29/06/13

Panggil Gue Bayu! ( Part III )



“Bayu..” panggil gadis itu, ia mendesah pelan. Nafasnya belum stabil. Bayu menoleh ke arah gadis itu. perasaan iba menghampirinya. “Ya?” jawabnya.
“Dengerin gue, lo harus pergi dari sini kalau lo enggak mau berurusan dengan abang gue. Dia pasti marah kalau tahu gue bawa temen ke rumah.”
“Rik, gue bakalan di sini. Bakalan ngejagain elo selama abang gue di penjara. Dia minta gue untuk ngejaga elo, jadi tolong jangan usir gue.”
“Lo enggak ngerti keadaannya, Bayu. Gue bisa sendiri, kok. Mending lo cari tempat lain aja, deh. Jangan di sini!”
“Lo tadi pingsan, kalau lo sendirian siapa yang tahu kalau lo kenapa-kenapa?!”
Rike berdiri dari ranjangnya. Ia mendekati Bayu, di dorongnya tubuh Bayu menuju pintu.
“Lo boleh balik lagi kapan aja, tapi untuk sekarang lo enggak boleh lagi tinggal di sini!” bentak Rike dengan mata berkaca-kaca.
“Tapi, Rik…” Rike menggelengkan kepalanya.
“Gue akan baik-baik aja.”
Rike mendorong tubuh Bayu hingga Bayu terjerembab keluar dari rumah itu. Rike dengan cepat menutup pintu rumahnya. Perlahan-lahan air mata membasahi pipinya yang lebam itu. Air matanya membuat goresan-goresan di pipinya menjadi pedih. Ia terduduk lemas di balik pintu rumahnya. Bayu masih berusaha menggedor-gedor rumah mungil itu sampai pada akhirnya dia menyerah.
“Oke, gue pergi, Rik! Gue bakalan datang lagi seperti perkataan lo bahwa gue boleh balik lagi ke sini kapan aja!”
Bayu mengatur nafasnya, dirasakannya dahinya berkeringat. Diseretnya kedua kakinya dari tempat itu. Kemana lagi ia harus pergi? Akankah rumahnya aman untuk dirinya? Apakah rumahnya sendiri masih berfungsi sebagai tempat yang nyaman bagi pemiliknya?
Bayu tak mungkin kembali ke tempat kost nya, polisi pasti sudah menandainya, dan Bayu tak ingin mendengar apa yang teman-temannya nanti katakan tentang dirinya.
Langkahnya berhenti di depan sebuah rumah mewah yang sudah lama tak ia kunjungi, rumah yang menorehkan banyak luka untuk Bayu. Ingatannya kembali ke masa lalu, dimana satu-persatu wanita jalang masuk ke dalam rumahnya secara bergantian tiap harinya. Ketika itu abangnya, selalu menghalangi para tamu jalang itu untuk masuk, namun tangan sang ayah memukulinya seraya melemparnya hingga seringkali kepala abangnya itu terbentur, lalu terlihatlah bercak-bercak darah di lantai rumah itu.
Bayu melangkah masuk, rumah itu tak terkunci. Rumah ini sedikit berantakan, namun barang-barang dan interior rumah masih sama seperti dulu.
“Mas Bayu?” Bayu terkejut mendengar seseorang memanggil namanya. Ia mengenali suara itu.
“Mbok?” ucapnya.
“Mbok kira mas nya iki di penjara, tenyata ra’dipenjara toh. Duh, gusti syukur Alhamdulillah. Eh, tapi mas nya emang ra’salah toh? Atau mas nya iki buronan?” tanya si mbok bertubi-tubi dengan logat jawanya yang melekat. Bayu menarik nafasnya. Ia tak menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mbok. 
Bayu masuk ke dalam kamarnya yang berada di lantai dua, ia berpikir sejenak, sudah berapa lama ia tinggalkan kamar ini? Rupanya kamarnya tertata rapi, mungkin mbok yang merapikannya, sebab terakhir kali ia keluar dari rumahnya, kamarnya dalam keadaan yang berantakan.
Bayu merebahkan tubuhnya di ranjang lamanya. Diam-diam ia merindukan kamarnya sendiri. Ia melihat ke arah atas meja belajarnya. Sebuah foto yang memasang fotonya dan orang yang ia rindukan terpajang di sana. Citra.
Bayu berdiri mengambil foto itu dan menatapnya dalam-dalam, “Apa kabar Citra?” tanyanya pada diri sendiri.
Tiba-tiba suasana hening dalam rumah mewah ini pecah ketika terdengar suara bel yang dipencet dari luar rumah.
“Mbok, tolong pintunya mbok.” Kata Bayu dengan setengah berteriak. Namun, tak ada sahutan. Bel rumah itu terus-menerus berbunyi.
“Mbok kemana, sih? Itu tamu atau..jangan-jangan polisi?” Bayu menepuk jidatnya sendiri. Bayu dengan langkah penuh was-was menuju lantai bawah. Sesaat, ia sudah berdiri di dekat pintu. Ia mengintip tamu yang datang.
“Cewek? Siapa ya?” Perlahan-lahan dibukanya pintu rumahnya. Tak lama, ia sudah berhadapan dengan tamunya itu.
“Citra?” mata Bayu berbinar, dilihatnya perempuan yang selama ini dirindukannya kini berdiri tepat di hadapannya.
“Citra, subhanallah...kamu berhijab? Kenapa bisa berubah gini?” tanya Bayu dengan nada kalimat heran namun bahagia.
“Kamu enggak perlu tahu sebabnya.”
“Loh, kok gitu Cit?”
“Oh iya, katanya papa kamu meninggal ya? Aku turut berduka, ya.”
“Darimana kamu tahu papa meninggal?”
“Abang aku yang bilang, dia juga bilang papa kamu dibunuh sama kamu dan bang Raka. Tapi, aku enggak percaya. Buktinya sekarang kamu enggak ditahan, kamu juga bukan buronan, kan?”
Deg. Bayu terdiam. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya.
“Abang kamu..tahu banyak hal ya tentang peristiwa itu.”
Giliran Citra yang terdiam.
“Cit, kamu darimana aja? Aku selalu nyari kamu. Kamu enggak pernah ngasih kabar.”
“Sekarang, kamu enggak perlu lagi nyari aku. Sekarang, aku ada di depan kamu.”
Bayu henda menyentuh tangan Citra, namun Citra tidak berkenan.
“Maaf Bayu, aku ke sini mau ngasih ini.”
“Ini apaan? Siapa yang mau kawin?”
“Aku..”
“Aku enggak ngerti, kamu kan nikahnya nanti sama aku, ya kan?”
“Enggak Bayu. Minggu sepan aku bakal nikah sama orang lain. Aku harap kamu ngerti dan bisa nerima hal ini.”
“Cit..Citra? Ini apa-apaan??!”
“Maafin aku, Bayu.”
“Cit, aku minta kamu masuk dulu. Kita bicarain ini di dalam.” Bayu memohon.
Mata Citra menatap ke arah pintu rumah itu. Bulunya bergidik, seperti ada sesuatu yang dia ingat di balik pintu itu, seperti ada yang mengganggu pikirannya. Ia tak ingin mengingat hal apa itu.
“Aku enggak pengen bicara tentang apapun lagi sama kamu.” Ucapan Citra barusan menorehkan luka tersendiri di hati Bayu.
“Cittttt, INI  BUKAN SINETRON!!!!”
“SIAPA YANG BILANG INI SINETRON?!!!”
“Cittttt, GUE PUNYA SALAH APAAAA, SIH? “
“LO ENGGAK PUNYA SALAH, TAPI BOKAP LO!!”
Bayu terdiam sejenak. Bokapnya? Ada apa dengan bokapnya?
Bayu mendekat ke arah gadis cantik itu.
“Bokap gue? Ada apa dengan lo dan bokap gue, Cit?” Bayu menahan emosinya. Dirasakannya perasaan tidak enak.
Citra menatap dalam-dalam kedua mata Bayu. Ada ketakutan yang besar di sana. Ia tak tahu harus mulai menceritakannya darimana.
“Bokap lo….”
BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar