09/12/12

Disappeared in The Quiet








Dengan tenaga yang kuat, aku berusaha menarik koperku. Hari ini adalah hari keberangkatanku ke Jakarta. Untuk apa lagi kalau bukan untuk liburan. Yeaaaay !
Ibu dan adik-adikku sudah lebih dulu terbang ke Jakarta minggu kemarin. Aku terpaksa berangkat sendiri hari ini karena akhir-akhir ini aku disibukkan oleh berbagai kegiatan komunitasku di kota Makassar. Sedangkan ayah akan menyusul ke Jakarta minggu depan.
Kini, aku sudah menginjakkan kaki di bandara Sultan Hasanuddin. Seperti biasanya, aku melakukan check in terlebih dahulu. Tak lama, menuju ruang tunggu. Mataku tak sengaja bertatapan dengan seorang pria berkacamata yang berumur sekitar empatpuluh tahunan. Aku seperti mengenalnya. Oh, tidak, bukan itu. Mungkin aku rindu pada ayah, pria itu mirip dengan ayah. Aku berusaha mengendalikan diriku.
Setelah menunggu sekitar beberapa menit, pesawat dengan nomor penerbanganku sudah tiba. Aku memasuki pesawat dengan langkah hati-hati. Aku terlalu takut berada di tengah-tengah orang asing, seperti sekarang ini. Tetapi, aku yakin, mereka yang berada di sekitarku adalah orang-orang yang baik.
Oh, tidak, pria berkacamata itu memiliki kursi tepat disamping kursiku. Sekarang, dia memperhatikanku dari ujung kaki sampai kepalaku. Aku seperti salah tingkah. Dia mempersilahkan aku duduk menempati kursiku.
“Kau, Amanda bukan ?” Aku terkejut. Bagaimana bisa pria tersebut mengetahui namaku ? Apakah ia teman ayah ? Atau teman ibu ? Aku hanya mengangguk membalas ucapannya.
Sejenak kami sama-sama terdiam, hingga pesawat take off. Jarak kami sangat dekat. Kami duduk bersebelahan. Aku mencoba membuka pembicaraan.
“Jadi, mengapa anda bisa mengetahui namaku ?”
“Bagas. Dia menceritakan banyak hal tentangmu padaku.”
Aku terkejut lagi. Laki-laki itu, Bagas, dia..
“Apa kau belum paham ? Bagas anakku. Dan dia selalu bercerita tentangmu pada ayahnya.” Aku masih terdiam. “Aku tahu banyak alasan mengapa dia begitu menyukaimu. Aku tak tahu jalan pikiranmu. Kupikir kalian saling menyukai, tetapi Bagas, dia bilang dia akan menunggu.” Lagi-lagi aku terdiam di kursiku.
“Maafkan aku. Aku telah membuatnya menunggu.” Ucapku.
“Kenapa ?”
“Aku tak yakin dia akan tetap mengejarku ketika dia tahu aku harus pindah dan tak tinggal dengannya.”
“Aku akan menyuruhnya untuk tetap mengejarmu, meski ke ujung dunia sekalipun.”
Aku tertawa kecil mendengar perkataannya.
“Kau akan pindah kemana ? Dimana asalnya kedua orangtuamu ?” tanyanya.
“Aku akan pindah ke Bogor, mungkin. Kemudian berusaha masuk ke Universitas Indonesia, mengambil jurusan sastra, menjadi seorang penulis, kemudian meneruskan mimpi-mimpiku yang lain. Ibuku dari kota Bandung, ayahku dari kota Yogyakarta.”
“Oh, kau punya mimpi yang besar rupanya. Kuharap kau tak membiarkan Bagas menunggu dengan sia-sia.”
“Oh, tentu saja.”
“Terimakasih.”
“Untuk apa ?”
“Karena kau percaya pada anakku. Dia akan menunggumu.”
***
“Dia berhasil, Gas.” Aku menoleh ke arah ayah.
“Siapa ?”
“Amanda. Novel pertamanya telah diterbitkan. Bukan saatnya lagi untuk menunggu. Segeralah kejar dia. Kau tak ingin ada orang lain memilikinya, bukan ?”
“Apa ayah yakin, Amanda tidak berubah ?”
“Iya. Dia tidak akan membuatmu menunggu dengan sia-sia.”
***
“Siapa lagi yang kau pikirkan ? Pria bernama Bagas itu lagi ? Tidak seharusnya kau memikirkannya. Buka matamu, di sekitarmu ada Tyo, Deni, dan yang lainnya.”  Lala Berbicara dengan nada setengah kesal padaku.
“Bagas tak seperti mereka.”
Lala terdiam mendengar perkataanku. Lalu dia melanjutkan.
“Kau tahu, kau terlalu menyukainya.” Giliran aku yang terdiam. “Jadi, kau sudah yakin akan pergi ke Monash, Australia besok ?” Lala mengganti topik pembicaraan. Aku mengangguk.
Besok aku akan terbang ke negeri kangguru tersebut untuk mengadakan penelitian.
Langit mendung, pesawatku tetap akan berangkat menuju Australia. Ada perasaan gelisah menggangguku. Aku berusaha mengontrol diri, memastikan semuanya akan baik-baik saja.
***
Fajar menjelang. langit memulai paginya. Fajar terlihat redup, ada mendung di langit. Pesawatku akan terbang sejam lagi, tetapi hujan deras yang mengguyur wilayah Makassar, membuat keberangkatanku tercancel. Hal ini akan membuatku semakin lama bertemu dengan Amanda.
Aku membawakannya sebuket bunga. Aku sudah mempersiapkan senyum terbaikku untuknya. Aku akan membuatnya menjadi milikku dan tinggal bersamaku selamanya.
Berjam-jam sudah aku menunggu jam keberangkatan, entah kapan ini akan berakhir. Aku tertidur, dan dibangunkan oleh dering ponselku. Begitu aku menjawab ponselku, rasanya seperti ada halilintar menyambarku, seperti ada badai yang baru saja menyeretku. Aku tak percaya dengan apa yang aku dengar.
“Amanda dalam perjalan menuju Australia, dan pesawatnya dikabarkan jatuh, Bagas..”
Aku terduduk lemas. Harus bagaimana lagi kuartikan jalan takdirku, Tuhan ?
Empat jam kemudian pesawatku berangkat menuju Jakarta. Kabar terakhir yang aku dapatkan, Tim SAR gabungan sedang berusaha mencari para korban pesawat. Lokasi jatuhnya pesawat di tengah laut Jawa membuat pencarian tidak mudah, ditambah lagi badai hujan dan angin kencang.
‘Amanda pasti selamat..’ aku mencoba menguatkan batinku.
Aku tetap menunggu kabar. Beberapa korban sudah ditemukan, kebanyakan diantara mereka dalam keadaan mengenaskan. Mereka akan segera dipulangkan ke Jakarta. Aku menunggu bersama dengan keluarga korban lainnya. Mereka tak henti-hentinya berdoa, bahkan sampai ada yang tak sadarkan diri. Aku masih optimis. Aku yakin Amanda akan baik-baik saja. Meskipun kemungkinan itu sangat kecil.
Aku juga bertemu dengan keluarganya Amanda. Ibunya sangat histeris, ayahnya luarbiasa diliputi kecemasan, adik-adiknya juga ikut menangis.
Tak lama, dikabarkan kembali telah ditemukan empat orang korban yang selamat, dan akan segera dipulangkan ke Jakarta. Kami sama-sama berharap Amanda adalah salah satunya.
Sirene ambulance mengiang-ngiang ditelingaku. Korban selamat itu satu persatu dikeluarkan dari ambulance. Aku belum melihat wajah Amanda. Aku hampir putus asa, namun tiba-tiba harapanku bangkit melihat seseorang seperti Amanda diturunkan dari ambulance dengan wajah yang amat pucat, selang oksigen terpasang di tangan dan hidungnya. Nafasnya terlihat sesak, rambutnya berantakan tak karuan. Dia pasti akan tetap hidup !
Aku mengikutinya. Kugenggam tangan mungilnya. Dia begitu lemah. Matanya tertutup, namun kurasakan dia mencoba tetap bertahan. Sekarang, dia ada di ruangan tertutup. Dokter sedang memeriksanya. Aku tak bisa menahan airmataku, bagaimana mungkin Amanda yang kukenal adalah seseorang yang kuat, sekarang ia kecelakaan dan terbaring lemah dengan nafas sesak. Aku tahu, dia kuat, dia bisa bertahan.
‘Bertahanlah untukku, Manda..’
Dari kejauhan dokter keluar, ia berbicara dengan kedua orangtua Amanda. Begitu mendengar pernyataan dokter, ibunya jatuh dan menjerit, ayahnya memeluk ibunya. Apa yang terjadi ?
Aku membuka pintu ruangan itu, hawa dingin menyambutku. Wajah itu pucat pasi. Bibirnya terlihat membeku, dingin. Matanya terpejam dan tak terbuka lagi. Jari-jarinya diam tak bergerak. Begitu pula kakinya. Selang-selang yang tadinya kupikir akan menguatkannya, sekarang sudah terlepas dari tubuhnya. Selang-selang itu tidak membantunya sama sekali.
‘Selamat jalan, Amanda..’
Aku berjalan keluar meninggalkan ruangan itu. Membiarkannya tidur dengan tenang.
Aku hidup dalam bayang-bayangnya. Aku seperti zombie. Pikiranku tak pernah bisa lepas darinya. Dia membuatku untuk mengenangnya selamanya. Dia membuatku menunggu lebih lama lagi. Ya, lebih lama lagi.

Tak kan pernah habis air mataku
Bila kuingat tentang dirimu
Mungkin hanya kau yang tahu
Mengapa sampai saat ini kumasih sendiri..

Adakah di sana kau rindu padaku ?
Meski kita kini ada di dunia berbeda
Bila masih mungkin waktu kuputar
Kan kutunggu dirimu..

Biarlah kusimpan sampai nanti aku
Kan ada di sana
Tenanglah dirimu dalam kedamaian
Ingatlah cintaku..
09/12/2012 10.28 WITA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar