06/07/14

Comeback



Aku  pikir aku sudah benar-benar melepaskannya. Tetapi, dari seberapa sering ingatanku mengenangnya, dari seberapa sering aku masih merindukannya, dari seberapa sering mataku mencari sosoknya, dia ternyata belum hilang, masih membekas.

Aku tiba di Seoul kemarin pagi. Harapan untuk benar-benar bisa melupakannya begitu besar di benakku, tetapi semuanya hilang begitu bayangnya nyata berada di depan mataku. Ia memang tak melihatku, tak menyadari keberadaanku, tetapi mataku tak mungkin salah melihat sosoknya hanya karena aku masih sering memikirkannya. Dia benar-benar nyata. Ada di depan mataku.

Segera kualihkan pandanganku, dan kembali ke arahnya. Dia benar masih ada di sana, baru saja keluar dari taksi dengan kopernya. Entah aku menyesal karena kembali bertemu dengannya atau sangat bahagia menyadari ia berada tak jauh dariku.

Ia hari ini menggunakan jeans biru dengan baju atasan biru muda, rambutnya digerai, ia sangat cantik, seperti pertama kali dulu ketika aku jatuh cinta dengannya. Ia sangat cerdas, semua orang tahu itu. Seringkali ia mendapat penghargaan, mungkin prestasinya yang membuat ia bisa berada di sini, untuk kuliah.

Mungkin aku tak akan berani menyapanya, setelah aku membuatnya berair mata. Aku akan pergi.
***

Menurutku, Seoul tidak sekecil yang kubayangkan. Di sini banyak tempat kuliah, semoga aku tak satu tempat kuliah dengannya. Aku tak akan membuatnya terkejut dengan kehadiranku di sini. Aku tak akan merusak mimpinya. Ya, tetapi aku sudah merusak hatinya.

Kuteruskan langkah menuju universitas yang sejak dulu ingin sekali kuinjakkan kaki melangkah di sana. Tiba-tiba saja aku kaku, sebab dia ada di sana tengah sibuk dengan bukunya, seperti sedang mencatat sesuatu. Ah, mungkin ia tak akan memperhatikanku. Aku terus melangkah, dan aku berhasil melewatinya. Aku rapuh lagi mengingat aku pernah menyayat hatinya. Kupikir aku akan lega setelah melepasnya, tetapi ini justru membuat sebagian jiwaku berteriak-teriak memanggil namanya. Aku sudah hampir gila karena hal itu.

Sudah beberapa bulan berlalu. Ia belum menyadari bahwa ia masih menjadi bagian dari hari-hariku, terlebih ketika aku mengetahui kenyataan bahwa kami satu tempat kuliah. Ia belum tahu tentang aku, ia selalu sibuk dengan mimpinya.

Setengah tahun hampir berlalu, ia mungkin benar-benar sudah tak mengenaliku. Kini, aku selalu berani melangkah tiap kali harus melewatinya, tiap kali dia berada di depan mataku, tentu saja ketika ia tengah sibuk sendiri. Ia tak akan memperhatikanku.

“Tetap di situ!” Langkahku terhenti. Suaranya? Ia memanggilku? Ia mengenaliku? Aku berbalik. Ah, akhirnya ia memanggilku.
“Jadi, benar yang selama ini kulihat, kau memang ada di sini. Melanjutkan kuliah di sini? Kenapa? “ mimiknya begitu sendu, aku rapuh kembali. Tak tahu harus berkata apa. Aku membungkam.
“Apa begini caramu agar aku sulit untuk menghilangkanmu dalam benakku?!!” nadanya semakin tinggi. Ia tak peduli dengan orang-orang di sekeliling kami. Toh, orang-orang di Seoul tak akan mengerti dengan bahasa yang kami gunakan. Aku masih bungkam.
“Mengapa harus susah-susah seperti ini? Kau tak ada di sini juga tak akan membuatku mudah melupakanmu.” Nadanya mulai merendah.
“Aku merindukanmu.” Tak kusangka kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku.
Kemudian airmatanya jatuh. Aku tak bisa lagi menghitung sudah berapa seringnya aku membuat itu terjatuh.  Ia menyekanya dan pergi.
Andai ia tahu, ini bukan sesuatu yang disengaja, mungkin takdir tak ingin aku berpisah dengannya.
***


Sore ini turun hujan seperti perkiraanku. Untung saja, aku sudah menyiapkan payung. Aku berjalan dengan payungku, menikmati hujan yang jarang ini. ‘Poppy? Mengapa ia selalu berada dimana-mana? Mengapa aku selalu bertemu dengannya kemanapun aku melangkah?’

Aku berjalan cepat ke arahnya. Tubuhnya terlihat menggigil kehujanan. Aku segera memayunginya. Ia menatapku.
“kenapa?”
“Aku hanya kasihan.”
“Terimakasih banyak, kau tak seharusnya melakukan ini padaku.”
Ia melangkah, berusaha menembus hujan, lebih tepatnya meninggalkanku. Aku segera menyusulnya, menyamai langkahnya.
“Apakah seperti itu caramu berterimakasih?”
“Apa sebegitu ibanya kau melihatku?”
Sekali lagi, ia meninggalkanku. Dengan cepat, kutarik tangannya.
“Jangan menyentuhku. Kau selalu seperti ini. Datang dan kemudian pergi.”
“Kalau kau tak ingin aku pergi, bisakah kau berusaha untuk mencegahku melakukan itu?”
“Kau selalu seperti ini, berbicara omongkosong. Kau berkata seperti itu karena kau tak ingin disalahkan, bukan? Kau ingin mengatakan bahwa kau pergi karena kesalahanku, karena aku tak bisa mencegahmu. Bagaimana mungkin aku mencegahmu, jika kepergian itu kau sendiri yang menginginkannya.”
Aku terkejut melihat responnya, ia berbicara panjang lebar. Matanya memancarkan kesedihan karena aku.
“Bisakah kau berhenti berkeliaran di sekitarku? Jangan selalu mengikutiku. Jangan bilang kalau ini takdir, jangan selalu menyalahkan takdir. Bisakah berpura-pura saja untuk tidak melihatku?” ia melanjutkan kata-katanya.
Aku menunduk. Tak berani menatap pancaran sinar kesedihan di matanya.
“Maafkan aku. Aku tak bisa melakukan itu. Bagaimana bisa aku harus berpura-pura tak melihatmu sementara kau benar-benar ada di depan mataku, sementara kau semalaman ada di mimpiku, sementara aku selalu merindukanmu.”
“Jika ingin datang, jangan pergi lagi. Jika ingin pergi, tolong jangan datang lagi.”
Bibirnya tersenyum simpul. Aku mengerti apa yang dipikirkannya.
“Aku sudah datang, bagaimana bisa aku pergi lagi.”

Langit yang semula menurunkan hujan, berubah menjadi gerimis kecil diikuti hadirnya pelangi bersamaan dengan senyum kecil di wajah Poppy. Aku tahu, kami sama-sama saling merindukan. Aku tak rapuh lagi. Langit Seoul menjadi saksi bahwa aku tak akan pergi lagi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar