Hari itu Kak Satriya ada pemotretan untuk buku tahunan sekolah. Awalnya mengira akan pulang siang, ternyata sore hari baru pulang.
“Kamu udah makan siang, belum?
Sabar ya, nanti aku pulang bawa makanan.” Ujarnya lewat pesan WhatsApp. Siang
itu saya menunggunya sambil nyemil, tetapi ternyata sore hari ia baru tiba
dengan sekotak makanan berisi ayam bakar. Lezat.
Malam harinya tentu saja saya
masih kenyang karena baru selesai makan sore tadi. Rencananya juga malam ini ia
akan meeting sehingga kemungkinan besar ia akan makan di luar bersama rekannya.
Saya ngantuk, sementara ia masih menunggu kabar dari rekannya.
Esok paginya saya baru menyadari
bahwa semalam ia tidak jadi meeting yang artinya kemungkinan ia tidak makan
malam. Saya mulai dihinggapi perasaan bersalah. Duh Nina, kenapa sih kamu nggak nunggu sampai Kak Satriya beneran
berangkat meeting? Kenapa malah tidur..
“Kak, maaf ya semalam aku ngantuk banget, kenapa kamu nggak bangunin
aku? Kamu lapar, ya?”
“Mendingan aku bangunin polisi tidur, Nin..”
“Hah? Hehehe.. Emang sesusah itu ya bangunin aku?!”
Atau di lain waktu, kalau mata saya sudah tidak kuat, ia akan menyuruh saya untuk tidur duluan. Padahal waktu itu saya sedang membantunya mengetik, tapi bahkan kepala saya sudah tidak bisa tegak lagi. Dengan berbekal yakin, saya berkata, “Aku tidur bentar, nanti aku bantuin lagi. Tolong bangunin, ya!”
Entah ia membangunkan saya atau
tidak, tapi rasanya seperti sama sekali tidak dibangunkan.
“Kak, kok nggak bangunin aku?!”
“Mendingan aku bangun candi, Nin..”
“Hah? Hehehe..”
Waktu sebelum menikah, ekspektasi
saya terhadapnya, ‘bisalah nanti aku
temenin nonton bola atau ngedit kerjaan.’ Realitanya tidak demikian yang
terjadi.
“Nanti aku temenin ya, Kak. Tapi sambil merem, hehehe..”
“Hehehehe..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar