Restoran-restoran
yang berdiri megah di sepanjang jalan dengan berbagai macam menu yang
disediakan dan dengan berbagai macam harga pula, mulai dari harga
rendahan hingga menjulang, sukses membuat perutku bunyi.
Aku
mulai memasuki gang demi gang yang sepanjang jalannya adalah bangunan
sekolah yang sudah tua dan membuatku membuatku bergidik dengan reaksi
pepohonan rindangnya yang dimainkan oleh sang angin. Kueratkan tasku
dan kurapatkan jaketku. Suara sepatuku memenuhi jalanan yang hanya
diterangi beberapa lampu yang berjarak begitu jauh antara satu dengan
yang lainnya, itupun cahayanya cukup remang-remang.
Mungkin
beberapa orang menilai aku beraura kelaki-lakian alias tomboi, tetapi
itu tak menghadangku untuk memiliki rasa takut apalagi dalam kondisi
seperti sekarang ini. Aku mulai membiasakan diriku pulang semalam ini
karena tuntutan tugas yang tak bisa aku selesaikan bila hanya
dikerjakan di dalam kost saja.
Rasa
lega meliputiku saat pintu gerbang rumah megah nan tua sudah di depan
mata. Tentu saja bukan rumahku, aku hanya menyewa satu kamar kost di
salah satu sisi rumah ini, rumah Ibu Nurmala. Beliau memang hidup
sendiri, untung saja Pak Parminto dan istrinya, Bu Laksmi, bersedia
tinggal di sini menemani beliau. Entahlah, mereka bersedia atau
karena mereka tidak punya pilihan tempat tinggal lainnya. Selain itu,
Pak Parminto dan Bu Laksmi memiliki empat orang anak, maka
bertambahlah ramai rumah besar itu.
Aku
menggertakan gigiku, suara gerbang yang berisik memecah malam. Mau
bagaimana lagi, dari awal aku datang ke kost ini, pintu gerbangnya
berisik apabila dibuka atau ditutup. Pelan-pelan aku membuka pintu
samping, pintu yang menghubungkan halaman depan dengan ruang tamu
untuk penghuni kost. Aku menghembuskan nafas lega saat mendapati Arum
tengah nangkring di kursi sambil memainkan ponselnya. Anak itu tak
bergeming dengan kedatanganku. Dasar Arum, mendadak jadi autis saat
ponsel berada di tangannya. Sementara itu, terlihat mie instant yang
berada dalam bentuk cup mengepulkan asapnya bertanda Arum baru saja
menyeduhnya.
Aku
menerjunkan tubuhku di kursi tepat di samping Arum. Kuraih mie
instant itu dan siap kutelan, mendadak keautisan Arum hilang.
"Enak
aja! Bikin sendiri, dong!" aku menatapnya kesal. Aku memang
hanya bercanda, sih, tetapi perutku sejak tadi lapar, itu seriusan.
Arum
dengan lahapnya menghabiskan mie instant itu. Aku hanya diam sambil
melirik-liriknya. Merasa dilirik, Arum melirik balik. Setelah itu, ia
bangkit meninggalkanku. Aku bertambah kesal, dasar pelit!
Tak
sampai lima menit, Arum kembali lagi dengan sendok dan garpu di
tangannya.
"Ayo
kita makan berdua." kata Arum, mataku tiba-tiba saja berbinar.
Cukup terharu, sih. Aku tahu, Arum memang anak yang baik, kok.
"Gue
tahu, seorang Arum nggak mungkin membiarkan gue kelaperan."
ujarku.
"Lebay."
gerutu Arum. Kuraih sendok dan garpu itu dari tangan Arum.
"Gimana,
Mbak? Udah kerasan kan tinggal di sini?" tanya Arum. Aku hanys
bisa mengangguk-anggukkan kepala, sementara mulutku dipenuhi mie.
Arum ini sudah seperti ibu kost kedua, selain karena dia penghuni
paling lama di kost ini alias penghuni senior, ia juga cukup bawel
tentang kebersihan di sekitar kost.
Tiba-tiba
suasana yang tadinya hening, pecah oleh suara nyanyian dari ruangan
lain di rumah ini. Suara laki-laki. Aku berhenti mengunyah. Kulirik
Arum yang kelihatan biasa-biasa saja. Aku menyenggol lengannya. Arum
menatapku.
"Kenapa?"
tanyanya dengan raut wajah biasa saja.
"Yang
nyanyi tadi siapa, sih?" ujarku setengah bergidik.
"Emang
kenapa? Takut, ya? HEHEHE." wajah Arum mendadak menjadi
menyebalkan, dia pikir aku ketakutan, ditambah pula volume ketawanya
diperbesar.
"Enggak,
penasaran aja." kilahku.
"Pak
Parmintolah, siapa lagi." jawab Arum dengan yakin.