25/03/22

#5 Perkara Membangunkan


Hari itu Kak Satriya ada pemotretan untuk buku tahunan sekolah. Awalnya mengira akan pulang siang, ternyata sore hari baru pulang.

“Kamu udah makan siang, belum? Sabar ya, nanti aku pulang bawa makanan.” Ujarnya lewat pesan WhatsApp. Siang itu saya menunggunya sambil nyemil, tetapi ternyata sore hari ia baru tiba dengan sekotak makanan berisi ayam bakar. Lezat.

Malam harinya tentu saja saya masih kenyang karena baru selesai makan sore tadi. Rencananya juga malam ini ia akan meeting sehingga kemungkinan besar ia akan makan di luar bersama rekannya. Saya ngantuk, sementara ia masih menunggu kabar dari rekannya.

Esok paginya saya baru menyadari bahwa semalam ia tidak jadi meeting yang artinya kemungkinan ia tidak makan malam. Saya mulai dihinggapi perasaan bersalah. Duh Nina, kenapa sih kamu nggak nunggu sampai Kak Satriya beneran berangkat meeting? Kenapa malah tidur..

“Kak, maaf ya semalam aku ngantuk banget, kenapa kamu nggak bangunin aku? Kamu lapar, ya?”

“Mendingan aku bangunin polisi tidur, Nin..”

“Hah? Hehehe.. Emang sesusah itu ya bangunin aku?!”

Atau di lain waktu, kalau mata saya sudah tidak kuat, ia akan menyuruh saya untuk tidur duluan. Padahal waktu itu saya sedang membantunya mengetik, tapi bahkan kepala saya sudah tidak bisa tegak lagi. Dengan berbekal yakin, saya berkata, “Aku tidur bentar, nanti aku bantuin lagi. Tolong bangunin, ya!”

#4 Rezeki Pertama


Pagi di hari ketiga kami di hotel, Kak Satriya mendapat kabar dari seorang teman yang menawarkan pekerjaan dokumentasi liputan. Tentu saja langsung diiyakan. Berbeda dari job-job sebelumnya, dimana biasanya Kak Satriya mengambil job sebagai fotografer dalam acara wedding, kali ini ia hendak dipekerjakan untuk peliputan suatu acara yang dilaksanakan oleh kementerian kehutanan dalam upaya edukasi kopi terhadap para petani di daerah Ciwidey, Jawa Barat.

Sementara saya menulis tulisan ini, Kak Satriya tengah berada di Ciwidey bersama tim yang diutus dari Yogyakarta. Tidak tanggung-tanggung, dalam tim ini ikutserta ahli kopi, pengusaha coffe shop, professor, juga orang-orang hebat lainnya. Beberapa kali sepulang dari meeting, diceritakan olehnya tentang hal-hal menarik seputaran kopi ini.

Dan tentu saja, saya tidak sabar menantinya pulang. Tidak sabar menunggu oleh-oleh segudang cerita dan ilmu baru dari sana. Juga, sekeranjang buah stroberi kesukaan saya yang semoga sempat ia belikan.

Teringat pesannya di teras coffe shop tempat saya mengantarnya sebelum ia pamit pergi, “Jaga diri, ya. Kamu nulis aja biar nggak bosan, biar produktif.”

Dan lihat, aku sungguh-sungguh berbakti, kan? Kembali ke ruang ini dan menulis lagi. Kamu, cepat pulang.. cepat kembali..

*backsound lagu Firasat punya Marcell

#3 Beda Pemikiran


Malam itu saya bercakap-cakap dengan seorang teman perempuan yang datang ke pernikahan saya.

“Nin, pasti di luar sana banyak laki-laki yang sedang bersiap menuju kamu, sedang mempersiapkan diri untuk melamarmu. Lalu, mereka terkejut karena tiba-tiba kamu menikah. Mereka gagal hanya karena mereka kurang sat-set-sat-set.”

Ia juga banyak mendengar obrolan para laki-laki yang hadir di pernikahan saya waktu itu.

“Nggak dapat kakaknya, adiknya juga boleh.” Mereka bercanda dan tertawa di sela-sela alunan yang mengalir memenuhi ruang pernikahan.

Saya tiba-tiba teringat apa yang Kak Satriya katakan pada saya tempo hari, “Lebih baik sudah mencoba meskipun jika pada akhirnya harus gagal. Mungkin aku akan menyesal seumur hidup jika aku tidak mencobanya. Kalau saja saat itu aku tidak berani, mungkin kita tidak akan pernah berada di tahap sejauh ini.”

Saya juga membuka topik obrolan ini dengan Kak Satriya yang kini telah sah menjadi suami saya. 

“Kak, mungkin di luar sana banyak laki-laki yang menyukaiku, tapi mereka tidak kunjung datang. Kalau kata temanku, kebanyakan dari laki-laki tersebut merasa nggak pantas bersamaku, mereka takut nggak bisa mengimbangiku. Jadi, kebanyakan dari mereka hanya ingin sekedar mengekspresikan perasaannya tanpa berharap terlalu jauh. Lalu kamu, setelah kuceritakan banyak hal tentangku padamu yang sebenarnya aku hendak membuat nyalimu ciut dan barangkali memutuskan mundur karena aku tidak membutuhkan laki-laki yang minder, tapi kenapa kamu tidak demikian seperti laki-laki yang lain?” tanya saya padanya, waktu itu di tengah sarapan soto kudus sebelum pemotretan buku tahunan sekolah.

#2 Dijodohkan atau Taaruf?

Dengan melihat karakter dan warna jiwa dalam diri saya, banyak orang yang memperkirakan bahwa kelak saya akan menikah melalui perjodohan atau jalur taaruf. Saya tidak menampik, tetapi tidak juga lantas mengiyakan atau mengatakan mungkin. Melalui kisah yang saya alami sendiri, bahwasannya jodoh adalah sebaik-baik rahasia milik-Nya. Jalur bertemu jodoh sangatlah luas, datang dari jalan yang tidak disangka-sangka, hati yang terbolak-balik atas izin-Nya.

Dalam pengharapan dan doa, saya seringkali memohon pada Allah bahwa seseorang ini haruslah seseorang yang telah saya kenal sebagai seorang teman atau sebatas saling tahu. Sebagai seorang perempuan, ada banyak ketakutan diri sebelum pernikahan terjadi. Takut pasangan gimana-gimana, termasuk khawatir nantinya tidak diterima seutuhnya.

Namun, saya berpikiran bahwa jika seseorang ini adalah teman saya, insyaaAllah ia telah menerima saya secara luaran. Maksud saya, saya yakin ia telah menerima saya berupa penampilan, cara bergaul, cara berbicara dan hal-hal lain yang saya miliki sehingga saya tak perlu berubah terlalu banyak untuknya atau diatur-atur sedemikian rupa sehingga saya kesulitan menjadi diri saya sendiri. Begitu pula saya terhadapnya, saya telah menerima kehadirannya secara utuh. Dan kami akan terus belajar untuk saling mengerti satu sama lain, saling berupaya memperbaiki diri, saling berlomba dalam meraih ridho Illahi.

Jalan takdir yang telah Allah rencanakan ternyata berkisah bahwa saya menikah dengan seorang laki-laki yang tak lain adalah kakak tingkat di jurusan kampus, seseorang yang dulu sempat menjadi tempat bagi saya dalam bertanya banyak hal. Ia selalu punya jawaban atas setiap pertanyaan yang saya ajukan, bahkan rupanya ia jugalah yang Allah takdirkan menjadi jawaban atas doa dan pengharapan saya.

#1 Tasyakur Binni’mah


Bismillahirrohmanirrohim. Tiada pernah bermaksud meninggalkan ruang kecil ini. Ruang tempat dimana saya menghabiskan hari-hari saya untuk mengembangkan produktivitas, jam terbang, juga ruang dimana saya mencurahkan banyak hal di dalamnya bersama para pembaca yang mungkin tiada pernah saya mengenalnya. 

Setahun ke belakang, saya melewati banyak hal yang tidak biasa dalam hidup saya, mengguncang batin saya sekaligus membuat saya teramat bersyukur karena Allah beri kemampuan bagi saya untuk memetik hikmah yang amat dalam ini. Perjalanan hidup yang mempertemukan saya dengan berbagai rasa, salah satunya hingga membuat batin saya terluka dan bertanya-tanya pada Allah, “Mengapa seperti ini?”

Namun, di lubuk hati terdalam saya selalu menyadari bahwa apapun yang terjadi dalam hidup seorang manusia, ada rahasia dari-Nya yang belum sampai pada kita. Kala itu, saya berpikir bahwa jawaban pertanyaan dari batin saya mungkin akan begitu lama saya temukan, mungkin akan begitu panjang jalan yang harus saya tempuh. Saya menerima yang terjadi, tidak memaksakan keinginan, walau untuk pertama kalinya dalam hidup saya terluka sebegitunya.

Kini saya datang kembali berkunjung ke ruang ini dengan maksud untuk tasyakur binni’mah. Saya hendak kembali menuliskan perjalanan hidup saya sebagai upaya saya dalam mensyukuri nikmat dari Allah yang semoga ada satu-dua hal yang bisa diambil menjadi pelajaran maupun hikmah. Entah apa maksud Allah telah memberikan takdir seindah ini untuk hidup saya, tetapi perjalanan hidup saya menjadi sebuah perjalanan yang layak dituliskan, diabadikan, menurut sudut pandang saya. Mungkin seluruhnya tak bisa saya abadikan di ruang ini, sebab hanya kilasan-kilasan perjalanan saja yang hendak coba saya tuliskan.

Tulisan-tulisan yang kelak hadir juga sebagai upaya perwujudan cinta saya terhadap laki-laki yang telah berani-beraninya meminang seorang perempuan seperti saya yang keras kepala untuk tidak jatuh cinta sebelum waktunya, perempuan yang berdoa pada Allah bahwa apabila kelak suatu saat saya harus jatuh cinta maka tolong jatuhkanlah perasaan saya ini pada seseorang yang memang akan membersamai saya pada sepanjang hidup saya. Sebab, saya seorang perempuan yang tidak ingin perasaan saya menjadi kesia-siaan, tidak bertemu ujung titik yang pasti, atau harus selalu menebak-nebak apa yang akan terjadi.