Taman Kampus, Pukul 10.53
‘Maudy masih seperti dulu,
sangat suka menggambar sketsa wajah, menulis sajak, dan membaca novel. Kali ini
apa lagi yang ia sedang lakukan di taman?’
Lucky
menerka-nerka apa yang tengah diperbuat gadis yang tengah sendirian duduk di
kursi taman. Dengan sigap Lucky memainkan kameranya, ia kembali memotret gadis
itu dari kejauhan. Satu, dua, tiga foto, sampai tak terasa sudah berpuluh-puluh
foto yang ia hasilkan.
‘Sebelumnya, aku belum pernah
melihatnya seperti ini, ternyata ketika ia tengah menggambar, menulis, atau
membaca, banyak ekspresi wajah yang ditimbulkannya. Terkadang ia tersenyum,
gelisah, kesal, cemberut ataupun tertawa. Dia benar-benar manis. Dia menemukan
banyak rasa ketika melakukan itu semua..’
Tanpa
sadar, seseorang memperhatikan gelagat Lucky sejak tadi. Risky memperhatikan
Lucky, ketika pria itu tengah memperhatikan Maudy. Api cemburu sepertinya
meledak diam-diam lagi. Sementara itu, Lucky tak berhenti tersenyum memandangi
foto hasil jepretannya.
Risky
berlalu dengan memendam beribu cemburu. Sedangkan Lucky, ia berlalu dengan
perasaan bahagia karena telah berhasil menangkap banyak ekspresi gadis itu.
Maudy
beranjak pergi dari taman dengan perasaan sedikit tenang setelah menggambar dan
menulis sebuah sajak, sajaknya tentang apa lagi kalau bukan tentang sosok itu,
Risky.
“Hai,
Maudy?” Deg. Suara itu. Lucky. Maudy menoleh, semyuman tulus pria itu
membuatnya tak bisa membendung sebuah senyuman juga. Maudy tersenyum, “Hai..”
tiba-tiba saja pada saat bersamaan sosok itu melintas, menatap ke arah Maudy,
Maudy membalas tatapan itu. Sosok itu memandanginya dengan pandangan kecewa dan
dengan cepat berlalu.
Mungkin
Risky begitu membenci Lucky atas semua ini. Bagaimana tidak, Risky dan Lucky,
mereka bersahabat sejak dulu dan mereka melakukan satu kesalahan, mereka jatuh
cinta pada orang yang sama tanpa mereka rencanakan.
‘Bukan..bukan seperti yang kau
lihat..’ batin Maudy. Ini seperti sinetron saja ya,
kalau begitu kalimatnya diganti saja. ‘Aku
dengannya, kami tak saling mencintai lagi seperti dulu, Risky lihat ke sini,
aku..aku ingin bicara..ingin kita bicara..seperti yang kulakukan bersama Lucky,
berbicara..hanya itu..’ ini terlalu berlebihan, tetapi setidaknya bukan
kalimat pasaran seperti di sinetron.
‘Another
side, Im really love you so Much. Another side, much people love you so Much,
like me.’
Gedung Kartini, Pukul 09.40
Hari
ini semua orang terlihat sibuk, tak terkecuali ketiga insan berhati ini, Lucky,
Maudy, dan Risky. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Lucky
sibuk dengan kameranya, begitu pula Maudy yang menjadi fotografer mendadak
dalam acara lomba fashion show hari ini. Sudah lama memang ia tertarik dengan
dunia fotografi. Mungkin hal ini menjadi salah satu penyebab terkadang ia
tertarik dengan Lucky, sosok yang selalu berteman dengan kamera.
Tak
ketinggalan, Risky juga hadir dan kali ini ia sebagai peserta lomba. Maudy yang
mengetahui hal itu sejak tadi terlihat tertawa kecil di bangkunya, bagaimana
mungkin Risky mau mengikuti lomba macam beginian. Bukankah dulu Risky pernah
mengatakan bahwa ia membenci lomba seperti ini? Siapa yang berhasil membujuknya
untuk mengikuti ini?
Lucky
dan Maudy berada di bangku paling depan, sedangkan Risky berada di bangku
peserta. Dugaan Maudy salah, hari ini Lucky bukan tampil menjadi fotografer,
tetapi Lucky-lah yang menjadi MC dalam acara lomba fashion show tersebut. Entah
dimana ia simpan kameranya, kini berganti mic yang berada di tangannya.
Suara
Lucky sebagai MC mulai menggelegar, diikuti suara pendamping MC-nya, Nikita.
Sorakan dari para hadirin mulai ramai. Belum lagi, karena Lucky adalah salah
satu pria populer di kampusnya. Mungkin Risky juga tak kalah populer tetapi ia
lebih banyak diam dan menampakkan wajah cool-nya, Risky tak pandai berbicara
seperti Lucky. Risky dan Lucky memiliki selera humor yang sama, mereka menjabat
sebagai, eh menjabat? Terlalu resmi, jadi mereka berdua itu menjadi admin pada
salah satu akun twitter humor dalam akun yang berbeda. Tetapi belakangan ini, Lucky
ternyata telah menjual akunnya, bukan karena butuh uang, tetapi ia sudah bosan
dan lelah mengetweet sesuatu yang menurutnya tidak begitu jelas. Diam-diam
Maudy kecewa, karena akun itu adalah akun Lucky sejak dulu yang diubah menjadi
akun anonim. Berbeda dengan Risky yang memang benar-benar membuat akun anonim
baru. Tunggu, kenapa malah membicarakan akun mereka? Itu kan urusan mereka.
Kembali ke cerita lagi.
Lucky
telah memanggil satu-persatu peserta dengan pasangannya. Tiba giliran Risky dan
pasangannya. Maudy sedikit cemburu. Hanya sedikit. Toh mereka hanya dipasangkan
dalam lomba ini.
“Ini
dia temanku yang paling gagah, Risky! Dan pasangannya, Nabilah! Ada yang mau
kenalan dengan Risky?” ujar Lucky lewat mic.
‘Sudah lama aku tak melihatnya
tersenyum, apa harus ketika ia berada di atas panggung dulu? Apa di depanku ia
tak bisa?’ Maudy segera mengglengkan kepalanya, ia
terlalu terbawa suasana. Kameranya mulai memotret wajah Risky, wajah sosok itu
yang senyumnya amat ia rindukan.
Entah
mengapa Lucky tiba-tiba turun dan yang terdengar hanya suara MC Nikita.
Oh,
mata Lucky menemukan Maudy yang tengah asyik memotret. “Maudy!” panggilnya dengan tersenyum. Maudy
menoleh. “Jadi fotografer, ya? Coba aku lihat, jangan selalu memakai auto.
Gunakan juga manualnya. Jadi, kita atur jaraknya, diafragmanya, jangan lupa
atur speednya, dan terakhir kita atur ISO-nya.” Lucky memutar pengaturan demi
pengaturan dalam kamera tersebut. “Nah, begini..” ujarnya sambil memberikan
kamera itu kembali pada Maudy.
Diam-diam
ada yang resah melihat keduanya. Ah, Risky, dia terlalu menyimpan semuanya
sendiri, perasaannya, cintanya. Tak tahukah dia? Bahwa gadis itu masih
menunggunya, selalu menunggunya, tak pernah membiarkan posisi Risky di hatinya
diambil yang lain, ia tetap menjadikan Risky sebagai penghuni hatinya, mungkin
penghuni satu-satunya, penghuni yang tak kunjung pulang untuk bersamanya
kembali.
‘I
still here. I still waiting for you to comeback with me. But, I don’t know,
when you want to comeback?’
Lapangan Futsal, Pukul 11.30
Cuaca
pagi menjelang siang ini tak panas dan tak dingin, biasa-biasa saja. Risky
sudah berada di barisan bangku penonton. Begitu pula Maudy yang
duduk di sisi lainnya. Bukan, bukan keinginan Maudy untuk menonton pertandingan
futsal ini, tetapi Amanda, sahabatnya itu mengajaknya.
Maudy memang mengikuti arah gerak bola, tetapi
pikirannya melayang entah kemana. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu. ‘Bukannya itu Lucky, ya?’ ternyata sejak
tadi Lucky berada di tengah lapangan. ‘Oh,
dia minat juga ya untuk main futsal..’ Maudy bertanya-tanya sendiri dalam
hati. Dia sangat jarang melihat Lucky bermain sepak bola, futsal, atau
sejenisnya. Ia lebih sering melihat sosok Lucky yang tengah memotret,
menggambar, membawakan acara, intinya bukan yang berkaitan dengan olahraga. Ini
amat berbeda jauh dengan sosok Risky yang hidupnya selalu disibuki dengan
olahraga. Risky memiliki pola hidup yang cukup menarik, seperti rajin berolahraga,
jogging, sering bermain basket, futsal, tidak makan gorengan, mengurangi makan fastfood dan tidak minum minuman bersoda
secara berlebihan, setidaknya hal-hal seperti itu yang Maudy ketahui. Risky
juga merupakan koordinator lapangan, sering
menjadi wasit pertandingan basket ketika ada perlombaan, da ia sering
meminjamkan bola basketnya untuk perlombaan semacam itu. ‘Risky selalu sibuk’,
itulah kesan yang Maudy dapatkan.
Mata Maudy kembali menelusuri lapangan, dan ia
mendapati sesuatu yang menarik di sana. ‘Apa?
Nomor punggung Lucky 24? Mengapa harus 24?’ tanyanya dalam hati. Bukan, itu
bukan tanggal hari jadinya dulu bersama Lucky. Bukan, itu lebih istimewa dari
sekedar tanggal jadi, itu adalah tanggal lahir Maudy, 24.
‘Lucky..’ batin Maudy, lirih. Dia benar-benar tak bisa
kembali dengan pria itu. Pria yang pernah setengah mati membuatnya jatuh hati,
pria yang pertama kali mengatakan cinta dalam hidupnya, tetapi ada banyak hal
yang dilakukan pria itu yang menghancurkannya juga. Tak ada kisah yang
benar-benar sempurna, tsaaaah.
‘Don’t
make me to remember my nightmare. Don’t make me to remember memories about us,
can you?’
Lapangan
pusat kota, pukul 07.15
Lagi-lagi Amanda mengajaknya jogging. Kalau Amanda
yang memerintah, mau tak mau Maudy tak bisa menentangnya. Dilawannya rasa
kantuknya, dan tiba-tiba kantuk itu sirna ketika tiba-tiba Amanda menyelutuk, “Risky,
ada di sana, loh! Lagi jogging juga!”
Amanda dan Maudy sungguh-sungguh jogging. Benar
saja, Maudy dengan mudah menemukan Risky di sana. Maudy tersenyum, tetapi
kemudian senyumannya berubah menjadi masam. Risky tak jogging seorang diri. Ia bersama
dengan tiga orang gadis. Seketika itu Maudy merasa ingin segera pulang.
‘Mengapa
untuk pergi bersama mereka, dia bisa melakukannya? Tetapi untuk menemaniku,
sepertinya tak pernah lagi bisa ia lakukan. Tetapi, aku belum lelah, belum
lelah untuk menunggunya.’
“Hmm, sorry Maudy, kayaknya kamu enggak suka
dengan pemandangan di sini. Kita cabut sekarang yuk, kak Bryan udah nunggu di
sana.”
‘Dasar
Amanda, ternyata dia jogging untuk ketemu kak Bryan, huh.’ Batin Maudy dengan kesal.
Tak berapa lama, keduanya sudah menemui Bryan. Amanda
mengembangkan senyumnya, sebab pujaan hatinya memandanginya. Maudy hanya bisa
memandangi kedua insan itu dengan muka datar.
“Hai, berduaan aja kalian?” tanya Bryan sambil
bergantian memandangi Maudy dan Amanda. Amanda hanya mengangguk, sementara
Maudy bersikap cuek.
“Kak Bryan sendirian aja?” ya, meskipun Amanda
dan Bryan adalah pasangan. Tetapi Amanda tetap memanggil Bryan dengan panggilan
“kak”, sebab Bryan lebih tua darinya. “Hmm, sama anak-anak. Bentar lagi juga
mereka datang.” Jawab Bryan.
Mereka bertiga saing berdiam diri selama
beberapa menit.
“Maudy, tadi aku ketemu Lucky sebelum kamu
datang, dia lagi sepeda santai. Dia nyari kamu.” Ujar Amanda menginfokan.
“Oh, ya? Dia sendirian?” Amanda hanya
mengangguk dengan tatapan menyelidik. “Sebenarnya kamu peduli sama dia, kan?”
tanya Amanda.
Maudy hanya diam, ia teringat pada beberapa
bulan yang lalu, Lucky sering mengajaknya bersepda santai pada Sunday morning,
dan Maudy selalu menolak ajakan tulus itu. Maudy menarik nafas perlahan.
Samar-samar suara ribut-ribut motor terdengar,
seperti ada banyak motor yang kian mendekat. ‘Itu pasti mereka, genk kak Bryan.’ Batin Maudy. Benar saja, mereka
sudah tiba. Genk Bryan terdiri dari pria-pria berwajah cukup menarik di kampus
mereka. Tentu saja mereka adalah anak-anak yang mengikuti komunitas-komunitas
keren di kampus.
Raut wajah Maudy tetap datar, tak mungkin ia
temukan sosok Lucky di antara mereka.
“Lapar nih, beb cabut makan, yuk!” ajak Bryan
pada Amanda. Amanda melirik ke arah Maudy. “Oh iya, Maudy kamu pilih saja, mau
dibonceng sama siapa? Tuh banyak yang kosong tebengannya.” Tawar Bryan.
Maudy melirik satu persatu dari mereka yang tak
punya boncengan. Tak ada satupun yang dikenalnya dengan akrab. Pertama, kak
Rey, bertubuh tak terlalu tinggi, punya gebetan junior yang manis, wajahnya
biasa-biasa saja dibanding yang lain. Kedua, Wawan, teman SMA Maudy dulu yang
kini satu kampus dengannya. ‘Tidak ada
pilihan lain, apa?’ gerutunya.
Dengan malas, Maudy berjalan ke arah Wawan, “Numpang
ya, Wan..” Wawan hanya mengangguk. Maudy menghela nafas perlahan. Ia tak begitu
mengenal Wawan, ini akan menjadi perjalanan yang membosankan. Yang Maudy
ketahui, ia dan Wawan satu SMA dulu. Maudy berpikir, seharusnya ia bersama
Risky, bukan dibonceng oleh orang yang tak begitu dikenalnya.
Hari itu dihabiskannya bersama Amanda, Bryan,
dan genk Bryan. Mereka berkeliling kota. Seharusnya ini menyenangkan, tetapi
tetap saja Maudy merasa ada kehampaan, tak ada Risky yang bersamanya.
‘I
still trust you. When you with her, with her, with her, I still trust you, you
will comeback with me, someday.’
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar