26/04/16

#1 A Story From Jogja: Vinsyandana Kost



 Vinsyandana, sebuah nama yang terlalu cantik untuk sebuah bangunan kost yang sudah berumur di Jalan Sajiono, Yogyakarta. Menurut tuan rumah atau lebih tepatnya keturunan tuan rumah, kost ini sudah berdiri sejak 20 tahun yang lalu, atau kurang lebih sama seperti usiaku saat ini.

Aku sudah cukup lama menempati salah satu kamar kost di sini. Perasaanku selalu saja menghadirkan perasaan yang lain ketika kedua kakiku melangkah di sekitar sini. Meskipun selama setahun terakhir ini aku tak mengalami suatu keanehan yang berarti.

Jadi, kujalani saja hari-hariku di sini seperti biasanya. Beberapa hari ini tugas kuliahku cukup longgar, bukan berarti aku bisa seenaknya jalan-jalan mengingat kondisi dompetku yang mengenaskan. Kubiarkan saja waktuku habis di dalam kost. Terkadang jika aku mulai bosan, kuputuskan untuk bermain-main bersama keponakan-keponakan ibu kost yang menggemaskan itu.

Biar kuceritakan lebih lanjut tentang kost-ku. Rumah megah yang kutaksir membutuhkan biaya yang cukup besar untuk perawatannya itu kini terlihat seperti ingin runtuh. Beberapa bagian disangga dengan kayu seadanya, beberapa lantai yang keramiknya sudah rusak tak kunjung diperbaiki. Namun, dua jempol kuacungkan untuk Bu Laksmi. Beliau bukan tukang bersih-bersih di rumah ini, Bu Laksmi adalah ibu dari keponakan-keponakan ibu kost, dengan demikian ibu kost adalah kakak Bu Laksmi, atau lebih tepatnya lagi kakak iparnya. Pak Parminto, suami Bu Laksmi, beliau adalah adik dari ibu kost. Jika diperhatikan, usia antara Bu Laksmi dan Pak Parminto sepertinya cukup berbeda jauh, Bu Laksmi yang terlihat masih berkepala tiga, sementara Pak Parminto berkacamata dengan pitak di kepalanya serta uban menghiasi rambutnya yang tipis itu.

Ibu kostku bernama Ibu Nurmala, biasanya kami menyapa beliau dengan cukup memanggilnya Bu Mala. Umurnya bisa diperkirakan sudah mencapai 65 tahun. Suaminya meninggal 8 tahun yang lalu karena stroke dan sakit jantung. Sayangnya, Bu Mala tidak memiliki anak, sehingga kepergian suaminya membuat hari-harinya menjadi kesepian.

Bu Mala menempati ruangan-ruangan utama di rumah megah tersebut, sedangkan Pak Parminto, Bu Laksmi dan anak-anak mereka menempati beberapa kamar lainnya di bagian belakang. Kost kami sendiri berjejer-jejer di samping kanan rumah megah itu. Ada 10 kamar kost, 6 terisi dan sisanya kosong. Sekedar informasi, kamar mandi yang kami gunakan sehari-hari ada di luar kamar, hanya ada 3 kamar mandi, jika full kami harus antri.

Kuperhatikan jarum jam yang tinggal dengan kokoh di sebuah jam raksasa di ruang tamu Bu Mala. Ruang tamu penghuni kost dengan rumang tamu rumah bu Mala memang berbeda. Tetapi, aku lebih suka di sini, sebab ruang tamu untuk penghuni kost menjadi tempat orang wara-wiri. Di ruangtamu bu Mala ini udaranya berbeda dengan ruang tamu penghuni kost, suasananya pun lebih nyaman dan sepi, lagipula bu Mala tidak melarang penghuni kost untuk duduk-duduk atau tidur-tiduran di sini. Dari dalam sini aku bisa melihat aktifitas penghuni kost yang lain melalui kaca besar yang bergorden putih itu. Tetapi, orang-orang di luar sana tidak akan mengetahui keberadaanku di dalam sini karena kacanya yang gelap jika dilihat dari luar.

Seperti kebanyakan rumah-rumah megah nan tua lainnya, dinding-dinding ruang tamunya dipenuhi dengan figura-figura nenek buyut mereka dan keturunan-keturunannya. Aku tak penasaran dengan orang-orang yang terkurung dalam bingkai foto di dinding rumah tua tersebut. Tetapi, selalu ada satu pertanyaan yang menggangguku sejak awal aku menyatakan diri untuk menjadi penghuni kost ini. Yang manakah diantara orang-orang dalam foto itu yang bernama Vinsyandana? Sepertinya ia anak kesayangan sampai-sampai namanya diabadikan menjadi nama kost di rumah megah ini. Tetapi, selalu kuurungkan niatku untuk bertanya, entah mengapa.

Aku sibuk dengan ponselku, kustalk beberapa artis ibukota yang kelihatannya kehidupannya asyik untuk aku soroti.  Aktivitasku pagi ini tidak begitu penting, kalau begitu mari kuceritakan satu-persatu penghuni kost Vinsyandana ini.

Namaku Arum, sebelum tinggal di sini, aku tinggal di Bogor bersama kedua adikku serta kedua orangtuaku. Ayah dan ibuku termasuk orangtua yang sibuk, sehingga meskipun kini aku merantau di daerah orang, suasana rumah tak akan menunjukkan perbedaan yang berarti. Topan, adikku, lagi sibuk-sibuknya berlatih basket demi memenangkan pertandingan basket antarkota, dan Mela, adik perempuanku, lagi sibuk-sibuknya latihan menari untuk ajang bergengsi di tahun depan. aku sendiri, hari-hariku disibuki dengan berkutat dengan tugas-tugas kuliah.

Selain aku, ada pula Mbak Pia. Kadang aku geli sendiri jika ingin memanggil namanya karena yang terbayang di benakku adalah bakpia, makanan oleh-oleh khas Jogja yang memiliki beraneka rasa. Mbak Pia ini dari Jakarta, beraura tomboi namun kecantikannya tidak bisa ditutupi. Matanya tajam, rambutnya bergelombang sebahu, ia lebih suka menguncirnya. Satu hal yang paling kuingat tentangnya adalah ia tak pernah memakai rok, mungkin suatu hari nanti akan kuajak dia ke kondangan, aku ingin melihatnya saat menggunakan rok, hihi. Mengenai kost ini, mbak Pia sering bercerita padaku bahwa perasaannya selalu tidak enak saat pulang ke kost, aku hanya menggapinya dengan santai aja, aku tak mau dia pindah kost jika aku juga menyetujui perasaannya itu. 

Berbeda lagi dengan si Mayang, gadis Depok. Ia jarang sekali ada di kost, ia baru akan pulang ketika malam telah larut. mata mayang selalu membulat dan bersinar ketika menceritakan sisi kota Jogja. Gadis itu memuja kota Jogja. Ia senang bepergian dan menjelajahi segala penjuru sudut kota Jogja. Coba saja tanya padanya, tempat mana yang belum ia datangi, hampir semuanya sudah pernah dipijakinya, mungkin itulah sebabnya mengapa ia jarang muncul batang hidungnya di sekitar kost. Ada dua kemungkinan perihal hal itu, satu, dia mengurung diri di dalam kamar, kedua, ia beperrgian dan lupa jalan pulang. Satu hal yang paling kuingat tentangnya adalah ia fashionable tetapi hobi makan di angkringan, aku sering mengatakan padanya bahwa mungkin ia sudah dipelet oleh mas-mas di angkringan itu karena angkringan yang ia selalu datangi itu-itu saja. Mayang hanya membalasku dengan juluran lidah.

Kemudian ada yang bernama Kartika, aku biasa memanggilnya Tika saja. Awal dia datang ke kost ini, badannya terlampau semok atau bahkan gemuk. Namun, belakangan ini tiba-tiba saja bodynya menjadi body goals, impian semua cewek. Aku menduga hal ini terjadi karena kebiasannya yang sering menggunakan Transjogja sebagai alat transportasinya. Ia harus berjalan kaki cukup jauh untuk mencapai halte begitupun pulangnya. Belum lagi, jika harus mengejar waktu, menunggu di halte, dan berdiri desak-desakan dengan penumpang lainnya. Tetapi, Tika selalu mengatakan bahwa ia senang naik Transjogja, ia senang memperhatikan orang-orang yang katanya secara tidak langsung terkadang memberinya pelajaran hidup. Entahlah, bahasa Tika kurang aku mengerti. Tika bukan hanya berbody goals, wajahnya juga cantik sekali. Aku selalu ingin bertanya, apakah dia keturuan timur-tengah? aku tak yakin karena Tika pernah bilang bahwa sebelum datang ke Jogja, ia tinggal di Semarang, meskipun logat Jawanya tidak medok selama yang aku perhatikan. Tika ini rajin berolahraga, ia sering mengajakku jogging atau renang, tetapi selalu saja waktunya tak tepat. 

Aku sering menyarankan pada Tika untuk jogging bersama Shireen saja, anak kost lainnya. Tetapi, Tika hanya menggelengkan kepalanya. Kemudian aku tanya mengapa, dengan suara yang dikecilkan Tika mengatakan padaku bahwa ia beranggapan bahwa perempuan bernama Shireen itu aneh, aku hanya mengangkat bahu, tak ingin berkomentar tentang perempuan berkacamata itu. Aku terus menyarankannya untuk meakukan jogging bersama Shireen. Perempuan itu setiap hari jogging sendirian, atau memang ia senang melakukan segala sesuatunya sendirian? mungkin kapan-kapan aku akan melakukan pendekatan terhadap Shireen. 

Menurutku, Veronica, anak kost yang menghuni kost Purbasari, tepatnya kost yang berada di depan kost Vinsyandana, perempuan itu lebih aneh dari Shireen. Penampilannya gotik, perawakannya seperti pria, suka menggunakan yang aneh-aneh dan serba hitam, yang paling mengesalkan adalah ia senang sekali bercerita mistis kepada orang-orang di sekitarnya. Terkadang, menurutku, ceritanya sering ia lebih-lebihkan, sehingga terkadang kami tak percaya dengan apa yang diceritakannya itu. Aku tak ingin membahasnya lebih jauh, aku cukup bersyukur tidak satu tempat kost dengannya.

Puspita adalah anak kost di kamar lainnya. Kupanggil saja dia dengan sebutan Mbak Pus. Orangnya cantik, berambut panjang, keibuan, dan paling peduli diantara yang lainnya. Aku tak tahu banyak tentangnya, tetapi sepertinya ia sudah memasuki semester-semester akhir kuliah.

Aku menguap dan mencoba memperbaiki posisi dudukku, tidak lucu kalau aku sampai ketiduran di sofa ruang tamu ibu kost. Kupalingkan wajahku ke arah jendela yang mengarah pada pintu gerbang. Sebuah mobil sedan berwarna silver berhenti di dekat gerbang. Seorang perempuan yang kelihatannya baru lulus SMA itu keluar dari dalam mobil, wajahnya bening sekali, tetapi raut wajahnya sedih. Setelah ia keluar, diikuti dua orang lainnya, kelihatannya itu orangtuanya. Ibunya memakai kacamata hitam dan topi piknik sehingga aku tak bisa melihat jelas wajahnya, sedangkan ayahnya hanya menggunakan kacamata hitam. Keduanya membantu putri mereka membawa barang-barang ke ruang tamu kost, bukan ruang tamu rumah megah ini. Ruang tamu kost sempit, kelihatannya anak tersebut akan bergabung di sini. Begitu mereka memasuki ruang tamu kost, ibunya membuka topi dan kacamatanya. Mataku membulat memandang pemandangan tersebut dan mulutku menganga. Aku melihat Diana Rose, artis perempuan ternama itu berada di ruang tamu kost yang berbatasan dengan ruang tamu rumah megah ini. Kemudian kuperhatikan pria di sampingnya itu, apakah itu suami barunya yang akhir-akhir ini beritanya di gembor-gemborkan di media? jika iya, mereka berdua nampak kompak mengantar putri mereka untuk merantau ke kota Jogja. Sebelumnya, aku memang tak pernah tahu seperti apa tampang putri mereka, tetapi ternyata umurnya tak berbeda jauh dari umurku. Aku penasaran, mengapa ia memilih kost ini? mengingat latar belakang pekerjaan Diana Rose itu, seharusnya anak mereka bisa tinggal di tempat yang lebih nyaman dibandingkan di sini.

"Halo, aku Arum." putri Diana Rose itu meraih jabatan tanganku, kemudian tersenyum simpul, manis,

"Halo Arum, aku Ledis."

saat itu aku tahu, akan banyak lagi cerita yang mengalir di kost Vinsyandana. Akan banyak lagi warna yang hadir. Suatu hari nanti Mbak Pia akan mendapat jawaban dari semua ketidakenakan perasaannya tiap kali pulang ke kost ini, suatu hari nanti aku akan tahu mengapa Mayang yang fashionable itu memilih makan di angkringan setiap malam dibandingkan di restoran berkelas yang sesuai dengan kantongnya, suatu hari aku akan menngerti pelajaran hidup apa yang selalu Tika dapatkan tiap kali ia pulang-pergi menggunakan Transjogja, suatu hari nanti aku akan paham mengapa Shireen yang sebenarnya cantik itu memilih menutup dirinya, suatu hari nanti, Veronica, cewek gotik itu mengalami peristiwa yang membuatnya berubah, dan suatu hari nanti mbak Pus akan menceritakan padaku tentang bagaimana selama ini ia melihat sisi luar dari suatu kehidupan, suatu hari nanti Ledis akan menceritakan padaku tentang seluk-beluk kehidupannya, tentang bagaimana hidupnya sebagai anak dari seorang Diana Rose. And then, untuk Ledis, welcome to Vinsyandana Kost!



*Cerita ini hanya karangan dan fiksi belaka, jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, hal itu hanya kebetulan semata.


Sumber gambar: https://www.tumblr.com/search/roomdesign


Tidak ada komentar:

Posting Komentar