11/01/14

3 Hati [Chapter 2]

Studio Foto, Pukul 17.15
Lucky mulai membereskan studio fotonya. Studio itu bukan miliknya seorang diri, tetapi ia membangunkannya bersama dengan 3 orang temannya yang lain. Ia menghela nafas sejenak. Lagi-lagi teringat pada gadis itu. Gadis itu selalu berhasil menyelinap ke dalam pikirannya, lalu merusak semua konsentrasi yang dimilikinya.

Sudah seminggu Maudy tak membalas pesan singkatnya. Begitu gelisahnya Lucky sampai-sampai ia berniat untuk menemui gadis itu. Lucky tak pernah putus asa, ia tetap mengirimkan pesan singkat-pesan singkat yang manis dan hangat kepada gadis itu. Berkali-kali pula ia menelepon gadis itu, tetapi berkali-kali pula nomornya tak aktif. Lucky gelisah bukan main, ada apa dengan gadis itu? Terakhir mereka membuka conservation, mereka baik-baik saja.

Sampai suatu ketika Lucky mengetahui penyebabnya. Ponsel milik gadis itu hilang. Tentu saja hal itu membuat gadis itu tak mengetahui keberadaan pesan-pesan singkat yang selalu Lucky kirim untuknya.

Meskipun begitu, Lucky tak pernah berhenti mengirimi Maudy pesan singkat, meski ia tahu ia tak akan mungkin mendapatkan balasan. Maudy tak membalas cintanya, dan kini Maudy tak akan pernah lagi membalas pesan singkatnya. Pagi, siang, malam, ia rutin mengirimi gadis itu pesan.

“Selamat pagi, Maudy..”
“Jangan lupa sarapan ya..”
“Selamat siang, Maudy..”
“Semoga hari ini menyenangkan ya..”
“Selamat malam, Maudy..”
“Tidur yang nyenyak ya, sampai ketemu besok..”
“Maudy, sebenarnya..”
“Maudy, ini pulsa terakhir, jadi maaf kalau besok aku enggak bisa ngirim SMS..”

Lucky seperti tak waras. Bukan hanya sekedar mengatakan itu semua, Lucky juga mencurahkan segala perasaannya lewat pesan singkat itu dengan amat berani, karena ia tahu Maudy tak akan pernah menemukan pesan-pesannya apa  lagi membacanya. Tak akan pernah. Lucky mengatakan bagaimana menyesalnya ia dulu pernah meninggalkan Maudy, ia tak mengerti bagaimana bisa dulu ia lebih memilih yang lain, sementara dulu Maudy begitu mencintai dan mempercayainya. Bagaimana mungkin ia menukar itu semua dengan memilih gadis yang lain. Ia tahu, penyesalannya amat terlambat. Semuanya sudah lama sekali. Perasaan Maudy untuknya mungkin benar-benar sudah terkubur.


‘Andai dia tahu, aku tak pernah berhenti mengirimkan pesan singkat, aku tak pernah berhenti menyapanya, aku mau selalu menjadi yang disisinya. Aku tak pernah merasa segila ini ketika aku jatuh cinta, hanya ketika aku jatuh cinta dengannya aku merasakan segila ini, sama seperti pertama kali aku jatuh cinta dulu, untuk pertama kalinya aku jatuh cinta, kepada gadis seperti dirinya. Tetapi Maudy bodoh, lebih menunggu pria itu, pria yang tak tahu bahwa ia tengah ditunggu oleh seseorang wanita yang dengan sabar begitu mencintainya..’

‘You look at me like you look someone in the old times,
 I'm sorry with all my mistakes in the old times..’

Jalan Keluar Kampus, Pukul 16.05
‘Aku bertemu dengannya,  lagi dan lagi, dimana saja, di persimpangan jalan, di jalan masuk kampus, di taman, di saung, dimana-mana aku melihatnya, melihat tatapan dinginnya, tak disengaja, dan perasaanku padanya tetap sama dan selalu sama, tak pernah berubah, getaran hati ketika bertemu dengannya, bungkamnya bibirku tak tahu mesti mengatakan apa. Sementara ia terus berjalan, tak peduli, aku tersayat berkali-kali, tapi tak apa, aku kuat, dia yang membuatku begitu kuat..’

Maudy melangkah hati-hati, amat hati-hati. Apakah ia akan bertemu dengan sosok itu lagi? Maudy berjalan sendirian, terkadang suka membayangkan ‘dia’ ada di sampingnya, menemaninya seperti dulu. Begitu ia sadar dari lamunannya, sedih kembali menghampirinya. Ia sungguh sedang berjalan sendirian, sungguh tak bersama siapa-siapa, termasuk sosok itu. Lega dan cemas bercampur menjadi satu, sebab hari ini ia belum juga melihat sosok itu. Lega karena tak bertemu maka tak akan ada rasa sedih yang tercipta dengan teramat dalam, sebab jika mereka bertemu itu tak akan berarti apa-apa, tak akan ada satupun reaksi di antara keduanya, cemas sebab ia belum bertemu, hal itu akan membuatnya bertambah merindukan sosok itu. Ia memperlambat langkahnya, mengamati setiap orang yang ditemuinya.

 ‘Ini amat menyedihkan, ketika hanya bisa melihatnya tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. Tetapi, ini amat melegakan daripada sama sekali tak melihatnya.’ Batinnya.

Maudy melirik ponselnya yang hampa, ponsel baru pengganti ponselnya yang hilang. Hilangnya ponsel Maudy membuat komunikasinya dengan Lucky terputus, tetapi bukankah itu jauh lebih baik? Tak bersama pria manapun dan tetap menunggunya. Menunggu sosok itu kembali, tetapi entah kapan ia kembali. Maudy tersenyum getir. Mungkinkah sosok itu kembali? Ia juga tak tahu.

‘Dan upayaku tahu diri tak selamanya berhasil
Apabila kau muncul terus begini tanpa pernah kita bisa bersama
Pergilah menghilang sajalah lagi
Berkali-kali kau berkata kau cinta tapi tak bisa
Berkali-kali ku telah berjanji menyerah...’
(Maudy-Tahu diri)

“Andai ia bisa seperti Lucky, yang mencoba untuk selalu berada di sisiku, yang kembali mencintaiku.” Ujar Maudy pelan.

‘Here, there, everywhere, all of about you,
but I can't do something to take your attention. I just can to silent, here, alone..’

Pelataran Saung, pukul 14.45
Risky meraih sepatunya di pelataran saung teduh itu. Saung itu masih dipenuhi oleh mahasiswa-mahasiswi yang sedang berdiskusi, mengobrol, maupun hanya duduk-duduk saja tak ada kerjaan. Risky tak peduli dengan orang-orang yang berada dalam saung itu. Ia ingin segera pulang, tetapi langit yang mulai mendung itu membuatnya terlihat ragu. Ia menoleh ke langit memastikan apakah benar hujan akan segera turun. Ia terlihat tak fokus memandang ke langit, ada bayang-bayang yang mengganggunya di sudut saung lainnya.

Risky duduk di salah satu sudut saung, sementara gadis itu duduk di sudut lainnya. ‘Ah, mengapa ia belum pulang?’ batinnya. Risky terpaku di tempatnya. ‘Apa ada sesuatu yang menahannya di sini? Apa ada seseorang yang ditunggunya? Ah, apa peduliku?’ Risky mengedarkan pandangannya ke arah lain. Tetapi ia gelisah, dilihatnya kembali gadis itu, gadisnya. Iya, ia selalu berharap sekarang gadis itu masih menjadi gadisnya. Gadis itu hanya diam, tak sekalipun menoleh ke arah Risky. Risky berniat untuk berdiri dan menghampirinya. ‘Tapi, ah, aku takut mengganggunya..’ ia tak meneruskan niatnya.

Gerimis kecil itu mulai turun, saling berkejaran untuk jatuh. Semakin lama semakin cepat, semakin cepat, semakin banyak, semakin riuh, dan tak berhenti. Cipratan demi cipratan membasahi bagian pinggir saung. Risky beranjak masuk lebih dalam untuk berteduh.

Gadis itu belum juga mengubah posisi duduknya. Risky memandangi gadis itu lagi untuk kesekian kali. Ia terlalu tak berani untuk menemui gadis itu. Tetapi, ia percaya bahwa gadis itu pasti masih menunggunya, sebab gadis itu selalu menolak setiap pria yang mengatakan cinta untuknya. Risky masih memperhatikan gadis itu, amat lama, tanpa ia sadari, gadis itu menolehkan kepalanya. Risky terkejut, tetapi ia tak bisa memalingkan wajahnya. Ia membiarkan dirinya ketahuan telah memperhatikan gadis itu. Gadis itu mungkin juga terkejut, ia segera mengalihkan pandangannya, lalu menunduk. Tak ada yang bersuara di antara mereka, begitupun di antara mahasiswa-mahasiswi lainnya yang sedang berteduh, sebab hujan mengalahkan suara mereka.

‘Maudy..’ Risky membatin lagi, kali ini tanpa ia sadar, ia telah membatin nama gadis itu. Maudy masih di tempatnya, pura-pura sibuk memandangi hujan. Tak ada yang benar-benar terlihat peduli di antara keduanya.

‘30 menit, kita disini, tanpa suara
dan aku resah, harus menunggu lama, kata darimu

Mungkin butuh kursus, merangkai kata, untuk bicara
dan aku benci, harus jujur padamu, tentang semua ini

Jam dinding pun tertawa, karenaku hanya diam, dan membisu
Ingin kumaki, diriku sendiri, yang tak berkutik di depanmu

Ada yang lain, di senyummu,
Yang membuat lidahku, gugup tak bergerak

Ada pelangi, di bola matamu,
dan memaksa diri, tuk bilang…
aku sayang padamu
aku sayang padamu

Mungkin Sabtu nanti, ku ungkap semua, isi di hati
dan aku benci, harus jujur padamu, tentang semua ini

Ada yang lain, di senyummu,
yang membuat lidahku, gugup tak bergerak

Ada pelangi, di bola matamu,
seakan memaksa, dan terus memaksa
ada pelangi….
(Jamrud – Pelangi Di Matamu)

Jauh, amat jauh di lubuk hatinya, yang terdalam, dalam, dalam sekali. Oke, ini terlalu berlebihan. Di dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia masih sangat mencintai gadis itu, tetapi komunikasi sudah lama terputus di antara keduanya. Risky berkali-kali memaki dirinya sendiri. Ia hanya diam, tak berkutik di dekat gadis itu. Mungkin, lain kali ia akan mencoba untuk lebih peduli pada gadis itu, lalu menghampirinya untuk sekedar menyapa dan menanyakan kabarnya. Rasanya ingin sekali mengetahui kabar gadis itu, langsung dari bibir gadis itu, tanpa harus tahu dari teman-temannya atau dari yang ia lihat dalam jarak jauh. Ia amat merindukan Maudy, gadis yang selalu berhasil membuatnya jatuh cinta.

'I just quiet, it's not mean I don't care,
it's not mean I don't love you..'

Bersambung..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar