“Bayu..”
panggil gadis itu, ia mendesah pelan. Nafasnya belum stabil. Bayu menoleh ke
arah gadis itu. perasaan iba menghampirinya. “Ya?” jawabnya.
“Dengerin
gue, lo harus pergi dari sini kalau lo enggak mau berurusan dengan abang gue.
Dia pasti marah kalau tahu gue bawa temen ke rumah.”
“Rik,
gue bakalan di sini. Bakalan ngejagain elo selama abang gue di penjara. Dia
minta gue untuk ngejaga elo, jadi tolong jangan usir gue.”
“Lo
enggak ngerti keadaannya, Bayu. Gue bisa sendiri, kok. Mending lo cari tempat
lain aja, deh. Jangan di sini!”
“Lo
tadi pingsan, kalau lo sendirian siapa yang tahu kalau lo kenapa-kenapa?!”
Rike
berdiri dari ranjangnya. Ia mendekati Bayu, di dorongnya tubuh Bayu menuju
pintu.
“Lo
boleh balik lagi kapan aja, tapi untuk sekarang lo enggak boleh lagi tinggal di
sini!” bentak Rike dengan mata berkaca-kaca.
“Tapi,
Rik…” Rike menggelengkan kepalanya.
“Gue
akan baik-baik aja.”
Rike
mendorong tubuh Bayu hingga Bayu terjerembab keluar dari rumah itu. Rike dengan
cepat menutup pintu rumahnya. Perlahan-lahan air mata membasahi pipinya yang
lebam itu. Air matanya membuat goresan-goresan di pipinya menjadi pedih. Ia
terduduk lemas di balik pintu rumahnya. Bayu masih berusaha menggedor-gedor
rumah mungil itu sampai pada akhirnya dia menyerah.
“Oke,
gue pergi, Rik! Gue bakalan datang lagi seperti perkataan lo bahwa gue boleh
balik lagi ke sini kapan aja!”
Bayu
mengatur nafasnya, dirasakannya dahinya berkeringat. Diseretnya kedua kakinya
dari tempat itu. Kemana lagi ia harus pergi? Akankah rumahnya aman untuk
dirinya? Apakah rumahnya sendiri masih berfungsi sebagai tempat yang nyaman
bagi pemiliknya?
Bayu
tak mungkin kembali ke tempat kost nya, polisi pasti sudah menandainya, dan
Bayu tak ingin mendengar apa yang teman-temannya nanti katakan tentang dirinya.
Langkahnya
berhenti di depan sebuah rumah mewah yang sudah lama tak ia kunjungi, rumah yang
menorehkan banyak luka untuk Bayu. Ingatannya kembali ke masa lalu, dimana
satu-persatu wanita jalang masuk ke dalam rumahnya secara bergantian tiap
harinya. Ketika itu abangnya, selalu menghalangi para tamu jalang itu untuk
masuk, namun tangan sang ayah memukulinya seraya melemparnya hingga seringkali
kepala abangnya itu terbentur, lalu terlihatlah bercak-bercak darah di lantai
rumah itu.
Bayu
melangkah masuk, rumah itu tak terkunci. Rumah ini sedikit berantakan, namun
barang-barang dan interior rumah masih sama seperti dulu.
“Mas
Bayu?” Bayu terkejut mendengar seseorang memanggil namanya. Ia mengenali suara
itu.
“Mbok?”
ucapnya.
“Mbok
kira mas nya iki di penjara, tenyata ra’dipenjara toh. Duh, gusti syukur
Alhamdulillah. Eh, tapi mas nya emang ra’salah toh? Atau mas nya iki buronan?”
tanya si mbok bertubi-tubi dengan logat jawanya yang melekat. Bayu menarik
nafasnya. Ia tak menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mbok.
Bayu
masuk ke dalam kamarnya yang berada di lantai dua, ia berpikir sejenak, sudah
berapa lama ia tinggalkan kamar ini? Rupanya kamarnya tertata rapi, mungkin
mbok yang merapikannya, sebab terakhir kali ia keluar dari rumahnya, kamarnya
dalam keadaan yang berantakan.
Bayu
merebahkan tubuhnya di ranjang lamanya. Diam-diam ia merindukan kamarnya
sendiri. Ia melihat ke arah atas meja belajarnya. Sebuah foto yang memasang
fotonya dan orang yang ia rindukan terpajang di sana. Citra.
Bayu
berdiri mengambil foto itu dan menatapnya dalam-dalam, “Apa kabar Citra?”
tanyanya pada diri sendiri.
Tiba-tiba
suasana hening dalam rumah mewah ini pecah ketika terdengar suara bel yang
dipencet dari luar rumah.
“Mbok,
tolong pintunya mbok.” Kata Bayu dengan setengah berteriak. Namun, tak ada
sahutan. Bel rumah itu terus-menerus berbunyi.
“Mbok
kemana, sih? Itu tamu atau..jangan-jangan polisi?” Bayu menepuk jidatnya
sendiri. Bayu dengan langkah penuh was-was menuju lantai bawah. Sesaat, ia
sudah berdiri di dekat pintu. Ia mengintip tamu yang datang.
“Cewek?
Siapa ya?” Perlahan-lahan dibukanya pintu rumahnya. Tak lama, ia sudah
berhadapan dengan tamunya itu.
“Citra?”
mata Bayu berbinar, dilihatnya perempuan yang selama ini dirindukannya kini
berdiri tepat di hadapannya.
“Citra,
subhanallah...kamu berhijab? Kenapa bisa berubah gini?” tanya Bayu dengan nada
kalimat heran namun bahagia.
“Kamu
enggak perlu tahu sebabnya.”
“Loh,
kok gitu Cit?”
“Oh
iya, katanya papa kamu meninggal ya? Aku turut berduka, ya.”
“Darimana
kamu tahu papa meninggal?”
“Abang
aku yang bilang, dia juga bilang papa kamu dibunuh sama kamu dan bang Raka.
Tapi, aku enggak percaya. Buktinya sekarang kamu enggak ditahan, kamu juga
bukan buronan, kan?”
Deg.
Bayu terdiam. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya.
“Abang
kamu..tahu banyak hal ya tentang peristiwa itu.”
Giliran
Citra yang terdiam.
“Cit,
kamu darimana aja? Aku selalu nyari kamu. Kamu enggak pernah ngasih kabar.”
“Sekarang,
kamu enggak perlu lagi nyari aku. Sekarang, aku ada di depan kamu.”
Bayu
henda menyentuh tangan Citra, namun Citra tidak berkenan.
“Maaf
Bayu, aku ke sini mau ngasih ini.”
“Ini
apaan? Siapa yang mau kawin?”
“Aku..”
“Aku
enggak ngerti, kamu kan nikahnya nanti sama aku, ya kan?”
“Enggak
Bayu. Minggu sepan aku bakal nikah sama orang lain. Aku harap kamu ngerti dan
bisa nerima hal ini.”
“Cit..Citra?
Ini apa-apaan??!”
“Maafin
aku, Bayu.”
“Cit,
aku minta kamu masuk dulu. Kita bicarain ini di dalam.” Bayu memohon.
Mata
Citra menatap ke arah pintu rumah itu. Bulunya bergidik, seperti ada sesuatu
yang dia ingat di balik pintu itu, seperti ada yang mengganggu pikirannya. Ia
tak ingin mengingat hal apa itu.
“Aku
enggak pengen bicara tentang apapun lagi sama kamu.” Ucapan Citra barusan
menorehkan luka tersendiri di hati Bayu.
“Cittttt,
INI BUKAN SINETRON!!!!”
“SIAPA
YANG BILANG INI SINETRON?!!!”
“Cittttt,
GUE PUNYA SALAH APAAAA, SIH? “
“LO
ENGGAK PUNYA SALAH, TAPI BOKAP LO!!”
Bayu
terdiam sejenak. Bokapnya? Ada apa dengan bokapnya?
Bayu
mendekat ke arah gadis cantik itu.
“Bokap
gue? Ada apa dengan lo dan bokap gue, Cit?” Bayu menahan emosinya. Dirasakannya
perasaan tidak enak.
Citra
menatap dalam-dalam kedua mata Bayu. Ada ketakutan yang besar di sana. Ia tak
tahu harus mulai menceritakannya darimana.
“Bokap
lo….”
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar