Pria
berkepala lima itu merintih sambil memegangi perutnya. Jam menunjukkan pukul lima
sore, Bayu masih berada di tempatnya, masih terbelalak kaget menatapi pria
malang di depannya yang tengah meregang nyawa. Pria itu seperti ingin mengatakan
sesuatu, mungkin tentang seseorang yang berada di balik semua ini, seseorang
yang menginginkannya tak ada lagi di dunia ini. Bayu tak bisa berbuat apa-apa,
bahkan lidahnyapun terlalu kaku untuk mengucapkan kata “Kenapa?”
Ya,
Bayu ingin sekali mengatakan kenapa ayahnya bisa dibunuh? Pria malang di
depannya tak lain adalah ayahnya sendiri. Ayah yang telah lama ditinggalkannya.
Perlahan
dengan sedikit keberanian ia mendekat ke arah pria itu. Pria itu sudah tak
bernafas lagi. Dilihatnya pisau penuh darah tersebut, aroma darah yang tak
mengenakkan itu menyebar. Masih dengan wajah terkejut disentuhnya pisau itu,
hatinya mulai dipenuhi tanda tanya, siapa orang yang menginginkan ayahnya mati?
“Bodoh!”
teriakan seseorang membuat Bayu terkejut dan melepaskan pisau itu.
“Bang?”
Bayu membuka mulutnya, menyadari kehadiran seseorang yang ternyata adalah
abangnya.
“Bego
lu, mau dipenjara lu, ya? Ngapain nyentuh pisaunya segala? Mau sok dramatis
gitu?!”
“Bang,
ngapain lo di sini? Bang, gue enggak ngerti siapa yang ngelakuin ini semua?”
“Tambah
bego, penting banget untuk tahu siapa yang ngebunuh dia!”
“Bang,
lu..”
Tiba-tiba
sirine ambulance dan bunyi-bunyi mobil polisi terdengar sangat jelas.
“Mampus,
kita dijebak, bego!”
“Apa?
Dijebak?”
Dengan
cepat Raka menarik kasar tangan Bayu, mereka berusaha kabur dari tempat itu. Polisi
mendengar suara langkah kaki mereka dan berusaha mengejar mereka.
“Woy
Bayu, loyo banget sih lo!” Bayu mengatur nafasnya. “Bayu, lo liat rumah susun
di sana? Kita akan bermain kejar-kejaran dengan polisi di sana.”
“Bang,
lo ngomong apa, sih? Bukan kita yang ngebunuh ayah, jadi ngapain kita lari?”
“Lo
nggak ngerti, Bay. Kita dijebak, di je-bak.”
Sekali
lagi, Raka menarik tangan Bayu. Suara letusan pistol polisi terdengar. Raka
berlari dengan cepat, diikuti langkah Bayu.
“Aaaaaa!!”
Raka menjerit kesakitan. Bayu yang melihatnya langsung panik.
“Bang,
lo kenapa?”
“Kaki
gua, bego! Bayu, lo lari, jangan tolongin gue, cari tahu siapa yang ngebunuh
bokap kita!”
“Apa?
Tadi lo bilang itu bukan hal yang penting?”
“Tadi
gue panik karena ada polisi, dodol! Please Bayu, lo pergi ke arah rumah susun
itu! lo enggak boleh sampai ketangkap!”
“Abang…”
“Udah
deh, enggak usah sok dramatis kayak gitu!!!! Pergi enggak lo?!! Apa perlu gue
lempar pakai sepatu mahal gue? Hah?”
“Bang,
gue enggak akan ninggalin lo bang.”
“Alah
lebay lu, pergi enggak lo!!!”
Raka
melempar sepatunya ke arah Bayu, dengan berat hati Bayu berlari menjauh dari
abangnya yang merintih kesakitan karena polisi menembak kaki kirinya.
“Cepat!
Ada satu yang lolos, dia menuju ke arah rumah susun!”
Nafas
Bayu tersengal-sengal. Sementara itu, Bayu telah berlari sangat jauh menuju ke
arah rumah susun seperti yang diperintahkan oleh abangnya.
Bayu
menaiki satu demi satu anak tangga, berharap akan ada seseorang yang
menolongnya.
“Hallo?
Ada orang? Tolong buka pintunya!! Tolong!!” entah mengapa Bayu memilih mengetok
sebuah rumah susun yang berpintu putih. “Toloooong!”
Tak
berapa lama, seseorang membukakannya. Rupanya seorang gadis, gadis itu pucat
dan terdapat beberapa goresan serta bekas lebam di wajahnya, tepatnya bagian
atas alis, pinggir bibir, dan pipi kirinya. Keduanya sama-sama terkejut. Gadis
itu terkejut mendapati Bayu yang tampak kelelahan, Bayu sendiri juga terkejut
melihat penampilan gadis itu.
Tanpa
banyak bicara Bayu mendorong gadis itu masuk ke dalam rumahnya, ia tak peduli
apa yang akan dikatakan oleh gadis itu. Bayu langsung merebahkan dirinya di
sofa rumah gadis itu. Gadis itu hanya melongo melihat tingkahnya.
“Kenapa
bengong? Tutup pintunya!” perintah Bayu. Ia memejamkan matanya, berharap ini
semua hanya mimpi buruk, mimpi buruk yang akan segera berakhir.
Gadis
itu duduk di sampingnya, ia masih diam. Tak lama kemudian ia bersuara.
“Butuh
air minum?”
“Iya!”
Gadis
itu menuju sebuah dapur kecil dan kembali dengan segelas air putih di
tangannya. Dengan cepat, Bayu meraih gelas itu dan meneguknya sampai habis.
“Apa
liat-liat?!” gertak Bayu. Mata gadis itu tak lepas darinya.
“Lo
pikir lo siapa bisa masuk ke sini seenaknya?” gadis itu mulai berbicara.
Awalnya, Bayu mengira gadis di hadapannya adalah gadis yang lugu, ternyata
tidak seperti perkiraannya.
“Ma..maaf.”
Tok
tok tok!!!
“Ini
polisi, buka pintunya!”
Gadis
itu berdiri dari kursinya dan hendak membuka pintu, namun Bayu langsung meraih
tangan gadis itu.
“Tolong,
jangan buka pintunya.” Ucapnya pelan.
“Apa?
Lu buronan? Berani bayar berapa kalau gue bisa menyembunyikan lo?”
“Apa?
Berapapun yang lo minta, tolong sembunyikan gue.” Air muka Bayu memelas.
Gadis
itu menarik tangan Bayu, menuju dapur kecilnya.
“Lo
ngumpet di situ.” Tunjuknya.
“Di
lemari sekecil itu? enggak akan muat woy!”
“Lemarinya
kosong, jadi pasti muat. Enggak usah ngebacot, deh.”
Dengan
gusar, Bayu masuk ke dalam lemari kecil itu. Gadis itu berjalan ke arah pintu
yang sejak tadi digedor-gedor oleh polisi.
“Sabar,
pak polisi!” ujar gadis itu dengan nada gusar. Pintu rumah itu terbuka, para
polisi itu mengerutkan keningnya.
“Bersama
siapa anda di dalam, nona?”
“Saya
sendirian.”
“Jangan
berbohong. Yang lain, cepat periksa isi rumah ini. Kemungkinan besar buronan
kita masih berada di sekitar sini.”
Dengan
cuek, gadis itu membiarkan para polisi itu memeriksa rumahnya. Namun, sudah 5
menit mereka tak menemukan apapun.
“Saya
bilang juga apa, saya sendirian!” bentak gadis itu. kepala kepolisian itu
menengok ke arah gelas air minum di atas meja ruang tamu.
“Sepertinya
anda baru saja kedatangan tamu, nona.” Ucap polisi itu.
“Sejak
tadi saya sendirian, saya menonton TV di sofa sambil minum air putih.” Tanggapnya
dengan cuek.
“Baiklah,
semuanya segera keluar. Kita akan memeriksa di tempat lain!”
Para
anggota polisi itu meninggalkan rumah susun yang dihuni oleh gadis itu. Bayu
segera keluar dari tempat persembunyiannya.
“Terimakasih,
ya.”
Gadis
itu hanya diam sambil memperbaiki bajunya. Ia seperti sangat tak berselera
berbicara dengan orang semacam Bayu.
“Jadi,
kenapa bisa ada bekas lebam nyangkut di wajah lo itu? Apa lo habis berantem
sama preman pasar?” tanya Bayu sambil tertawa. Gadis itu masih diam, sorot
matanya tajam.
“Gue
Bayu, nama lo siapa?”
BERSAMBUNG
pas sama kakaknya bayu kayak polos. tapi pas di rumah susun jadi kasar, ya? .-.
BalasHapuslanjutkaaaaaaan! :D
hahahaha iya ceritanya pas di rumah susun pikirannya udh gak karuan jadi ya gitu haha udah ada lanjutannya kok tinggal di post aja, waiting yaaa :D
BalasHapus