang berada di dekat Malioboro untuk tes Antigen. Saya tidak percaya dengan hasil tes Genose saya, sementara saya harus memastikan status diri saya saat ini terkait covid.

Saya sempat curhat juga ke petugas Antigen, "Pak, saya nggak mau hasilnya positif. Saya nggak boleh positif sekarang soalnya saya baru abis ketemu teman-teman dan keluarga saya."

Saat itu di benak saya cuma kepikiran mereka. Orang-orang yang baru saja saya temui adalah orang-orang yang berharga dalam hidup saya. Apalagi pandemi begini, saya benar-benar memilih untuk bertemu dengan siapa, mengutamakan orang-orang yang prioritas dulu untuk ditemui.

Akhirnya petugas juga ikut menanggapi kegelisahan saya. "Banyak yang kemana-mana tetapi nggak kena, banyak juga yang cuma di rumah saja justru kena." Beliau seolah ingin membesarkan hati saya, memberitahu saya bahwa jangan terlalu panik dan jika terjadi apa-apa jangan terlalu menyalahkan diri sendiri.

 

19/11/20

2020; Tahun yang Hampir Usai!

 

Jadi, bingung mau cerita dari mana, setidaknya ketika baru hendak menuliskan ini. Walau nanti tulisan ini seperti punya kerangka dan terarah, tetapi percayalah ketika hendak saya tulis, saya perlu menggali-gali isi pikiran tentang apa yang terjadi belakangan ini.

Sekedar memberi tahu saja, ini hanyalah cerita biasa dari seseorang seperti saya, tetapi barangkali di antara kamu ada yang merindukan kehadiran sederetan kalimat baru di ruang ini, so I’m here. Kamu tidak perlu mencari kemana-mana lagi karena saya telah kembali lagi ke sini. Gimana? Apa benar kamu mencari saya?

Kelihatannya saya sudah tidak mengisi ruang ini selama hampir setengah tahun, kelihatannya saya tidak pernah lagi menulis, tetapi benarkah saya seperti itu? Barangkali ada yang pernah melihat postingan terakhir sebelum tulisan ini ada, tetapi postingan itu sudah tiada karena memang sengaja ditiadakan. Sorry, sepertinya waktu itu saya sulit mengendalikan pikiran saya dan yang terpikir adalah saya perlu posting puisi ala-ala tersebut tanpa memikirkan dampak kedepannya, sehingga maaf jika saya kemudian lancang menghapusnya. Sebenarnya sih, suka-suka saya, kan? Wong saya yang menulis. Jadi, kalau kemudian saya kurang sreg, wajar bila kemudian saya menghapusnya. Tak ada alasan khusus mengapa menghapusnya, jadi tak perlu lagi dipertanyakan.

 

Bertemu Keramaian

Rekor terbanyak pada tahun ini dalam waktu setahun saya sudah empat kali pulang ke rumah. Selain karena hanya fokus pada skripsi, tiket menuju pulang ke rumah juga murah setelah sebelum-sebelumnya rumah saya berada di antah-berantah. Boro-boro mau pulang.

Sebelum corona tiba di Indonesia, saya beberapa kali menghabiskan waktu di dalam keramaian; tempat wisata yang sedang ngehitz, kondangan, acara seminar, meeting, dan hal-hal lainnya dalam keramaian. Suatu kesadaran yang patut untuk disyukuri karena telah memuaskan diri sendiri walau masih awal tahun. Hingga pada akhirnya, berusaha patuh untuk di rumah saja padahal sebenarnya memang tidak ada panggilan untuk kemana-mana, kecuali panggilan hati, sih, teriak-teriak minta jalan-jalan, setidaknya cuma keliling kota gitu, kek.

 

April Produktif

Kelas menulis April Produktif yang saya adakan pada tahun ini adalah ide iseng sembari menunggu antrian skripsi, disembari juga berrharap corona cepat pergi ternyata membawa saya pada banyak gerbang keberkahan dan pintu menuju letak harta karun yang tersembunyi di jagat media sosial yang membisingkan. Ada satu tempat di media sosial yang begitu tentram dan banyak tersembunyi harta karun di sana, juga orang-orang yang menulis dengan teramat jujur di dalamnya. Banyak di antara kami menulis secara anonim, namun saling merepost dan memberi like pada tulisan seolah-olah kami sudah mengenal lama.

Pada blog, saya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk meningkatkan jumlah followers, sementara di ruang baru tersebut, tak sampai setengah tahun, saya berhasil mendapatkan 300 followers. Jika membicarakan angka followers, saya akan dinilai duniawi sekali pikirannya, tetapi bukan itu poin saya. Bahwasannya ruang tersebut benar tentram, tetapi ada banyak sekali penulis di dalamnya dengan berbagai macam pola pikiran juga pandangan mengenai kehidupan. Kebanyakan dari mereka memiliki kesamaan, sama-sama mengajak manusia pada kebaikan dan selalu mengingatkan pada kebesaran Tuhan.

Sebenarnya bagi saya, ruang tersebut bukanlah ruang baru. Saya telah menghuninya sejak 2013, akan tetapi saya mengunjunginya barangkali hanya sekali setahun dengan maksud agar saya tidak pernah lupa menyimpan dimana kuncinya. Beberapa teman yang mengikuti April Produktif memiliki “rumah” di tempat tersebut yang mengharuskan saya harus kembali berkunjung ke rumah lama saya guna mengunjungi “tetangga-tetangga baru” saya di sana.

Begitu tiba di sana, saya terkejut dan mendapati dunia tersebut begitu ramai. Barangkali hal inilah yang menjadi alasan mengapa saya tidak pernah lagi datang ke ruang ini, sebab saya betah berada di sana. Tenang, saya tidak berhenti menulis, sebab di tempat tersebut, hampir setiap hari saya menulis.

Mungkin memang saya tidak pandai menghilang, toh untuk apa juga menghilang jika tak ada yang datang mencari. Kini saya kembali dan berharap bisa membuat suatu terobosan baru di sini.

 

Sidang Skripsi

Saya sangat bersyukur mengadakan kelas menulis April Produktif. Sebab, selama satu bulan tersebut, skripsi saya sama sekali tidak mengalami kemajuan. Bulan April tahun ini memang diciptakan sebagai bulan untuk menunggu bagi saya. Sementara menunggu, rasanya tidak sia-sia setiap hari diberi kesempatan untuk membaca tulisan teman-teman yang begitu luarbiasa dan mencerahkan.

Bulan Mei datang mengejutkan saya, membawa berita baik sekaligus deg-degan karena dosbing saya membiarkan saya menginjak pedal gas tanpa rem hingga diputuskanlah bahwa sidang skripsi saya jatuh pada tanggal 28 Mei 2020. Ada kalanya kita harus berhenti sejenak untuk menunggu, ada kalanya jalan untuk kita terbuka lebar dan kita harus bersiap diri untuk menginjak gas yang sudah disediakan.

Para penguji pun sepertinya tidak sabar untuk menyidang saya. Maka di hari lebaran, salah satu dosen penguji mengirim chat yang awalnya mengucapkan selamat lebaran dan maaf-maafan, namun berakhir dengan “saya tunggu ya file skripsi kamu..”

 

Komunitas Baru

Berkesempatan untuk memiliki teman-teman baru yang berada dalam satu frekuensi adalah salah satu hal yang benar-benar saya syukuri di tahun yang gelap ini. Dengan kecanggihan teknologi pada abad ini, kita tak perlu repot-repot keluar rumah untuk mendapatkan teman baru. Jika ingin, hanya dalam waktu 1x24 jam kita bisa mendapatkan teman sebanyak-banyakanya di jagat dunia maya. Orang-orang yang sefrekuensi di jagat dunia maya ini kelak memiliki kesempatan besar untuk bisa menjadi teman yang nyata di dunia sebenarnya jika kita pandai memelihara hubungan.

 

Wisuda Tanpa Perayaan

Saya pernah berpikiran bagaimana wisuda tanpa perayaan. Nyatanya tahun ini kejadian. Bukan suatu kejutan lagi bagi saya karena pernah membayangkan hal tersebut terjadi. Tanpa ada rasa iri dengki, tetapi rasanya muak melihat bagaimana segala macam perayaan diadakan dengan begitu berlebihan khususnya di media sosial karena sudah mengalami pemolesan yang luarbiasa niatnya.

Semakin bertambah usia, semakin merasa segala macam perayaan adalah sesuatu yang biasa-biasa saja karena memang alur kehidupan akan berjalan seperti itu, dari satu perayaan menemui perayaan lainnya. Banyak orang yang mengadakan perayaan secara berlebihan tanpa mau memaknai lebih dalam arti dari perayaan itu sendiri. Untuk kedepannya, saya berharap bisa menjadi orang yang biasa-biasa saja dalam menjalani perayaan, walau begitu ada rasa terima kasih yang besar dan apresiasi yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata untuk mereka yang berusaha membuat hari-hari perayaan saya menjadi begitu istimewa.

 

Meninggalkan Yogyakarta

Tidak ada yang baik-baik saja ketika harus pergi meninggalkan yang dicintai, tetapi toh untuk apa juga lama-lama bersedih, jika tahu bahwa diri sendiri akan mengusahakan yang terbaik untuk bisa kembali.

Terima kasih Yogyakarta untuk segala pelajarannya. Mungkin ada beberapa hal yang saya sesali di Yogyakarta, tetapi membawa pelajaran tersendiri bagaimana untuk memaafkan diri sendiri dan berusaha untuk memperbaiki apa-apa yang dirasa salah. Yogyakarta telah mempertemukan saya dengan banyak hal, salah satunya jalan bagi saya untuk menemukan diri sendiri. Terima kasih, Yogyakarta!

 

Rumah Baru

Rumah baru berarti kehidupan baru. Bagaimana tidak? Tetangga baru, satpam baru, masjid baru, pertokoan baru, tukang sate baru, tukang fotocopyan baru, tukang galon baru, tukang gas baru, semua serba baru, termasuk hal-hal yang menjadi fokus adaptasi terbaru seperti alergi dan ketidakcocokan dengan suhu udara.

Perjalanan yang terjadi di tahun ini ikut pula dirasakan oleh kulit si yang punya tubuh. Bukan hati dan pikiran saja yang berjuang mati-matian menyelesaikan satu-persatu urusan kehidupan, tetapi kulit juga ikut berjuang bagaimana beradaptasi dari perpisahan satu suhu udara ke suhu udara lainnya. Alhasil alergi tak dapat dihindarkan, juga serangan jerawat yang tanpa perhitungan, mati satu tumbuh seribu.

Ayolah, bayi sungguh kalah menggemaskan dengan jerawat mungil yang memerah di dagumu, yang kemudian tanpa babibu berubah menjadi raksasa yang mendominasi mood kamu sepanjang hari.  Ayolah, ini bukan tentang bersyukur, hanya lebih kepada kekagetan kecil yang sebenarnya bisa diatasi tetapi butuh waktu berbulan-bulan memang untuk menghilangkan bekasnya apalagi teruntuk seseorang seperti saya yang kudet terhadap dunia perskincarean. Yah, setidaknya ada bahan untuk dibicarakan ketika telponan dengan kawan, daripada menggosipi orang lain, lebih baik obrolan mendadak jadi bak ruang konsultasi skincare. Mantap, bukan?

Ayolah, akui saja bahwa jerawat memang salah satu faktor yang dapat membuat kita insecure, tetapi tenang saja, saya berkeyakinan bahwa kita tetap terlihat cantik di mata orang yang tepat.

Jika kita dicintai karena pikiran dan hati kita, maka seharusnya urusan perjerawatan ini bukanlah suatu masalah yang besar.

 

Menjadi Volunteer

Rasanya ingin marah besar pada corona, tetapi tidak jadi karena melihat di media sosial sudah banyak orang yang marah-marah pada corona dengan menggunakan serangkaian kata-kata kasar. Toh juga untuk apa marah, percuma, corona tidak akan pernah tahu juga bahwa kita marah padanya. Menyedihkan.

Tetap ada sedikit rasa jengkel juga, sih, sebab corona mengubah banyak hal yang telah direncanakan. Menjadi volunteer usai lulus kuliah adalah impian saya sejak lama. Namun, mengingat betapa berbahayanya virus ini, membuat saya berpikir ulang untuk bepergian ke luar daerah. Bukan saya sih sebenarnya, tetapi orang tua saya.

Kemudian timbullah suatu keinginan. Menjadi volunteer di rumah sendiri, why not? Untuk apa juga jauh-jauh menyebrangi lautan jika ternyata orang-orang di rumah sendiri membutuhkan bantuan saya. Rencana tetap berjalan, hanya saja lokasinya yang berpindah. Sebagai anak perempuan yang sudah berusia kepala dua, rasanya semakin sedikit waktu untuk berada di rumah sendiri. Menjadi volunteer di rumah sendiri dengan visi untuk memaksimalkan bakti sebelum pangeran berkuda putih atau bermotor Vario atau bermobil (kata Muya) menjemput kita, barangkali adalah suatu keputusan yang tepat di masa pandemi seperti ini.

 

Hidup Minimalis

Kembali ke rumah artinya kembali membereskan seluruh barang-barang pribadi. Sedikit banyak terbantu tercerahkan alias terperdaya oleh kata-kata di dalam buku-buku motivasi hidup minimalis. Akhirnya memutuskan untuk membuang sebagian barang kenangan. Katanya barang kenangan, tetapi dikenang kembali saja tidak pernah. Maka buanglah barang-barang yang bersifat seperti itu, sebab pada dasarnya manusia lebih senang mengenang sesuatu dalam hati dan pikiran mereka, bukan dengan melihat benda-benda yang mengandung kenangan tersebut.

Tahu tidak apa yang memiliki nilai rahasia yang begitu besar? Benar, kenangan! Karena ia berada di hati dan pikiran. Orang lain tidak pernah tahu apa yang saat ini sedang kita kenang. Seram, bukan? Sebab, walau barang kenangan telah dibuang, memori tersebut sudah menjadi salah satu folder di dalam pikiran kita, sudah menyatu dengan diri kita. Benar kata Almarhum Eyang Habibi, bahwa masa lalu saya adalah milik saya, masa lalu kamu adalah milik kamu, tetapi masa depan adalah milik kita. Bagaimana caranya agar kita mampu menghapus folder masa lalu?  Tentu dengan memperbanyak folder masa kini. Ketika kepenuhan, maka dengan terpaksa kita akan menghapus folder-folder lama yang sebenarnya sudah tidak berharga.

Mari saya beritahu prinsip belanja saat ada diskon. Sebelumnya, sini saya bisiki dulu, tidak masalah jika tidak membeli apa-apa pada harbolnas. Kamu tidak harus membeli sesuatu pada harbolnas.

Prinsip belanja saat ada diskon; hanya belanja kebutuhan sehari-hari, misal promo tissue beli 1 gratis 1; belanja suatu barang yang memang sedang dibutuhkan.

Adapun tips untuk menyingkirkan barang-barang; sumbang ke panti asuhan, sumbang ke saudara, jual dengan tagar preloved, atau langsung saja berikan pada yang membutuhkan, siapapun itu. Gampang, kan?

Milih-milihnya yang susah. Kadang, melepaskan memang seperti itu. Susah.

 

Menemui Ruang Konsultasi

Mental health menjadi hal yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini. Orang-orang mengatakan bahwa di tahun yang gelap ini, mental health adalah yang utama. Padahal jikapun tiada covid, mental health tetap menjadi yang utama, bukan?

Memiliki masalah pada kesehatan mental bukanlah hal yang memalukan, tetapi juga tidak perlu digembor-gemborkan. Jika kita tahu ada sesuatu yang salah dengan diri kita, bukankan kita perlu mencari tahu penyebabnya dan mencari solusinya?

Berharap ini tidak pernah terjadi, tetapi mana ada kehidupan yang lurus-lurus saja. Kalau kata Kak Choqi, “itu kehidupan atau penggaris?”

 

Anak Kedua

Usai kelahiran anak pertama (baca: skripsi) yang jatuh di bulan Mei tahun ini, rasanya tak sabar menanti kelahiran anak kedua (baca: kumpulan prosa). Hal-hal memang sebatas rencana dan cita-cita, hingga terwujud barulah menjadi suatu kenyataan, tidak ada salahnya mendoakan agar karya yang tengah dikandung lancar hingga hari kelahiran. Tidak mengincar perayaan, apalagi kepopularitasan. Hanya mencari cara bagaimana bertahan dalam kewarasan di tengah dunia yang kian mencekam.

 

Pernikahan

Sorry, tidak ingin membicarakan ini di sini.

Saat seorang perempuan tidak pernah menunjukkan perasaannya pada anda, barangkali itu merupakan suatu bentuk penjagaan dirinya terhadap hati manusia yang mudah jatuh dan berharap.

 

Untuk apa cerita kali ini? Jawabannya seperti kata Mas Gun, kita menulis untuk mendengarkan diri sendiri, bukan untuk mencari perhatian orang lain atau hal-hal yang tak jauh dari itu.

28/03/20

Pria Hebat


Di usia-usia sekarang ini, pembahasan tentang ketertarikan pada lawan jenis akan menjadi obrolan wajar yang serius meski seringkali ditanggapi dengan candaan.

Dari banyaknya pembicaraan, ah ternyata pria-pria hebat itu lebih tertarik pada wanita-wanita yang juga hebat; wanita yang cerdas; mampu mengambil keputusan dan risiko, anggun dalam berucap dan bersikap, wanita cerdas yang kebanyakan dari mereka adalah pembicara dan menginspirasi banyak orang, anggota penting di suatu kelompok, punya peran yang amat dibutuhkan oleh lingkungannya, dan jika berbicara tidak sembarangan. Pria hebat itu, katanya suka pada wanita yang tidak membicarakan hal yang tidak penting, wanita kuat yang pandai menyembunyikan kesedihannya, sebab wanita yang seperti itu akan berpikir bahwa di luar sana lebih banyak lagi orang yang kesedihannya lebih dalam, dukanya lebih sakit dari apa yang dia rasa, lagi pula wanita kuat selalu berpikir bahwa di luar sana banyak orang yang membutuhkan senyumnya, sekedar untuk menenangkan mereka mungkin. Tetapi, sebagian pria lainnya mengatakan bahwa mereka menyukai wanita yang minta dilindugi karena peran pria di sana begitu nyata dan pria selalu punya keinginan untuk melindungi, tetapi entah pria mana yang berbicara seperti itu, aku hanya pernah membacanya di beberapa tulisan. Pada kenyataannya pria hebat tentu tertarik pada wanita yang juga hebat. Makna hebat ini memang sangat luas, dan makna hebat pada paragraf ini hanyalah sedikit dari yang aku tangkap dan pahami dari banyaknya pembicaraan yang pernah hadir.

Ketika para pria hebat itu menunjuk perempuan yang mereka suka; benar saja bahwa perempuan yang ditunjuk itu hadir dengan segala kehebatan yang dia punya, pesonanya yang tak kunjung sirna, yang membuatnya terlihat wajar bila bersanding dengan pria tersebut.

05/01/20

'Oh..'


Suatu hari ketika disakiti, hati membatin begini, ‘Oh, ada toh orang yang kayak gini. Aku nggak mau menyakiti orang lain seperti orang ini menyakiti aku.’

Suatu hari lainnya, ‘Oh, ada toh orang yang kayak gini. Aku nggak mau punya bad attitude kayak orang ini karena sangat tidak menyenangkan dan mengganggu suasana.’

Seharusnya hati yang tersakiti dan perlakuan sikap buruk orang lain terhadap kita mampu membuat kita sadar untuk tidak menjadi sosok yang demikian, harusnya mampu membuat kita memiliki hati yang lebih baik lagi.



/Bandung, 4 Januari 2020/

Sampaikah Pada Titik Itu?



Bukan merasa insecure saat melihat berbagai achievement orang lain, tetapi kayak yang lebih bertanya-tanya, kira-kira umurku sampai tidak ya berada di momen itu?

Apakah umurku akan panjang sampai aku bisa melewati momen itu?

Atau aku tidak akan pernah merasakan momen itu?

Tetapi, yang kupahami tentang diriku, aku sudah berserah diri untuk segala waktu yang telah ditetapkan-Nya. Untuk detik ini, aku tetap berusaha mengejar apa yang diri cita-citakan, sampai suatu ketika Ia menghentikan langkahku dengan takdir-Nya.



/Bandung, 4 Januari 2020/