08/03/19

"Nggak Nyambung"


Ndy: “Gua pernah deket sama seorang cewek.”
Me: “Oh, ya? Terus terus?”
Ndy: “Teman SD sih, sekarang dia cantik banget, kuliah di IKJ, dia sekarang jadi model, anaknya baik banget, ramah, sering ngasih-ngasih, datang ke rumah bawain puding buatan dia sendiri, bawain kado, apalah segala macam. Tapi gua nggak bisa sama dia.”
Me: “Why?”
Ndy: “Diajak ngobrol nggak nyambung, diajak disuksi dia gak paham sama apa yang gua tanyain. Kebanyakan jawab itu apa? Itu apa? Jadi males diskusinya. Yang ada malah kudu jelasin ke dia itu apa.”
Me: “Misalnya?”
Ndy: “Iya, dia suka takjub gitu gara-gara gua tahu banyak hal, ya udah gua jawab kalau yang kayak gitu-gitu baca aja di line today.”
Me: “Terus?”
Ndy: “Dia jawab ha? line today? Itu apaan? Wah, nih anak gua kira bercanda. Jadi, gua jawab kamu jangan bercanda ah, masa nggak tahu, dan ternyata emang beneran nggak tau.”
Me: *Ngakak dulu abis itu jawab obrolan dengan sok bijak* “Ih, ya mungkin tiap masing-masing orang di dunia ini pasti juga ada lah satu-dua hal yang dia nggak tau, tapi ya emang parah sih kalau line today aja masa nggak tahu.” *Ngakak bareng*
Ndy: “Iya dan parahnya yang ngerasa ngobrol sama dia nggak nyambung bukan cuma gua, mama juga.”
Me: “Emang kata mama apa?”
Ndy: “Iya, mama nanya apa jawabnya lemot lemot gitu, mama nanya itu dia jawabnya ini, mama cuma nanya apa gitu dia jawabnya kemana-mana.”
Me: “Jadi? Yang sekarang gimana?”
Ndy: “Iya, mungkin wajahnya sederhana. Tapi kalau diajak ngobrol atau diskusi, wanita ini cerdas banget dan dewasa tanpa ada keangkuhan padahal usianya lebih muda dari kita. Apa lagi waktu ngobrol sama mamanya, mamanya nggak nuntut materi, nggak seperti orangtua lainnya yang pernah gua temui sempat aja gitu bahas materi.”

Jadi, emang bener sih, ketika orang nanya kita “apa menariknya dari pasangan lo?”

Ya, karena mereka tidak melihat apa yang yang kita lihat dalam diri pasangan kita itu (bentar-bentar, ini yang nulis kayak punya pasangan aja!) Dan saya lihat bagaimana cara Ndy melihat wanitanya itu sudah terlihat ketika dia membicarakan wanitanya, dia selalu menggunakan kalimat “wanita ini” entah perasaan saya saja atau gimana, tetapi terlihat betapa dia kagum sama wanitanya ini, dia tidak menggunakan kalimat “cewek ini”, tidak seperti dia yang biasanya.

“Masa cuma cantik fisik doang tapi kalau diajak ngobrol nggak nyambung. Nggak mungkin kan cuma kita jadikan pajangan, cuma diliatin, gak diajak ngobrol. Jadi ya ngapain kalau gitu.”
 -  Ndy, 21 Thn.


Bukan Perihal Kapan Kita Mati, Tetapi Bagaimana Kita Mati

Satu lagi, sebuah kisah hijrah, yang menjawab rasa penasaran saya, yang sempat saya tuangkan pada tulisan yang lalu.

Bagaimana bisa begitu cepat ia dibawa menuju kebaikan? Dari berbagai kisah yang datang inilah membuat saya sadar bahwa mungkin saja proses setiap orang berbeda-beda, begitu pula takdir dan hidup yang berubah yang mungkin dikarenakan oleh kekuataan doa atau berbagai aspek lingkungan dan latar belakang kehidupannya.

Sebentar, tangan saya cukup bergetar untuk mengetik kisah ini. Cukup panjang dan dalam.

Sedih rasanya bila mengingat penilaian orang tentang diriku yang dulu. Ya, yang orang-orang tahu tentangku dahulu adalah seorang model, tukang endorse, hijaber, suka gaya gonta-ganti warna soflens, pacaran dan katanya aku anak gaul.

Orang-orang mungkin terkejut dengan proses berubahku yang teramat cepat ini.

Orang-orang tahu bagaimana premannya aku di kampus. Aku sadar sikapku yang seperti itu, sangat tidak pantas untuk dijadikan contoh karena amat miris buat diriku sendiri. Waktu itu, selalu celanaan ketat, selalu dandan tiap ngampus, baju juga ketat, jilbab super pendek, aku seperti berpakaian tetapi telanjang. Mirisnya lagi, bila mengingat bahwa aku adalah lulusan pondok pesantren dan kini di perkuliahan pun aku mengambil jurusan bahasa dan sastra Arab. Dimana adabku? Tidak ada sama sekali.

Aku sangat sadar diri, meski begitu parahnya lagi aku juga berpacaran. Semua orang juga mungkin tahu tentang hubunganku ini karena aku mempublikasikannya di sosmed-ku. Orang-orang tahu, aku sering diantar-jemput ke kampus oleh pacarku itu, kami beda universitas. Iya seperti itu, seperti tidak ada niat untuk kuliah karena aku lebih fokus pada pacaran, jalan-jalan, ngurus endorse-an, foto-foto, kebetulan yang menjadi fotograferku itu adalah pacarku sendiri, jadi kami sering pergi berdua. Yang kulakukan itu sangat tidak berfaedah. Ya, seperti itu-itu saja rutinitasku.

Di samping itu, keluargaku juga bermasalah, ayahku nikah siri lagi dengan perempuan lain dan berubah begitu saja. Sedangkan, aku masih punya dua adik yang masih kecil-kecil dan perempuan semua. Sementara adikku yang laki-laki sudah besar. Posisiku sebagai anak perempuan yang paling besar membuatku sadar akan tugasku menjaga adik-adikku itu. Lalu, pikiranku menjadi kemana-mana, tak karuan, seperti stress sendiri. Kedua orangtuaku hubungannya seperti itu, ayahku tidak pernah tidur di rumah, sementara mamaku juga tidur di rumah orangtuanya alias di rumahnya simbahku. Meski rumah simbah juga di kota yang sama dengan rumahku, tetapi posisi rumah kami tetap terpisah-pisah, hal itu yang membuat adik-adikku jadi terombang-ambing dibawa ke sana ke mari, sampai-sampai aku pusing sebab akulah yang menjaga dan mengasuh adik-adikku sambil kuliah karena aku tidak ikhlas kalau adikku dibawa ke rumah ayahku dan istri barunya yang janda itu, gimana aku tidak pusing?

Posesif


Boss: “Kamu sama siapa?”
Me: “Sendirian.”
Boss: ”Tadi ada yang ngantar, ya?”
Me: “Nggak, tadi aku naik grab.”
Boss: “Oh, jadi yang suka sama kamu itu sekarang ngegrab?”
Me: *Menghela nafas*