Terlalu
ada banyak hal yang membuat cinta sulit untuk disatukan. Ya, terlalu banyak hal
yang tidak bisa kupahami, dari yang kecil sampai yang besar. Karena suatu
perbedaan sederhana dan mencolok itulah, membuatku harus terpisah dengannya.
Selama
ini kedua orangtuanya selalu memberikan respon-respon yang baik terhadapku.
Tidak pernah ada masalah yang serius. Namun pagi itu.. kuterima telepon
darinya..
“Hey,
Sarah.”
“Hey..
Byan, tumben pagi-pagi telepon ? kangennya kecepetan.” Gurauku.
“Hmm..
Sarah, ada hal penting yang harus kita bicarakan segera.” Nadanya terdengar
serius.
“Hal
penting ? Apa itu ?”
“Nanti
aku kasih tahu.. udah dulu yah..” KLIK!
Ini
adalah pertama kalinya dia menelponku dengan waktu yang cukup singkat. Ini juga
pertama kalinya dia tidak bicara dengan frontal. Mungkin memang sesuatu yang
penting.
Aku
sudah menunggu di sini sejak 10 menit yang lalu dan belum terlihat tanda-tanda
kehadirannya. Aku masih menunggu..
Senyumku
tiba-tiba mengembang saat bayangannya muncul. Namun, ia datang bukan dengan
wajah cerah, tetapi lesu yang aku dapatkan. Kami berdua duduk dan saling
menatap satu sama lain. Aku berniat membiarkan dia yang lebih dulu membuka
percakapan. Kuperhatikan gerak-geriknya. Ia merogoh tasnya. Seperti mencoba
mengambil beberapa barang. Aku terkejut dengan barang-barang itu. Ada gantungan
kunci, topi, baju kaos, sepatu, dan jam tangan. Semua itu adalah hadiah yang
pernah kuberikan untuknya. Gantungan kunci oleh-oleh dariku sewaktu aku dari
Paris, topi incarannya yang sengaja kuhadiahkan agar ia senang, baju kaos yang
aku desain sendiri, sepatu hadiah ulang tahunnya dariku di tahun yang lalu, dan
jam tangan yang juga hadiah ulangtahun dariku untuknya di tahun ini. Semuanya
masih bagus dan terawat.
“Aku
merasa tak pantas mendapatkan semua ini.. dan juga mendapatkan cintamu. Aku
merasa tidak pantas..” aku benar-benar terkejut mendengar pernyataan yang baru
saja keluar dari mulutnya.
“Tapi..”
“Ssstt..”
Dia menyimpan telunjuknya tepat di depan bibirku. “Aku tahu, kamu pasti mengerti.
Kamu seorang perempuan hebat yang dapat menganalisis banyak hal dengan baik.”
Katanya lagi. Aku menarik telunjuknya dari hadapanku.
“Biarkan
aku bicara, sayang. Aku tak pernah meminta semua ini dikembalikan..” Mataku
mulai berkaca-kaca. Ya, diam-diam aku mengerti maksud ucapannya. Dia benar, aku
seorang perempuan yang dapat menganalisis banyak hal dengan baik. Tetapi,
tolong jangan katakan maksud dari semua ini adalah...
“Sarah..
aku tidak mau mengatakan hal ini, karena aku tahu ini akan melukaimu..” Aku
terdiam mendengar tuturannya.
“Aku
siap mendengar hal itu. Cinta butuh yang namanya resiko dan pengorbanan, bukan
?” Kataku mencoba tersenyum di hadapannya.
Perlahan-lahan
ia menjelaskan semuanya dengan sorot mata yang redup. Tak kudapatkan sinar di
sana. Tampaknya ia juga menahan air matanya. Kami berdua sama-sama menahan
duri-duri yang tajam yang datang menghujam ke hati kami.
“Jadi..?”
“Kau
akan bertemu pria lain yang menyayangimu lebih dariku.” Isak tangis di sudut
jiwaku masih tertahan. Aku tak boleh kelihatan lemah di hadapannya. Sekalipun
ia mau mengucapkan salam perpisahan.
Sebelum
kami berpisah ia memberiku sebuah amplop. Amplop berisi undangan lebih
tepatnya. Tidak salah lagi, ini adalah amplop pernikahannya dengan wanita lain,
pilihan kedua orangtuanya.
Apa
ada yang bisa mengerti perasaanku saat ini ? Hancur, terluka, kecewa, marah,
kesal, sakit, saat melihat namanya dengan nama wanita lain tertera jelas di
undangan tersebut, “Byan dan Chintya”
Bayangan
Byan menghilang, meninggalkan aku yang terduduk sendiri meratapi nasib yang
sudah ditakdirkan oleh Tuhan.
“Perbedaan
ini.. terasa menyakitkan, Tuhan..” Bisikku denga sendu. Kuremas undangan
tersebut dan melemparnya jauh-jauh.
Ada
emosi yang meluap-luap. Ada air mata yang meleleh. Di sini, di hati, ada
sayatan-sayatan yang perlahan mengiris-iris hati.
Aku
bukan wanita bodoh yang mudah frustasi karena cinta. Tetapi, kali ini aku
mengakui apa adanya. Terasa tak lengkap tanpa kehadirannya. Pagi itu kucoba
menghubunginya.
“Hallo..”
Sahut suara di sana.
“Hm..Hallo..
bisa bicara dengan Byan ?”
“Kamu
Sarah kan ? Tolong jangan pernah hubungi Byan lagi. Kamu juga pasti sudah tahu
kalau Byan sudah bertunangan! “ KLIK!
Telepon terputus.
Ya,
yang mengangkat tadi adalah ibunya Byan. Aku memang kehilangan arah, tetapi aku
tahu diri. Byan telah bersama orang lain. Bukan bersamaku lagi. “Bahagialah
kau.. dengannya..” Bisikku lirih.
Hari-hari
berikutnya sudah kuduga akan terasa hampa seperti ini. Tanpa Byan. Byan tak
pernah tahu di sudut ruang sana, ada seseorang yang tersiksa karena
merindukannya. Orang itu adalah aku.
Satu-satunya
cara yang bisa kulakukan untuk keluar dari keterpurukan ini adalah fokus dengan
pekerjaanku. Aku seorang model berusia 24 tahun, yang mulai menggeluguti karir
sebagai desainer busana. Aku bekerja tanpa henti. Menuangkan semua rasa
frustasiku dalam desain-desain yang kurancang, serta menerima kontrak ini dan
itu untuk tampil menjadi salah satu model dalam suatu fashion show.
Setahun
telah berhasil aku lewati. Membiarkan sayatan-sayatan luka itu mengering.
Membiarkan luka itu sembuh sendiri tanpa ada yang mengobati. Dan sampai detik
ini aku masih fokus dengan pekerjaanku.
“Nona,
saya sudah bicara dengan pak Dedi, dia akan membawa fotografernya untuk bekerja
sama dengan kita.” Kata asistenku yang biasa memanggilku dengan sebutan nona.
“Job
bersama ?” Tanyaku. Dia mengangguk.
“Karena
fotografer kita ada job mendadak selama dua minggu di Hongkong jadi.. untuk
sementara kita pakai fotografernya pak Dedi, namanya.. hmm Byan Angkasa.” Aku
tercengang mendengar nama itu.
“Byan
Angkasa ?” Tanyaku lagi memastikan bahwa aku tak salah dengar. Dia hanya
mengangguk.
Jam
menunjukkan pukul sepuluh siang. Hari ini kami akan melakukan pertemuan untuk
membicaraka job. Pak Dedi muncul dengan seseorang mengekor di belakangnya.
“Selamat
siang.” Ucap pak Dedi sambil menjabat tanganku.
“Selamat
siang, pak Dedi.” Balasku dengan senyuman.
Kami
berempat duduk. Aku, Adit asistenku, pak Dedi, dan.. Byan. Mata Byan belum saja
melirik ke arahku. Ia terlihat gugup dan selalu membuang pandangannya.
“Sarah,
kenalkan fotografer profesionalku, Byan Angkasa..” Aku dan Byan berjabat
tangan. Sentuhan itu membuat aku kembali mengenang semuanya. Kali ini sorot
mata Byan tak lepas ke arah mataku. Sorot mata yang tajam, namun penuh kerinduan.
“Sarah..”
Kataku memperkenalkan diri.
“Byan..”
Ucapnya sangat pelan.
Tiba-tiba
ponsel pak Dedi berdering. Suasana hening, yang terdengar hanya suara pak Dedi
yang sedang berbicara melalui telepon.
“Maaf,
saya tiba-tiba dihubungi. Ada urusan mendadak yang perlu segera saya
selesaikan. Jadi.. untuk hari ini kalian bertiga saling sharing saja dulu..”
Pak
Dedi meninggalkan kami. Aku sendiri bingung mau membicarakan apa, dan mulai
dari mana.
“Nona,
aku tinggal dulu yah, kebelet nih..”
“Heh
?” Sepeninggal Adit, kini hanya ada aku dan Byan. Bertatapan satu sama lain,
tanpa tahu, ada rasa apa yang menghampiri kami saat ini.
“Selamat
yah, kamu sudah menjadi desainer busana yang hebat.” Byan tersenyum padaku. Aku
merindukan senyum itu.
“Makasih.
Aku juga nggak nyangka, kamu bisa jadi fotografer profesional.” Dia masih
tersenyum memandangku.
“Jadi..
bagaimana kehidupanmu ?” Aku sedikit kaget mendengar pertanyaannya.
“Hmm
seperti ini.. semua baik-baik saja.” Jawabku penuh kebohongan. Aku menunduk.
Menghindari tatapan matanya.
“Kau
tidak ingin bertanya balik padaku ? Bertanya tentang kabarku.” Dia
mengernyitkan dahinya.
“Oh..
hmm bagaimana dengan keadaanmu ? Kau dengan hidupmu ?”
“Hampa.”
Singkat jawabannya.
“Kamu
terlalu jujur.”
“Iya.
Kau tak ingin tahu hampa kenapa ?”
“Hampa
kenapa memangnya ?”
“Karena
aku hidup bersama dengan orang yang tidak kucintai.”
Aku
terdiam mendengar jawabannya. Suasana hening itu pecah oleh dering ponsel Byan.
“Hallo..
Ya, hmm aku segera ke sana.”
Byan
menutup teleponnya. Dia memandangku.
“Sarah..
aku minta maaf. Aku harus menjemput Chintya sekarang. Maafkan aku. Aku harap
nanti kita bisa bertemu lagi.”
Aku
mengangguk, melihat langkahnya keluar meninggalkan aku. Dan hari itu adalah..
hari terakhir aku melihatnya.
Byan
meninggal saat hendak menjemput Chintya, gadis yang tidak dicintainya sama
sekali. Kecelakaan itu merenggut nyawanya. Namun kuyakini, dalam jiwanya masih
ada cinta untukku.
Cinta
kami terhalang karena sebuah perbedaan sederhana namun begitu mencolok.
Perbedaan agama. Byan tidak bisa membahagiakanku tanpa membahagiakan kedua
orangtuanya. Ya, dia sudah memilih jalannya, memilih Chintya untuk
mendampinginya sampai akhir hidupnya. Kita mungkin bisa memiliki seseorang
tetapi tidak akan pernah bisa memiliki jalan hidupnya sepenuhnya.
Aku
berharap bisa bertemu lagi dengan Byan, sama seperti harapan Byan yang terakhir
kalinya saa bertemu denganku.
“Byan..
sampai kapanpun aku akan tetap menyimpan sejuta cinta untukmu..”
‘I have loved you for a thousand
years..’ tulisku di atas selembar kertas. Tiba-tiba nafasku
sesak, penyakitku kambuh, penyakit asma ini benar-benar menyiksa dan membunuhku
perlahan. Dan semuanya gelap, nafasku tertahan, aku terjatuh dari kursi di
kamarku.
Aku
melihat diriku terbujur kaku. Papa menahan tangisannya, mama meraung-raung
histeris, semua orang berduka atas kematianku.
Hari
itu, seminggu setelah kepergian Byan, aku menyusulnya. Tuhan mendengar harapanku
dan byan.
Entah
kini arwahku di alam mana, namun aku melihat jelas sosok Byan di sana. Ia
menatapku dengan senyuman, menghampiriku, lalu menarik tanganku. Kami melangkah
bergandengan tangan berdua meninggalkan dunia.
Aku untuk kamu
Kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin ?
Iman kita yang berbeda
Tuhan
memang satu
Kita
yang tak sama
Haruskah
aku lantas pergi
Meski
cinta tak kan bisa pergi
Bukankah cinta anugrah ?
Berikan aku kesempatan tuk menjaganya sepenuh jiwa..
25/10/2012 20.20 WITA
Untuk mereka yang terpisah karena
perbedaan sederhana..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar