Vinsyandana, sebuah nama yang terlalu cantik untuk sebuah
bangunan kost yang sudah berumur di Jalan Sajiono, Yogyakarta.
Menurut tuan rumah atau lebih tepatnya keturunan tuan rumah, kost ini
sudah berdiri sejak 20 tahun yang lalu, atau kurang lebih sama
seperti usiaku saat ini.
Aku sudah cukup lama menempati salah satu kamar kost di sini.
Perasaanku selalu saja menghadirkan perasaan yang lain ketika kedua
kakiku melangkah di sekitar sini. Meskipun selama setahun terakhir
ini aku tak mengalami suatu keanehan yang berarti.
Jadi, kujalani saja hari-hariku di sini seperti biasanya. Beberapa
hari ini tugas kuliahku cukup longgar, bukan berarti aku bisa
seenaknya jalan-jalan mengingat kondisi dompetku yang mengenaskan.
Kubiarkan saja waktuku habis di dalam kost. Terkadang jika aku mulai
bosan, kuputuskan untuk bermain-main bersama keponakan-keponakan ibu
kost yang menggemaskan itu.
Biar kuceritakan lebih lanjut tentang kost-ku. Rumah megah yang
kutaksir membutuhkan biaya yang cukup besar untuk perawatannya itu
kini terlihat seperti ingin runtuh. Beberapa bagian disangga dengan
kayu seadanya, beberapa lantai yang keramiknya sudah rusak tak
kunjung diperbaiki. Namun, dua jempol kuacungkan untuk Bu Laksmi.
Beliau bukan tukang bersih-bersih di rumah ini, Bu Laksmi adalah ibu
dari keponakan-keponakan ibu kost, dengan demikian ibu kost adalah
kakak Bu Laksmi, atau lebih tepatnya lagi kakak iparnya. Pak
Parminto, suami Bu Laksmi, beliau adalah adik dari ibu kost. Jika
diperhatikan, usia antara Bu Laksmi dan Pak Parminto sepertinya cukup
berbeda jauh, Bu Laksmi yang terlihat masih berkepala tiga, sementara Pak Parminto berkacamata dengan pitak di kepalanya serta uban
menghiasi rambutnya yang tipis itu.
Ibu kostku bernama Ibu Nurmala, biasanya kami menyapa beliau dengan
cukup memanggilnya Bu Mala. Umurnya bisa diperkirakan sudah mencapai
65 tahun. Suaminya meninggal 8 tahun yang lalu karena stroke dan
sakit jantung. Sayangnya, Bu Mala tidak memiliki anak, sehingga
kepergian suaminya membuat hari-harinya menjadi kesepian.
Bu Mala menempati ruangan-ruangan utama di rumah megah tersebut,
sedangkan Pak Parminto, Bu Laksmi dan anak-anak mereka menempati
beberapa kamar lainnya di bagian belakang. Kost kami sendiri
berjejer-jejer di samping kanan rumah megah itu. Ada 10 kamar kost, 6
terisi dan sisanya kosong. Sekedar informasi, kamar mandi yang kami
gunakan sehari-hari ada di luar kamar, hanya ada 3 kamar mandi, jika
full kami harus antri.
Kuperhatikan jarum jam yang tinggal dengan kokoh di sebuah jam
raksasa di ruang tamu Bu Mala. Ruang tamu penghuni kost dengan rumang
tamu rumah bu Mala memang berbeda. Tetapi, aku lebih suka di sini,
sebab ruang tamu untuk penghuni kost menjadi tempat orang wara-wiri.
Di ruangtamu bu Mala ini udaranya berbeda dengan ruang tamu penghuni
kost, suasananya pun lebih nyaman dan sepi, lagipula bu Mala tidak
melarang penghuni kost untuk duduk-duduk atau tidur-tiduran di sini.
Dari dalam sini aku bisa melihat aktifitas penghuni kost yang lain
melalui kaca besar yang bergorden putih itu. Tetapi, orang-orang di
luar sana tidak akan mengetahui keberadaanku di dalam sini karena
kacanya yang gelap jika dilihat dari luar.
Seperti kebanyakan rumah-rumah megah nan tua lainnya, dinding-dinding
ruang tamunya dipenuhi dengan figura-figura nenek buyut mereka dan
keturunan-keturunannya. Aku tak penasaran dengan orang-orang yang
terkurung dalam bingkai foto di dinding rumah tua tersebut. Tetapi,
selalu ada satu pertanyaan yang menggangguku sejak awal aku
menyatakan diri untuk menjadi penghuni kost ini. Yang manakah
diantara orang-orang dalam foto itu yang bernama Vinsyandana?
Sepertinya ia anak kesayangan sampai-sampai namanya diabadikan
menjadi nama kost di rumah megah ini. Tetapi, selalu kuurungkan
niatku untuk bertanya, entah mengapa.
Aku sibuk dengan ponselku, kustalk beberapa artis ibukota yang
kelihatannya kehidupannya asyik untuk aku soroti. Aktivitasku
pagi ini tidak begitu penting, kalau begitu mari kuceritakan
satu-persatu penghuni kost Vinsyandana ini.
Namaku Arum, sebelum tinggal di sini, aku tinggal di Bogor bersama
kedua adikku serta kedua orangtuaku. Ayah dan ibuku termasuk orangtua
yang sibuk, sehingga meskipun kini aku merantau di daerah orang,
suasana rumah tak akan menunjukkan perbedaan yang berarti. Topan,
adikku, lagi sibuk-sibuknya berlatih basket demi memenangkan
pertandingan basket antarkota, dan Mela, adik perempuanku, lagi
sibuk-sibuknya latihan menari untuk ajang bergengsi di tahun depan.
aku sendiri, hari-hariku disibuki dengan berkutat dengan tugas-tugas
kuliah.
Selain aku, ada pula Mbak Pia. Kadang aku geli sendiri jika ingin
memanggil namanya karena yang terbayang di benakku adalah bakpia,
makanan oleh-oleh khas Jogja yang memiliki beraneka rasa. Mbak Pia
ini dari Jakarta, beraura tomboi namun kecantikannya tidak bisa
ditutupi. Matanya tajam, rambutnya bergelombang sebahu, ia lebih suka
menguncirnya. Satu hal yang paling kuingat tentangnya adalah ia tak
pernah memakai rok, mungkin suatu hari nanti akan kuajak dia ke
kondangan, aku ingin melihatnya saat menggunakan rok, hihi. Mengenai
kost ini, mbak Pia sering bercerita padaku bahwa perasaannya selalu
tidak enak saat pulang ke kost, aku hanya menggapinya dengan santai
aja, aku tak mau dia pindah kost jika aku juga menyetujui perasaannya
itu.
Berbeda lagi dengan si Mayang, gadis Depok. Ia jarang sekali ada di
kost, ia baru akan pulang ketika malam telah larut. mata mayang
selalu membulat dan bersinar ketika menceritakan sisi kota Jogja.
Gadis itu memuja kota Jogja. Ia senang bepergian dan menjelajahi
segala penjuru sudut kota Jogja. Coba saja tanya padanya, tempat mana
yang belum ia datangi, hampir semuanya sudah pernah dipijakinya,
mungkin itulah sebabnya mengapa ia jarang muncul batang hidungnya di
sekitar kost. Ada dua kemungkinan perihal hal itu, satu, dia
mengurung diri di dalam kamar, kedua, ia beperrgian dan lupa jalan
pulang. Satu hal yang paling kuingat tentangnya adalah ia fashionable
tetapi hobi makan di angkringan, aku sering mengatakan padanya bahwa
mungkin ia sudah dipelet oleh mas-mas di angkringan itu karena
angkringan yang ia selalu datangi itu-itu saja. Mayang hanya
membalasku dengan juluran lidah.
Kemudian ada yang bernama Kartika, aku biasa memanggilnya Tika saja.
Awal dia datang ke kost ini, badannya terlampau semok atau bahkan
gemuk. Namun, belakangan ini tiba-tiba saja bodynya menjadi
body goals, impian semua cewek. Aku menduga hal ini terjadi
karena kebiasannya yang sering menggunakan Transjogja sebagai
alat transportasinya. Ia harus berjalan kaki cukup jauh untuk
mencapai halte begitupun pulangnya. Belum lagi, jika harus mengejar
waktu, menunggu di halte, dan berdiri desak-desakan dengan penumpang
lainnya. Tetapi, Tika selalu mengatakan bahwa ia senang naik
Transjogja, ia senang memperhatikan orang-orang yang katanya
secara tidak langsung terkadang memberinya pelajaran hidup. Entahlah,
bahasa Tika kurang aku mengerti. Tika bukan hanya berbody goals,
wajahnya juga cantik sekali. Aku selalu ingin bertanya, apakah dia
keturuan timur-tengah? aku tak yakin karena Tika pernah bilang bahwa
sebelum datang ke Jogja, ia tinggal di Semarang, meskipun logat
Jawanya tidak medok selama yang aku perhatikan. Tika ini rajin
berolahraga, ia sering mengajakku jogging atau renang, tetapi
selalu saja waktunya tak tepat.
Aku sering menyarankan pada Tika untuk jogging bersama Shireen
saja, anak kost lainnya. Tetapi, Tika hanya menggelengkan kepalanya.
Kemudian aku tanya mengapa, dengan suara yang dikecilkan Tika
mengatakan padaku bahwa ia beranggapan bahwa perempuan bernama
Shireen itu aneh, aku hanya mengangkat bahu, tak ingin berkomentar
tentang perempuan berkacamata itu. Aku terus menyarankannya untuk
meakukan jogging bersama Shireen. Perempuan itu setiap hari
jogging sendirian, atau memang ia senang melakukan segala
sesuatunya sendirian? mungkin kapan-kapan aku akan melakukan
pendekatan terhadap Shireen.
Menurutku, Veronica, anak kost yang menghuni kost Purbasari, tepatnya
kost yang berada di depan kost Vinsyandana, perempuan itu lebih aneh
dari Shireen. Penampilannya gotik, perawakannya seperti pria, suka
menggunakan yang aneh-aneh dan serba hitam, yang paling mengesalkan
adalah ia senang sekali bercerita mistis kepada orang-orang di
sekitarnya. Terkadang, menurutku, ceritanya sering ia lebih-lebihkan,
sehingga terkadang kami tak percaya dengan apa yang diceritakannya
itu. Aku tak ingin membahasnya lebih jauh, aku cukup bersyukur tidak
satu tempat kost dengannya.
Puspita adalah anak kost di kamar lainnya. Kupanggil saja dia dengan
sebutan Mbak Pus. Orangnya cantik, berambut panjang, keibuan, dan
paling peduli diantara yang lainnya. Aku tak tahu banyak tentangnya,
tetapi sepertinya ia sudah memasuki semester-semester akhir kuliah.
Aku menguap dan mencoba memperbaiki posisi dudukku, tidak lucu kalau
aku sampai ketiduran di sofa ruang tamu ibu kost. Kupalingkan wajahku
ke arah jendela yang mengarah pada pintu gerbang. Sebuah mobil sedan
berwarna silver berhenti di dekat gerbang. Seorang perempuan yang
kelihatannya baru lulus SMA itu keluar dari dalam mobil, wajahnya
bening sekali, tetapi raut wajahnya sedih. Setelah ia keluar, diikuti
dua orang lainnya, kelihatannya itu orangtuanya. Ibunya memakai
kacamata hitam dan topi piknik sehingga aku tak bisa melihat jelas
wajahnya, sedangkan ayahnya hanya menggunakan kacamata hitam.
Keduanya membantu putri mereka membawa barang-barang ke ruang tamu
kost, bukan ruang tamu rumah megah ini. Ruang tamu kost sempit,
kelihatannya anak tersebut akan bergabung di sini. Begitu mereka
memasuki ruang tamu kost, ibunya membuka topi dan kacamatanya. Mataku
membulat memandang pemandangan tersebut dan mulutku menganga. Aku
melihat Diana Rose, artis perempuan ternama itu berada di ruang tamu
kost yang berbatasan dengan ruang tamu rumah megah ini. Kemudian
kuperhatikan pria di sampingnya itu, apakah itu suami barunya yang akhir-akhir ini beritanya di gembor-gemborkan di media?
jika iya, mereka berdua nampak kompak mengantar putri mereka untuk
merantau ke kota Jogja. Sebelumnya, aku memang tak pernah tahu
seperti apa tampang putri mereka, tetapi ternyata umurnya tak berbeda
jauh dari umurku. Aku penasaran, mengapa ia memilih kost ini? mengingat latar belakang pekerjaan Diana Rose itu, seharusnya anak mereka bisa tinggal di tempat yang lebih nyaman dibandingkan di sini.
"Halo, aku Arum." putri Diana Rose itu meraih jabatan
tanganku, kemudian tersenyum simpul, manis,
"Halo Arum, aku Ledis."
saat itu aku tahu, akan banyak lagi cerita yang mengalir di kost
Vinsyandana. Akan banyak lagi warna yang hadir. Suatu hari nanti Mbak
Pia akan mendapat jawaban dari semua ketidakenakan perasaannya tiap
kali pulang ke kost ini, suatu hari nanti aku akan tahu mengapa
Mayang yang fashionable itu memilih makan di angkringan setiap
malam dibandingkan di restoran berkelas yang sesuai dengan
kantongnya, suatu hari aku akan menngerti pelajaran hidup apa yang
selalu Tika dapatkan tiap kali ia pulang-pergi menggunakan
Transjogja, suatu hari nanti aku akan paham mengapa Shireen
yang sebenarnya cantik itu memilih menutup dirinya, suatu hari nanti,
Veronica, cewek gotik itu mengalami peristiwa yang membuatnya
berubah, dan suatu hari nanti mbak Pus akan menceritakan padaku
tentang bagaimana selama ini ia melihat sisi luar dari suatu
kehidupan, suatu hari nanti Ledis akan menceritakan padaku tentang seluk-beluk kehidupannya, tentang bagaimana hidupnya sebagai anak dari seorang Diana Rose. And then, untuk Ledis, welcome to Vinsyandana Kost!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar