12/02/17

Dia Adalah Dilanku, Bukan Dilannya Milea [ END ]



Mataku kembali menatap pemandangan yang disuguhkan oleh perjalanan. Tetapi, dengan cepat pikiranku kembali lagi pada dia yang sejak tadi memenuhi ruang demi ruang di pikiranku.
“Sok.” Dia mengomentariku.
“Saya kenapa lagi? Kalau kamu mau chat saya, nggak perlu pakai ngatain segala.” Kataku dengan emote menangis.
“Isinya itu sebagai komunikator dan anda sebagai komunikan harus menerima.”
“Aduh, bahasa kamu ribet.”
“Kamu harus mengerti.” Paksanya.
“Iya, saya berusaha.”
“Tapi, jangan berusaha melupakan, ya.” Katanya dengan banyak sekali emote tertawa dengan air mata, artinya ia bahagia sekali mengatakan itu padaku. Entah.

Banyak sekali percakapan-percakapan aneh di antara aku dengannya. Terkadang aku tak bisa membalas kata-katanya, jadi aku hanya membalas “Hahahaha” saja.

“Ketawa lagi.” Kata dia.
“Maaf.” Kataku dengan emote cemberut.
“Jangan minta maaf.”
“Eh, iya maaf.” Dodolnya aku meminta maaf lagi.
“Astaga!” kata dia, memarahiku.
“Sedih.” Ungkapku.
“Jangan sedih, senyum dulu.”
“Gimana caranya?”
“Ingat saja aku, senyum pasti.”
Dan seperti biasa, tawaku meledak lagi.
“Hahahaha. Terimakasih.”
“Sudah senyum?”
“Iya, hehe.”
“Tapi, saya belum.” Kata dia dengan emote sedih. “Tolong bikin saya senyum.” Pintanya.
“Harusnya kalau saya senyum, kamu juga.” Kataku beralasan.
“Hmm, efek hujan mungkin. Di sana hujan juga?”
“Enggak. Sok tahu kamu. Saya mau bilang “ingat saya juga” supaya kamu senyum tapi kamu nanti malah sedih.”
“Ih, kenapa?”
“Ya sudah, ingat saya saja.”
“Selalu.”
“Ih, masa?”
“Ih, tanya saja sama Allah.”
Dan aku tertawa lagi untuk yang kesekian kalinya. Tahu tidak dia balas apa?
“Jangan ketawa.”
“Kenapa?”
“Nanti saya jatuh hati lagi.”
Dan aku mengalihkannya.
“Kenapa kamu ingat saya terus? Padahal saya ingat kamu hanya sesekali saja.”
“Mungkin kamu punya hutang.” Kata dia, menyebalkan.
“Saya punya hutang?” tanyaku tidak percaya.
“Ada.”
“Apa?”
“Bikin saya berhenti merokok.”
“Tiap kamu mau beli rokok, ingat ya, belinya jangan rokok, tapi permen!” perintahku.
“Capek beli permen.”
“Nggak boleh capek!”
“Caranya?”
“Ingat kata saya!”
“Eggak mau.”
“Ya sudah, enggak apa-apa.”
“Ih, marah.”

Aku menghela napas. Kuperbaiki posisi dudukku di dalam kereta. Aku memandang sekitar, sudah sampai mana? Kaca jendela kereta mulai dipenuhi embun, membuat jarak pandang keluar menjadi kabur. Kumainkan jari telunjukku di antara embun itu. Kubentuk dua titik dan satu lengkungan. Seseorang tersenyum kepadaku di dalam embun itu. Lambat laun terdengar lagu Banda Neira. Pria di sampingku ini ternyata masih saja galau. Begitu pikirku. Banda Neira mengingatkanku kembali padanya.

“Itu Banda Neira?” tanyaku suatu hari.
“Iya.”
“Suka?”
“Iya, tapi sudah bubar.” Kata dia dengan dua emote menangis.
“Jangan menangis, nanti mungkin ada yang baru.”
“Aamiin. Kamu juga ada yang baru, aamiin.”
“Apa?” tanyaku heran.
“Enggak, kok.” Kata dia dengan emote tersenyum kali ini.

Setelah itu kami masih bercakap lewat teks. Aku lupa awalnya aku bilang apa, tetapi aku masih ingat perkataannya.

“Apalah saya yang rindu anak rumahan.” Kata dia waktu itu.
“Anak rumahan memang ngangenin.”
“Enggak juga, ah.”
“Kangen siapa kamu?”
“Semua orang.”
“Oh, saya juga, dong.”
“Kecuali Dira. Dira bukan orang, sih.” Dira itu namaku.
“Katanya semua orang, terus saya apa? Masa kelinci?”
“Serangga saja, deh.”
“Ya ampun, kasihan banget. Iya, enggak apa-apa.” Kataku pasrah.
“Serangga yang suka masuk di mata, biar menyakiti.”
“Yang penting kamu bahagia.”
“Enggak bahagia aku.”
“Harus bahagia!”
“Iya iya, saya bahagia kalau kamu bahagia.”
“Yeay.”
“Girang banget.”
“Ya supaya kamu juga girang.”
“Bagus banget alasannya.”
“Bahagianya saya, bahagianya kamu juga kan tadi kamu bilang.”
Dan balasannya tak kusangka.
“Tapi, kalau ada laki-laki lain yang bikin kamu bahagia, apa saya bahagia juga?”
“Kalau ada, kenapa?”
“Yah, terpaksa.”
“Terpaksa apa?”
“Terpaksa gila.”
Sejenak aku tertawa, “hahaha” kubalas padanya. Lalu kulanjut, “Tapi, saya serius.”
“Serius apa? Jangan serius, ah, nanti bersatu.” Canda dia.
“Serius, ada yang bikin saya bahagia.”
“Astaga, siapa? Kasih tahu.” Katanya dengan emote tertawa.
“Enggak usah.”
“Tuh, kan.”
“Ish.”
“Ayahku yang bikin bahagia.” Kataku, kali ini dengan capslock jebol.

Lagu Banda Neira itu terulang berkali-kali. Pria di sampingku masih memejamkan matanya. Kedua tangannya dilipat di depan dada. Aku ragu ia tidur. Aku merasa ia sedang benar-benar menikmati music di telinganya.

Masih beberapa jam lagi sebelum keretaku tiba di tujuan. Kali ini aku benar-benar yakin pria di sampingku tertidur. Untung saja, kepalanya tak berpindah posisi. Aku akan risih bila ada kejadian seperti di dalam film-film, bagaimana ketika seorang pria menyandarkan kepalanya di pundak seorang wanita asing yang duduk di sebelahnya meski ia tak sengaja karena ia ketiduran.

“Anjir! Masa dia kayak begitu? Terus gimana?” tiba-tiba ada kehebohan dari tempat duduk di belakangku. Sepertinya sekumpulan remaja perempuan tengah asyik membicarakan seseorang. Satu kata pertama yang diteriaki salah satu dari mereka itu membuatku teringat lagi bahwa pernah ada dulu seseorang yang mengatakan anjir kepadaku, dan pria yang kusebut-sebut sebagai Dilanku itu tahu tentang percakapanku dengan orang yang mengataiku itu, tetapi ia malah ikut-ikutan mengataiku.

“Anjir.” Begitu kata dia padaku. Aku hanya membalasnya dengan emote cemberut. Kubalas ia, “Masa saya di kasih anjir.”
“Iyalah, orang bicara serius kamu malah balas dia dengan bercanda.” Aku cemberut lagi.
“Masa depan harus serius.” Tambah dia.
“Jadi, dia masa depanku?”
“Iya, hahahaha.” Menyebalkan.

Suatu kali aku pernah mengedit fotoku. Di dalam foto itu aku tengah bermain ayunan, di sampingku ada ayunan yang kosong dan aku menggambar muka seorang laki-laki di sana. 

“Sial. Saya ditikung.” Komentar dia.
“Masih berharap?”
“Enggak.” Dan pakai emote tersenyum. Dan aku tidak membalasnya lagi. Dan dia mengirim pesan lagi, “Cie, cuma diread.” Akhirnya aku balas.
“Saya harus balas apa?”
“Tanya lagilah, kenapa sudah enggak berharap? Gitu.”
“Kenapa enggak?” kuikuti maunya.
“Mungkin karena komunikasi kita enggak lancar, dan kamu sudah bersama seseorang di sana.”
“Seseorang atau siapapun itu, mereka adalah temanku.”               
“Kita juga dulu teman, sampai sekarang masih jadi teman.”
“Gitu ya.”

Ia lalu mengirimkan aku emote semacam hewan. Kupikir itu pokemon, jelas-jelas memang pokemon.
Tetapi, dia malah bilang itu bukan pokemon.

“Itu anak pokemon, ya?” tanyaku dengan yakin.
“Pokemon dari mana? Itu ayam. Memangnya di sana enggak ada ayam, ya?”
“Oh, ayam? Ada kok. Suatu saat, ada kok nanti.” Dan entah aku melantur kemana.
“Maksudnya? Kita?”
“Maaf.”
“Ya, kenapa minta maaf?”
“Bukan kita, tidak ada kita.”
“Iya, sekarang tidak ada kita tapi enggak tahu dengan yang akan datang.” Kata dia disertai emote tertawa. “Kamu nggak punya salah, kok. Beneran. Untung saya pengertian.” Tambahnya lagi dengan tiga biji emote tertawa berair mata itu, artinya entah dia ikhlas bilang begitu atau tidak.
“Ya sudah, saya mau mencuci baju dulu.” Kataku padanya.

Iya, waktu itu aku memang mencuci. Tetapi, sambil mandi, sambil pakai shampo, dan sambil menangis.

Beberapa waktu yang lalu aku juga sempat berlibur ke suatu tempat yang menurutku bagus sekali. Aku mengirimkannya beberapa gambar tempat berliburku itu. Kata dia, “kereeeeen!”
“Saya memang keren.” Balasku.
“Siapa yang bilang tidak?” balas dia, padahal aku tahu ia bukan mengomentariku tetapi mengomentari pemandangan di tempat berliburku.

Jam demi jam berlalu, keretaku menurunkan satu persatu penumpangnya. Pasangan tua yang duduk di hadapanku turun terlebih dahulu. Aku berharap mereka benar-benar sampai di tempat tujuan mereka dan bertemu dengan orang-orang yang mereka sayangi. Kini, tinggal aku dengan pria di sampingku. Ia sudah membuka matanya. Gila saja, setahuku ia tertidur sepanjang perjalanan. Sayang sekali tak ia nikmati pemandangan di luar dari kaca jendela. Memang sih, pemandangan di luar dihiasi suasana gerimis bahkan kaca jendela keretapun sempat ditutupi embun, tetapi tetap saja aku ingin memandang keluar, tak seperti pria di sampingku yang memilih memejamkan matanya sambil diiringi musik di kedua telinganya.

Hari itu aku kembali, niatnya ke sisi Dilanku itu. Mataku menemukannya dari kejauhan. Dugaanku tak salah, ia memang sering sekali nongkrong di kafe Network. Kafe yang sempat kusinggung-singgung di awal cerita. Kala itu senyuman di bibirnya, sinar di matanya, seperti saat ia sedang bersamaku. 

Sempat terdengar suara petir dari kejauhan, titik hujan turun perlahan. Beberapa menampar wajahku, menabrak tubuhku tanpa malu. 

Dan aku tahu mengapa sejak tadi mendung tak kunjung meneduh. Aku menyadari bahwa tempatku telah tergantikan, sedangkan dia belum. Rupanya tugasku membahagiakannya telah usai.

Di sana, di samping dia, hanya berjarak beberapa centi, ada seseorang yang tak ingin kutahu siapa namanya, yang mungkin tak akan pergi dari sisinya bahkan mungkin akan membahagiakan dia di sepanjang hidupnya. Tidak seperti perempuan yang menatapnya dari kejauhan ini, senang pergi sesukanya, meninggalkannya dengan secangkir kopi yang asapnya telah pergi, hilang, lenyap, kandas, tak perlu dicari lagi karena tak punya makna yang cukup berarti untuk dikenang, bahkan kenangan pahit dari kopinya sekalipun.


Katanya aku selalu punya tempat untuk kembali, tetapi jika tempatku ditempati orang lain, apa aku masih bisa kembali? Sepertinya kali ini aku yang harus terpaksa, terpaksa gila. Akan tetapi, seperti kata Banda Neira, yang patah tumbuh, yang hilang berganti, yang hancur lebur akan terobati, yang sia-sia akan jadi makna, yang terus berulang, suatu saat henti. Dan yang berulang kali jatuh hati, suatu saat akan berhenti ketika hatinya dipatahkan.

Aku tersenyum, tetapi titik-titik hujan di kaca jendela kereta tadi, tiba-tiba berpindah ke tepi mataku dan memilih menetap.


“Hal yang paling mudah berubah di dunia ini adalah bernama perasaan.”
 

TAMAT

6 komentar: