Kita bertemu lagi. Kamu masih
saja seperti dulu. Selalu memasang tampang cuek. Tidak banyak orang yang tahu,
di balik tampang itu ada rasa peduli yang luar biasa.
Kamu masih seperti dulu,
namun kamu yang kini lebih gagah dari sebelumnya. Aku tahu, dan semua anak-anak
tahu, bahwa kamu seorang primadona. Siapa cewek yang tidak tertarik denganmu ?
Apa kamu tahu ? Dulu,
setiap cewek yang menyukaimu pasti datang padaku, memberitahu perasaannya
terhadapmu. Mereka berpikir aku dan kamu sangat dekat. Sehingga, mereka mengira
mereka juga bisa lebih dekat denganmu. Kamu tahu tidak ? Mereka itu jumlahnya
banyak, lebih dari satu.
Setiap ada yang datang
padaku, aku hanya tertawa kecil saat ia bilang menyukaimu. Aku selalu heran,
mengapa begitu banyak wanita yang menyukaimu ? Aku sendiri malas
berakrab-akraban denganmu.
Tapi kini, aku menemukan
jawabannya. Kau pantas untuk dikagumi. Masih ingatkah kamu tentang peristiwa
sekitar 5 tahun yang lalu ? Peristiwa yang membuat kita pulang bersama, dan
kali ini hanya kita berdua..
“Gimana, nih ? Pak Sigit
nggak datang-datang buat jemput kita. “ katamu padaku. Aku mulai merasakan
keakraban kita. Setiap hari kita bertemu, berpandangan, namun jarang saling
menegur, begitu heningkah dunia ?
“Hmm gimana dong ?” Aku
bingung. Bukan salting.
“Kita pulang aja yuk naik
angkot.”
“Hah ?” Aku kaget. Ya,
aku memang benar-benar kaget karena selama ini aku tidak pernah naik angkot.
“Emangnya kenapa ?” Kamu
bertanya heran.
“Aku takut. Aku nggak
pernah naik angkot sebelumnya.” Jawabku dengan sangat jujur.
“Tenang aja kali. Kan ada
aku, slow ajaa..” Entah apa maksudnya kamu bilang begitu, mungkin di balik itu
ada kalimat “kamu nggak usah cemas, ada aku kok yang bakal jagain kamu.”
“Oh, gitu. Emangnya kamu
masih punya uang untuk ongkosnya ?”
“Hmm, nggak sih.” Katamu
dengan cengiran.
“Terus gimana dong?” Aku
pasrah.
“Ke dalam yuk..” Ajakmu.
“Ngapain ?”
“Pinjam duitnya guru.”
Katamu dengan nada santai. Sangat santai. Aku mengikuti langkahmu. Saat itu
sekolah mulai sepi. Guru-guru pun pasti sudah banyak yang pulang.
“Kita mau cari dimana ?
sekolah udah sepi, tahu.”
“Udah, pokoknya kita cari
aja.” Katamu dengan optimis.
Kita bekerja keras
mencari guru, guru yang berbaik hati meminjamkan sedikit uangnya.
“Eh, itu ada bu Nur. Ke bu
Nur aja yuk nyoba pinjam.” Aku menuruti perintahmu.
“Permisi, bu. Hmm, kita
boleh pinjam uangnya nggak ? Buat pulang naik angkot.”
“Boleh kok. Berapa ?”
Setelah berhasil meminjam
uang kita melangkah keluar meninggalkan halaman sekolah. Mungkin seragam merah
putih kita sudah sama-sama bau keringat karena dipakai seharian.
Kamu berdiri di
sebelahku, kamu yang memimpin jalan kita, kamu juga yang menjagaku saat
menyebrang.
Kamu lebih dulu masuk ke
dalam angkot, aku di belakang menjadi ekormu. Jujur, aku takut naik angkot. Angkot
terlalu asing buatku. Tetapi, karena ada kamu, aku merasa begitu nyaman.
Kita duduk bersebelahan. Angkot
kita melaju ke arah pusat kota Bogor. Kita melewati jalan yang tak biasa kita
lewati saat berangkat ke sekolah.
“Kiri..” Katamu
memberhentikan angkot. Kita turun tepat di sebuah bangunan besar. Tidak salah
lagi ini adalah bangunan mall yang dulu begitu ramai, namun kini terasa sunyi
sejak dilakukan penutupan.
Kamu kembali mempimpin
jalan kita. Aku hanya seperti prajurit yang tunduk padamu. Aku tak banyak
berkomentar karena aku tidak tahu apa-apa. Aku diam mamperhatikanmu. Matamu mencari
angkot yang menjadi sasaran kita selanjutnya.
Tak lama, kamu menoleh
padaku memberikan kode. Kita naik angkot lagi. Di sini ada hal yang tidak aku
sukai. Angkot yang kamu pilih, mengetem dalam waktu yang lama untuk mecari
penumpang.
“Yah, kamu sih milih
angkotnya yang ini. Lama kan..” keluhku padamu.
“Nggak boleh gitu, Nina. Angkot
ini udah duluan di depan kita. Jadi, kita nggak bisa pilih angkot yang di
depannya lagi.” Ujarmu dengan sok tahu. Kamu tak ingin disalahkan.
“Oh, gitu yah.” Aku cemberut.
Mungkin sekitar setengah
jam, angkot kita baru meluncur. Melewati daerah Cilebut, sepanjang perjalanan
rel kereta api yang panjang menjadi pemandangan kita. Kamu menghadapkan wajah
keluar jendela, membiarkan angin menyentuh wajahmu.
Stasiun Cilebut sudah kita
lewati, dan sekarang kita turun tepat di belakang stasiun kedua, stasiun
Bojonggede.
“Aku capek. Sekarang gimana
?” Tanyaku di pinggir jalan.
“Mau naik ojek ?”
“Kita nggak punya uang
lagi. Aku cuma punya duaribu.”
“Hmm, ya udah, kita jalan
kaki aja, yuk.” Aku mengangguk. Langkah kita bersamaan menuju ke atas jembatan,
melewati sungai. Matahari sore yang terlihat dari atas jembatan, begitu indah.
“Eh, ada tukang es
cingcau, beli yuk! “ Seruku.
Kamu mengikutiku. Sisa uang
jajanku yang tinggal duaribu itu kubelikan es cingcau. Seribu untukku dan
seribu untukmu.
Sepanjang perjalanan kita
tertawa bersama sambil menikmati es cingcau. Belum setengah perjalanan aku
sudah merasa lelah.
“Kita duduk dulu, yuk. Mumpung
ada tempat duduk tuh.” Kataku. Aku tak peduli dengan jawabanmu, aku langsung
duduk berisitirahat. Kamu ikut duduk di sebelahku menghabiskan es cingcau.
“Lanjut jalan, yuk.” Katamu.
Aku tersenyum. Kita kembali melangkah bersama-sama, menuruni satu persatu anak
tangga. Melewati sungai-sungai kecil, hutan-hutan kecil, sawah-sawah,
lorong-lorong sempit, ini seperti petualangan dua bocah.
Beberapa kali kita juga
bertemu dengan makam-makam, jalan raya besar, dan kembali melewati tangga demi
tangga. Terakhir, kita kembali menyebrangi jembatan. Jembatannya cukup panjang,
dan arusnya pun cukup deras.
Kita pun sampai di
perumahan dan bertemu dengan guru les kita. Kita menyalaminya.
“Kita baru pulang, nih. Harus
tetap datang les sore ini ? Telat dong.” Katamu pada beliau.
“Nggak apa-apa, datang
aja. Pada mandi gih.”
Rumahku dengan rumahmu
mempunyai posisi depan-belakang. Aku yang duluan tiba di rumah, dan tak lama
sesudah itu kamu. Aku pernah membayangkan, bagaimana jadinya kalau tembok
pembatas rumah kita dihancurkan dan tak ada lagi pembatas ? pasti kita bisa
selalu bermain bersama. Aku tertawa kecil membayangkan itu semua.
Ini hanya sedikit cerita
tentang kita, dimana tokohnya hanya aku dan kamu. Aku masih menyimpan seribu
cerita lainnya yang mungkin tak semuanya bisa kau ingat.
Pernah juga suatu ketika,
kamu berhutang padaku, hanya karena kamu ingin membeli mie sakura. Mungkin aku
lupa menagih, namun suatu malam saat di tempat les, gerimis membasahi bumi
Bogor, dan aku lapar, tiba-tiba teringat akan hutangmu, jadi aku langsung
berkata, “Beliin cheetos buat aku! Kamu kan pernah ngutang..” Perintahku
padamu. Di tengah gerimis kamu membawakanku cheetos itu. Rasanya sangat lucu
jika dikenang.
Ada pula cerita saat kita
berniat piknik ngerujak di Billabong. Billabong, perumahan dengan rumah-rumah
yang megah namun tak berpenghuni, perumahan dengan bukit-bukit dan danau yang
indah.
Waktu itu, tepatnya saat
pulang sekolah, kamu, aku, dan teman-teman yang lain berencana membuat rujak di
Billabong. Saat itu kita berdua adalah yang paling tua, aku berpikir kitalah
yang harus membuat sambalnya, dan yang lainnya memotong buah-buahnya serta
menyiapkan tempatnya.
Saat itu kita benar-benar
bodoh. Aku dan kamu tidak tahu caranya membuat sambal rujak. Maka kita
memasukkan semua bahan yang ada, mulai dari cabe, garam, gula merah, air, dan
lainnya. Ini sangat konyol. Entah apa rasanya nanti. Tetapi, mungkin karena
berkat kerjasama, sambal yang kita bikin sangat enak. Andai bisa kembali ke
masa itu, bersenang-senang lagi di Billabong, tepat di atas bukit-bukit penuh
ilalang ditemani segerombolan angin.
Dan ada satu lagi kisah. Waktu
itu kita taruhan tentang mata pelajaran nanti malam di tempat les. Seingatku,
kamu bilang kalau nanti malam adalah pelajaran bahasa Indonesia. Tetapi, aku
protes dan mengatakan bahwa nanti malam adalah pelajaran IPA. Karena pertengkaran
itu, kamu taruhan denganku, taruhan dengan seribu rupiah. Haha, hanya dengan
seribu rupiah. Ternyata aku yang menang, tetapi aku tidak mengungkit-ungkit
lagi soal taruhan itu. Tiba-tiba kamu datang kepadaku, dan memberiku seribu rupiah.
Aku tertawa melihat tingkahmu. Kamu pikir aku serius mau taruhan denganmu ?
enggak, yah. Aku cuma bercanda. Aku baru sadar, saat itu kita benar-benar masih
sangat polos.
30/09/2012 10.18
Untuk yang di sana..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar