15/12/12

Aku, Adit, dan LDK






“Mana ID card lo ?”
“Ini, kak.” Jawabku seraya menyerahkannya pada kakak kelas berkacamata itu.
“ID card lo, kita sita !” Serunya mewakili teman-temannya yang lain yang sedang mengerubungiku.
“Makanya, jadi adik kelas jangan macam-macam !” Tambah yang lainnya. Mereka semua membentakku dengan tatapan sengit. Sementara dari jarak yang cukup dekat, Adit berdiri memperhatikan tingkah teman-temannya yang kelewatan padaku. Dasar pacar sialan !
Aditya Pramudya anak kelas tiga ipa satu, cowok dengan sejuta pesona, sok kalem, dan lain sebagainya yang kini menjadi milikku serasa tidak ada gunanya. Aku dibully seperti ini, ia malah berdiri tersenyum-senyum bodoh di sana.
“Kan tadi udah dikasih tahu. Peserta nggak boleh ada yang jajan. Kamu ngerti nggak, sih, nona kecil ?” kata Adit dengan omongannya yang tak bermakna itu, membuatku jengkel setengah mati. Aku makin cemberut.
“Nona kecil masih hobi ngambek ? Kalau begitu, enggak akan pernah bisa dipanggil nona besar.” Katanya lagi.
“Kak, lo jahat banget ! Nyadar enggak, sih ?” Kataku dengan muka penuh emosi.
“Aku ? Jahat ? Kamu suka sama penjahat ?”
“Apaan sih lo ! Harusnya tadi tuh kakak belain aku. Bukan malah cuma ngeliatin aku !”
“Sorry, deh.”
“Sorry doang ? Cuih !”
Aku meninggalkannya dengan sejuta api kekesalan yang membara.
Malam ini langit mendung, membawa segelintir hawa sejuk di alam. Namun, hawanya tak mempengaruhi gejolak kekesalanku pada Adit.
Belum sempat aku bernafas, terdengar lagi teriakan-teriakan itu.
“Nataaaa ! Aduh, ini nata de coco gimana sih ? Tadi udah melanggar, sekarang melanggar lagi !” Aku menatap dingin ke arah kakak kelas yang berteriak-teriak itu.
“Natapnya biasa aja, dong !” Bentaknya lagi. “Lo udah tahu aturan LDK ini, kan ? Bagi anak cewek, dilarang menguncir rambut !” ia menegurku, dan tiba-tiba saja rambutku yang panjang terurai karena ia menarik paksa kuncir di rambutku.
“Aaaargh, sakit tahu, kak !” Aku membalas bentakannya. Kubalikkan tubuhku dan berniat pergi.
“Tunggu !! Woy Nata de coco, lu dihukum ! Cepetan nyuci piring di belakang, nggak pake lama !” Amarah di hatiku makin meledak-meledak ketika mereka memanggilku dengan sebutan ‘Nata de coco’.
‘Nama gue Natasya Febrisa, bukan Nata de coco ! What is this funny ? ’
Oke, piring semua sudah bersih. Sudah aku cuci sebersih-bersihnya ! Habis ini ada apa lagi ?
“Dit, lu ngepel dong !” Perintah temannya Adit pada Adit. Aku menoleh ke sumber suara. Aku melihat ada Adit dan temannya yang menjadi panitia dalam LDK kali ini.
‘Rasain lo disuruh ngepel !’ Batinku dalam hati.
Adit mengambil sebuah kain pel, dan mulai mengepel. Aku masih berdiri di tempat sambil memperhatikan Adit yang sedang mengepel.
“Masa gue yang ngepel, ehem..” Heh ? Maksud Adit ngomong begitu apa ? Dia berbicara sambil melihat ke arahku.
“Masa gue yang ngepel..”
Dia mengulangi perkataannya dengan suara lebih lantang.
“Heh ? Maksud lo apaan ?” Ujarku merasa.
“Ngerasa, yah ? Nih !” Dia memberiku kain pel itu. Dengan jutek aku mengambilnya.
“Jahat !” Ujarku. Dia hanya tertawa dengan perasaan tidak berdosa sama sekali. Benar-benar licik.

***

Ternyata pagi datang tanpa permisi. Pintu kamar mulai digedor satu persatu oleh kakak kelas yang menjadi panitia. Intinya adalah harus bangun !!
Tiap kamar diisi oleh satu toilet, sedangkan dalam satu kamar itu sendiri dihuni oleh enam orang. Kalau ingin mandi ? Sudah pasti harus bersabar dan mengantri.
Sambil menunggu giliran mandi, aku mungkin bisa tidur kembali, selamat tidur kembaliiii !
Entah ini sudah jam berapa, aku membuka mata. Astaga ! tidak ada orang ? Dimana yang lainnya ? Jangan-jangan…
Kuraih handukku, dan berharap tidak terlambat. Semalam makanannya sudah tidak enak, bagaimana dengan pagi ini ? Oh, Tuhan.
Kupasang seragamku, kusiapkan tas sekolahku, dan kupakai semua antributku, kecuali ID cardku yang disita semalam !
Perlahan-lahan kutuju ruang makan. Ternyata semua orang sudah berkumpul. Semua mata tertuju padaku, terutama mata kakak-kakak kelas itu. Aku bersiap menerima hukuman, lagi.
“Bagus ! Terlambat 5 menit.” Kata kakak kelas yang kuketahui namanya adalah Cindy dengan senyuman di bibirnya. Kupikir ia tersenyum karena tidak ada masalah. Tetapi ternyata..
“Terlambat 5 menit artinya.. MELANGGAR !” Senyumannya berubah menjadi raut jutek yang ganas. Semua orang memandang ke arahku. Lihat, aku benar-benar dipermalukan sekarang. Ternyata sedari tadi, Adit berada tak jauh dariku, dan dia menertawakanku.
“Duduk di sana !” Suruh kak Cindy padaku. Oke. Aku turuti perintahnya.
Sial. Ternyata makanannya habis !
“Kenapa ?” Tanya kak Cindy begitu melihat renggutanku.
“Makanannya habis, kak.”
“Oh, sudah habis ? Kasian.” Dia meninggalkanku. Apa-apaan ini ? Rasanya aku ingin sekali menghampirinya lalu menjambak-jambak sampai rambutnya rontok semua ! Aaaargh !
Pelajaran pertama di hari ini sudah berakhir, tiba pelajaran kedua. Aku merasakan sesuatu. Buku cetak sosiologiku mana ? Astaga, KETINGGALAN ?! Pasti bu May akan marah-marah lagi. Cukup, sudah cukup semua kesialan menimpaku. Aku tidak ingin dipermainkan lagi oleh kesialan.

***

Malam ini adalah puncaknya latihan dasar kepemimpinan. Kami semua harus tidur tepat pukul sepuluh malam. Seperti dugaanku, aku dibangunkan tengah malam. Uji nyali yang pertama sudah terasa ekstrem. Disuruh masuk ke dalam ruang PMR yang gelap merupakan sesuatu yang benar-benar mengerikan. Mungkin aku tidak begitu peduli dengan ketakutanku karena aku masih sangat sangat sangat mengantuk.
Masuk di tahap kedua, melewati lorong demi lorong di depan kelas-kelas, menelusuri tiap-tiap koridor. Kali ini, aku disuruh masuk ke area toilet untuk cuci muka. Tetap positive thinking. Tidak akan ada apa-apa di toilet.
Tahap ketiga, aku bertemu area toilet berikutnya di bangunan yang berbeda. Kali ini, aku disuruh mematikan keran air yang katanya menyala. Di tempat segelap ini, mana bisa aku tahu keran air di kamar mandi sebelah mana yang menyala airnya ? Aku terus menyakini diriku bahwa aku bisa. Perlahan-lahan kuperiksa satu persatu kamar mandi. Sialnya sudah empat kamar mandi yang kuperiksa. Sudah pasti kamar mandi yang paling ujung yang kerannya menyala. Apa itu ? Astagaaaaaaa, seketika penglihatanku kabur. Tanpa sadar, aku menjerit dan tak ingat apa-apa lagi.
“Gua bilang juga apa, kita nggak usah pakai toilet yang di situ. Sekarang, Natasya jadi korbannya.” Samar-samar kudengar suara Adit.
“Maaf, deh.”
“Pokonya gua nggak mau tahu, kalau Natasya kenapa-kenapa, lo semua harus tanggung jawab !” Masih kudengar suara Adit. Ternyata ia juga bisa membelaku di depan teman-temannya.
“Tenang aja kali, dia nggak akan sampai gila karena hal ini. Lagian juga, dianya aja yang lebay. Kenapa mesti pingsan segala ? Yang lain aja enggak, tuh.”
Aku mendengar mereka membicarakanku.
“Diam aja deh, lu.” Adit masih terdengar tersulut emosi.
“Kalian semua khawatir sama gue, yah ?” Kataku setengah sadar. Mereka terkejut, lalu bergantian menatapku.
“Gua nggak pernah khawatir sama adik kelas macam lo !” Seru kak Eva sambil meninggalkanku, kak Adit, dan kak Faiz. Tak lama kemudian kak Faiz menyusul kak Eva. Tinggalah aku dan Adit, berdua.
“Lu baik-baik aja, kan ?” Dia menatapku dengan muka sok khawatir.
“Gue baik-baik aja. Jangan natap iba ke arah gue, gue tahu lo sama sekali nggak khawatir sama gue.” Entah mengapa aku berbicara seperti itu padanya.
“Jutek amat. Kalau gitu, gua pergi dulu, yah. Elu baik-baik aja, kan, kalau gue tinggalin sendirian di sini ?” Dia beranjak dan hendak pergi. Aku melihat ke sekitarku. Hanya ada lilin yang menerangi ruangan ini. Semuanya nampak gelap dan begitu menyeramkan.
“Enggaaaaaaak, lu bego amat, kak ! Lu gila kali mau ninggalin gua sendirian di sini. Gua takut, kaliii. Gua mau ikut sama lo, kak !” AKu berteriak panik.
“Sok, sih. Katanya baik-baik aja.” Aku langsung berdiri di sampingnya. Kami berdua berjalan menelusuri koridor-koridor sekolah. Meskipun perasaanku tidak enak, karena aku merasa ada yang mengikutiku, entah apa itu, tetapi aku bisa merasakan kenyamanan yang luarbiasa bila ada Adit di sampingku.

***

Sekarang, aku lebih menghargai kakak kelasku. Sekarang, aku lebih bersikap manis pada Adit. Sekarang, aku lebih bersyukur menjadi seorang Natasya. Sekarang, aku berusaha menjadi nona tanpa kejutekan. Sekarang, aku mencoba menjadi Natasya yang lebih baik, untuk diriku sendiri, dan untuk orang-orang di sekitarku yang menyayangiku dan yang aku sayangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar