I might never be the hands you put
your heart in
Or the arms that hold you any time
you want them
But that don’t mean that we can’t
live here in the moment
‘Cause I can be the one you love from time to
time
And if you like midnight driving
with the windows down
And if you like going places we
can’t even pronounce
If you like to do whatever you've
been dreaming about
Then baby, you're perfect
Baby, you're perfect
So let's start right now
[ One Direction - Perfect ]
Aku seorang penulis.
Ya, penulis dalam diary-ku sendiri. Begitu
yang Lee katakan padaku. Aku selalu ingin menjadi penulis. Kata dia, meski aku
hanya menulis diary, aku sudah
menjadi seorang penulis. Penulis yang menuliskan tentang dia dalam diary-nya. Lihat, betapa percaya dirinya
dia. Tetapi, aku suka.
Aku senang
mengingat-ingat kembali saat-saat bersamanya. Lee, dia tak suka ketinggian,
tetapi hari itu di depanku dia mengiyakan pintaku untuk naik kora-kora di suatu
pasar malam bersamaku. Aku menyesal tak merekam ekspresinya kala itu. Dalam
hati, pasti ia jengkel setengah mati padaku. Di atas kora-kora yang melambung
tinggi itu, aku cekikikan melihat kelakuannya. Wajahnya sudah tak karuan.
Keringat dingin memenuhi dahinya. Tetapi, ia tetap bertahan mengiyakan pintaku
naik kora-kora untuk kedua kalinya.
Lee adalah tipe
orang yang sulit menghapal arah jalan. Berbeda denganku. Katanya dia mau terus
bersamaku agar ia selalu berada di jalan yang benar. Kata dia aku adalah
petanya. Peta petunjuk jalannya. Menurutku itu perkatan yang cukup romantis.
Aku pernah
bercerita padanya. Aku iri pada teman-temanku, mereka bisa merasakan jatuh
cinta, mereka bisa bercerita tentang orang-orang yang mereka suka. Tetapi, aku
kacau dengan diriku. Aku sangat mudah jatuh kagum tetapi sulit untuk
benar-benar mencintai. Kata dia saat itu, mengapa tak kucintai dia saja? Katanya
aku boleh mencintainya agar aku punya bahan cerita di depan teman-temanku.
Aku bertanya
padanya, lalu bagaimana dengan gadismu?
Yang kau puja sebelum pertemuan kita kala itu? Kala dia memakai kaos bertuliskan
sebuah nama teater. Katanya teater itu teater favoritnya, padahal itu juga teater
favoritku. Akhirnya, teater-teater itu menciptakan pertemuan-pertemuan kami
untuk yang kedua kalinya, ketiga kalinya, dan seterusnya.
Aku pernah
berdiskusi dengan Lee. Aku tanya mengapa banyak lelaki yang tak juga menyerah
dengan sikapku? Padahal aku sudah bersikap setengah mati tak memedulikan mereka
agar mereka menyerah saja padaku, tetapi mereka tak kunjung menyerah. Aku
bertanya pada Lee, apakah Tuhan memang menciptakan sosok lelaki seperti itu?
Lee hanya tersenyum, manis sekali kala itu.
Aku bertanya
lagi, tetapi mengapa setelah mereka mendapatkan yang mereka iginkan seringkali mereka pergi dan
menyia-nyiakan yang selama ini mereka perjuangkan? Aku mengambil contoh kecil
dari kisah kedua orangtuaku. Jika saja kalian tahu, bahwa di kota-kota besar
hal seperti itu seringkali terjadi. Saat aku duduk di bangku sekolah dulu, bisa
dikatakan setengah dari jumlah siswa di kelas adalah anak-anak berlatar
belakang broken home. Maka itulah aku
bertanya pada Lee, mengapa pria-pria itu meninggalkan wanita mereka?
***