Studio Foto, Pukul 17.15
Lucky
mulai membereskan studio fotonya. Studio itu bukan miliknya seorang diri,
tetapi ia membangunkannya bersama dengan 3 orang temannya yang lain. Ia
menghela nafas sejenak. Lagi-lagi teringat pada gadis itu. Gadis itu selalu
berhasil menyelinap ke dalam pikirannya, lalu merusak semua konsentrasi yang
dimilikinya.
Sudah
seminggu Maudy tak membalas pesan singkatnya. Begitu gelisahnya Lucky
sampai-sampai ia berniat untuk menemui gadis itu. Lucky tak pernah putus asa,
ia tetap mengirimkan pesan singkat-pesan singkat yang manis dan hangat kepada
gadis itu. Berkali-kali pula ia menelepon gadis itu, tetapi berkali-kali pula
nomornya tak aktif. Lucky gelisah bukan main, ada apa dengan gadis itu?
Terakhir mereka membuka conservation, mereka baik-baik saja.
Sampai
suatu ketika Lucky mengetahui penyebabnya. Ponsel milik gadis itu hilang. Tentu
saja hal itu membuat gadis itu tak mengetahui keberadaan pesan-pesan singkat
yang selalu Lucky kirim untuknya.
Meskipun
begitu, Lucky tak pernah berhenti mengirimi Maudy pesan singkat, meski ia tahu
ia tak akan mungkin mendapatkan balasan. Maudy tak membalas cintanya, dan kini
Maudy tak akan pernah lagi membalas pesan singkatnya. Pagi, siang, malam, ia
rutin mengirimi gadis itu pesan.
“Selamat pagi, Maudy..”
“Jangan lupa sarapan ya..”
“Selamat siang, Maudy..”
“Semoga hari ini menyenangkan
ya..”
“Selamat malam, Maudy..”
“Tidur yang nyenyak ya, sampai
ketemu besok..”
“Maudy, sebenarnya..”
“Maudy, ini pulsa terakhir,
jadi maaf kalau besok aku enggak bisa ngirim SMS..”
Lucky seperti tak waras. Bukan hanya sekedar mengatakan itu semua,
Lucky juga mencurahkan segala perasaannya lewat pesan singkat itu dengan amat
berani, karena ia tahu Maudy tak akan pernah menemukan pesan-pesannya apa lagi membacanya. Tak akan pernah. Lucky mengatakan
bagaimana menyesalnya ia dulu pernah meninggalkan Maudy, ia tak mengerti
bagaimana bisa dulu ia lebih memilih yang lain, sementara dulu Maudy begitu
mencintai dan mempercayainya. Bagaimana mungkin ia menukar itu semua dengan memilih
gadis yang lain. Ia tahu, penyesalannya amat terlambat. Semuanya sudah lama
sekali. Perasaan Maudy untuknya mungkin benar-benar sudah terkubur.
‘Andai dia tahu, aku tak
pernah berhenti mengirimkan pesan singkat, aku tak pernah berhenti menyapanya,
aku mau selalu menjadi yang disisinya. Aku tak pernah merasa segila ini ketika
aku jatuh cinta, hanya ketika aku jatuh cinta dengannya aku merasakan segila
ini, sama seperti pertama kali aku jatuh cinta dulu, untuk pertama kalinya aku
jatuh cinta, kepada gadis seperti dirinya. Tetapi Maudy bodoh, lebih menunggu
pria itu, pria yang tak tahu bahwa ia tengah ditunggu oleh seseorang wanita
yang dengan sabar begitu mencintainya..’
‘You
look at me like you look someone in the old times,
I'm sorry with all my mistakes in the old
times..’
Jalan Keluar Kampus, Pukul
16.05
‘Aku bertemu dengannya, lagi dan lagi, dimana saja, di persimpangan
jalan, di jalan masuk kampus, di taman, di saung, dimana-mana aku melihatnya,
melihat tatapan dinginnya, tak disengaja, dan perasaanku padanya tetap sama dan
selalu sama, tak pernah berubah, getaran hati ketika bertemu dengannya,
bungkamnya bibirku tak tahu mesti mengatakan apa. Sementara ia terus berjalan,
tak peduli, aku tersayat berkali-kali, tapi tak apa, aku kuat, dia yang
membuatku begitu kuat..’
Maudy melangkah hati-hati, amat hati-hati. Apakah ia akan bertemu
dengan sosok itu lagi? Maudy berjalan sendirian, terkadang suka membayangkan
‘dia’ ada di sampingnya, menemaninya seperti dulu. Begitu ia sadar dari
lamunannya, sedih kembali menghampirinya. Ia sungguh sedang berjalan sendirian,
sungguh tak bersama siapa-siapa, termasuk sosok itu. Lega dan cemas bercampur
menjadi satu, sebab hari ini ia belum juga melihat sosok itu. Lega karena tak
bertemu maka tak akan ada rasa sedih yang tercipta dengan teramat dalam, sebab
jika mereka bertemu itu tak akan berarti apa-apa, tak akan ada satupun reaksi
di antara keduanya, cemas sebab ia belum bertemu, hal itu akan membuatnya
bertambah merindukan sosok itu. Ia memperlambat langkahnya, mengamati setiap
orang yang ditemuinya.
‘Ini amat menyedihkan, ketika hanya bisa melihatnya tanpa bisa
mengucapkan sepatah katapun. Tetapi, ini amat melegakan daripada sama sekali
tak melihatnya.’ Batinnya.
Maudy melirik ponselnya yang hampa, ponsel baru pengganti ponselnya
yang hilang. Hilangnya ponsel Maudy membuat komunikasinya dengan Lucky
terputus, tetapi bukankah itu jauh lebih baik? Tak bersama pria manapun dan
tetap menunggunya. Menunggu sosok itu kembali, tetapi entah kapan ia kembali.
Maudy tersenyum getir. Mungkinkah sosok itu kembali? Ia juga tak tahu.
‘Dan upayaku tahu diri tak
selamanya berhasil
Apabila kau muncul terus
begini tanpa pernah kita bisa bersama
Pergilah menghilang sajalah
lagi
Berkali-kali kau berkata kau
cinta tapi tak bisa
Berkali-kali ku telah berjanji
menyerah...’
(Maudy-Tahu diri)
“Andai
ia bisa seperti Lucky, yang mencoba untuk selalu berada di sisiku, yang kembali
mencintaiku.” Ujar Maudy pelan.
‘Here,
there, everywhere, all of about you,
but I
can't do something to take your attention. I just can to silent, here, alone..’
Pelataran Saung, pukul 14.45
Risky
meraih sepatunya di pelataran saung teduh itu. Saung itu masih dipenuhi oleh
mahasiswa-mahasiswi yang sedang berdiskusi, mengobrol, maupun hanya duduk-duduk
saja tak ada kerjaan. Risky tak peduli dengan orang-orang yang berada dalam
saung itu. Ia ingin segera pulang, tetapi langit yang mulai mendung itu
membuatnya terlihat ragu. Ia menoleh ke langit memastikan apakah benar hujan
akan segera turun. Ia terlihat tak fokus memandang ke langit, ada bayang-bayang
yang mengganggunya di sudut saung lainnya.
Risky
duduk di salah satu sudut saung, sementara gadis itu duduk di sudut lainnya. ‘Ah, mengapa ia belum pulang?’ batinnya.
Risky terpaku di tempatnya. ‘Apa ada
sesuatu yang menahannya di sini? Apa ada seseorang yang ditunggunya? Ah, apa
peduliku?’ Risky mengedarkan pandangannya ke arah lain. Tetapi ia gelisah,
dilihatnya kembali gadis itu, gadisnya. Iya, ia selalu berharap sekarang gadis
itu masih menjadi gadisnya. Gadis itu hanya diam, tak sekalipun menoleh ke arah
Risky. Risky berniat untuk berdiri dan menghampirinya. ‘Tapi, ah, aku takut mengganggunya..’ ia tak meneruskan niatnya.
Gerimis
kecil itu mulai turun, saling berkejaran untuk jatuh. Semakin lama semakin cepat,
semakin cepat, semakin banyak, semakin riuh, dan tak berhenti. Cipratan demi
cipratan membasahi bagian pinggir saung. Risky beranjak masuk lebih dalam untuk
berteduh.
Gadis
itu belum juga mengubah posisi duduknya. Risky memandangi gadis itu lagi untuk
kesekian kali. Ia terlalu tak berani untuk menemui gadis itu. Tetapi, ia
percaya bahwa gadis itu pasti masih menunggunya, sebab gadis itu selalu menolak
setiap pria yang mengatakan cinta untuknya. Risky masih memperhatikan gadis
itu, amat lama, tanpa ia sadari, gadis itu menolehkan kepalanya. Risky
terkejut, tetapi ia tak bisa memalingkan wajahnya. Ia membiarkan dirinya
ketahuan telah memperhatikan gadis itu. Gadis itu mungkin juga terkejut, ia
segera mengalihkan pandangannya, lalu menunduk. Tak ada yang bersuara di antara
mereka, begitupun di antara mahasiswa-mahasiswi lainnya yang sedang berteduh,
sebab hujan mengalahkan suara mereka.
‘Maudy..’ Risky membatin lagi, kali ini tanpa ia sadar, ia telah membatin nama
gadis itu. Maudy masih di tempatnya, pura-pura sibuk memandangi hujan. Tak ada
yang benar-benar terlihat peduli di antara keduanya.
‘30 menit, kita disini, tanpa suara
dan aku resah, harus menunggu lama, kata darimu
dan aku resah, harus menunggu lama, kata darimu
Mungkin butuh kursus, merangkai kata, untuk bicara
dan aku benci, harus jujur padamu, tentang semua ini
dan aku benci, harus jujur padamu, tentang semua ini
Jam dinding pun tertawa, karenaku hanya diam, dan membisu
Ingin kumaki, diriku sendiri, yang tak berkutik di depanmu
Ada yang lain, di senyummu,
Yang membuat lidahku, gugup tak bergerak
Ada pelangi, di bola matamu,
dan memaksa diri, tuk bilang…
aku sayang padamu
aku sayang padamu
dan memaksa diri, tuk bilang…
aku sayang padamu
aku sayang padamu
Mungkin Sabtu nanti, ku ungkap semua, isi di hati
dan aku benci, harus jujur padamu, tentang semua ini
dan aku benci, harus jujur padamu, tentang semua ini
Ada yang lain, di senyummu,
yang membuat lidahku, gugup tak bergerak
yang membuat lidahku, gugup tak bergerak
Ada pelangi, di bola matamu,
seakan memaksa, dan terus memaksa
ada pelangi….
seakan memaksa, dan terus memaksa
ada pelangi….
(Jamrud – Pelangi Di Matamu)
Jauh,
amat jauh di lubuk hatinya, yang terdalam, dalam, dalam sekali. Oke, ini
terlalu berlebihan. Di dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia masih sangat
mencintai gadis itu, tetapi komunikasi sudah lama terputus di antara keduanya.
Risky berkali-kali memaki dirinya sendiri. Ia hanya diam, tak berkutik di dekat
gadis itu. Mungkin, lain kali ia akan mencoba untuk lebih peduli pada gadis
itu, lalu menghampirinya untuk sekedar menyapa dan menanyakan kabarnya. Rasanya
ingin sekali mengetahui kabar gadis itu, langsung dari bibir gadis itu, tanpa
harus tahu dari teman-temannya atau dari yang ia lihat dalam jarak jauh. Ia amat
merindukan Maudy, gadis yang selalu berhasil membuatnya jatuh cinta.
'I just
quiet, it's not mean I don't care,
it's
not mean I don't love you..'
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar