28/04/19

Berbicara pada Jiwa Sendiri


Rabu, 24 April 2019
Bulan April yang malang ditutup dengan serangkaian kekhawatiran. Sangat disayangkan beban pikiran ini hampir mencapai puncaknya manakala Ramadhan sebentar lagi tiba. Sungguh, sekiranya usia panjang hingga bertemu Ramadhan, ingin rasanya seluruh jiwa dibawa ke sana, melupakan sejenak kepenatan dunia, bersujud hingga tak masalah mau berapa lama. Sayangnya, sepertinya nanti tak berjalan semulus yang diinginkan. Target Ramadhan itu harus beradu dengan target duniawi. Semua harus diselesaikan dalam bulan Ramadhan nanti.

Tidak tahu harus mulai darimana dulu. Ingin rehat sejenak, memberi jeda seperti hubungan manusia yang jedanya tercipta sendiri. Sayangnya, aku harus mencipta jeda itu, tak bisa hadir dengan sendirinya. Aku ingin pergi keluar, berjalan-jalan, bercakap-cakap dengan orang-orang yang mau mendengarkanku, mau pergi denganku. Sayangnya, orang-orang juga berjuang dengan hidupnya masing-masing, bergelut dengan masalahnya masing-masing. Orang-orang berpura-pura mendengarkan orang lainnya akan tetapi pikiran mereka berbicara pada diri mereka sendiri. Kegelisahan menjadi hasil dari semua itu, semakna dengan kekhawatiran, kebimbangan. Dan pada hari itulah senyumku sulit kukembangkan. Aku memilih berdiam diri, terpaku di depan layar laptopku, ditemani buku-buku yang bertumpuk dan penuh debu. Jangankan membacanya, aku bahkan tak sempat menyentuh mereka. Insomnia yang datang pada saat seharusnya aku sudah lelap karena kutahu esok bebanku akan terus bertambah membuat kekhawatiran ini semakin panjang saja.

Aku pergi keluar, tanpa tersenyum. Aku membuka social media, kutemukan berita tewasnya seorang gadis belia akibat kecelakaan, sementara keluarganya belum mengetahui keadaannya. Tertulis di sana bahwa ia lahir pada tahun 1999. Aku menghitung, aku merinding. Allah hanya berikan untuknya 20 tahun saja hidup. Aku menampar diriku sendiri, aku masih bernafas, pastilah Allah punya tujuan untukku yang Ia hadirkan di dunia lebih lama dari gadis tersebut. Aku terus menerus scrolling, kembali menemukan thread kisah sadis pada tahun 1988. Seorang gadis Jepang yang cantik diculik, diperkosa ratusan kali, dibunuh perlahan-lahan, lalu mayatnya disembunyikan dalam beton selama bertahun-tahun. Kejadian itu terjadi pasca tiga hari usai perayaan ulangtahunnya yang ke-17 tahun. Kembali aku menampar diriku sendiri.

Aku masih scrolling dan ketemukan pesan dari seorang dokter dalam acara seminarnya, “Untuk mencapai kesuksesan, kalian akan menghadapi banyak kegagalan demi kegagalan, kekececewaan demi kekecewaan, kekhawatiran demi kekhawatiran, bertubi-tubi, dan untuk menghadapi itu semua, kalian perlu mental toughnees, butuh ketangguhan mental.”

Aku menghela nafas, berbaringan, menatap langit sore, menunggu air galonku datang. Lalu, sebuah email masuk,

“Nina, jangan lupa tersenyum hari ini, katakanlah pada dirimu bahwa kamu luar biasa.”

Aku tersentak.
Apa-apaan ini.

Dan kusadari, semua yang kudapati hari ini adalah cara Allah memberi pesan kepadaku untuk tetap semangat dalam hidup, bersyukur, lakukan yang terbaik yang aku bisa lakukan.

Karena Allah tahu, aku bukanlah perempuan yang akan menerima ucapan-ucapan penyemangat dari orang yang mungkin kusukai, atau dari teman-temanku yang masalahnya bisa jadi lebih berat dariku, apa lagi dari orang-orang yang jaraknya denganku tak mampu lagi kuhitung. Di saat orang-orang menyambut gembira kedatangan Game of Throne dan Endgame, aku tidak peduli. Kedua hal itu tidak mampu menuntaskan kekhawatiranku.

Seperti biasa, aku akan menghibur diriku sendiri. Aku akan mencintai lebih banyak lagi pada tidur. Aku akan pergi menghabiskan uangku untuk membeli sebuah koper baru. Tidak banyak orang yang tahu, ada hal yang begitu berbeda dari hidupku dengan kebanyakan orang. Aku sudah sering bermain dengan koper berukuran besar bahkan super besar. Mari membeli koper baru yang kecil saja nanti jika uangku cukup, aku akan melakukan perjalanan baru. Aku berharap perjalanan ini menyenangkan. Bagaimana rasanya menghabiskan banyak waktu di sebuah tempat yang telah sepuluh tahun kau tinggalkan? Memandangi orang-orang di sana, bernostalgia dengan pikiran sendiri karena sungguh yakin mereka akan menatapmu dengan asing, tapi dirimu selalu mengenang mereka. Tunggulah saja, aku akan mengulang seluruh perkenalan sampai kau seluruhnya mengenalku, utuh.


Kamis, 25 April 2019
Berangkat pagi-pagi sekali.

Pengisi acara berkata, “Saya senang sekali untuk mengisi acara ini, untuk bertemu dengan teman-teman sekalian. Mengapa saya senang bertemu teman-teman di sini? Karena saya yakin teman-teman yang datang di sini pastilah orang-orang yang hebat, orang-orang yang ingin lulus, orang-orang yang sudah lepas dari jerat nilai D, orang-orang yang berhasil mengatasi kemalasannya.”

Aku tertegun.

Jadi, bahkan saat aku sudah frustasi dalam menghadapi rasa malasku,
Sesungguhnya sejauh ini aku telah berhasil mengatasinya?

Kadang, diri memang tak tahu diri, bahwa di luar sana lebih banyak manusia yang terperangkap dan sulit keluar dari kemalasan yang diciptakannya sendiri.

Maka dari itu, jangan terus menerus menyalahkan dirimu. Berhenti mengata-ngatai dirimu. Terkadang pemenang tidak tahu jika dirinya sudah menang.


Jum’at, 26 April 2019
Semudah itu patah hati, manakala menghubungi orang yang disayangi tetapi ia menjawab betapa sibuknya ia. Tetapi, setidaknya harus bersyukur karena setelah beberapa kali menghubungi, akhirnya telepon diangkat, akhirnya masih bisa mendengar nafasnya, mendegar suaranya, mendengar bahwa ia masih bisa bersibuk-ria artinya ia dalam kondisi sehat walafiat, itu yang paling utama yang patut sekiranya disyukuri.

Muncul saat-saat dimana aku membenci diriku sendiri, aku selalu saja membutuhkan bantuan orang lain karena aku bahkan tidak bisa membantu diriku sendiri. Memutuskan untuk pulang dan menangis di sepanjang perjalanan. Entah sudah berapa kali, sepanjang jalan Yogykarta menjadi saksi di setiap kesedihan yang kualami selain bantal yang kupeluk di kamarku sendirian.

Pikiranku mengingat kembali di hari itu, hari terburuk. Aku sendirian, panik, bingung. Sementara ibuku di ujung telepon sana tetap tenang, berbicara denganku memberi tahu kabar buruk itu. Entah ada berapa jiwa tegar yang dimilikinya, setiap kali kami ditimpa kemalangan, kekhawatiran tertuju padanya, ia tetap tenang membalas pesan kami, maupun mengangkat telepon kami. Tetapi, saat itu, aku sendirian di kamarku, aku bingung, airmataku sudah bercucuran, suaraku parau. Aku segera mengemasi pakaianku. Di setiap waktu kesedihan yang datang akan membawaku kepada detik kesedihan yang lalu. Aku pernah berada di waktu tanpa ibuku. Suatu pagi yang cerah, manakala Merapi dengan jelas menjulang terliihat dari kaca jendela dan cuitan burung menambah harmonis suasana pagi, saat jarum infus masih menancap di tanganku, beberapa perawat dan dokter terburu-buru masuk ke dalam ruanganku. Pagi itu aku harus mengemas sendiri pakaianku, mereka bilang sakitku bertambah parah dan harus dipindahkan ke rumah sakit yang lebih besar. Aku mengemas pakaianku dengan air mata. Kini, di hari terburuk itu, aku kembali terburu-buru mengemas pakaianku. Katanya, kakekku sudah di ujung nafas. Sementara, hari itu aku harus pergi ke rumah sakit untuk mengurus nenekku yang sedang dirawat. Kau tahu, ini berbeda. Kakekku adalah ayah dari ayahku, dan nenekku adalah ibu dari ibuku. Aku sendirian dan aku kebingungan. Aku menangis tidak karuan di sepanjang jalan menuju rumah sakit yang letaknya di ujung Yogyakarta. Di saat-saat seperti itu aku berharap ada seseorang, tetapi nyatanya aku berkendara seorang diri, membonceng air mata dan tas penuh pakaian. Aku berharap angin segera mengeringkan air mata di sepanjang pipiku.

Kau tahu, hari ini aku pergi betul melihat-lihat koper. Ternyata, tak jauh dari tempat tinggalku ada penjual koper, pikiranku sudah mencari sampai ujung batas kota. Kau tahu lagi, apa yang membuatku terkejut? Harga koper yang ingin kubeli jauh lebih murah ketimbang tas ransel kecil yang kupakai sehari-hari, bahkan laptopku saja tak masuk ke dalamnya.

Kadang dunia selucu ini. Atau mungkin memang aku yang bodoh soal harga. Jadi, kuharap, perjalanan ini adalah sungguhan. Meskipun nanti rasanya boleh jadi biasa saja, tetapi apapun itu, ingin kuhadapi dengan penuh syukur.


Sabtu, 27 April 2019
Pagi-pagi sekali aku pergi, hanya untuk mendengar Ustazah Flow berbicara.

Setelah bertahun-tahun lamanya, kesempatan itu datang kembali. Sesuatu yang lepas, yang membuat jiwa pernah meronta tak terima. Sesuatu yang pergi, yang pernah membuat hati yang tak bersalah menjadi mati. Akan tetapi, pagi tadi, perempuan itu berkata, “Jika imanmu tidak kuat, kau akan kembali.”

Seringnya berpikir ada permainan semacam karma di sini. Tetapi, ada yang lebih luas dari itu semua. Ini hanya secuil ujian keimanan. Tolong hati, jangan berbangga diri bila ternyata kau berhasil lepas dari semua ini, dari nafsu manusia untuk saling memiliki tetapi tak pernah tahu apa sesungguhnya yang diingini oleh hati.

Dan dalam hati, aku semakin meyakini bahwa keyakinan tidak akan pernah dikalahkan oleh keragu-raguan.

Lalu kekhawatiran pada hari Rabu sebelumya, ditampar dengan perkataan Ustaz Afri, “bersyukurlah jika kalian pergi kuliah saat Ramadhan. Duduk di kelas, menimba ilmu, mendapat keberkahan dari Allah. Dibanding tidak melakukan apa-apa, dibanding hanya tidur sepanjang hari saat Ramadhan.”

Kini, kutanya pada jiwaku siapkah aku bertemu Ramadhan?

Tanyalah juga pada jiwamu, siapkah?
                                                                         

Lalu ditengah kegalauan dengan jiwa sendiri, sebuah pesan masuk,

“Pagi ini jam 09.30 operasi amputasi kaki akan dilakukan.”

Dalam hidup, entah ini sudah kali keberapa, aku menahan air mata. Manusia tidak akan pernah berhenti belajar soal keikhlasan. Senin nanti, kuharap aku diberi waktu untuk menjenguknya lagi, usai menjenguknya seminggu yang lalu saat ia masuk ruang ICU. Matanya terpejam, begitu banyak selang yang dipasang di sekujur tubuhnya. Kugenggam tangannya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi orang-orang yang benar-benar berjuang untuk hidup.


Yogyakarta, akhir April 2019
Aku harap suatu saat aku menemukan satu orang saja, yang dengannya bisa kutumpahkan seluruhnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar