25/04/21

#2 Stranger


Source: Tumblr

Gujes, gujes. Kereta melaju. Cepat.

Perempuan itu terus memandang keluar jendela. Seakan tak punya pilihan lain. Mencoba kegiatan lain dengan membuka-buka buku bacaan yang dibawanya, hingga kemudian mulai tak fokus karena perutnya mulai merengek minta diisi. Tangannya merogoh tas ransel di pangkuannya. Sebuah roti muncul, dengan keju di bagian atasnya, mungkin juga di dalamnya. Perempuan itu perlahan melahap rotinya sambil terus melihat keluar jendela. Di hadapannya terhampar hijau yang menyala di mata, bercampur dengan semesta yang tengah mempertontonkan birunya. Merasa diperhatikan, perempuan itu berhenti mengunyah. Akhirnya peduli juga, batinnya.

"Keju, langit biru, buku-buku."

Perempuan itu sungguh berhenti mengunyah, lebih tepatnya karena terperangah. Cerdas, batinnya. Tiga hal yang menjadi favoritnya sekaligus digumamkan oleh laki-laki di hadapannya. Dengan berusaha biasa saja, berpura-pura tidak takjub, perempuan itu kembali asyik mengunyah.

Rasa kantuk mulai menyerbunya. Apa-apa yang memenuhi pangkuannya, dirapikannya kembali Perempuan itu akhirnya tertidur. Pulas. Tak menyadari bahwa biru langit mulai berpendar.

Tik. Tik. Tik. Laju kereta melambat bersamaan dengan kaca jendela yang mulai dihuni titik-titik air hujan. Hanya gerimis. Perempuan itu terbangun, mengucek-ngucek kedua matanya.

Belum hilang kantuknya, kembali laki-laki di hadapannya membuatnya terperangah.

"Al Gibran Satria Dewa, atau Dewa." Laki-laki itu menjulurkan tangannya. Perempuan itu ingin merespon, tapi masih mengantuk, juga kaget jelas, dan agak malu-malu. Gerakan tangannya yang menarik diri membuat si laki-laki akhirnya paham dan mengurungkan niat untuk menjabat perempuan di hadapannya yang ternyata begitu menjaga perkara sentuhan dengan lawan jenisnya. Ia memahami dan menghormati.

"Mentari." Ucap perempuan itu pelan, seakan balas menghormati perkenalan tersebut.

"Saja?"

"Batas."

Entah bagaimana, tetapi laki-laki bernama Dewa itu langsung mengerti.

"Cukup." Kata Dewa.

"Benar."

"Yang sekaligus tidak selamanya bagus."

"Benar." Balas Mentari, tetapi hatinya bergumam, cerdas!

Sayang sekali perkenalan yang sangat singkat karena petugas kereta segera mengumumkan bahwa kereta akan tiba di stasiun Cicalengka. Mentari harus bersiap turun. Ia bangkit dari duduknya berniat mengambil koper. Sebelumnya dipandanginya sejenak punggung tangan kanannya yang terkelupas. Menghela nafas.

Dewa ikut bangkit. Mentari belum keheranan sampai akhirnya Dewa mengambilkan kopernya dari atas.

“Terima kasih.” Ucap Mentari sambil menghadap ke arah Dewa.

“Terima kasih terbaik adalah doa.” Dewa merespon.

Ah! Seketika Mentari ingat sesuatu.

"Teman Imaji!" Mereka berdua berseru kompak. Sepasang mata mereka membulat sambil keduanya sama-sama melebarkan senyuman. Mentari tidak percaya, dirinya bisa bertemu seorang stranger yang tahu kutipan dalam buku itu. Orang ini beda, semacam ajaib, batinnya. Tidak sembarang orang bisa menemukan buku ini. Tidak semua toko buku menjual buku ini. Dan menurut Mentari, hanya mereka yang sefrekuensilah yang bisa dipertemukan dengan buku ini. Aha! Kami sefrekuensi, kah?

Keduanya duduk kembali. Mentari menunggu sampai kereta benar-benar berhenti.

"Dewa." Panggil Mentari. Dewa sedikit terkejut, perempuan itu bisa menyebut namanya.

"Ini." Kata Mentari lagi.

Roti keju yang satunya lagi rupanya masih utuh dalam tasnya. Dan sebentar lagi akan menjadi milik Dewa.

"Untuk saya?" Tanya Dewa.

"Bukan. Untuk adik kamu di rumah." Dewa tertawa.

"Ya, untuk kamulah." Kata Mentari.

"Saya juga tidak akan ngasih roti ini ke adik saya." Jawab Dewa.

"Lho, kenapa?" Mentari bingung.

"Karena saya tidak punya adik." Dewa tertawa lebar melihat Mentari salah tingkah, puas rasanya.

"Jadi, ini roti untuk Dewa." Tegas Dewa.

"Untuk Ranger." Balas Mentari. “Karena sudah membantuku menurunkan koper.”

"Saya Stranger bukan Ranger.” Sanggah Dewa.

“Ranger!” Mentari kekeuh.

“Oke. Stranger tanpa es dan te(h)!" Dewa berujar sambil tertawa sekali lagi.

"Aha! Betul! Kata Kica, ya!" Seru Mentari.

"Iya!" Senyum Dewa lebih lebar dari sebelumnya. “Kamu juga Stranger. Eh, Ranger. Karena bisa ngangkat koper sendiri. Stranger tanpa es dan te(h). Orang asing, tapi tidak cool, tidak berasa, ya tidak manis juga." Dewa berusaha melengkapi kalimatnya yang ia copy dari kutipan buku Teman Imaji. Kali ini Mentari merasa diejek.

"Tidak manis?" Tanya Mentari.

"Belum saja." Dewa masih mengejek. Mentari diam.

"Nanti kita ketemu lagi, ya!" Seru Dewa.

"Gimana caranya?" Mentari bingung lagi.

"Jangan dipikirin." Dewa santai.

Mentari terkekeh sejenak.

"Nanti ketemu dengan sendirinya, ya." Mentari pasrah.

"Cerdas!" Kali ini Dewa yang berseru seperti itu, seperti bisa membaca pikiran Mentari sejak tadi.

Klakson kereta berbunyi. Keras sekali. Memberi tanda hendak menepi, menyeru sekeliling untuk menghindari rel yang menjadi tempatnya berjalan. Mentari turun. Dewa berpura-pura tidak apa-apa sampai kereta kembali melaju, barulah dicari-carinya sosok Mentari di luar jendela, yang makin lama makin mengecil, lalu menghilang seiring berlalunya kereta. Dewa memikirkannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar