16/02/14

3 Hati [Chapter 3]



Taman Kampus, Pukul 10.53
‘Maudy masih seperti dulu, sangat suka menggambar sketsa wajah, menulis sajak, dan membaca novel. Kali ini apa lagi yang ia sedang lakukan di taman?’

Lucky menerka-nerka apa yang tengah diperbuat gadis yang tengah sendirian duduk di kursi taman. Dengan sigap Lucky memainkan kameranya, ia kembali memotret gadis itu dari kejauhan. Satu, dua, tiga foto, sampai tak terasa sudah berpuluh-puluh foto yang ia hasilkan.

‘Sebelumnya, aku belum pernah melihatnya seperti ini, ternyata ketika ia tengah menggambar, menulis, atau membaca, banyak ekspresi wajah yang ditimbulkannya. Terkadang ia tersenyum, gelisah, kesal, cemberut ataupun tertawa. Dia benar-benar manis. Dia menemukan banyak rasa ketika melakukan itu semua..’

Tanpa sadar, seseorang memperhatikan gelagat Lucky sejak tadi. Risky memperhatikan Lucky, ketika pria itu tengah memperhatikan Maudy. Api cemburu sepertinya meledak diam-diam lagi. Sementara itu, Lucky tak berhenti tersenyum memandangi foto hasil jepretannya.

Risky berlalu dengan memendam beribu cemburu. Sedangkan Lucky, ia berlalu dengan perasaan bahagia karena telah berhasil menangkap banyak ekspresi gadis itu.

Maudy beranjak pergi dari taman dengan perasaan sedikit tenang setelah menggambar dan menulis sebuah sajak, sajaknya tentang apa lagi kalau bukan tentang sosok itu, Risky.

“Hai, Maudy?” Deg. Suara itu. Lucky. Maudy menoleh, semyuman tulus pria itu membuatnya tak bisa membendung sebuah senyuman juga. Maudy tersenyum, “Hai..” tiba-tiba saja pada saat bersamaan sosok itu melintas, menatap ke arah Maudy, Maudy membalas tatapan itu. Sosok itu memandanginya dengan pandangan kecewa dan dengan cepat berlalu.

Mungkin Risky begitu membenci Lucky atas semua ini. Bagaimana tidak, Risky dan Lucky, mereka bersahabat sejak dulu dan mereka melakukan satu kesalahan, mereka jatuh cinta pada orang yang sama tanpa mereka rencanakan. 

 
‘Bukan..bukan seperti yang kau lihat..’ batin Maudy. Ini seperti sinetron saja ya, kalau begitu kalimatnya diganti saja. ‘Aku dengannya, kami tak saling mencintai lagi seperti dulu, Risky lihat ke sini, aku..aku ingin bicara..ingin kita bicara..seperti yang kulakukan bersama Lucky, berbicara..hanya itu..’ ini terlalu berlebihan, tetapi setidaknya bukan kalimat pasaran seperti di sinetron.

‘Another side, Im really love you so Much. Another side, much people love you so Much, like me.’

Gedung Kartini, Pukul 09.40
Hari ini semua orang terlihat sibuk, tak terkecuali ketiga insan berhati ini, Lucky, Maudy, dan Risky. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Lucky sibuk dengan kameranya, begitu pula Maudy yang menjadi fotografer mendadak dalam acara lomba fashion show hari ini. Sudah lama memang ia tertarik dengan dunia fotografi. Mungkin hal ini menjadi salah satu penyebab terkadang ia tertarik dengan Lucky, sosok yang selalu berteman dengan kamera.

Tak ketinggalan, Risky juga hadir dan kali ini ia sebagai peserta lomba. Maudy yang mengetahui hal itu sejak tadi terlihat tertawa kecil di bangkunya, bagaimana mungkin Risky mau mengikuti lomba macam beginian. Bukankah dulu Risky pernah mengatakan bahwa ia membenci lomba seperti ini? Siapa yang berhasil membujuknya untuk mengikuti ini?

Lucky dan Maudy berada di bangku paling depan, sedangkan Risky berada di bangku peserta. Dugaan Maudy salah, hari ini Lucky bukan tampil menjadi fotografer, tetapi Lucky-lah yang menjadi MC dalam acara lomba fashion show tersebut. Entah dimana ia simpan kameranya, kini berganti mic yang berada di tangannya.

Suara Lucky sebagai MC mulai menggelegar, diikuti suara pendamping MC-nya, Nikita. Sorakan dari para hadirin mulai ramai. Belum lagi, karena Lucky adalah salah satu pria populer di kampusnya. Mungkin Risky juga tak kalah populer tetapi ia lebih banyak diam dan menampakkan wajah cool-nya, Risky tak pandai berbicara seperti Lucky. Risky dan Lucky memiliki selera humor yang sama, mereka menjabat sebagai, eh menjabat? Terlalu resmi, jadi mereka berdua itu menjadi admin pada salah satu akun twitter humor dalam akun yang berbeda. Tetapi belakangan ini, Lucky ternyata telah menjual akunnya, bukan karena butuh uang, tetapi ia sudah bosan dan lelah mengetweet sesuatu yang menurutnya tidak begitu jelas. Diam-diam Maudy kecewa, karena akun itu adalah akun Lucky sejak dulu yang diubah menjadi akun anonim. Berbeda dengan Risky yang memang benar-benar membuat akun anonim baru. Tunggu, kenapa malah membicarakan akun mereka? Itu kan urusan mereka. Kembali ke cerita lagi.

Lucky telah memanggil satu-persatu peserta dengan pasangannya. Tiba giliran Risky dan pasangannya. Maudy sedikit cemburu. Hanya sedikit. Toh mereka hanya dipasangkan dalam lomba ini.

“Ini dia temanku yang paling gagah, Risky! Dan pasangannya, Nabilah! Ada yang mau kenalan dengan Risky?” ujar Lucky lewat mic.

‘Sudah lama aku tak melihatnya tersenyum, apa harus ketika ia berada di atas panggung dulu? Apa di depanku ia tak bisa?’ Maudy segera mengglengkan kepalanya, ia terlalu terbawa suasana. Kameranya mulai memotret wajah Risky, wajah sosok itu yang senyumnya amat ia rindukan.

Entah mengapa Lucky tiba-tiba turun dan yang terdengar hanya suara MC Nikita.

Oh, mata Lucky menemukan Maudy yang tengah asyik memotret.  “Maudy!” panggilnya dengan tersenyum. Maudy menoleh. “Jadi fotografer, ya? Coba aku lihat, jangan selalu memakai auto. Gunakan juga manualnya. Jadi, kita atur jaraknya, diafragmanya, jangan lupa atur speednya, dan terakhir kita atur ISO-nya.” Lucky memutar pengaturan demi pengaturan dalam kamera tersebut. “Nah, begini..” ujarnya sambil memberikan kamera itu kembali pada Maudy.

Diam-diam ada yang resah melihat keduanya. Ah, Risky, dia terlalu menyimpan semuanya sendiri, perasaannya, cintanya. Tak tahukah dia? Bahwa gadis itu masih menunggunya, selalu menunggunya, tak pernah membiarkan posisi Risky di hatinya diambil yang lain, ia tetap menjadikan Risky sebagai penghuni hatinya, mungkin penghuni satu-satunya, penghuni yang tak kunjung pulang untuk bersamanya kembali.

‘I still here. I still waiting for you to comeback with me. But, I don’t know, when you want to comeback?’

Lapangan Futsal, Pukul 11.30
Cuaca pagi menjelang siang ini tak panas dan tak dingin, biasa-biasa saja. Risky sudah berada di barisan bangku penonton. Begitu pula Maudy yang duduk di sisi lainnya. Bukan, bukan keinginan Maudy untuk menonton pertandingan futsal ini, tetapi Amanda, sahabatnya itu mengajaknya.

Maudy memang mengikuti arah gerak bola, tetapi pikirannya melayang entah kemana. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu. ‘Bukannya itu Lucky, ya?’ ternyata sejak tadi Lucky berada di tengah lapangan. ‘Oh, dia minat juga ya untuk main futsal..’ Maudy bertanya-tanya sendiri dalam hati. Dia sangat jarang melihat Lucky bermain sepak bola, futsal, atau sejenisnya. Ia lebih sering melihat sosok Lucky yang tengah memotret, menggambar, membawakan acara, intinya bukan yang berkaitan dengan olahraga. Ini amat berbeda jauh dengan sosok Risky yang hidupnya selalu disibuki dengan olahraga. Risky memiliki pola hidup yang cukup menarik, seperti rajin berolahraga, jogging, sering bermain basket, futsal, tidak makan gorengan, mengurangi makan fastfood dan tidak minum minuman bersoda secara berlebihan, setidaknya hal-hal seperti itu yang Maudy ketahui. Risky juga merupakan koordinator lapangan, sering menjadi wasit pertandingan basket ketika ada perlombaan, da ia sering meminjamkan bola basketnya untuk perlombaan semacam itu. ‘Risky selalu sibuk’, itulah kesan yang Maudy dapatkan.

Mata Maudy kembali menelusuri lapangan, dan ia mendapati sesuatu yang menarik di sana. ‘Apa? Nomor punggung Lucky 24? Mengapa harus 24?’ tanyanya dalam hati. Bukan, itu bukan tanggal hari jadinya dulu bersama Lucky. Bukan, itu lebih istimewa dari sekedar tanggal jadi, itu adalah tanggal lahir Maudy, 24.

‘Lucky..’ batin Maudy, lirih. Dia benar-benar tak bisa kembali dengan pria itu. Pria yang pernah setengah mati membuatnya jatuh hati, pria yang pertama kali mengatakan cinta dalam hidupnya, tetapi ada banyak hal yang dilakukan pria itu yang menghancurkannya juga. Tak ada kisah yang benar-benar sempurna, tsaaaah.

‘Don’t make me to remember my nightmare. Don’t make me to remember memories about us, can you?’

Lapangan pusat kota, pukul 07.15
Lagi-lagi Amanda mengajaknya jogging. Kalau Amanda yang memerintah, mau tak mau Maudy tak bisa menentangnya. Dilawannya rasa kantuknya, dan tiba-tiba kantuk itu sirna ketika tiba-tiba Amanda menyelutuk, “Risky, ada di sana, loh! Lagi jogging juga!”

Amanda dan Maudy sungguh-sungguh jogging. Benar saja, Maudy dengan mudah menemukan Risky di sana. Maudy tersenyum, tetapi kemudian senyumannya berubah menjadi masam. Risky tak jogging seorang diri. Ia bersama dengan tiga orang gadis. Seketika itu Maudy merasa ingin segera pulang.

‘Mengapa untuk pergi bersama mereka, dia bisa melakukannya? Tetapi untuk menemaniku, sepertinya tak pernah lagi bisa ia lakukan. Tetapi, aku belum lelah, belum lelah untuk menunggunya.’

“Hmm, sorry Maudy, kayaknya kamu enggak suka dengan pemandangan di sini. Kita cabut sekarang yuk, kak Bryan udah nunggu di sana.”

‘Dasar Amanda, ternyata dia jogging untuk ketemu kak Bryan, huh.’ Batin Maudy dengan kesal.

Tak berapa lama, keduanya sudah menemui Bryan. Amanda mengembangkan senyumnya, sebab pujaan hatinya memandanginya. Maudy hanya bisa memandangi kedua insan itu dengan muka datar.

“Hai, berduaan aja kalian?” tanya Bryan sambil bergantian memandangi Maudy dan Amanda. Amanda hanya mengangguk, sementara Maudy bersikap cuek.

“Kak Bryan sendirian aja?” ya, meskipun Amanda dan Bryan adalah pasangan. Tetapi Amanda tetap memanggil Bryan dengan panggilan “kak”, sebab Bryan lebih tua darinya. “Hmm, sama anak-anak. Bentar lagi juga mereka datang.” Jawab Bryan.

Mereka bertiga saing berdiam diri selama beberapa menit.

“Maudy, tadi aku ketemu Lucky sebelum kamu datang, dia lagi sepeda santai. Dia nyari kamu.” Ujar Amanda menginfokan.

“Oh, ya? Dia sendirian?” Amanda hanya mengangguk dengan tatapan menyelidik. “Sebenarnya kamu peduli sama dia, kan?” tanya Amanda.

Maudy hanya diam, ia teringat pada beberapa bulan yang lalu, Lucky sering mengajaknya bersepda santai pada Sunday morning, dan Maudy selalu menolak ajakan tulus itu. Maudy menarik nafas perlahan.

Samar-samar suara ribut-ribut motor terdengar, seperti ada banyak motor yang kian mendekat. ‘Itu pasti mereka, genk kak Bryan.’ Batin Maudy. Benar saja, mereka sudah tiba. Genk Bryan terdiri dari pria-pria berwajah cukup menarik di kampus mereka. Tentu saja mereka adalah anak-anak yang mengikuti komunitas-komunitas keren di kampus.

Raut wajah Maudy tetap datar, tak mungkin ia temukan sosok Lucky di antara mereka.

“Lapar nih, beb cabut makan, yuk!” ajak Bryan pada Amanda. Amanda melirik ke arah Maudy. “Oh iya, Maudy kamu pilih saja, mau dibonceng sama siapa? Tuh banyak yang kosong tebengannya.” Tawar Bryan.

Maudy melirik satu persatu dari mereka yang tak punya boncengan. Tak ada satupun yang dikenalnya dengan akrab. Pertama, kak Rey, bertubuh tak terlalu tinggi, punya gebetan junior yang manis, wajahnya biasa-biasa saja dibanding yang lain. Kedua, Wawan, teman SMA Maudy dulu yang kini satu kampus dengannya. ‘Tidak ada pilihan lain, apa?’ gerutunya.

Dengan malas, Maudy berjalan ke arah Wawan, “Numpang ya, Wan..” Wawan hanya mengangguk. Maudy menghela nafas perlahan. Ia tak begitu mengenal Wawan, ini akan menjadi perjalanan yang membosankan. Yang Maudy ketahui, ia dan Wawan satu SMA dulu. Maudy berpikir, seharusnya ia bersama Risky, bukan dibonceng oleh orang yang tak begitu dikenalnya.

Hari itu dihabiskannya bersama Amanda, Bryan, dan genk Bryan. Mereka berkeliling kota. Seharusnya ini menyenangkan, tetapi tetap saja Maudy merasa ada kehampaan, tak ada Risky yang bersamanya.

‘I still trust you. When you with her, with her, with her, I still trust you, you will comeback with me, someday.’

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar