20/10/18

Kebetulan yang Cantik; Muhammad by Martin Lings dan Kisah Abu Ubaydah


Pada jam yang sama, saat saya sedang membaca buku Martin Lings tentang sejarah panjang kehidupan Nabi Muhammad, saya tidak sengaja melihat story seorang teman, isinya persis dengan bagian yang tengah saya baca. Hampir-hampir tiap kisah membuat saya terpukau, bukan hanya saja soal orang-orang yang berani berperang karena bercita-cita mati syahid tetapi juga dibuat terkagum-kagum pada sosok Muhammad, sosok yang tak pernah kita jumpa, tetapi selalu kita rindukan, kita sebut-sebut namanya, dan berharap pertemuan dengannya InsyaaAllah kelak di Surga. Aamiin

Di dalam buku itu, dikisahkan saat Nabi mengerahkan tiga ribu pasukan bersenjata dan mengangkat Zayd sebagai komandan mereka dengan instruksi: jika Zayd terbunuh, maka posisiya diganti Ja’far. ‘Abd Allah ibn Rawahah ditunjuk sebagai orang ketiga.

Abd’ Allah membonceng seorang anak yatim yang diasuhnya. Di perjalanan, anak itu mendengarnya melantunkan syair yang ia gubah sendiri yang mengungkapkan keinginan untuk tinggal di Syria setelah pasukan kembali. “Ketika mendengar syair tersebut aku menangis,” kata anak tersebut. Abd’ Allah lalu berkata, “Apa yang menyulitkanmu, anak yang malang, jika Tuhan menakdirkan aku mati syahid, maka aku meninggalkan dunia ini dengan segala kefanaan, penderitaan, dan kepedihannya, dan engkau pulang dengan selamat.” Sesudah itu, selama di perhentian di waktu malam, ia shalat dua rakaat, dilanjutkan doa permohonan yang panjang. “Kemudian, ia memanggilku dan berkata ‘aku di sini, melayanimu. Jika Tuhan berkenan, aku mendambakan kesyahidan.’ begitu katanya.”

Pada saat perang terjadi, ruang antara Mut’ah dan Madinah terpantau oleh Nabi. Beliau melihat Zayd dengan bendera putihnya memimpin pasukannya bertempur. Beliau menyaksikan Zayd terluka berkali-kali hingga akhirnya terkapar di tanah.  Ja’far mengambil bendera dan bertempur hingga menemui ajalnya pula akibat luka yang mencinderainya. Lantas ‘Abd Allah mengambil bendera dan bertempur dengan penuh semangat, melawan musuh yang dibalas dengan serangan hebat. Ia pun tewas dan pasukannya mundur dengan kocar-kacir. Sahabat lainnya, Tsabit ibn Arqam, mengambil bendera dan menyatukan pasukan kembali. Namun, ia kemudian memberikan bendera itu pada Khalid yang semula menolak kehormatan tersebut karena Tsabit lebih berhak. “Ambillah.” kata Tsabit. “Aku memang mengambilnya tetapi untuk diberikan kepadamu.” Maka, Khalid mengambil alih komando dan menyatukan kembalii barisan,

Kekalahan di Mut’ah memacu orang Arab Utara untuk memperkuat perlawanan mereka terhadap negara Islam baru itu. Nabi mengutus ‘Amr mengepalai tiga ratus orang. Musim dingin datang lebih awal tahun itu. Biasanya, begitu sampai di persinggahan terakhir mereka mengumpulkan kayu bakar. Namun, ‘Amr melarang menyalakan api, sehingga mereka mengeluh. Keluhan mereka berhenti saat ‘Amr berkata, “Kalian diperintahkan untuk mendengarkan aku dan menaaatiku, maka lakukanlah!”

Sebenarnya itu baru sebagian kecil ketegasan yang sangat berpengaruh terhadap orang-orang di sekitar mereka yang diceritakan dalam buku itu. Masih banyak di bagian bab-bab lainnya yang luarbiasa besar pengaruhnya, manakala seorang pemimpin sebuah kaum dengan begitu mudah mengislamkan kaumnya karena rasa percaya dan cinta yag besar suatu kaum terhadap pemimpin-pemimpin mereka.

Setelah diketahui bahwa jumlah pasukan musuh jauh lebih besar dari yang diperkirakan, dan sedikit harapan akan mendapat bantuan dari pihak setempat, ‘Amr mengutus seseorang kepada Nabi untuk meminta penambahan kekuatan. ‘Abu Ubaydah segera dikirim bersama dua ratus orang. Sebagai salah seorang sahabat terdekat Nabi dan orang yang selalu ikut dalam pertempuran, ia berharap menjadi pemimpin. Akan tetapi, ‘Amr bertahan karena pendatang baru itu baginya hanyalah pasukan bantuan dan dirinyalah yang memegang posisi komandan. Nabi telah menyuruh Abu Ubaydah agar menjalin kerjasama yang baik dan menghindari perpecahan di antara dua kekuatan itu. Maka ia berkata pada ‘Amr, “Jika engkau tidak menaatiku, demi Tuhan, aku akan menaatimu.” Ketika Nabi mendengar hal ini, beliau memuji Abu Ubaydah.

Sebuah kalimat yang menyejukkan hati juga terselip dalam bab peperangan tersebut, Alquran, firman Allah, adalah kitab mulia dan kitab surga. Membaca ayat-ayat Alquran ditambah dengan sunah nabi, telah mengilhami kaum mukmin dengan pasti bahwa mereka akan mudah meraih kepuasan abadi dari setiap keinginan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Hasil kebahagiaan adalah suatu ukuran keimanan. Nabi bersabda, “Segala sesuatu, apa pun keadaannya, adalah baik bagi orang beriman.”

Lalu mengingat kembali pada sebuah video berdurasi sangat singkat yang tidak sengaja saya dapatkan di salah satu story teman saya, membuat saya terkejut karena persis dengan apa yang tengah saya baca, dalam video itu diceritakan oleh Ustadz Dwi Budianto, “Ketika ‘Amru bin Aash merasa bahwa dirinya yang layak untuk memimpin, dikatakan oleh Abu Ubaydah bin Ibun Jarah, “Ya sudah monggo saja. Panjenengan yang memimpin.”

Sebab bagi Abu Ubaydah bin Ibnu Jarah, tidak terlalu penting ia berada dimana, posisi baginya tidak terlalu penting, yang terpenting adalah kotribusi dirinya, selama ini kita kadang kala menganggap remeh peran-peran kecil padahal itu peran-peran yang luar biasa. Bilal itu tidak pernah dikenal sama sekali, tidak pernah dikenang sama sekali, sebelum Islam, tetapi begitu dia masuk Islam, sampai sekarang di anatar kita yang tidak emngenal Bilal bin Rabah? Orang yang berorientasi amal itu, senantiasa mengkalkulasi tentang hal-hal kebaikan apa saja yang bisa untuk kita lakukan, jadi seakan-akan hidupnya itu harus berbanding lurus dengan unit-unit amal, setiap tarikan hidupnya itu harus senantiasa berorientasi pada amal maka mereka tidak pernah disibukkan untuk hal-hal selain dari amal kebaikan.”

Kira-kira seperti itu isi videonya, cukup terkejut dengan kebetulan kecil ini, tetapi saya merasa saya memang ditakdirkan untuk menuliskan bagian ini. Bagan-bagian cerita kecil dari sejarah hidup Nabi Muhamamad yang mungkin jarang kita ketahui.

Setelah kita banyak membaca barulah kita menyadari betapa sangat bodohnya kita. Dulu-dulu itu saya juga baru mengetahui mengapa rasa cintanya Rasulullah disebut-sebut begitu besar pada Siti Khadijah dibandingkan kepada istrinya yang lain? Mengapa selalu nama Khadijah yang disebut-sebut? Karena memang saat bersama Khadijah, tidak ada wanita lain yang dinikahi oleh Rasulullah, hanya Khadijah seorang saja. Sepanjang tahun yang sama, saat disusul kematian Khadijah, barulah Nabi berkali-kali bermimpi tentang Aisyah yang pada akhirnya menjadi istrinya.

Hal kecil lainnya juga yang baru saya tahu bahwa penyerangan yang hendak dilakukan oleh pasukan Abrahah terhadap Ka’bah didasari oleh pembalasan dendam sebab seseorang dari suku Kinanah menghancurkan sebuah Katedral megah di daerah Shan’a. Selama perjalanan menuju Mekkah, pasukan Abrahah merampas apa saja yang mereka temukan di perjalanan termasuk dua ratus unta milik ‘Abd Al-Muththalib.

Ketika Abrahah menyaksikan kedatangan ‘Abd Muththalib ke perkemahannya, ia begitu terkesan, sampai turun dari singgasana, menyambutnya dan duduk bersama di atas karpet. Ia menyuruh juru bicaranya menanyakan kepada ‘Abd Muththalib permintaan apa yang hendak diajukan. ‘Abd Muththalib meminta agar hartanya yang dirampas dikembalikan. Abrahah terkejut mendengar permintaan itu. Ia sangat kecewa mendengarnya, karena menganggap ‘Abd Muththalib jauh lebih mementingkan unta-untanya ketimbang agamanya yang sedang terancam untuk dihancurkan. ‘Abd Muththalib menjawab, “Aku adalah pemilik unta-unta itu, sementara Ka’bah adalah pemiliknya sendiri yang akan melindunginya.” MasyaaAllah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar