Rabu, 24 April 2019
Bulan April
yang malang ditutup dengan serangkaian kekhawatiran. Sangat disayangkan beban
pikiran ini hampir mencapai puncaknya manakala Ramadhan sebentar lagi tiba.
Sungguh, sekiranya usia panjang hingga bertemu Ramadhan, ingin rasanya seluruh
jiwa dibawa ke sana, melupakan sejenak kepenatan dunia, bersujud hingga tak
masalah mau berapa lama. Sayangnya, sepertinya nanti tak berjalan semulus yang diinginkan.
Target Ramadhan itu harus beradu dengan target duniawi. Semua harus
diselesaikan dalam bulan Ramadhan nanti.
Tidak
tahu harus mulai darimana dulu. Ingin rehat sejenak, memberi jeda seperti
hubungan manusia yang jedanya tercipta sendiri. Sayangnya, aku harus mencipta
jeda itu, tak bisa hadir dengan sendirinya. Aku ingin pergi keluar,
berjalan-jalan, bercakap-cakap dengan orang-orang yang mau mendengarkanku, mau
pergi denganku. Sayangnya, orang-orang juga berjuang dengan hidupnya
masing-masing, bergelut dengan masalahnya masing-masing. Orang-orang berpura-pura
mendengarkan orang lainnya akan tetapi pikiran mereka berbicara pada diri
mereka sendiri. Kegelisahan menjadi hasil dari semua itu, semakna dengan
kekhawatiran, kebimbangan. Dan pada hari itulah senyumku sulit kukembangkan.
Aku memilih berdiam diri, terpaku di depan layar laptopku, ditemani buku-buku
yang bertumpuk dan penuh debu. Jangankan membacanya, aku bahkan tak sempat
menyentuh mereka. Insomnia yang datang pada saat seharusnya aku sudah lelap
karena kutahu esok bebanku akan terus bertambah membuat kekhawatiran ini
semakin panjang saja.
Aku
pergi keluar, tanpa tersenyum. Aku membuka social media, kutemukan berita
tewasnya seorang gadis belia akibat kecelakaan, sementara keluarganya belum
mengetahui keadaannya. Tertulis di sana bahwa ia lahir pada tahun 1999. Aku
menghitung, aku merinding. Allah hanya berikan untuknya 20 tahun saja hidup.
Aku menampar diriku sendiri, aku masih bernafas, pastilah Allah punya tujuan
untukku yang Ia hadirkan di dunia lebih lama dari gadis tersebut. Aku terus menerus
scrolling, kembali menemukan thread kisah sadis pada tahun 1988. Seorang gadis
Jepang yang cantik diculik, diperkosa ratusan kali, dibunuh perlahan-lahan,
lalu mayatnya disembunyikan dalam beton selama bertahun-tahun. Kejadian itu
terjadi pasca tiga hari usai perayaan ulangtahunnya yang ke-17 tahun. Kembali
aku menampar diriku sendiri.
Aku
masih scrolling dan ketemukan pesan dari seorang dokter dalam acara seminarnya,
“Untuk mencapai kesuksesan, kalian akan menghadapi banyak kegagalan demi kegagalan,
kekececewaan demi kekecewaan, kekhawatiran demi kekhawatiran, bertubi-tubi, dan
untuk menghadapi itu semua, kalian perlu mental toughnees, butuh ketangguhan
mental.”
Aku
menghela nafas, berbaringan, menatap langit sore, menunggu air galonku datang. Lalu,
sebuah email masuk,
“Nina,
jangan lupa tersenyum hari ini, katakanlah pada dirimu bahwa kamu luar biasa.”
Aku
tersentak.
Apa-apaan
ini.
Dan
kusadari, semua yang kudapati hari ini adalah cara Allah memberi pesan kepadaku
untuk tetap semangat dalam hidup, bersyukur, lakukan yang terbaik yang aku bisa
lakukan.
Karena
Allah tahu, aku bukanlah perempuan yang akan menerima ucapan-ucapan penyemangat
dari orang yang mungkin kusukai, atau dari teman-temanku yang masalahnya bisa
jadi lebih berat dariku, apa lagi dari orang-orang yang jaraknya denganku tak
mampu lagi kuhitung. Di saat orang-orang menyambut gembira kedatangan Game of Throne
dan Endgame, aku tidak peduli. Kedua hal itu tidak mampu menuntaskan
kekhawatiranku.
Seperti
biasa, aku akan menghibur diriku sendiri. Aku akan mencintai lebih banyak lagi
pada tidur. Aku akan pergi menghabiskan uangku untuk membeli sebuah koper baru.
Tidak banyak orang yang tahu, ada hal yang begitu berbeda dari hidupku dengan
kebanyakan orang. Aku sudah sering bermain dengan koper berukuran besar bahkan
super besar. Mari membeli koper baru yang kecil saja nanti jika uangku cukup,
aku akan melakukan perjalanan baru. Aku berharap perjalanan ini menyenangkan. Bagaimana
rasanya menghabiskan banyak waktu di sebuah tempat yang telah sepuluh tahun kau
tinggalkan? Memandangi orang-orang di sana, bernostalgia dengan pikiran sendiri
karena sungguh yakin mereka akan menatapmu dengan asing, tapi dirimu selalu
mengenang mereka. Tunggulah saja, aku akan mengulang seluruh perkenalan sampai
kau seluruhnya mengenalku, utuh.
Kamis, 25 April 2019
Berangkat
pagi-pagi sekali.
Pengisi
acara berkata, “Saya senang sekali untuk mengisi acara ini, untuk bertemu
dengan teman-teman sekalian. Mengapa saya senang bertemu teman-teman di sini?
Karena saya yakin teman-teman yang datang di sini pastilah orang-orang yang
hebat, orang-orang yang ingin lulus, orang-orang yang sudah lepas dari jerat
nilai D, orang-orang yang berhasil mengatasi kemalasannya.”
Aku
tertegun.
Jadi,
bahkan saat aku sudah frustasi dalam menghadapi rasa malasku,
Sesungguhnya
sejauh ini aku telah berhasil mengatasinya?
Kadang,
diri memang tak tahu diri, bahwa di luar sana lebih banyak manusia yang
terperangkap dan sulit keluar dari kemalasan yang diciptakannya sendiri.
Maka
dari itu, jangan terus menerus menyalahkan dirimu. Berhenti mengata-ngatai
dirimu. Terkadang pemenang tidak tahu jika dirinya sudah menang.
Jum’at, 26 April 2019
Semudah
itu patah hati, manakala menghubungi orang yang disayangi tetapi ia menjawab
betapa sibuknya ia. Tetapi, setidaknya harus bersyukur karena setelah beberapa
kali menghubungi, akhirnya telepon diangkat, akhirnya masih bisa mendengar
nafasnya, mendegar suaranya, mendengar bahwa ia masih bisa bersibuk-ria artinya
ia dalam kondisi sehat walafiat, itu yang paling utama yang patut sekiranya disyukuri.
Muncul
saat-saat dimana aku membenci diriku sendiri, aku selalu saja membutuhkan
bantuan orang lain karena aku bahkan tidak bisa membantu diriku sendiri.
Memutuskan untuk pulang dan menangis di sepanjang perjalanan. Entah sudah
berapa kali, sepanjang jalan Yogykarta menjadi saksi di setiap kesedihan yang
kualami selain bantal yang kupeluk di kamarku sendirian.
Pikiranku
mengingat kembali di hari itu, hari terburuk. Aku sendirian, panik, bingung.
Sementara ibuku di ujung telepon sana tetap tenang, berbicara denganku memberi
tahu kabar buruk itu. Entah ada berapa jiwa tegar yang dimilikinya, setiap kali
kami ditimpa kemalangan, kekhawatiran tertuju padanya, ia tetap tenang membalas
pesan kami, maupun mengangkat telepon kami. Tetapi, saat itu, aku sendirian di
kamarku, aku bingung, airmataku sudah bercucuran, suaraku parau. Aku segera
mengemasi pakaianku. Di setiap waktu kesedihan yang datang akan membawaku
kepada detik kesedihan yang lalu. Aku pernah berada di waktu tanpa ibuku. Suatu
pagi yang cerah, manakala Merapi dengan jelas menjulang terliihat dari kaca
jendela dan cuitan burung menambah harmonis suasana pagi, saat jarum infus
masih menancap di tanganku, beberapa perawat dan dokter terburu-buru masuk ke
dalam ruanganku. Pagi itu aku harus mengemas sendiri pakaianku, mereka bilang
sakitku bertambah parah dan harus dipindahkan ke rumah sakit yang lebih besar.
Aku mengemas pakaianku dengan air mata. Kini, di hari terburuk itu, aku kembali
terburu-buru mengemas pakaianku. Katanya, kakekku sudah di ujung nafas.
Sementara, hari itu aku harus pergi ke rumah sakit untuk mengurus nenekku yang
sedang dirawat. Kau tahu, ini berbeda. Kakekku adalah ayah dari ayahku, dan
nenekku adalah ibu dari ibuku. Aku sendirian dan aku kebingungan. Aku menangis tidak
karuan di sepanjang jalan menuju rumah sakit yang letaknya di ujung Yogyakarta.
Di saat-saat seperti itu aku berharap ada seseorang, tetapi nyatanya aku
berkendara seorang diri, membonceng air mata dan tas penuh pakaian. Aku
berharap angin segera mengeringkan air mata di sepanjang pipiku.
Kau
tahu, hari ini aku pergi betul melihat-lihat koper. Ternyata, tak jauh dari
tempat tinggalku ada penjual koper, pikiranku sudah mencari sampai ujung batas
kota. Kau tahu lagi, apa yang membuatku terkejut? Harga koper yang ingin kubeli
jauh lebih murah ketimbang tas ransel kecil yang kupakai sehari-hari, bahkan
laptopku saja tak masuk ke dalamnya.
Kadang
dunia selucu ini. Atau mungkin memang aku yang bodoh soal harga. Jadi, kuharap,
perjalanan ini adalah sungguhan. Meskipun nanti rasanya boleh jadi biasa saja,
tetapi apapun itu, ingin kuhadapi dengan penuh syukur.
Sabtu, 27 April 2019
Pagi-pagi
sekali aku pergi, hanya untuk mendengar Ustazah Flow berbicara.
Setelah
bertahun-tahun lamanya, kesempatan itu datang kembali. Sesuatu yang lepas, yang
membuat jiwa pernah meronta tak terima. Sesuatu yang pergi, yang pernah membuat
hati yang tak bersalah menjadi mati. Akan tetapi, pagi tadi, perempuan itu berkata,
“Jika imanmu tidak kuat, kau akan kembali.”
Seringnya
berpikir ada permainan semacam karma di sini. Tetapi, ada yang lebih luas dari
itu semua. Ini hanya secuil ujian keimanan. Tolong hati, jangan berbangga diri
bila ternyata kau berhasil lepas dari semua ini, dari nafsu manusia untuk
saling memiliki tetapi tak pernah tahu apa sesungguhnya yang diingini oleh
hati.
Dan
dalam hati, aku semakin meyakini bahwa keyakinan tidak akan pernah dikalahkan
oleh keragu-raguan.
Lalu
kekhawatiran pada hari Rabu sebelumya, ditampar dengan perkataan Ustaz Afri,
“bersyukurlah jika kalian pergi kuliah saat Ramadhan. Duduk di kelas, menimba
ilmu, mendapat keberkahan dari Allah. Dibanding tidak melakukan apa-apa,
dibanding hanya tidur sepanjang hari saat Ramadhan.”
Kini,
kutanya pada jiwaku siapkah aku bertemu Ramadhan?
Tanyalah
juga pada jiwamu, siapkah?
Lalu
ditengah kegalauan dengan jiwa sendiri, sebuah pesan masuk,
“Pagi
ini jam 09.30 operasi amputasi kaki akan dilakukan.”
Dalam hidup,
entah ini sudah kali keberapa, aku menahan air mata. Manusia tidak akan pernah
berhenti belajar soal keikhlasan. Senin nanti, kuharap aku diberi waktu untuk
menjenguknya lagi, usai menjenguknya seminggu yang lalu saat ia masuk ruang
ICU. Matanya terpejam, begitu banyak selang yang dipasang di sekujur tubuhnya. Kugenggam
tangannya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku masuk ke dalam ruangan yang
dipenuhi orang-orang yang benar-benar berjuang untuk hidup.
Yogyakarta, akhir April 2019
Aku
harap suatu saat aku menemukan satu orang saja, yang dengannya bisa kutumpahkan
seluruhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar