Pada jam yang
sama, saat saya sedang membaca buku Martin Lings tentang sejarah panjang kehidupan
Nabi Muhammad, saya tidak sengaja melihat story seorang teman, isinya persis
dengan bagian yang tengah saya baca. Hampir-hampir tiap kisah membuat saya
terpukau, bukan hanya saja soal orang-orang yang berani berperang karena bercita-cita
mati syahid tetapi juga dibuat terkagum-kagum pada sosok Muhammad, sosok yang
tak pernah kita jumpa, tetapi selalu kita rindukan, kita sebut-sebut namanya,
dan berharap pertemuan dengannya InsyaaAllah kelak di Surga. Aamiin
Di dalam buku
itu, dikisahkan saat Nabi mengerahkan tiga ribu pasukan bersenjata dan
mengangkat Zayd sebagai komandan mereka dengan instruksi: jika Zayd terbunuh,
maka posisiya diganti Ja’far. ‘Abd Allah ibn Rawahah ditunjuk sebagai orang
ketiga.
Abd’ Allah
membonceng seorang anak yatim yang diasuhnya. Di perjalanan, anak itu mendengarnya
melantunkan syair yang ia gubah sendiri yang mengungkapkan keinginan untuk
tinggal di Syria setelah pasukan kembali. “Ketika mendengar syair tersebut aku
menangis,” kata anak tersebut. Abd’ Allah lalu berkata, “Apa yang
menyulitkanmu, anak yang malang, jika Tuhan menakdirkan aku mati syahid, maka
aku meninggalkan dunia ini dengan segala kefanaan, penderitaan, dan
kepedihannya, dan engkau pulang dengan selamat.” Sesudah itu, selama di
perhentian di waktu malam, ia shalat dua rakaat, dilanjutkan doa permohonan
yang panjang. “Kemudian, ia memanggilku dan berkata ‘aku di sini, melayanimu. Jika
Tuhan berkenan, aku mendambakan kesyahidan.’ begitu katanya.”
Pada saat perang
terjadi, ruang antara Mut’ah dan Madinah terpantau oleh Nabi. Beliau melihat
Zayd dengan bendera putihnya memimpin pasukannya bertempur. Beliau menyaksikan
Zayd terluka berkali-kali hingga akhirnya terkapar di tanah. Ja’far mengambil bendera dan bertempur hingga
menemui ajalnya pula akibat luka yang mencinderainya. Lantas ‘Abd Allah
mengambil bendera dan bertempur dengan penuh semangat, melawan musuh yang
dibalas dengan serangan hebat. Ia pun tewas dan pasukannya mundur dengan
kocar-kacir. Sahabat lainnya, Tsabit ibn Arqam, mengambil bendera dan
menyatukan pasukan kembali. Namun, ia kemudian memberikan bendera itu pada
Khalid yang semula menolak kehormatan tersebut karena Tsabit lebih berhak.
“Ambillah.” kata Tsabit. “Aku memang mengambilnya tetapi untuk diberikan
kepadamu.” Maka, Khalid mengambil alih komando dan menyatukan kembalii barisan,
Kekalahan di
Mut’ah memacu orang Arab Utara untuk memperkuat perlawanan mereka terhadap
negara Islam baru itu. Nabi mengutus ‘Amr mengepalai tiga ratus orang. Musim
dingin datang lebih awal tahun itu. Biasanya, begitu sampai di persinggahan
terakhir mereka mengumpulkan kayu bakar. Namun, ‘Amr melarang menyalakan api,
sehingga mereka mengeluh. Keluhan mereka berhenti saat ‘Amr berkata, “Kalian
diperintahkan untuk mendengarkan aku dan menaaatiku, maka lakukanlah!”
Sebenarnya itu
baru sebagian kecil ketegasan yang sangat berpengaruh terhadap orang-orang di
sekitar mereka yang diceritakan dalam buku itu. Masih banyak di bagian bab-bab
lainnya yang luarbiasa besar pengaruhnya, manakala seorang pemimpin sebuah kaum
dengan begitu mudah mengislamkan kaumnya karena rasa percaya dan cinta yag
besar suatu kaum terhadap pemimpin-pemimpin mereka.
Setelah
diketahui bahwa jumlah pasukan musuh jauh lebih besar dari yang diperkirakan,
dan sedikit harapan akan mendapat bantuan dari pihak setempat, ‘Amr mengutus
seseorang kepada Nabi untuk meminta penambahan kekuatan. ‘Abu Ubaydah segera
dikirim bersama dua ratus orang. Sebagai salah seorang sahabat terdekat Nabi
dan orang yang selalu ikut dalam pertempuran, ia berharap menjadi pemimpin. Akan
tetapi, ‘Amr bertahan karena pendatang baru itu baginya hanyalah pasukan bantuan
dan dirinyalah yang memegang posisi komandan. Nabi telah menyuruh Abu Ubaydah
agar menjalin kerjasama yang baik dan menghindari perpecahan di antara dua
kekuatan itu. Maka ia berkata pada ‘Amr, “Jika engkau tidak menaatiku, demi
Tuhan, aku akan menaatimu.” Ketika Nabi mendengar hal ini, beliau memuji Abu
Ubaydah.
Sebuah kalimat
yang menyejukkan hati juga terselip dalam bab peperangan tersebut, Alquran,
firman Allah, adalah kitab mulia dan kitab surga. Membaca ayat-ayat Alquran
ditambah dengan sunah nabi, telah mengilhami kaum mukmin dengan pasti bahwa
mereka akan mudah meraih kepuasan abadi dari setiap keinginan sesuai dengan
kemampuan masing-masing. Hasil kebahagiaan adalah suatu ukuran keimanan. Nabi
bersabda, “Segala sesuatu, apa pun keadaannya, adalah baik bagi orang beriman.”