25/10/12

Kisah Dua Insan




Terlalu ada banyak hal yang membuat cinta sulit untuk disatukan. Ya, terlalu banyak hal yang tidak bisa kupahami, dari yang kecil sampai yang besar. Karena suatu perbedaan sederhana dan mencolok itulah, membuatku harus terpisah dengannya.
Selama ini kedua orangtuanya selalu memberikan respon-respon yang baik terhadapku. Tidak pernah ada masalah yang serius. Namun pagi itu.. kuterima telepon darinya..
“Hey, Sarah.”
“Hey.. Byan, tumben pagi-pagi telepon ? kangennya kecepetan.” Gurauku.
“Hmm.. Sarah, ada hal penting yang harus kita bicarakan segera.” Nadanya terdengar serius.
“Hal penting ? Apa itu ?”
“Nanti aku kasih tahu.. udah dulu yah..” KLIK!
Ini adalah pertama kalinya dia menelponku dengan waktu yang cukup singkat. Ini juga pertama kalinya dia tidak bicara dengan frontal. Mungkin memang sesuatu yang penting.
Aku sudah menunggu di sini sejak 10 menit yang lalu dan belum terlihat tanda-tanda kehadirannya. Aku masih menunggu..
Senyumku tiba-tiba mengembang saat bayangannya muncul. Namun, ia datang bukan dengan wajah cerah, tetapi lesu yang aku dapatkan. Kami berdua duduk dan saling menatap satu sama lain. Aku berniat membiarkan dia yang lebih dulu membuka percakapan. Kuperhatikan gerak-geriknya. Ia merogoh tasnya. Seperti mencoba mengambil beberapa barang. Aku terkejut dengan barang-barang itu. Ada gantungan kunci, topi, baju kaos, sepatu, dan jam tangan. Semua itu adalah hadiah yang pernah kuberikan untuknya. Gantungan kunci oleh-oleh dariku sewaktu aku dari Paris, topi incarannya yang sengaja kuhadiahkan agar ia senang, baju kaos yang aku desain sendiri, sepatu hadiah ulang tahunnya dariku di tahun yang lalu, dan jam tangan yang juga hadiah ulangtahun dariku untuknya di tahun ini. Semuanya masih bagus dan terawat.
“Aku merasa tak pantas mendapatkan semua ini.. dan juga mendapatkan cintamu. Aku merasa tidak pantas..” aku benar-benar terkejut mendengar pernyataan yang baru saja keluar dari mulutnya.
“Tapi..”
“Ssstt..” Dia menyimpan telunjuknya tepat di depan bibirku. “Aku tahu, kamu pasti mengerti. Kamu seorang perempuan hebat yang dapat menganalisis banyak hal dengan baik.” Katanya lagi. Aku menarik telunjuknya dari hadapanku.
“Biarkan aku bicara, sayang. Aku tak pernah meminta semua ini dikembalikan..” Mataku mulai berkaca-kaca. Ya, diam-diam aku mengerti maksud ucapannya. Dia benar, aku seorang perempuan yang dapat menganalisis banyak hal dengan baik. Tetapi, tolong jangan katakan maksud dari semua ini adalah...
“Sarah.. aku tidak mau mengatakan hal ini, karena aku tahu ini akan melukaimu..” Aku terdiam mendengar tuturannya.
“Aku siap mendengar hal itu. Cinta butuh yang namanya resiko dan pengorbanan, bukan ?” Kataku mencoba tersenyum di hadapannya.
Perlahan-lahan ia menjelaskan semuanya dengan sorot mata yang redup. Tak kudapatkan sinar di sana. Tampaknya ia juga menahan air matanya. Kami berdua sama-sama menahan duri-duri yang tajam yang datang menghujam ke hati kami.
“Jadi..?”
“Kau akan bertemu pria lain yang menyayangimu lebih dariku.” Isak tangis di sudut jiwaku masih tertahan. Aku tak boleh kelihatan lemah di hadapannya. Sekalipun ia mau mengucapkan salam perpisahan.
Sebelum kami berpisah ia memberiku sebuah amplop. Amplop berisi undangan lebih tepatnya. Tidak salah lagi, ini adalah amplop pernikahannya dengan wanita lain, pilihan kedua orangtuanya.
Apa ada yang bisa mengerti perasaanku saat ini ? Hancur, terluka, kecewa, marah, kesal, sakit, saat melihat namanya dengan nama wanita lain tertera jelas di undangan tersebut, “Byan dan Chintya”
Bayangan Byan menghilang, meninggalkan aku yang terduduk sendiri meratapi nasib yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan.
“Perbedaan ini.. terasa menyakitkan, Tuhan..” Bisikku denga sendu. Kuremas undangan tersebut dan melemparnya jauh-jauh.
Ada emosi yang meluap-luap. Ada air mata yang meleleh. Di sini, di hati, ada sayatan-sayatan yang perlahan mengiris-iris hati.
Aku bukan wanita bodoh yang mudah frustasi karena cinta. Tetapi, kali ini aku mengakui apa adanya. Terasa tak lengkap tanpa kehadirannya. Pagi itu kucoba menghubunginya.
“Hallo..” Sahut suara di sana.
“Hm..Hallo.. bisa bicara dengan Byan ?”
“Kamu Sarah kan ? Tolong jangan pernah hubungi Byan lagi. Kamu juga pasti sudah tahu kalau Byan sudah bertunangan! “ KLIK! Telepon terputus.
Ya, yang mengangkat tadi adalah ibunya Byan. Aku memang kehilangan arah, tetapi aku tahu diri. Byan telah bersama orang lain. Bukan bersamaku lagi. “Bahagialah kau.. dengannya..” Bisikku lirih.
Hari-hari berikutnya sudah kuduga akan terasa hampa seperti ini. Tanpa Byan. Byan tak pernah tahu di sudut ruang sana, ada seseorang yang tersiksa karena merindukannya. Orang itu adalah aku.
Satu-satunya cara yang bisa kulakukan untuk keluar dari keterpurukan ini adalah fokus dengan pekerjaanku. Aku seorang model berusia 24 tahun, yang mulai menggeluguti karir sebagai desainer busana. Aku bekerja tanpa henti. Menuangkan semua rasa frustasiku dalam desain-desain yang kurancang, serta menerima kontrak ini dan itu untuk tampil menjadi salah satu model dalam suatu fashion show.
Setahun telah berhasil aku lewati. Membiarkan sayatan-sayatan luka itu mengering. Membiarkan luka itu sembuh sendiri tanpa ada yang mengobati. Dan sampai detik ini aku masih fokus dengan pekerjaanku.
“Nona, saya sudah bicara dengan pak Dedi, dia akan membawa fotografernya untuk bekerja sama dengan kita.” Kata asistenku yang biasa memanggilku dengan sebutan nona.
“Job bersama ?” Tanyaku. Dia mengangguk.
“Karena fotografer kita ada job mendadak selama dua minggu di Hongkong jadi.. untuk sementara kita pakai fotografernya pak Dedi, namanya.. hmm Byan Angkasa.” Aku tercengang mendengar nama itu.
“Byan Angkasa ?” Tanyaku lagi memastikan bahwa aku tak salah dengar. Dia hanya mengangguk.
Jam menunjukkan pukul sepuluh siang. Hari ini kami akan melakukan pertemuan untuk membicaraka job. Pak Dedi muncul dengan seseorang mengekor di belakangnya.
“Selamat siang.” Ucap pak Dedi sambil menjabat tanganku.
“Selamat siang, pak Dedi.” Balasku dengan senyuman.
Kami berempat duduk. Aku, Adit asistenku, pak Dedi, dan.. Byan. Mata Byan belum saja melirik ke arahku. Ia terlihat gugup dan selalu membuang pandangannya.
“Sarah, kenalkan fotografer profesionalku, Byan Angkasa..” Aku dan Byan berjabat tangan. Sentuhan itu membuat aku kembali mengenang semuanya. Kali ini sorot mata Byan tak lepas ke arah mataku. Sorot mata yang tajam, namun penuh kerinduan.
“Sarah..” Kataku memperkenalkan diri.
“Byan..” Ucapnya sangat pelan.
Tiba-tiba ponsel pak Dedi berdering. Suasana hening, yang terdengar hanya suara pak Dedi yang sedang berbicara melalui telepon.
“Maaf, saya tiba-tiba dihubungi. Ada urusan mendadak yang perlu segera saya selesaikan. Jadi.. untuk hari ini kalian bertiga saling sharing saja dulu..”
Pak Dedi meninggalkan kami. Aku sendiri bingung mau membicarakan apa, dan mulai dari mana.
“Nona, aku tinggal dulu yah, kebelet nih..”
“Heh ?” Sepeninggal Adit, kini hanya ada aku dan Byan. Bertatapan satu sama lain, tanpa tahu, ada rasa apa yang menghampiri kami saat ini.
“Selamat yah, kamu sudah menjadi desainer busana yang hebat.” Byan tersenyum padaku. Aku merindukan senyum itu.
“Makasih. Aku juga nggak nyangka, kamu bisa jadi fotografer profesional.” Dia masih tersenyum memandangku.
“Jadi.. bagaimana kehidupanmu ?” Aku sedikit kaget mendengar pertanyaannya.
“Hmm seperti ini.. semua baik-baik saja.” Jawabku penuh kebohongan. Aku menunduk. Menghindari tatapan matanya.
“Kau tidak ingin bertanya balik padaku ? Bertanya tentang kabarku.” Dia mengernyitkan dahinya.
“Oh.. hmm bagaimana dengan keadaanmu ? Kau dengan hidupmu ?”
“Hampa.” Singkat jawabannya.
“Kamu terlalu jujur.”
“Iya. Kau tak ingin tahu hampa kenapa ?”
“Hampa kenapa memangnya ?”
“Karena aku hidup bersama dengan orang yang tidak kucintai.”
Aku terdiam mendengar jawabannya. Suasana hening itu pecah oleh dering ponsel Byan.
“Hallo.. Ya, hmm aku segera ke sana.”
Byan menutup teleponnya. Dia memandangku.
“Sarah.. aku minta maaf. Aku harus menjemput Chintya sekarang. Maafkan aku. Aku harap nanti kita bisa bertemu lagi.”
Aku mengangguk, melihat langkahnya keluar meninggalkan aku. Dan hari itu adalah.. hari terakhir aku melihatnya.
Byan meninggal saat hendak menjemput Chintya, gadis yang tidak dicintainya sama sekali. Kecelakaan itu merenggut nyawanya. Namun kuyakini, dalam jiwanya masih ada cinta untukku.
Cinta kami terhalang karena sebuah perbedaan sederhana namun begitu mencolok. Perbedaan agama. Byan tidak bisa membahagiakanku tanpa membahagiakan kedua orangtuanya. Ya, dia sudah memilih jalannya, memilih Chintya untuk mendampinginya sampai akhir hidupnya. Kita mungkin bisa memiliki seseorang tetapi tidak akan pernah bisa memiliki jalan hidupnya sepenuhnya.
Aku berharap bisa bertemu lagi dengan Byan, sama seperti harapan Byan yang terakhir kalinya saa bertemu denganku.
“Byan.. sampai kapanpun aku akan tetap menyimpan sejuta cinta untukmu..”
‘I have loved you for a thousand years..’ tulisku di atas selembar kertas. Tiba-tiba nafasku sesak, penyakitku kambuh, penyakit asma ini benar-benar menyiksa dan membunuhku perlahan. Dan semuanya gelap, nafasku tertahan, aku terjatuh dari kursi di kamarku.
Aku melihat diriku terbujur kaku. Papa menahan tangisannya, mama meraung-raung histeris, semua orang berduka atas kematianku.
Hari itu, seminggu setelah kepergian Byan, aku menyusulnya. Tuhan mendengar harapanku dan byan.
Entah kini arwahku di alam mana, namun aku melihat jelas sosok Byan di sana. Ia menatapku dengan senyuman, menghampiriku, lalu menarik tanganku. Kami melangkah bergandengan tangan berdua meninggalkan dunia.

Aku untuk kamu
Kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin ?
Iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu
Kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi
Meski cinta tak kan bisa pergi
Bukankah cinta anugrah ?
Berikan aku kesempatan tuk menjaganya sepenuh jiwa..
25/10/2012  20.20 WITA
Untuk mereka yang terpisah karena perbedaan sederhana..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar