Jadi, bingung mau cerita dari
mana, setidaknya ketika baru hendak menuliskan ini. Walau nanti tulisan ini
seperti punya kerangka dan terarah, tetapi percayalah ketika hendak saya tulis,
saya perlu menggali-gali isi pikiran tentang apa yang terjadi belakangan ini.
Sekedar memberi tahu saja, ini
hanyalah cerita biasa dari seseorang seperti saya, tetapi barangkali di antara
kamu ada yang merindukan kehadiran sederetan kalimat baru di ruang ini, so I’m here. Kamu tidak perlu mencari
kemana-mana lagi karena saya telah kembali lagi ke sini. Gimana? Apa benar kamu
mencari saya?
Kelihatannya saya sudah tidak
mengisi ruang ini selama hampir setengah tahun, kelihatannya saya tidak pernah
lagi menulis, tetapi benarkah saya seperti itu? Barangkali ada yang pernah melihat
postingan terakhir sebelum tulisan ini ada, tetapi postingan itu sudah tiada karena
memang sengaja ditiadakan. Sorry,
sepertinya waktu itu saya sulit mengendalikan pikiran saya dan yang terpikir
adalah saya perlu posting puisi ala-ala tersebut tanpa memikirkan dampak
kedepannya, sehingga maaf jika saya kemudian lancang menghapusnya. Sebenarnya
sih, suka-suka saya, kan? Wong saya
yang menulis. Jadi, kalau kemudian saya kurang sreg, wajar bila kemudian saya menghapusnya. Tak ada alasan khusus
mengapa menghapusnya, jadi tak perlu lagi dipertanyakan.
Bertemu Keramaian
Rekor terbanyak pada tahun ini
dalam waktu setahun saya sudah empat kali pulang ke rumah. Selain karena hanya fokus
pada skripsi, tiket menuju pulang ke rumah juga murah setelah
sebelum-sebelumnya rumah saya berada di antah-berantah. Boro-boro mau pulang.
Sebelum corona tiba di Indonesia,
saya beberapa kali menghabiskan waktu di dalam keramaian; tempat wisata yang
sedang ngehitz, kondangan, acara seminar, meeting,
dan hal-hal lainnya dalam keramaian. Suatu kesadaran yang patut untuk disyukuri
karena telah memuaskan diri sendiri walau masih awal tahun. Hingga pada
akhirnya, berusaha patuh untuk di rumah saja padahal sebenarnya memang tidak
ada panggilan untuk kemana-mana, kecuali panggilan hati, sih, teriak-teriak
minta jalan-jalan, setidaknya cuma keliling kota gitu, kek.
April Produktif
Kelas menulis April Produktif
yang saya adakan pada tahun ini adalah ide iseng sembari menunggu antrian
skripsi, disembari juga berrharap corona cepat pergi ternyata membawa saya pada
banyak gerbang keberkahan dan pintu menuju letak harta karun yang tersembunyi
di jagat media sosial yang membisingkan. Ada satu tempat di media sosial yang
begitu tentram dan banyak tersembunyi harta karun di sana, juga orang-orang
yang menulis dengan teramat jujur di dalamnya. Banyak di antara kami menulis
secara anonim, namun saling merepost dan memberi like pada tulisan seolah-olah kami sudah mengenal lama.
Pada blog, saya membutuhkan waktu
bertahun-tahun untuk meningkatkan jumlah followers,
sementara di ruang baru tersebut, tak sampai setengah tahun, saya berhasil
mendapatkan 300 followers. Jika membicarakan
angka followers, saya akan dinilai
duniawi sekali pikirannya, tetapi bukan itu poin saya. Bahwasannya ruang
tersebut benar tentram, tetapi ada banyak sekali penulis di dalamnya dengan berbagai
macam pola pikiran juga pandangan mengenai kehidupan. Kebanyakan dari mereka
memiliki kesamaan, sama-sama mengajak manusia pada kebaikan dan selalu
mengingatkan pada kebesaran Tuhan.
Sebenarnya bagi saya, ruang
tersebut bukanlah ruang baru. Saya telah menghuninya sejak 2013, akan tetapi
saya mengunjunginya barangkali hanya sekali setahun dengan maksud agar saya
tidak pernah lupa menyimpan dimana kuncinya. Beberapa teman yang mengikuti
April Produktif memiliki “rumah” di tempat tersebut yang mengharuskan saya
harus kembali berkunjung ke rumah lama saya guna mengunjungi “tetangga-tetangga
baru” saya di sana.
Begitu tiba di sana, saya
terkejut dan mendapati dunia tersebut begitu ramai. Barangkali hal inilah yang
menjadi alasan mengapa saya tidak pernah lagi datang ke ruang ini, sebab saya
betah berada di sana. Tenang, saya tidak berhenti menulis, sebab di tempat
tersebut, hampir setiap hari saya menulis.
Mungkin memang saya tidak pandai
menghilang, toh untuk apa juga menghilang jika tak ada yang datang mencari.
Kini saya kembali dan berharap bisa membuat suatu terobosan baru di sini.
Sidang Skripsi
Saya sangat bersyukur mengadakan kelas
menulis April Produktif. Sebab, selama satu bulan tersebut, skripsi saya sama
sekali tidak mengalami kemajuan. Bulan April tahun ini memang diciptakan
sebagai bulan untuk menunggu bagi saya. Sementara menunggu, rasanya tidak
sia-sia setiap hari diberi kesempatan untuk membaca tulisan teman-teman yang
begitu luarbiasa dan mencerahkan.
Bulan Mei datang mengejutkan
saya, membawa berita baik sekaligus deg-degan karena dosbing saya membiarkan
saya menginjak pedal gas tanpa rem hingga diputuskanlah bahwa sidang skripsi
saya jatuh pada tanggal 28 Mei 2020. Ada kalanya kita harus berhenti sejenak
untuk menunggu, ada kalanya jalan untuk kita terbuka lebar dan kita harus
bersiap diri untuk menginjak gas yang sudah disediakan.
Para penguji pun sepertinya tidak
sabar untuk menyidang saya. Maka di hari lebaran, salah satu dosen penguji
mengirim chat yang awalnya mengucapkan selamat lebaran dan maaf-maafan, namun
berakhir dengan “saya tunggu ya file skripsi kamu..”
Komunitas Baru
Berkesempatan untuk memiliki
teman-teman baru yang berada dalam satu frekuensi adalah salah satu hal yang
benar-benar saya syukuri di tahun yang gelap ini. Dengan kecanggihan teknologi
pada abad ini, kita tak perlu repot-repot keluar rumah untuk mendapatkan teman
baru. Jika ingin, hanya dalam waktu 1x24 jam kita bisa mendapatkan teman
sebanyak-banyakanya di jagat dunia maya. Orang-orang yang sefrekuensi di jagat
dunia maya ini kelak memiliki kesempatan besar untuk bisa menjadi teman yang
nyata di dunia sebenarnya jika kita pandai memelihara hubungan.
Wisuda Tanpa Perayaan
Saya pernah berpikiran bagaimana
wisuda tanpa perayaan. Nyatanya tahun ini kejadian. Bukan suatu kejutan lagi
bagi saya karena pernah membayangkan hal tersebut terjadi. Tanpa ada rasa iri
dengki, tetapi rasanya muak melihat bagaimana segala macam perayaan diadakan
dengan begitu berlebihan khususnya di media sosial karena sudah mengalami
pemolesan yang luarbiasa niatnya.
Semakin bertambah usia, semakin
merasa segala macam perayaan adalah sesuatu yang biasa-biasa saja karena memang
alur kehidupan akan berjalan seperti itu, dari satu perayaan menemui perayaan
lainnya. Banyak orang yang mengadakan perayaan secara berlebihan tanpa mau
memaknai lebih dalam arti dari perayaan itu sendiri. Untuk kedepannya, saya
berharap bisa menjadi orang yang biasa-biasa saja dalam menjalani perayaan,
walau begitu ada rasa terima kasih yang besar dan apresiasi yang tak bisa
dijelaskan dengan kata-kata untuk mereka yang berusaha membuat hari-hari
perayaan saya menjadi begitu istimewa.
Meninggalkan Yogyakarta
Tidak ada yang baik-baik saja
ketika harus pergi meninggalkan yang dicintai, tetapi toh untuk apa juga lama-lama bersedih, jika tahu bahwa diri sendiri
akan mengusahakan yang terbaik untuk bisa kembali.
Terima kasih Yogyakarta untuk
segala pelajarannya. Mungkin ada beberapa hal yang saya sesali di Yogyakarta,
tetapi membawa pelajaran tersendiri bagaimana untuk memaafkan diri sendiri dan
berusaha untuk memperbaiki apa-apa yang dirasa salah. Yogyakarta telah
mempertemukan saya dengan banyak hal, salah satunya jalan bagi saya untuk
menemukan diri sendiri. Terima kasih, Yogyakarta!
Rumah Baru
Rumah baru berarti kehidupan
baru. Bagaimana tidak? Tetangga baru, satpam baru, masjid baru, pertokoan baru,
tukang sate baru, tukang fotocopyan baru, tukang galon baru, tukang gas baru,
semua serba baru, termasuk hal-hal yang menjadi fokus adaptasi terbaru seperti
alergi dan ketidakcocokan dengan suhu udara.
Perjalanan yang terjadi di tahun
ini ikut pula dirasakan oleh kulit si yang punya tubuh. Bukan hati dan pikiran
saja yang berjuang mati-matian menyelesaikan satu-persatu urusan kehidupan,
tetapi kulit juga ikut berjuang bagaimana beradaptasi dari perpisahan satu suhu
udara ke suhu udara lainnya. Alhasil alergi tak dapat dihindarkan, juga
serangan jerawat yang tanpa perhitungan, mati satu tumbuh seribu.
Ayolah, bayi sungguh kalah
menggemaskan dengan jerawat mungil yang memerah di dagumu, yang kemudian tanpa
babibu berubah menjadi raksasa yang mendominasi mood kamu sepanjang hari. Ayolah,
ini bukan tentang bersyukur, hanya lebih kepada kekagetan kecil yang sebenarnya
bisa diatasi tetapi butuh waktu berbulan-bulan memang untuk menghilangkan
bekasnya apalagi teruntuk seseorang seperti saya yang kudet terhadap dunia
perskincarean. Yah, setidaknya ada bahan untuk dibicarakan ketika telponan
dengan kawan, daripada menggosipi orang lain, lebih baik obrolan mendadak jadi
bak ruang konsultasi skincare. Mantap, bukan?
Ayolah, akui saja bahwa jerawat
memang salah satu faktor yang dapat membuat kita insecure, tetapi tenang saja, saya berkeyakinan bahwa kita tetap terlihat cantik di mata orang
yang tepat.
Jika kita dicintai karena pikiran
dan hati kita, maka seharusnya urusan perjerawatan ini bukanlah suatu masalah
yang besar.
Menjadi Volunteer
Rasanya ingin marah besar pada
corona, tetapi tidak jadi karena melihat di media sosial sudah banyak orang
yang marah-marah pada corona dengan menggunakan serangkaian kata-kata kasar. Toh juga untuk apa marah, percuma,
corona tidak akan pernah tahu juga bahwa kita marah padanya. Menyedihkan.
Tetap ada sedikit rasa jengkel
juga, sih, sebab corona mengubah banyak hal yang telah direncanakan. Menjadi volunteer usai lulus kuliah adalah
impian saya sejak lama. Namun, mengingat betapa berbahayanya virus ini, membuat
saya berpikir ulang untuk bepergian ke luar daerah. Bukan saya sih sebenarnya,
tetapi orang tua saya.
Kemudian timbullah suatu
keinginan. Menjadi volunteer di rumah
sendiri, why not? Untuk apa juga
jauh-jauh menyebrangi lautan jika ternyata orang-orang di rumah sendiri
membutuhkan bantuan saya. Rencana tetap berjalan, hanya saja lokasinya yang
berpindah. Sebagai anak perempuan yang sudah berusia kepala dua, rasanya
semakin sedikit waktu untuk berada di rumah sendiri. Menjadi volunteer di rumah sendiri dengan visi
untuk memaksimalkan bakti sebelum pangeran berkuda putih atau bermotor Vario
atau bermobil (kata Muya) menjemput kita, barangkali adalah suatu keputusan
yang tepat di masa pandemi seperti ini.
Hidup Minimalis
Kembali ke rumah artinya kembali
membereskan seluruh barang-barang pribadi. Sedikit banyak terbantu tercerahkan
alias terperdaya oleh kata-kata di dalam buku-buku motivasi hidup minimalis. Akhirnya
memutuskan untuk membuang sebagian barang kenangan. Katanya barang kenangan, tetapi
dikenang kembali saja tidak pernah. Maka buanglah barang-barang yang bersifat
seperti itu, sebab pada dasarnya manusia lebih senang mengenang sesuatu dalam
hati dan pikiran mereka, bukan dengan melihat benda-benda yang mengandung
kenangan tersebut.
Tahu tidak apa yang memiliki
nilai rahasia yang begitu besar? Benar, kenangan! Karena ia berada di hati dan
pikiran. Orang lain tidak pernah tahu apa yang saat ini sedang kita kenang. Seram,
bukan? Sebab, walau barang kenangan telah dibuang, memori tersebut sudah
menjadi salah satu folder di dalam pikiran kita, sudah menyatu dengan diri
kita. Benar kata Almarhum Eyang Habibi, bahwa masa lalu saya adalah milik saya, masa lalu kamu adalah milik kamu,
tetapi masa depan adalah milik kita. Bagaimana caranya agar kita mampu
menghapus folder masa lalu? Tentu dengan
memperbanyak folder masa kini. Ketika kepenuhan, maka dengan terpaksa kita akan
menghapus folder-folder lama yang sebenarnya sudah tidak berharga.
Mari saya beritahu prinsip
belanja saat ada diskon. Sebelumnya, sini saya bisiki dulu, tidak masalah jika tidak membeli apa-apa
pada harbolnas. Kamu tidak harus membeli sesuatu pada harbolnas.
Prinsip belanja saat ada diskon;
hanya belanja kebutuhan sehari-hari, misal promo tissue beli 1 gratis 1;
belanja suatu barang yang memang sedang dibutuhkan.
Adapun tips untuk menyingkirkan
barang-barang; sumbang ke panti asuhan, sumbang ke saudara, jual dengan tagar preloved,
atau langsung saja berikan pada yang membutuhkan, siapapun itu. Gampang, kan?
Milih-milihnya yang susah. Kadang,
melepaskan memang seperti itu. Susah.
Menemui Ruang Konsultasi
Mental health menjadi hal yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini. Orang-orang
mengatakan bahwa di tahun yang gelap ini, mental
health adalah yang utama. Padahal jikapun tiada covid, mental health tetap menjadi yang utama, bukan?
Memiliki masalah pada kesehatan
mental bukanlah hal yang memalukan, tetapi juga tidak perlu digembor-gemborkan.
Jika kita tahu ada sesuatu yang salah dengan diri kita, bukankan kita perlu
mencari tahu penyebabnya dan mencari solusinya?
Berharap ini tidak pernah
terjadi, tetapi mana ada kehidupan yang lurus-lurus saja. Kalau kata Kak Choqi,
“itu kehidupan atau penggaris?”
Anak Kedua
Usai kelahiran anak pertama
(baca: skripsi) yang jatuh di bulan Mei tahun ini, rasanya tak sabar menanti
kelahiran anak kedua (baca: kumpulan prosa). Hal-hal memang sebatas rencana dan
cita-cita, hingga terwujud barulah menjadi suatu kenyataan, tidak ada salahnya
mendoakan agar karya yang tengah dikandung lancar hingga hari kelahiran. Tidak mengincar
perayaan, apalagi kepopularitasan. Hanya mencari cara bagaimana bertahan dalam
kewarasan di tengah dunia yang kian mencekam.
Pernikahan
Sorry, tidak ingin membicarakan ini di sini.
Saat seorang perempuan tidak pernah menunjukkan perasaannya pada anda,
barangkali itu merupakan suatu bentuk penjagaan dirinya terhadap hati manusia
yang mudah jatuh dan berharap.
Untuk apa cerita kali ini? Jawabannya
seperti kata Mas Gun, kita menulis untuk mendengarkan diri sendiri, bukan untuk
mencari perhatian orang lain atau hal-hal yang tak jauh dari itu.