Dengan tenaga yang kuat, aku berusaha
menarik koperku. Hari ini adalah hari keberangkatanku ke Jakarta. Untuk apa
lagi kalau bukan untuk liburan. Yeaaaay !
Ibu dan adik-adikku sudah lebih dulu
terbang ke Jakarta minggu kemarin. Aku terpaksa berangkat sendiri hari ini
karena akhir-akhir ini aku disibukkan oleh berbagai kegiatan komunitasku di
kota Makassar. Sedangkan ayah akan menyusul ke Jakarta minggu depan.
Kini, aku sudah menginjakkan kaki di
bandara Sultan Hasanuddin. Seperti biasanya, aku melakukan check in terlebih
dahulu. Tak lama, menuju ruang tunggu. Mataku tak sengaja bertatapan dengan
seorang pria berkacamata yang berumur sekitar empatpuluh tahunan. Aku seperti
mengenalnya. Oh, tidak, bukan itu. Mungkin aku rindu pada ayah, pria itu mirip
dengan ayah. Aku berusaha mengendalikan diriku.
Setelah menunggu sekitar beberapa
menit, pesawat dengan nomor penerbanganku sudah tiba. Aku memasuki pesawat
dengan langkah hati-hati. Aku terlalu takut berada di tengah-tengah orang
asing, seperti sekarang ini. Tetapi, aku yakin, mereka yang berada di sekitarku
adalah orang-orang yang baik.
Oh, tidak, pria berkacamata itu
memiliki kursi tepat disamping kursiku. Sekarang, dia memperhatikanku dari
ujung kaki sampai kepalaku. Aku seperti salah tingkah. Dia mempersilahkan aku
duduk menempati kursiku.
“Kau, Amanda bukan ?” Aku terkejut.
Bagaimana bisa pria tersebut mengetahui namaku ? Apakah ia teman ayah ? Atau
teman ibu ? Aku hanya mengangguk membalas ucapannya.
Sejenak kami sama-sama terdiam,
hingga pesawat take off. Jarak kami sangat dekat. Kami duduk bersebelahan. Aku
mencoba membuka pembicaraan.
“Jadi, mengapa anda bisa mengetahui
namaku ?”
“Bagas. Dia menceritakan banyak hal
tentangmu padaku.”
Aku terkejut lagi. Laki-laki itu,
Bagas, dia..
“Apa kau belum paham ? Bagas anakku.
Dan dia selalu bercerita tentangmu pada ayahnya.” Aku masih terdiam. “Aku tahu
banyak alasan mengapa dia begitu menyukaimu. Aku tak tahu jalan pikiranmu.
Kupikir kalian saling menyukai, tetapi Bagas, dia bilang dia akan menunggu.”
Lagi-lagi aku terdiam di kursiku.
“Maafkan aku. Aku telah membuatnya
menunggu.” Ucapku.
“Kenapa ?”
“Aku tak yakin dia akan tetap
mengejarku ketika dia tahu aku harus pindah dan tak tinggal dengannya.”
“Aku akan menyuruhnya untuk tetap
mengejarmu, meski ke ujung dunia sekalipun.”
Aku tertawa kecil mendengar
perkataannya.
“Kau akan pindah kemana ? Dimana
asalnya kedua orangtuamu ?” tanyanya.
“Aku akan pindah ke Bogor, mungkin.
Kemudian berusaha masuk ke Universitas Indonesia, mengambil jurusan sastra,
menjadi seorang penulis, kemudian meneruskan mimpi-mimpiku yang lain. Ibuku
dari kota Bandung, ayahku dari kota Yogyakarta.”
“Oh, kau punya mimpi yang besar
rupanya. Kuharap kau tak membiarkan Bagas menunggu dengan sia-sia.”
“Oh, tentu saja.”
“Terimakasih.”
“Untuk apa ?”
“Karena kau percaya pada anakku. Dia
akan menunggumu.”
***
“Dia berhasil, Gas.” Aku menoleh ke arah
ayah.
“Siapa ?”
“Amanda. Novel pertamanya telah
diterbitkan. Bukan saatnya lagi untuk menunggu. Segeralah kejar dia. Kau tak
ingin ada orang lain memilikinya, bukan ?”
“Apa ayah yakin, Amanda tidak berubah
?”
“Iya. Dia tidak akan membuatmu
menunggu dengan sia-sia.”
***
“Siapa lagi yang kau pikirkan ? Pria
bernama Bagas itu lagi ? Tidak seharusnya kau memikirkannya. Buka matamu, di
sekitarmu ada Tyo, Deni, dan yang lainnya.”
Lala Berbicara dengan nada setengah kesal padaku.
“Bagas tak seperti mereka.”
Lala terdiam mendengar perkataanku.
Lalu dia melanjutkan.
“Kau tahu, kau terlalu menyukainya.”
Giliran aku yang terdiam. “Jadi, kau sudah yakin akan pergi ke Monash,
Australia besok ?” Lala mengganti topik pembicaraan. Aku mengangguk.
Besok aku akan terbang ke negeri
kangguru tersebut untuk mengadakan penelitian.
Langit mendung, pesawatku tetap akan
berangkat menuju Australia. Ada perasaan gelisah menggangguku. Aku berusaha
mengontrol diri, memastikan semuanya akan baik-baik saja.
***
Fajar menjelang. langit memulai
paginya. Fajar terlihat redup, ada mendung di langit. Pesawatku akan terbang
sejam lagi, tetapi hujan deras yang mengguyur wilayah Makassar, membuat
keberangkatanku tercancel. Hal ini akan membuatku semakin lama bertemu dengan
Amanda.
Aku membawakannya sebuket bunga. Aku
sudah mempersiapkan senyum terbaikku untuknya. Aku akan membuatnya menjadi
milikku dan tinggal bersamaku selamanya.
Berjam-jam sudah aku menunggu jam
keberangkatan, entah kapan ini akan berakhir. Aku tertidur, dan dibangunkan
oleh dering ponselku. Begitu aku menjawab ponselku, rasanya seperti ada
halilintar menyambarku, seperti ada badai yang baru saja menyeretku. Aku tak
percaya dengan apa yang aku dengar.
“Amanda dalam perjalan menuju Australia, dan pesawatnya dikabarkan jatuh,
Bagas..”
Aku terduduk lemas. Harus bagaimana
lagi kuartikan jalan takdirku, Tuhan ?
Empat jam kemudian pesawatku
berangkat menuju Jakarta. Kabar terakhir yang aku dapatkan, Tim SAR gabungan
sedang berusaha mencari para korban pesawat. Lokasi jatuhnya pesawat di tengah
laut Jawa membuat pencarian tidak mudah, ditambah lagi badai hujan dan angin
kencang.
‘Amanda pasti selamat..’ aku mencoba menguatkan batinku.
Aku tetap menunggu kabar. Beberapa
korban sudah ditemukan, kebanyakan diantara mereka dalam keadaan mengenaskan.
Mereka akan segera dipulangkan ke Jakarta. Aku menunggu bersama dengan keluarga
korban lainnya. Mereka tak henti-hentinya berdoa, bahkan sampai ada yang tak
sadarkan diri. Aku masih optimis. Aku yakin Amanda akan baik-baik saja.
Meskipun kemungkinan itu sangat kecil.
Aku juga bertemu dengan keluarganya
Amanda. Ibunya sangat histeris, ayahnya luarbiasa diliputi kecemasan,
adik-adiknya juga ikut menangis.
Tak lama, dikabarkan kembali telah
ditemukan empat orang korban yang selamat, dan akan segera dipulangkan ke
Jakarta. Kami sama-sama berharap Amanda adalah salah satunya.
Sirene ambulance mengiang-ngiang
ditelingaku. Korban selamat itu satu persatu dikeluarkan dari ambulance. Aku
belum melihat wajah Amanda. Aku hampir putus asa, namun tiba-tiba harapanku
bangkit melihat seseorang seperti Amanda diturunkan dari ambulance dengan wajah
yang amat pucat, selang oksigen terpasang di tangan dan hidungnya. Nafasnya
terlihat sesak, rambutnya berantakan tak karuan. Dia pasti akan tetap hidup !
Aku mengikutinya. Kugenggam tangan
mungilnya. Dia begitu lemah. Matanya tertutup, namun kurasakan dia mencoba
tetap bertahan. Sekarang, dia ada di ruangan tertutup. Dokter sedang
memeriksanya. Aku tak bisa menahan airmataku, bagaimana mungkin Amanda yang
kukenal adalah seseorang yang kuat, sekarang ia kecelakaan dan terbaring lemah
dengan nafas sesak. Aku tahu, dia kuat, dia bisa bertahan.
‘Bertahanlah untukku, Manda..’
Dari kejauhan dokter keluar, ia
berbicara dengan kedua orangtua Amanda. Begitu mendengar pernyataan dokter,
ibunya jatuh dan menjerit, ayahnya memeluk ibunya. Apa yang terjadi ?
Aku membuka pintu ruangan itu, hawa
dingin menyambutku. Wajah itu pucat pasi. Bibirnya terlihat membeku, dingin.
Matanya terpejam dan tak terbuka lagi. Jari-jarinya diam tak bergerak. Begitu
pula kakinya. Selang-selang yang tadinya kupikir akan menguatkannya, sekarang
sudah terlepas dari tubuhnya. Selang-selang itu tidak membantunya sama sekali.
‘Selamat jalan, Amanda..’
Aku berjalan keluar meninggalkan
ruangan itu. Membiarkannya tidur dengan tenang.
Aku hidup dalam bayang-bayangnya. Aku
seperti zombie. Pikiranku tak pernah bisa lepas darinya. Dia membuatku untuk
mengenangnya selamanya. Dia membuatku menunggu lebih lama lagi. Ya, lebih lama
lagi.
Tak
kan pernah habis air mataku
Bila
kuingat tentang dirimu
Mungkin
hanya kau yang tahu
Mengapa
sampai saat ini kumasih sendiri..
Adakah
di sana kau rindu padaku ?
Meski
kita kini ada di dunia berbeda
Bila
masih mungkin waktu kuputar
Kan
kutunggu dirimu..
Biarlah
kusimpan sampai nanti aku
Kan
ada di sana
Tenanglah
dirimu dalam kedamaian
Ingatlah
cintaku..
09/12/2012
10.28 WITA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar