30/06/15

Halalkan Aku Atau Tinggalkan Aku!


Lampu-lampu jalanan memamerkan terang cahayanya. Bukan hanya memperindah, tetapi juga menerangi gelapnya malam di kota kami. Kemacetan kecil di jalan-jalan di kota kami memang tak bisa dihindari. Aku sebagai penumpang cukup menikmati macetnya, tetapi tidak dengan Bimo, temanku yang berada di kursi kemudi.
“Gini aja terus sampai mampus.” Keluhnya pada macet. Aku cuma ketawa garing.
“Santai ajalah.” Tanggapku. Muka Bimo bertambah ketus.
“Kira-kira banyak yang beda enggak ya nanti?” tiba-tiba Bimo mengalihkan pembicaraan. Ya, malam ini kami akan menghadiri acara reuni angkatan SMA. Bimo sepertinya sudah tak sabar ingin bertemu dan menyapa teman-teman lama kami.
“Mungkin ada yang sudah menikah dan punya anak, bahkan mungkin anaknya udah punya anak.” Kataku. Bimo lalu tertawa renyah.
“Apa kita setua itu, bro?” tanya Bimo sambil menaikkan salah satu alisnya.

Kemacetan itu akhirnya berakhir juga. Kalian mungkin membayangkan acara reuni kami diadakan di suatu gedung atau bahkan hotel. Tetapi, kami tak pernah kerepotan jika ingin membuat suatu reuni. Anggita, salah satu orang tajir dan murah hati di angkatan kami dengan sukarela menjadikan rumahnya sebagai tempat reuni kami. Rumah Anggita bisa menampung lebih dari satu angkatan, dengan gaya rumah mewah masa kini, dilengkapi dengan taman belakang yang luas, kolam berenang berada di sisi sebelah kanannya dan di seberangnya terdapat ruang pertemuan terbuka yang bisa menampung kami semua. Di angkatan kami, anak-anak yang tajir kebanyakan merupakan anak-anak pejabat, tetapi tak sama dengan Anggita. Anggita merupakan seorang anak pengusaha, ibunya merupakan dosen di universitas ternama. Mudah ditebak, ia melewati masa kuliahnya dengan mudah. Itu yang selalu aku pikirkan. Terakhir kami mendapat kabar bahwa ia baru saja menyelesaikan S2 nya di London. Anggita selalu saja terlihat sempurna di mata kami semua. Bukan karena ketajiran dan kemurahan hatinya, tetapi ia juga dikenal pandai dan berwajah cantik. Kalau boleh disamakan, ia sedikit mirip dengan Dian Sastro. Wajahnya sangat Indonesia.

Ketika mungkin semua pria melihat ke arahnya, aku melihat ke arah yang lain. Sama seperti sekarang, ketika kami tiba di rumah bak istana milik Anggita, sang empunya rumah langsung menyambut kami diikuti teman-teman yang lain. Ah, wajahnya, masih saja seperti Dian Sastro.
“Wah, sepertinya gue dan Vino sudah ketinggalan banyak cerita.” Ujar Bimo sambil menyalami mereka satu-persatu. Anggita hanya menanggapi dengan senyuman. Aku mengikuti Bimo menyalami mereka.
Sambil menunggu kedatangan yang lain, kami saling bernostalgia. Ah, dia belum datang, atau tak datang?
“Hei, Vino! Ngelamun, ya? Dia mana, Vin? Datang, kan?” Anggita menyodorkanku tiga pertanyaan sekaligus.
Dia yang dimaksud oleh Anggita adalah teman kami yang bernama Tasya. Sejak aku dan Tasya dilahirkan, kami sudah bertetangga. Ia teman masa kecilku hingga sekarang, sejak TK hingga SMA kami selalu saja satu sekolah. Bukan disengaja, hanya saja pilihan kami selalu sama.
Hal itu menjadi sesuatu yang selalu didebatkan oleh Tasya. Ia berpikir akulah yang selalu mengikutinya. Dalam hati aku selalu membenarkan hal itu, hanya saja aku mengikutinya sejak kami lulus SD. Tetapi, konyolnya dia berpikir aku mengikutinya sejak duduk di bangku TK. Padahal TK dan SD bukan aku yang memilih, tetapi orangtuaku.

Mudah bagi kalian untuk menebak alasan mengapa aku memilih SMP dan SMA yang sama dengannya. Ya, aku menyukainya sejak kami duduk di bangku kelas 6 SD. Bayangkan saja, sejak balita kami sudah berteman dan bermain bersama. Tasya selalu berbagi denganku, meskipun sering pula kami berdebat satu sama lain.
Tasya merupakan sosok yang cerewet, tetapi cerdas dan berani. Sejak TK, kepandaiannya sudah menonjol. Ketika di SD, ia selalu mendapat peringkat 3 besar. Dari kekagumanku itulah tiba-tiba saja aku begitu menyukainya.
Sayangnya, ketika kami duduk di  bangku SMP kelas 1 ia seperti berubah. Aku pikir itu hanya perasaanku saja, tetapi ia benar-benar berubah. Tak lugu dan manis seperti dulu. Dia tak secerewet dulu bahkan lebih terkesan jutek. Hal itu juga berpengaruh pada penampilannya. Ia seperti dewasa sebelum waktunya, suka menggunakan pakaian-pakaian mini yang seolah-olah kekurangan bahan, kemudian menggunakan make-up mamanya (aku tahu karena aku pernah menguping pembicaraan mamanya dengan mamaku), bahkan Tasya pernah diskorsing karena berani mengecat rambutnya dengan warna pirang kemudian berlalu-lalang di sekolah.
Suatu kali aku bercanda untuk menyadarkannya, tetapi ia malah marah padaku.
“Sya, mbok’ya pakaiannya jangan gitu. Kayak kurang bahan, tau!” candaku.
“Diem aja lu, tau apa lu tentang style!” balasnya dengan ketus.
Aku rasa aku tak bisa tak mempedulikannya. Puncaknya adalah ketika kami masuk SMA. Ia bak seorang model, ia semakin tergila-gila dengan style masa kini. Tasya bertambah liar, setelah memiliki kekasih. Awalnya aku hanya cemburu biasa, sewajarnya seorang pria yang melihat wanita yang disukainya jalan dengan pria lain. Tetapi kecemburuanku itu berubah menjadi amarah yang mungkin membuat Tasya masih marah padaku hingga kini.

Suatu  malam Tasya pulang sangat larut. Ya, aku tahu Tasya selalu pulang saat larut. Ia selalu pulang dengan belanjaan yang begitu banyak. Tak lupa penampilannya seperti biasanya, menggunakan rok mini, sepatu berhak tinggi, make-up nya sendiri (bukan lagi make-up mamanya), rambut yang dicat, kuku-kuku berkuteks warna-warni yang begitu terlihat norak di mataku, serta tas yang bermerek mahal. Aku mual melihatnya. Ingin rasanya muntah di depannya.
Malam itu aku melihatnya diantar pulang oleh Rommy, kekasihnya. Aku memang tak mengenal Rommy, tetapi aku tahu namanya karena mamanya Tasya selalu membangga-banggakan kekasih anaknya itu ketika ia mengobrol dengan mamaku. Aku tahu, Rommy sudah memiliki pekerjaan tetap, dan mapan. Tetapi apakah pantas seorang ibu yang memiliki anak perempuan yang masih belajar di  SMA membangga-banggakan kekasih putrinya yang masih amat belia? Aku kecewa dengan sikap mamanya Tasya. Jika mamanya tak bisa menegurnya, aku pikir akulah yang harus menegurnya. Kalian mungkin berpikir aku terlalu alim dan tak mengerti perasaan gadis seperti Tasya yang ingin menikmati masa mudanya? Aku hanya merasa ada yang salah dengan Tasya, atau aku hanya egois dan ingin Tasya berubah kembali menjadi yang dulu.
Maka, malam itu aku keluar dari rumahku, tak peduli jam sudah menunjukkan pukul 12 malam.
Aku benar-benar tak bisa mengenali Tasya malam itu. Penampilannya benar-benar berubah. Rommy mencium pipi Tasya, dan dengan senyum lebar Tasya melambaikan tangan pada Rommy. Aku membiarkan mobil Rommy pergi menjauh. Tasya bergegas masuk ke dalam rumah, dengan cepat aku menarik tangannya dengan cukup kasar.
“Aww!!” Tasya menjerit antara terkejut dan kesakitan. Aku tak bisa menahan amarahku. “Vin, lo apa-apaan sih!!!” bentaknya.
“Lo yang apa-apaan!!!!!” aku tak mau kalah.
“Gue baru pulang, Vin. Gue capek, gue mau masuk.”
“Sya...” mataku saat itu berkaca-kaca.
“Lu kenapa sih? Kita bicara di dalam aja, deh. Sudah malam.”
“Justru karena udah larut, gue penasaran, lu darimana? Hah?”
Tasya diam menatapku, ia sedikit ketakutan.
“GUE TANYA LU DARIMANAAAAAA????!!!”
“Lu siapa sih, seenaknya bentak-bentak gue!!!” ia mulai menangis. “Lu berubah, Vin. Lu jadi kasar gini. Lu beda, Vin.” Lanjutnya. Aku terperangah.
“Enggak, Sya. Lu yang berubah. Bukan gue. ELU YANG BERUBAAAAAH TAUUUU GAAAAAK!!!!” bentakku sekali lagi.
Tubuhnya gemetaran, dengan cepat ia masuk ke dalam rumahnya meninggalkanku.
Malam itu terjadi ketika kami duduk di bangku kelas 2 SMA. Semenjak malam itu, kami seperti orang asing satu sama lain. Tak pernah saling bercerita lagi satu sama lain, hanya berbicara seperlunya saja. Kami hanya teman, bukan sahabat masa kecil. Dia mungkin membenciku, tetapi aku tetap menyukainya. Menyukai Tasya yang dulu.

Kembali ke rumah megah Anggita. Tak terasa setengah jam berlalu, teman-teman yang datang semakin banyak. Meskipun kami dari berbeda-beda kelas, tetapi kami saling akrab satu sama lain. Terlebih si empunya rumah merupakan sosok yang eksis, ia dikenal oleh satu sekolah, temannya banyak, tak sulit untuk mengundang satu angkatan kemari.
Di sela-sela obrolan, aku masih memikirkan Tasya. Sejak lulus SMA, orangtua Tasya pindah rumah. Aku tak tahu pindah kemana, bahkan aku tak tahu Tasya melanjutkan kuliah dimana. Kami sulit mencari informasi tentangnya karena Tasya tiba-tiba saja tak aktif di sosial media, bahkan beberapa akunnya sepertinya ia hapus, aku tak bisa menemukannya di pencarian.
Tiba-tiba Anggita berdiri, mata kami semua mengikuti arah perginya. Anggita menyalami seorang perempuan yang menggunakan kerudung lebar, sepertinya ia bukan salah satu bagian dari kami. Anggita mempersilahkan tamu itu duduk di sampingku, namun perempuan itu menolak. Astaga, jual mahal sekali. Perempuan  itu memilih duduk di dekat Anggita. Kami semua hanya diam tak menegurnya. Hingga Anggita membuka mulut.
“Kok pada diam? Sapa si Tasya, dong.” Katanya. Saat itu aku terkejut, mungkin bukan hanya aku, yang lainnya juga.
“Astagfirullah, Allahuakbar, MasyaAllah, Tasya?” saking terkejutnya Bimo sampai beristighfar. Aku terpaku di tempatku. Inikah doaku yang Allah ijabah? Aku selalu berdoa agar Tasya kembali menjadi Tasya yang dulu. Aku selalu berdoa semoga Allah mempertemukan aku kembali dengannya.
“Apa kabar, Sya? Sorry, lu beda, Sya, cantik, kita sampai enggak bisa ngenalin lu.” Kata Bimo. Aku masih terpaku. Sepanjang reuni aku hanya diam. Tasya juga tak banyak bercerita, sesekali berbicara ketika ditanya saja. Aku terus memperhatikannya. Tasya tak menggunakan make-up setebal dulu, tas dan sepatunya sederhana, dan yang luarbiasa pakaiannya sangat tertutup.
Jam menunjukkan pukul 10 malam. Tasya sepetinya bersiap pulang.
“Anggita, aku pamit, ya. Takut kemalaman.” Pamit Tasya. Ini benar-benar ajaib. Tasya yang dulu tak masalah bila pulang hingga lewat tengah malam.
“Kok cepat banget, Sya? Kamu pulang naik apa?” tanya Anggita.
“Sudah malam banget ini, Gita. Aku pulang sendiri.”
“Enggak mau diantar? Pulang sendiri bahaya, loh.”
Tasya diam sejenak. Aku bangkit dari tempatku.
“Anggita, gue cabut ya. Takut kemalaman juga.”
“Ah, tumben lu bro. Biasanya juga enggak pulang kagak apa-apa.” Kata Bimo. “Lagian juga lu mau naik apa, lu kan tadi perginya nebeng gue.”
Aku tak menanggapi Bimo.
“Sya, ayo pulang bareng. Naik bus?”
Sejenak Tasya memandangku. Bodoh, setelah bertahun-tahun lamanya tak bertemu, justru malah kalimat seperti itu yang pertama kali aku ucapkan padanya.
“Maaf, aku bisa pulang sendiri.”
Setelah berpamitan, Tasya berlalu. Aku mengikutinya keluar.
“Sya, setelah sekian lamanya waktu berlalu, kamu masih marah padaku soal malam itu?”
Aku merasa aneh memakai bahasa aku-kamu pada Tasya. Dulu, kami tak memakai bahasa seperti itu. Tetapi, melihatnya kini berubah, mungkin aku harus menyamai.
Tasya menoleh.
“Aku enggak bisa pulang dengan yang bukan muhrimku. Lebih baik aku pulang sendiri. Dan, tolong, jangan bahas malam itu lagi.” Ujarnya berapi-api. Aku cukup terperangah mendengarnya berkata seperti itu.
“Kalau begitu, kamu bisa menganggap bahwa kamu pulang sendirian. Tetapi, aku akan berjalan di belakangmu. Selalu di belakangmu. Dan, sorry untuk malam itu.” Tasya hanya mengangguk.

***

Hari demi hari berlalu sejak malam reuni itu. Tasya yang kini membuatku semakin menyukainya. Tetapi, Tasya tak pernah tahu itu.
Kuberanikan diri menyelipkan sebuket bunga di gerbang rumahnya. Kusisipkan sebuah tulisan di dalamnya. Ya, aku sudah tahu rumah yang dia tempati sekarang ini. Ketika pulang dari malam reuni, aku mengantarnya sampai di rumah. Bukan mengantarnya, lebih tepatnya menjaganya dari belakang.
Esoknya aku berniat menaruh sebuket bunga lagi di pintu rumahnya. Sayangnya, Tasya mendapatiku. Mendadak suasana menjadi agak canggung.
Akhirnya Tasya mengajakku masuk dan duduk.
“Sebenarnya aku sudah tahu sejak lama, bahwa kamu menyukaiku.”
Saat itu aku tak bisa menahan rasa maluku. Tasya dengan jelas mengatakan suatu kebenaran tentangku.
“Kuberi kamu 2 syarat untuk mencintaiku. Halalkan aku, atau tinggalkan aku.”
Aku mendongak. Menoleh ke arahnya. Subhanallah, syarat yang begitu menyentuhku sampai aku tak bisa berkata apapun.
“Kamu tahu aku akan memilih yang mana.” Jawabku.
Tasya tersenyum, dan aku tahu ini akan menjadi akhir yang bahagia. Penantian yang begitu panjang, pengharapanku dalam setiap sujud dan do'aku, sampai pada akhirnya aku menemukan jawabannya, bahkan lebih dari yang kupinta. Bukan hanya Tasya yang dulu, tetapi Tasya yang jauh lebih baik dari yang dulu. Terimakasih Yaa Rabb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar