Mataku kembali
menatap pemandangan yang disuguhkan oleh perjalanan. Tetapi, dengan cepat
pikiranku kembali lagi pada dia yang sejak tadi memenuhi ruang demi ruang di
pikiranku.
“Sok.” Dia mengomentariku.
“Saya kenapa
lagi? Kalau kamu mau chat saya, nggak perlu pakai ngatain segala.” Kataku
dengan emote menangis.
“Isinya itu
sebagai komunikator dan anda sebagai komunikan harus menerima.”
“Aduh, bahasa
kamu ribet.”
“Kamu harus
mengerti.” Paksanya.
“Iya, saya
berusaha.”
“Tapi, jangan
berusaha melupakan, ya.” Katanya dengan banyak sekali emote tertawa dengan air mata,
artinya ia bahagia sekali mengatakan itu padaku. Entah.
Banyak sekali
percakapan-percakapan aneh di antara aku dengannya. Terkadang aku tak bisa
membalas kata-katanya, jadi aku hanya membalas “Hahahaha” saja.
“Ketawa lagi.”
Kata dia.
“Maaf.” Kataku dengan
emote cemberut.
“Jangan minta
maaf.”
“Eh, iya maaf.”
Dodolnya aku meminta maaf lagi.
“Astaga!” kata
dia, memarahiku.
“Sedih.”
Ungkapku.
“Jangan sedih,
senyum dulu.”
“Gimana
caranya?”
“Ingat saja aku,
senyum pasti.”
Dan seperti
biasa, tawaku meledak lagi.
“Hahahaha.
Terimakasih.”
“Sudah senyum?”
“Iya, hehe.”
“Tapi, saya
belum.” Kata dia dengan emote sedih. “Tolong bikin saya senyum.” Pintanya.
“Harusnya kalau
saya senyum, kamu juga.” Kataku beralasan.
“Hmm, efek hujan
mungkin. Di sana hujan juga?”
“Enggak. Sok
tahu kamu. Saya mau bilang “ingat saya juga” supaya kamu senyum tapi kamu nanti
malah sedih.”
“Ih, kenapa?”
“Ya sudah, ingat
saya saja.”
“Selalu.”
“Ih, masa?”
“Ih, tanya saja
sama Allah.”
Dan aku tertawa
lagi untuk yang kesekian kalinya. Tahu tidak dia balas apa?
“Jangan ketawa.”
“Kenapa?”
“Nanti saya
jatuh hati lagi.”
Dan aku
mengalihkannya.
“Kenapa kamu
ingat saya terus? Padahal saya ingat kamu hanya sesekali saja.”
“Mungkin kamu
punya hutang.” Kata dia, menyebalkan.
“Saya punya
hutang?” tanyaku tidak percaya.
“Ada.”
“Apa?”
“Bikin saya
berhenti merokok.”
“Tiap kamu mau
beli rokok, ingat ya, belinya jangan rokok, tapi permen!” perintahku.
“Capek beli
permen.”
“Nggak boleh
capek!”
“Caranya?”
“Ingat kata saya!”
“Eggak mau.”
“Ya sudah,
enggak apa-apa.”
“Ih, marah.”