19/02/19

Seorang Teman dan Empat Pelajaran Berharga yang Dibawanya


Ternyata ada yang lebih menakutkan dari pernyataannya tempo hari ketika ia berkata, “aku tidak tahu mau kemana dan harus apa.”

Ia datang lagi, dengan kalimat-kalimat yang membuatku lebih bergidik lagi.

“Hidupku cukup susah, jadi ingin berhenti hidup.”

“Kamu percaya tidak bahwa saya sudah menginginkan hal ini lebih dari 3 tahun yang lalu, ingin berhenti hidup.”

saya kemudian diingati oleh sebuah cuitan seorang netizen di twitter. Waktu itu konteksnya tentang survey bahawa ternyata banyak mahasiswa yang pernah memiliki keinginan untuk mengakhiri hidupnya oleh sebab skripsi yang tak kunjung selesai, sementara teman-temannya satu persatu sudah pergi karena mengejar mimpi lainnya, sehingga mereka tidak memiliki teman sekedar untuk bercerita, kemudian ditambah hidup merantau, kesepian seorang diri di dalam indekosnya, sehingga banyak diantara mereka yang memiliki pikiran ingin bunuh diri saja.

Maka, ketika ia mempercayai dan memilih kita sebagai tempatnya untuk bercerita (terlepas dari problem apapun, bukan hanya masalah skripsi), jika kita justru tidak memberikan support yang layak, bahkan memberi kesan merendahkan apalagi sampai mengarah pada memperlihatkan bahwa kita menyepelekan apa yang dialami olehnya lalu di kemudian hari kita menemukannya bunuh diri, ketahuilah bahwa sesungguhnya kitalah yang membunuhnya.

Tidak semua orang mudah untuk membagi cerita mereka, bahkan banyak orang yang tidak punya tempat untuk bercerita.


Bagaimana Bisa Hanya Makan Bersama Adalah Hal yang Mewah?

Ia berasal dari keluarga yang jelas-jelas berada. Meski begitu, ada kemewahan yang tak bisa dibeli oleh keluarganya, yaitu memiliki jam makan bersama. Kadang kita lupa bahwa ada hal-hal sederhana bagi kita yang ternyata mewah bagi orang lain. Terlepas dari menu makanannya apa, pukul berapa, dimana, dan bagaimana keadaannya, tetapi ketika makan bersama dengan keluarga yang kita cintai itu bisa jadi adalah momen yang sangat diharapkan terjadi dalam hidup oleh banyak orang. Mirisnya kita sering melupakan hal itu, justru saat makan bersama keluarga, kita malah meributkan lauknya, rasanya atau hal-hal yang tak sepatutnya diributkan di meja makan.

Mungkin bagi dirinya hal sederhana seperti makan bersama keluarga mampu menjadi simbol bahwa mereka masih saling peduli satu sama lain. Tetapi, hari itu ketika ia bercerita, berakhir dengan kesimpulan bahwa mungkin keluarga mereka tidak peduli satu sama lain.


Mengapa Kakak Perempuan Itu Kebanyakan Galak? 

Ia mengatakan bahwa kakak perempuannya sangat galak sampai ia tidak pernah berani mengajak “ngobrol” kakaknya. Suatu hari, ia pernah bertemu kakaknya saat sang kakak datang ke kota tempatnya merantau. “Dari awal bertemu hingga dia pulang, saya dimarahi terus.” Ungkapnya dengan nada pasrah. “Padahal kamu tidak tahu apa kesalahanmu? Atau bahkan kamu tidak melakukan apapun?” tanya saya. Ia mengangguk. “Padahal selama bertemu dengannya, saya cuma diam saja.” Ungkapnya lagi.

“Aku memang selalu salah di matamu.” Rupanya ini adalah sebuah ungkapan yang tidak hanya berlaku dalam hubungan pertemanan dan asmara saja, tetapi juga terjadi dalam hubungan kakak-beradik.

Kisahnya ini membuat saya bercermin sebagai seorang kakak perempuan beradik dua, laki-laki dan perempuan. Ternyata sepertinya saya juga galak dan kurang ajar, kalau adik saya curhat serius saya cuma asal menanggapi seperti oh masa? Kata siapa? Sok tahu?! Siapa nanya! Cari aja sendiri! Saya berharap saya bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan saya ini. Kadang, saya merasa adik perempuan saya lebih dewasa dibanding saya, lebih mandiri, lebih bisa apa-apa, yang saya bisa dia juga bisa, yang dia bisa, tidak semuanya saya bisa. Banyak hal yang saya bisa lakukan karena dia mengajari saya, salah satunya adalah blogging ini. Iya! Dia yang pertama kali bilang kalau tulisannya mau dibaca banyak orang, publikasikan saja sendiri, bikin saja blog. *pengen nangis terharu atas sarannya ini*

Akhirnya saya bikin blog. Waktu itu dia juga bikin blog dan masih bocah, masih ingat banget dulu ada kolam ikan di blognya. Mungkin anak blog zaman dulu tahu, hehe. Jadi, kalau kita buka blognya bisa ngasih makan ikannya, lucu, deh. Tapi, blog dia sudah lama tidak aktif. Minta doanya ya teman-teman dia sekarang sedang berjuang mengejar masa depannya. Sedih kalau tidak tercapai, mengingat riwayat pendidikan dan prestasinya yang gemilang banget sampai-sampai waktu dia sekolah dasar, tiap dia bagi raport, saya senang, soalnya pulang-pulang pasti bawa hadiah yang banyak karena raport dan prestasi dia. Saya selalu dibagi hadiahnya soalnya kebanyakan, hehe.


Tahukah Kalian Betapa Waktu-Waktu Berbincang Dengan Orangtua Adalah Hal Kecil yang Berharga?

Pada suatu kali, ia diantar ke bandara oleh bapaknya. Hanya berdua saja di dalam mobil, hening, tanpa ada obrolan apapun, lebih tepatnya tak ada yang ingin memulai.

Saya bilang mengapa ia yang tak duluan saja menyapa sang bapak? Ia hanya menggeleng lalu mengatakan bahwa ia takut. Saya bilang mungkin saja sang bapak menunggu anaknya duluan menyapanya, jangan sampai menyesalinya, kata saya.

Sesampainya di bandara, keduanya masih membisu sampai pada waktu sang bapak melihat ke arah kaki anaknya yang hanya beralaskan sandal jepit.

“Kamu ndak bawa sepatu?”
“Ndak, Pak.”
“Ya sudah, pakai sepatu bapak saja.”
“Ndak usah, Pak. Aku pakai sandal jepit ini saja.”

Percakapan mereka hanya berhenti sampai di situ. Tetapi, saya melihat harapan lebih di matanya saat menceritakan itu semua pada saya. Saya tahu, ia mengharapkan percakapan yang lebih dari itu semua, percakapan yang lebih intim antara seorang bapak dengan anak laki-lakinya.


Apakah Orangtua Paham Bahwa Membandingkan Anak Mereka Dengan Anak Orang Lain Sama Saja Menyakiti Hati Anak-Anak Mereka?

Jangan pernah membandingkan anak-anakmu, Pak, Bu. Pernahkah melihat kesepian yang aneh yang dirasakan seorang anak perempuan seperti saya, yang terlahir sebagai cucu perempuan pertama dari kedua belah pihak keluarga besar ayah maupun ibu saya? Kesepian yang memicu rasa iri yang tumbuh saat saya berusia remaja, ketika itu saya mempunyai empat orang teman yang mereka semua adalah sepupu satu sama lain, kami semua sebaya, mereka semua tinggal di kota yang sama dan juga bersekolah di sekolah yang sama dengan saya. Saya sering melihat mereka seru-seruan bersama, main bersama, belanja bersama, merayakan pesta ulangtahun bersama, liburan bersama bahkan megadakan acara arisan bersama. Kehidupan mereka adalah kehidupan yang tak pernah terjadi dalam hidup saya, seharusnya apapun kehidupan saya, sudah seharusnya bersyukur bisa hidup sepanjang dan semudah ini, meski tidak memiliki saudara perempuan yang sebaya dengan saya yang bisa saya ajak untuk cerita, pergi, atau bersenang-senang bersama.

Masih cerita dari orang yang sama, ia justru memiliki saudara sepupu yang sebaya dengannya dan berujung pada perbandingan yang tiada habisnya. Sebab, kelebihan sepupunya lebih terlihat di mata kedua orangtuanya dibandingkan ia yang sebagai anak kandung mereka sendiri.  Ia tidak menyukai situasi dimana justru sepuu yang sebaya dengannya justru menjadi alat yang bisa  dibandingkan dengannya.

Terima kasih sudah memilih saya sebagai tempat bercerita, cerita yang meluncur di bibirmu pada sepagi itu, pada asap-asap yang mengepul di atas mangkuk sotomu. Terima kasih sudah membawakan saya banyak pelajaran, juga untuk semua yang menyediakan waktunya untuk membaca tulisan ini.

“Aku sudah ingin mengakhiri hidup sejak tiga tahun yang lalu.” Katamu.

Saya harap kamu bertahan, apapun kondisi kamu, kenapa tak coba pikirkan hal yang lebih buruk yang dialami orang lain? Cara sederhana untuk menanam kembali semangat dalam diri. Kamu diberi kesempatan hidup, kamu bisa melakukan sesuatu yang berarti dalam hidup kamu untuk kamu buktikan pada dirimu sendiri, bahwa kamu pantas untuk hidup. Cara sederhana lainnya adalah pikirkan tentang kematian. Apa kematian itu enak? Tentu menyakitkan! Kamu tidak bisa melakukan usaha apapun lagi, hanya bisa mengandalkan doa-doa dari orang yang tulus menyayangi kamu! Jadi, tetaplah hidup! Semoga kamu membaca ini, ya.



//Yogyakarta, 17 Februari 2019//

2 komentar:

  1. Saya sering berpikir kok saya gak depresi atau semacamnya tentang kuliah saya, padahal kuliah saya sudah menjelang senja dan masih belum ada kejelasan kapan akan lulus

    BalasHapus
    Balasan
    1. yaaa memang tidak perlu sampai depresi, kak, hehe. Tiap orang punya cara menyikapi dan berpikir yang berbeda tentang hidupnya. :)

      Hapus