“Apa
kabar?” tanya Kirana padaku. Siang itu kami memang berjanji untuk bertemu di
salah satu rumah makan di daerah Jakarta Selatan. Setelah bertahun-tahun tak
bertemu, akhirnya siang itu waktu mempertemukan kami. Kirana masih sangat
cantik seperti dulu, namun ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Hijabnya!
Aku
menatapnya dengan rasa sedikit kasihan. Sungguh, sesuatu sudah menerjang
Kirana, sahabatku. Kami bersahabat sejak sekolah dasar, kami selalu mengisi
buku diary bersama. Kirana selalu menceritakan apapun padaku, tentang mamanya
yang selalu ke salon, papanya yang selalu pulang pergi dari luar negeri, dia
yang mengikuti les lukis, adiknya yang baru masuk sekolah, dan masih banyak hal
lainnya yang ia ceritakan tanpa ragu kepadaku.
Ketika
kami melanjutkan sekolah menengah atas, kami berpisah. Bukan hanya sekolah,
tetapi kota. Kami sempat putus kontak, namun sosial media mempertemukan kami
sehingga aku bisa bertemu dengannya sekarang ini.
Kuperhatikan
wajahnya. Matanya sungguh indah. ‘Ah, dia sungguh cantik. Tapi sayang, mengapa
mesti ia pamerkan rambut panjangnya yang indah menjuntai itu?’ ujarku dalam
hati.
“Hmm,
ada apa Farah?” tanyanya merasa aneh dengan tatapanku.
“Enggak
apa-apa, elo berubah, yah.”
“Berubah
gimana, sih? Perasaan biasa aja, deh.”
“Hijab.
Hijab elo kemana, Kir?” tanyaku.
Kirana
tersenyum masam sambil setengah menunduk. Ia tak menjawab. Diaduknya sedotan
dalam gelas juicenya.
“Kir,
gue tahu kok. Gue tahu apa yang udah terjadi sama elo selama beberapa tahun
ini. Meskipun elo enggak cerita, gue tahu.”
“Apaan,
sih? Mulai sok tahu lagi, deh.”
“Gue
tahu apa yang terjadi dalam keluarga elo! Gue tahu!”
“Farah,
please deh enggak usah sok tahu!!”
“Emangnya
lo pikir gue enggak ngeliat tweet-tweetlu apa?”
“Emangnya
kenapa dengan tweet gue?”
“Foto
lo sama nyokap lo pakai kebaya batik di pernikahannya tiga bulan yang lalu.”
Kirana
kembali terdiam, dia tak juga menunjukkan responnya.
“Gue
enggak maksa elo buat cerita ke gue. Tapi, gue enggak pengen sahabat gue
berubah!” mimik wajah Kirana berubah, matanya seperti tak bisa membendung lagi
kesedihannya.
“Lo
pernah janji sama gue, katanya elo bakal ngajak nyokap lo untuk pakai kerudung!
Lo pernah ngomong gitu ke gue! Tapi, kenapa sekarang elo malah buka kerudung
ngikutin nyokap lo?! Kenapa??” aku tak bisa menahan emosiku.
“Lo
enggak ngerti, Farah!”
“Gue
ngerti, gue sahabat lu!”
Sungguh,
saat itu Kirana benar-benar menangis.
“Jadi,
lo ngerti gue? Lo ngerti apaan tentang gue? Lo cuma tahu orangtua gue cerai
aja, lo udah emosian kayak gini!”
“Kirana,
liat ke gue, Kir!!”
Kirana
masih menunduk, membiarkan sebagian rambutnya menutupi wajahnya. Tak lama, ia
menatap tajam ke arahku.
“Gue..sebenarnya
enggak pengen kayak gini. Ah, gue benar-benar kehilangan sahabat kayak elo.
Sahabat gue di sini, ya sama kayak gue. Enggak pakai hijab, suka hura-hura,
nonton ke bioskop, setiap hari hang out, hidup gue hancur banget, kan? Enggak
manfaat banget, kan??”
Aku
hanya diam mendengarnya bercerita tentang kisahnya belakangan ini. Lalu ia
melanjutkan,
“Lo
emang paling kepo sama hidup gue sampai segala ngestalk gue, baca-baca tweet
gue.” Katanya dnegan tersenyum. “Lo benar, bokap nyokap gue yang selama ini gue
banggain di depan elo semua, mereka sakarang udah pisah. Nyokap gue udah nikah
lagi, hidup gue dan adik-adik gue enggak ke urus dengan baik. Mama gue sibuk
sama suami barunya. Papa gue enggak tahu sekarang tinggal dimana, gue sama
adik-adik gue cuma diurus sama pembantu. Sedih banget ya hidup gue.”
Dia
menghapus perlahan air mata yang menggenangi pipinya.
“Terlebih
lagi, gue enggak biasa hidup tanpa duit. Gue masih sering foya-foya, padahal
bokap udah enggak ngirim duit lagi ke gue. Dia udah lupa sama gue. Gue cuma
bisa mengandalkan mama.”
“Lo
harus lebih mengerti lagi dengan hidup lo yang sekarang ini. Lo enggak boleh
sedih, elo kan punya banyak sahabat. Punya cowok juga mungkin?”
“Cowok?
Ah, enggak guna. Dia morotin gue mulu. Dia enggak ngerti sama hidup gue yang
sekarang.”
“Jadi,
mau pegatin dia?”
“Udah
gue pegatin.” Ujarnya sambil tersenyum. Diam-diam aku merasa lega. “Thanks ya,
Farah.”
“Sama-sama,
Kirana. Mulai sekarang elo bisa lagi cerita apapun ke gue. Gue bakal tetap satu
kota sama elo.”
“Iya,
ajarin gue berhijab lagi, ya. Support gue, ya. Maaf, gue berubah kayak gini.
Gue juga enggak ngerti, yang jelas mama enggak marah waktu gue lepas hijab. Gue
baru sadar sekarang, kenapa mama enggak marah, karena dia enggak tahu betapa
istimewanya hijab itu bagi perempuan.”
“Hijab
itu penting, untuk melindungi diri. Sebab, seseorang yang memakai hijab pasti
akan tersadar sendiri apabila ada sikapnya yang jelek. Hijab seharusnya
mencerminkan hati pemiliknya juga.”
Kirana
memandangku dengan tatapan berbinar. Aku harap ia akan berubah menjadi Kirana
yang dulu. Sebuah masalah yang menimpa kita memang terkadang membuat perubahan
dalam diri kita. Namun, ketika perubahan itu ke arah yang negatif segeralah
beristigfar. Masalah ada agar kau bisa menjadi pribadi yang tegar. Hidup tak
selamanya seindah jalan pikiranmu.