Ternyata ada yang lebih menakutkan dari
pernyataannya tempo hari ketika ia berkata, “aku tidak tahu mau kemana dan
harus apa.”
Ia datang lagi, dengan kalimat-kalimat yang membuatku
lebih bergidik lagi.
“Hidupku cukup susah, jadi ingin berhenti
hidup.”
“Kamu percaya tidak bahwa saya sudah menginginkan
hal ini lebih dari 3 tahun yang lalu, ingin berhenti hidup.”
saya kemudian diingati oleh sebuah cuitan
seorang netizen di twitter. Waktu itu konteksnya tentang survey bahawa ternyata
banyak mahasiswa yang pernah memiliki keinginan untuk mengakhiri hidupnya oleh
sebab skripsi yang tak kunjung selesai, sementara teman-temannya satu persatu
sudah pergi karena mengejar mimpi lainnya, sehingga mereka tidak memiliki teman
sekedar untuk bercerita, kemudian ditambah hidup merantau, kesepian seorang
diri di dalam indekosnya, sehingga banyak diantara mereka yang memiliki pikiran
ingin bunuh diri saja.
Maka, ketika ia mempercayai dan memilih kita
sebagai tempatnya untuk bercerita (terlepas dari problem apapun, bukan hanya masalah
skripsi), jika kita justru tidak memberikan support yang layak, bahkan memberi
kesan merendahkan apalagi sampai mengarah pada memperlihatkan bahwa kita
menyepelekan apa yang dialami olehnya lalu di kemudian hari kita menemukannya
bunuh diri, ketahuilah bahwa sesungguhnya kitalah yang membunuhnya.
Tidak semua orang mudah untuk membagi cerita
mereka, bahkan banyak orang yang tidak punya tempat untuk bercerita.
Bagaimana
Bisa Hanya Makan Bersama Adalah Hal yang Mewah?
Ia berasal dari keluarga yang jelas-jelas
berada. Meski begitu, ada kemewahan yang tak bisa dibeli oleh keluarganya,
yaitu memiliki jam makan bersama. Kadang kita lupa bahwa ada hal-hal sederhana
bagi kita yang ternyata mewah bagi orang lain. Terlepas dari menu makanannya
apa, pukul berapa, dimana, dan bagaimana keadaannya, tetapi ketika makan
bersama dengan keluarga yang kita cintai itu bisa jadi adalah momen yang sangat
diharapkan terjadi dalam hidup oleh banyak orang. Mirisnya kita sering
melupakan hal itu, justru saat makan bersama keluarga, kita malah meributkan
lauknya, rasanya atau hal-hal yang tak sepatutnya diributkan di meja makan.
Mungkin bagi dirinya hal sederhana seperti
makan bersama keluarga mampu menjadi simbol bahwa mereka masih saling peduli
satu sama lain. Tetapi, hari itu ketika ia bercerita, berakhir dengan
kesimpulan bahwa mungkin keluarga mereka tidak peduli satu sama lain.
Mengapa Kakak
Perempuan Itu Kebanyakan Galak?
Ia mengatakan bahwa kakak perempuannya sangat
galak sampai ia tidak pernah berani mengajak “ngobrol” kakaknya. Suatu hari, ia
pernah bertemu kakaknya saat sang kakak datang ke kota tempatnya merantau.
“Dari awal bertemu hingga dia pulang, saya dimarahi terus.” Ungkapnya dengan
nada pasrah. “Padahal kamu tidak tahu apa kesalahanmu? Atau bahkan kamu tidak
melakukan apapun?” tanya saya. Ia mengangguk. “Padahal selama bertemu
dengannya, saya cuma diam saja.” Ungkapnya lagi.
“Aku memang selalu salah di matamu.” Rupanya ini
adalah sebuah ungkapan yang tidak hanya berlaku dalam hubungan pertemanan dan
asmara saja, tetapi juga terjadi dalam hubungan kakak-beradik.
Kisahnya ini membuat saya bercermin sebagai
seorang kakak perempuan beradik dua, laki-laki dan perempuan. Ternyata
sepertinya saya juga galak dan kurang ajar, kalau adik saya curhat serius saya cuma
asal menanggapi seperti oh masa? Kata
siapa? Sok tahu?! Siapa nanya! Cari
aja sendiri! Saya berharap saya bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan saya
ini. Kadang, saya merasa adik perempuan saya lebih dewasa dibanding saya, lebih
mandiri, lebih bisa apa-apa, yang saya bisa dia juga bisa, yang dia bisa, tidak
semuanya saya bisa. Banyak hal yang saya bisa lakukan karena dia mengajari
saya, salah satunya adalah blogging ini. Iya! Dia yang pertama kali bilang
kalau tulisannya mau dibaca banyak orang, publikasikan saja sendiri, bikin saja
blog. *pengen nangis terharu atas sarannya ini*
Akhirnya saya bikin blog. Waktu itu dia juga
bikin blog dan masih bocah, masih ingat banget dulu ada kolam ikan di blognya.
Mungkin anak blog zaman dulu tahu, hehe. Jadi, kalau kita buka blognya bisa
ngasih makan ikannya, lucu, deh. Tapi, blog dia sudah lama tidak aktif. Minta
doanya ya teman-teman dia sekarang sedang berjuang mengejar masa depannya.
Sedih kalau tidak tercapai, mengingat riwayat pendidikan dan prestasinya yang
gemilang banget sampai-sampai waktu dia sekolah dasar, tiap dia bagi raport,
saya senang, soalnya pulang-pulang pasti bawa hadiah yang banyak karena raport
dan prestasi dia. Saya selalu dibagi hadiahnya soalnya kebanyakan, hehe.
Tahukah Kalian
Betapa Waktu-Waktu Berbincang Dengan Orangtua Adalah Hal Kecil yang Berharga?
Pada suatu kali, ia diantar ke bandara oleh bapaknya.
Hanya berdua saja di dalam mobil, hening, tanpa ada obrolan apapun, lebih
tepatnya tak ada yang ingin memulai.
Saya bilang mengapa ia yang tak duluan saja
menyapa sang bapak? Ia hanya menggeleng lalu mengatakan bahwa ia takut. Saya
bilang mungkin saja sang bapak menunggu anaknya duluan menyapanya, jangan
sampai menyesalinya, kata saya.
Sesampainya di bandara, keduanya masih membisu
sampai pada waktu sang bapak melihat ke arah kaki anaknya yang hanya beralaskan
sandal jepit.
“Kamu ndak bawa sepatu?”
“Ndak, Pak.”
“Ya sudah, pakai sepatu bapak saja.”
“Ndak usah, Pak. Aku pakai sandal jepit ini
saja.”
Percakapan mereka hanya berhenti sampai di
situ. Tetapi, saya melihat harapan lebih di matanya saat menceritakan itu semua
pada saya. Saya tahu, ia mengharapkan percakapan yang lebih dari itu semua,
percakapan yang lebih intim antara seorang bapak dengan anak laki-lakinya.
Apakah Orangtua
Paham Bahwa Membandingkan Anak Mereka Dengan Anak Orang Lain Sama Saja
Menyakiti Hati Anak-Anak Mereka?
Jangan pernah membandingkan anak-anakmu, Pak,
Bu. Pernahkah melihat kesepian yang aneh yang dirasakan seorang anak perempuan
seperti saya, yang terlahir sebagai cucu perempuan pertama dari kedua belah
pihak keluarga besar ayah maupun ibu saya? Kesepian yang memicu rasa iri yang
tumbuh saat saya berusia remaja, ketika itu saya mempunyai empat orang teman
yang mereka semua adalah sepupu satu sama lain, kami semua sebaya, mereka semua
tinggal di kota yang sama dan juga bersekolah di sekolah yang sama dengan saya.
Saya sering melihat mereka seru-seruan bersama, main bersama, belanja bersama,
merayakan pesta ulangtahun bersama, liburan bersama bahkan megadakan acara
arisan bersama. Kehidupan mereka adalah kehidupan yang tak pernah terjadi dalam
hidup saya, seharusnya apapun kehidupan saya, sudah seharusnya bersyukur bisa
hidup sepanjang dan semudah ini, meski tidak memiliki saudara perempuan yang
sebaya dengan saya yang bisa saya ajak untuk cerita, pergi, atau
bersenang-senang bersama.
Masih cerita dari orang yang sama, ia justru
memiliki saudara sepupu yang sebaya dengannya dan berujung pada perbandingan
yang tiada habisnya. Sebab, kelebihan sepupunya lebih terlihat di mata kedua
orangtuanya dibandingkan ia yang sebagai anak kandung mereka sendiri. Ia tidak menyukai situasi dimana justru sepuu
yang sebaya dengannya justru menjadi alat yang bisa dibandingkan dengannya.
Terima kasih sudah memilih saya sebagai tempat bercerita,
cerita yang meluncur di bibirmu pada sepagi itu, pada asap-asap yang mengepul
di atas mangkuk sotomu. Terima kasih sudah membawakan saya banyak pelajaran, juga
untuk semua yang menyediakan waktunya untuk membaca tulisan ini.
“Aku sudah ingin mengakhiri hidup sejak tiga
tahun yang lalu.” Katamu.
Saya harap kamu bertahan, apapun kondisi kamu,
kenapa tak coba pikirkan hal yang lebih buruk yang dialami orang lain? Cara sederhana
untuk menanam kembali semangat dalam diri. Kamu diberi kesempatan hidup, kamu
bisa melakukan sesuatu yang berarti dalam hidup kamu untuk kamu buktikan pada
dirimu sendiri, bahwa kamu pantas untuk hidup. Cara sederhana lainnya adalah
pikirkan tentang kematian. Apa kematian itu enak? Tentu menyakitkan! Kamu tidak
bisa melakukan usaha apapun lagi, hanya bisa mengandalkan doa-doa dari orang
yang tulus menyayangi kamu! Jadi, tetaplah hidup! Semoga kamu membaca ini, ya.
//Yogyakarta, 17 Februari 2019//
Saya sering berpikir kok saya gak depresi atau semacamnya tentang kuliah saya, padahal kuliah saya sudah menjelang senja dan masih belum ada kejelasan kapan akan lulus
BalasHapusyaaa memang tidak perlu sampai depresi, kak, hehe. Tiap orang punya cara menyikapi dan berpikir yang berbeda tentang hidupnya. :)
Hapus