Aku pikir aku sudah benar-benar melepaskannya.
Tetapi, dari seberapa sering ingatanku mengenangnya, dari seberapa sering aku
masih merindukannya, dari seberapa sering mataku mencari sosoknya, dia ternyata
belum hilang, masih membekas.
Aku
tiba di Seoul kemarin pagi. Harapan untuk benar-benar bisa melupakannya begitu
besar di benakku, tetapi semuanya hilang begitu bayangnya nyata berada di depan
mataku. Ia memang tak melihatku, tak menyadari keberadaanku, tetapi mataku tak
mungkin salah melihat sosoknya hanya karena aku masih sering memikirkannya. Dia
benar-benar nyata. Ada di depan mataku.
Segera
kualihkan pandanganku, dan kembali ke arahnya. Dia benar masih ada di sana,
baru saja keluar dari taksi dengan kopernya. Entah aku menyesal karena kembali
bertemu dengannya atau sangat bahagia menyadari ia berada tak jauh dariku.
Ia
hari ini menggunakan jeans biru dengan baju atasan biru muda, rambutnya
digerai, ia sangat cantik, seperti pertama kali dulu ketika aku jatuh cinta
dengannya. Ia sangat cerdas, semua orang tahu itu. Seringkali ia mendapat
penghargaan, mungkin prestasinya yang membuat ia bisa berada di sini, untuk
kuliah.
Mungkin
aku tak akan berani menyapanya, setelah aku membuatnya berair mata. Aku akan
pergi.
***
Menurutku,
Seoul tidak sekecil yang kubayangkan. Di sini banyak tempat kuliah, semoga aku
tak satu tempat kuliah dengannya. Aku tak akan membuatnya terkejut dengan
kehadiranku di sini. Aku tak akan merusak mimpinya. Ya, tetapi aku sudah
merusak hatinya.
Kuteruskan
langkah menuju universitas yang sejak dulu ingin sekali kuinjakkan kaki
melangkah di sana. Tiba-tiba saja aku kaku, sebab dia ada di sana tengah sibuk
dengan bukunya, seperti sedang mencatat sesuatu. Ah, mungkin ia tak akan
memperhatikanku. Aku terus melangkah, dan aku berhasil melewatinya. Aku rapuh
lagi mengingat aku pernah menyayat hatinya. Kupikir aku akan lega setelah
melepasnya, tetapi ini justru membuat sebagian jiwaku berteriak-teriak
memanggil namanya. Aku sudah hampir gila karena hal itu.
Sudah
beberapa bulan berlalu. Ia belum menyadari bahwa ia masih menjadi bagian dari
hari-hariku, terlebih ketika aku mengetahui kenyataan bahwa kami satu tempat
kuliah. Ia belum tahu tentang aku, ia selalu sibuk dengan mimpinya.
Setengah
tahun hampir berlalu, ia mungkin benar-benar sudah tak mengenaliku. Kini, aku
selalu berani melangkah tiap kali harus melewatinya, tiap kali dia berada di
depan mataku, tentu saja ketika ia tengah sibuk sendiri. Ia tak akan
memperhatikanku.
“Tetap
di situ!” Langkahku terhenti. Suaranya?
Ia memanggilku? Ia mengenaliku? Aku berbalik. Ah, akhirnya ia memanggilku.
“Jadi,
benar yang selama ini kulihat, kau memang ada di sini. Melanjutkan kuliah di
sini? Kenapa? “ mimiknya begitu sendu, aku rapuh kembali. Tak tahu harus
berkata apa. Aku membungkam.
“Apa
begini caramu agar aku sulit untuk menghilangkanmu dalam benakku?!!” nadanya
semakin tinggi. Ia tak peduli dengan orang-orang di sekeliling kami. Toh,
orang-orang di Seoul tak akan mengerti dengan bahasa yang kami gunakan. Aku
masih bungkam.
“Mengapa
harus susah-susah seperti ini? Kau tak ada di sini juga tak akan membuatku
mudah melupakanmu.” Nadanya mulai merendah.
“Aku
merindukanmu.” Tak kusangka kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku.
Kemudian
airmatanya jatuh. Aku tak bisa lagi menghitung sudah berapa seringnya aku
membuat itu terjatuh. Ia menyekanya dan
pergi.
Andai
ia tahu, ini bukan sesuatu yang disengaja, mungkin takdir tak ingin aku
berpisah dengannya.
***
Sore
ini turun hujan seperti perkiraanku. Untung saja, aku sudah menyiapkan payung.
Aku berjalan dengan payungku, menikmati hujan yang jarang ini. ‘Poppy? Mengapa ia selalu berada
dimana-mana? Mengapa aku selalu bertemu dengannya kemanapun aku melangkah?’
Aku
berjalan cepat ke arahnya. Tubuhnya terlihat menggigil kehujanan. Aku segera
memayunginya. Ia menatapku.
“kenapa?”
“Aku
hanya kasihan.”
“Terimakasih
banyak, kau tak seharusnya melakukan ini padaku.”
Ia
melangkah, berusaha menembus hujan, lebih tepatnya meninggalkanku. Aku segera
menyusulnya, menyamai langkahnya.
“Apakah
seperti itu caramu berterimakasih?”
“Apa
sebegitu ibanya kau melihatku?”
Sekali
lagi, ia meninggalkanku. Dengan cepat, kutarik tangannya.
“Jangan
menyentuhku. Kau selalu seperti ini. Datang dan kemudian pergi.”
“Kalau
kau tak ingin aku pergi, bisakah kau berusaha untuk mencegahku melakukan itu?”
“Kau
selalu seperti ini, berbicara omongkosong. Kau berkata seperti itu karena kau
tak ingin disalahkan, bukan? Kau ingin mengatakan bahwa kau pergi karena
kesalahanku, karena aku tak bisa mencegahmu. Bagaimana mungkin aku mencegahmu,
jika kepergian itu kau sendiri yang menginginkannya.”
Aku
terkejut melihat responnya, ia berbicara panjang lebar. Matanya memancarkan
kesedihan karena aku.
“Bisakah
kau berhenti berkeliaran di sekitarku? Jangan selalu mengikutiku. Jangan bilang
kalau ini takdir, jangan selalu menyalahkan takdir. Bisakah berpura-pura saja
untuk tidak melihatku?” ia melanjutkan kata-katanya.
Aku
menunduk. Tak berani menatap pancaran sinar kesedihan di matanya.
“Maafkan
aku. Aku tak bisa melakukan itu. Bagaimana bisa aku harus berpura-pura tak
melihatmu sementara kau benar-benar ada di depan mataku, sementara kau
semalaman ada di mimpiku, sementara aku selalu merindukanmu.”
“Jika
ingin datang, jangan pergi lagi. Jika ingin pergi, tolong jangan datang lagi.”
Bibirnya
tersenyum simpul. Aku mengerti apa yang dipikirkannya.
“Aku
sudah datang, bagaimana bisa aku pergi lagi.”
Langit
yang semula menurunkan hujan, berubah menjadi gerimis kecil diikuti hadirnya
pelangi bersamaan dengan senyum kecil di wajah Poppy. Aku tahu, kami sama-sama
saling merindukan. Aku tak rapuh lagi. Langit Seoul menjadi saksi bahwa aku tak
akan pergi lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar