![]() |
Source: Tumblr |
Gujes, gujes. Kereta melaju. Cepat.
Perempuan
itu terus memandang keluar jendela. Seakan tak punya pilihan lain. Mencoba
kegiatan lain dengan membuka-buka buku bacaan yang dibawanya, hingga kemudian
mulai tak fokus karena perutnya mulai merengek minta diisi. Tangannya merogoh
tas ransel di pangkuannya. Sebuah roti muncul, dengan keju di bagian atasnya,
mungkin juga di dalamnya. Perempuan itu perlahan melahap rotinya sambil terus
melihat keluar jendela. Di hadapannya terhampar hijau yang menyala di mata,
bercampur dengan semesta yang tengah mempertontonkan birunya. Merasa diperhatikan,
perempuan itu berhenti mengunyah. Akhirnya
peduli juga, batinnya.
"Keju,
langit biru, buku-buku."
Perempuan
itu sungguh berhenti mengunyah, lebih tepatnya karena terperangah. Cerdas, batinnya. Tiga hal yang menjadi
favoritnya sekaligus digumamkan oleh laki-laki di hadapannya. Dengan berusaha
biasa saja, berpura-pura tidak takjub, perempuan itu kembali asyik mengunyah.
Rasa
kantuk mulai menyerbunya. Apa-apa yang memenuhi pangkuannya, dirapikannya
kembali Perempuan itu akhirnya tertidur. Pulas. Tak menyadari bahwa biru langit
mulai berpendar.
Tik. Tik. Tik. Laju kereta melambat
bersamaan dengan kaca jendela yang mulai dihuni titik-titik air hujan. Hanya
gerimis. Perempuan itu terbangun, mengucek-ngucek kedua matanya.
Belum hilang kantuknya, kembali laki-laki di hadapannya membuatnya terperangah.
"Al
Gibran Satria Dewa, atau Dewa." Laki-laki itu menjulurkan tangannya.
Perempuan itu ingin merespon, tapi masih mengantuk, juga kaget jelas, dan agak
malu-malu. Gerakan tangannya yang menarik diri membuat si laki-laki akhirnya
paham dan mengurungkan niat untuk menjabat perempuan di hadapannya yang
ternyata begitu menjaga perkara sentuhan dengan lawan jenisnya. Ia memahami dan
menghormati.
"Mentari."
Ucap perempuan itu pelan, seakan balas menghormati perkenalan tersebut.
"Saja?"
"Batas."
Entah
bagaimana, tetapi laki-laki bernama Dewa itu langsung mengerti.
"Cukup."
Kata Dewa.
"Benar."
"Yang
sekaligus tidak selamanya bagus."
"Benar."
Balas Mentari, tetapi hatinya bergumam, cerdas!
Sayang
sekali perkenalan yang sangat singkat karena petugas kereta segera mengumumkan
bahwa kereta akan tiba di stasiun Cicalengka. Mentari harus bersiap turun. Ia
bangkit dari duduknya berniat mengambil koper. Sebelumnya dipandanginya sejenak
punggung tangan kanannya yang terkelupas. Menghela nafas.
Dewa
ikut bangkit. Mentari belum keheranan sampai akhirnya Dewa mengambilkan
kopernya dari atas.
“Terima
kasih.” Ucap Mentari sambil menghadap ke arah Dewa.
“Terima
kasih terbaik adalah doa.” Dewa merespon.
Ah!
Seketika Mentari ingat sesuatu.
"Teman
Imaji!" Mereka berdua berseru kompak. Sepasang mata mereka membulat sambil
keduanya sama-sama melebarkan senyuman. Mentari tidak percaya, dirinya bisa
bertemu seorang stranger yang tahu kutipan dalam buku itu. Orang ini beda, semacam ajaib, batinnya. Tidak sembarang orang bisa
menemukan buku ini. Tidak semua toko buku menjual buku ini. Dan menurut
Mentari, hanya mereka yang sefrekuensilah yang bisa dipertemukan dengan buku
ini. Aha! Kami sefrekuensi, kah?
Keduanya
duduk kembali. Mentari menunggu sampai kereta benar-benar berhenti.
"Dewa."
Panggil Mentari. Dewa sedikit terkejut, perempuan itu bisa menyebut namanya.
"Ini."
Kata Mentari lagi.
Roti
keju yang satunya lagi rupanya masih utuh dalam tasnya. Dan sebentar lagi akan
menjadi milik Dewa.
"Untuk
saya?" Tanya Dewa.
"Bukan.
Untuk adik kamu di rumah." Dewa tertawa.
"Ya,
untuk kamulah." Kata Mentari.
"Saya
juga tidak akan ngasih roti ini ke adik saya." Jawab Dewa.
"Lho,
kenapa?" Mentari bingung.
"Karena
saya tidak punya adik." Dewa tertawa lebar melihat Mentari salah tingkah,
puas rasanya.
"Jadi,
ini roti untuk Dewa." Tegas Dewa.
"Untuk
Ranger." Balas Mentari. “Karena sudah membantuku menurunkan koper.”
"Saya Stranger bukan Ranger.” Sanggah Dewa.
“Ranger!”
Mentari kekeuh.
“Oke.
Stranger tanpa es dan te(h)!" Dewa berujar sambil tertawa sekali lagi.
"Aha!
Betul! Kata Kica, ya!" Seru Mentari.
"Iya!"
Senyum Dewa lebih lebar dari sebelumnya. “Kamu juga Stranger. Eh, Ranger. Karena bisa ngangkat koper sendiri. Stranger tanpa es dan te(h). Orang
asing, tapi tidak cool, tidak berasa, ya tidak manis juga." Dewa berusaha
melengkapi kalimatnya yang ia copy dari kutipan buku Teman Imaji. Kali ini
Mentari merasa diejek.
"Tidak
manis?" Tanya Mentari.
"Belum
saja." Dewa masih mengejek. Mentari diam.
"Nanti
kita ketemu lagi, ya!" Seru Dewa.
"Gimana
caranya?" Mentari bingung lagi.
"Jangan
dipikirin." Dewa santai.
Mentari
terkekeh sejenak.
"Nanti
ketemu dengan sendirinya, ya." Mentari pasrah.
"Cerdas!"
Kali ini Dewa yang berseru seperti itu, seperti bisa membaca pikiran Mentari
sejak tadi.
Klakson
kereta berbunyi. Keras sekali. Memberi tanda hendak menepi, menyeru sekeliling
untuk menghindari rel yang menjadi tempatnya berjalan. Mentari turun. Dewa
berpura-pura tidak apa-apa sampai kereta kembali melaju, barulah dicari-carinya
sosok Mentari di luar jendela, yang makin lama makin mengecil, lalu menghilang
seiring berlalunya kereta. Dewa memikirkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar