Dia
selalu sibuk dengan bisnisnya, akupun juga begitu dengan urusan di kantorku dan
usaha butikku, tetapi ia selalu menyempatkan diri untuk bertemu denganku.
Setiap weekend kami selalu keliling
kota, kadang naik motor scoopy-nya,
kadang juga dengan Honda jazz
milikku.
Hingga
suatu hari ia datang dengan membawa kejutan.
“Coba
tebak, ini kotak apaan?” aku melihat kotak kecil yang dibawanya. Sudah jelas
itu sebuah kotak cincin.
“Itu
kotak cincin, emang kenapa? Mau dijual? Butuh duit?” candaku. Mimiknya yang
tadi serius berubah menjadi jengkel.
“Please, gue serius, Raisa.” Katanya. Deg, dia membuatku deg-degan, ngapain
sih nyebut namaku segala?
“Gue
juga serius, El, lu butuh duit atau gimana?”
“Gue
mau ngelamar cewek.” Ujarnya sambil berbisik.
“Oh,
cewek? Doyan juga lu sama cewek.”
“Kok
lu gitu, sih?” dia bertambah jengkel.
“Oke
oke, ceweknya itu siapa?”
“Nah,
itu dia gue bingung siapa. Kalau lu mau enggak?”
“Hah??”
dia pasti bercanda, itu pikirku. Dia masih menunggu reaksiku. “Mau enggak lu?”
Dia
apa-apaan, mengatakannya semudah itu, seperti menawarkan es krim kepada seorang
anak kecil berkuncir dua.
“Enggak
mau gue, lu mau jadi imam gue? Shalat aja lu enggak becus.” Dia sedikit
tercengang mendengar omonganku, mungkin aku terlalu frontal. Masih kuingat pada
beberapa tahun yang lalu, ketika waktu Ashar tiba.
“Gue
mau shalat Ashar nih, lu mau temenin enggak? Belum shalat juga kan lu?” tanyaku
pada Keenan yang saat itu tengah bersama El. El melirikku, mungkin heran kenapa
aku hanya mengajak Keenan saja. “Apa liat-liat? Mau ikutan shalat juga?”
setahuku dia jarang shalat, makanya aku hanya mengajak Keenan saja. El tertawa.
“Shalat? Haha, kapan lu pernah liat gue shalat?” El kurang ajar. “Tapi ayo deh,
gue imamin lo!” ujarnya sambil tertawa. Aku menjutekinya. Kini, entah apa yang
ada di pikirannya, apa maksudnya ia membawakanku kotak cincin itu.
“Kita
udah lama enggak ketemu, banyak hal yang udah berubah dalam diri gue yang
mungkin enggak lu tahu. Apa lu enggak percaya kalau gue sekarang sudah rajin
shalat?”
Aku
hanya diam mendengar penuturannya. Entahlah, ia berbicara yang sebenarnya atau
tidak.
“Gue
udah berubah, dan itu karena elu. Gue udah banyak berubah demi hari ini, tapi
ternyata elu masih mandang gue sebagai El yang dulu, El yang nakal dan imut.”
‘Sialan, lagi ngomong serius begini, dia
masih sempat melawak, imut? Ngaco!’ batinku, kesal.
“Mana
gue tahu kalau lu udah banyak berubah, yang lu selalu pamerkan di depan gue
adalah bisnis dan dompet lu yang tebel itu!”
El
tersenyum tipis mendengar kalimat terakhirku.
“Iya,
tapi gue salah, cewek yang gue suka ternyata benar-benar enggak tertarik dengan
dompet tebel gue, karena cewek itu sendiri dompetnya tebel, mungkin lebih tebel
dari dompet gue.” Ujarnya dengan senyum lebar. Ia sedang bergurau. “Mungkin
hari ini elu anggap semua omongan gue cuma candaan, tapi suatu hari nanti gue
bakal datang lagi ke elu untuk ngomongin ini sampai lu percaya sama gue.”
Lanjutnya dengan serius. Dia berdiri, lalu meninggalkanku.
‘Lu salah, El. Bukan gue enggak percaya sama
elu, tapi sampai kapanpun gue enggak bisa terima elu. Gue tetap pada pendirian
gue, gue masih menunggu orang lain, berharap orang lain yang gue tunggu itu
juga akan datang pada gue membawa kotak cincin, sama seperti yang lu lakukan
hari ini.’ Bisikku dalam hati.
El
sudah jarang bertemu denganku, entah ia sibuk atau memang enggan bertemu. Aku
juga agak segan untuk menghubunginya lebih dulu. Tetapi, suatu hari ia
menghubungiku dan mengajakku bertemu. Kami bertemu di kafe yang sama, kafe yang
menjadi tempat langganan kami berdua.
“Gue
udah tahu semuanya.” Ujarnya memulai percakapan dengan mata tajam.
“Lu
tahu apa?” tanyaku, penasaran.
“Selama
ini, gue, elu, dan Keenan, kita bertiga berteman baik. Gue pikir kita bertiga
emang benar-benar berteman. Gue enggak ngerti, apa gue yang enggak peduli dan
kurang jeli melihat kalian berdua, atau kalian berdua yang terlalu
menyembunyikannya dari gue.”
Aku
menelan ludah, mulai mengerti kemana arah pembicaraannya.
“Dan,
gue tahu apa yang terjadi di antara lu sama dia. Begonya gue adalah gue baru
tahu sekarang, pas banget ketika gue lagi suka sama elu.” Dia begitu frontal
tanpa ragu-ragu. “Tapi, gue enggak mau rempong, gue enggak akan bikin Keenan
kecewa sama gue. “ dia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, “Raisa, kita
mungkin perlu berjauhan untuk sementara ini, untuk menyembuhkan luka di hati
gue, tsaaaaah..” ia mulai melucu lagi.
“Lu
yakin?” tanyaku.
“Yakin.”
Jawabnya mantap.
“Gue
kirain lu enggak bisa jauh dari gue.” Ceplosku, asal.
“Eh,
kampret lu. Emang sih enggak bisa, tapi
kali ini harus bisa!”
“Oke!”
seruku.
“Jadi,
lu beneran masih nunggu dia? Sok setia, lu! Tapi kalau emang beneran begitu,
yaudah semangat ya! Perjuangkan cinta lu! Kita lagi sama-sama berjuang, tapi
bedanya adalah gue berjuang untuk mendapatkan elu, eh tapi elunya berjuang
untuk mendapatkan dia! Gila, sakit cuy!” serunya, heboh. Ia tertawa keras,
mungkin untuk menutupi luka di hatinya, tsaaaah.
“Iya,
semoga elu bisa dapat cewek yang lebih solehah daripada gue, ya.” kataku. Dia
melirikku dengan memainkan alisnya yang badai itu.
“Hmm,
emang elu solehah? Perasaan enggak..” tanggapnya sambil menerawang.
“El,
lu bener kampret, ya! seenggaknya gue udah berusaha untuk menjadi wanita
solehah.”
“Oh,
gitu. Enggak usah emosi keles, mba. Jadi, sepakat ya, kita berjauhan dulu.”
“Tapi..gue
enggak bisa jauh dari elu.”
“Ah?
Jangan php-in gue, please..”
“Ya
bukan gitu, secara lu kan tukang ojek kesayangan gue..”
“Anjrit!”
aku hanya tertawa, sementara ia mengumpat tak jelas.
“Kita
tetap jadi teman, kan? Sekarang dan selamanya, kan? Doain gue ya biar cepat
melupakan elu, susah nih..” ujarnya dengan tersenyum pasrah. Aku hanya melongo.
Dia benar-benar sosok yang ceplas-ceplos. Itulah sebabnya aku sulit membedakan
yang mana omongannya yang serius dengan yang main-main.
***
Hai,
aku Raisa, dulu aku, Keenan, dan El berada dalam lingkar pertemanan. Tanpa
kuduga ketika kami beranjak dewasa, El jatuh hati padaku dan ingin melamarku,
tetapi ia tak tahu, aku dan Keenan lebih dulu saling jatuh hati katika kami
masih SMA dulu. Entah bagaimana bisa, suatu hari El tiba-tiba saja mengetahui
hal itu. Mungkin ia sempat sakit hati, tetapi kini ia mendapatkan wanita yang
lebih baik dariku.
Kemarin,
El melangsungkan akad nikahnya di daerah Tasikmalaya. Keinginannya untuk
menikah dengan orang sunda terwujud. El yang kukenal dulu seperti seorang
berandalan, kini ia menikah dengan seorang gadis berjilbab, Nur Laila namanya,
asli orang Tasikmalaya. Masih kuingat ketika El pernah berkata, “Yang jelas
nanti gue kawin sama cewek kampung. Soalnya, gue cowok gaul, masa kawinnya sama
cewek gaul juga. Mending sama cewek kampung, supaya seimbang!”
Mungkin
El hanya salah satu orang dari sekian banyak orang dalam hidupku. Tetapi,
kisahku bersamanya selalu membekas. Itulah sebabnya mengapa aku menceritakannya
kepada kalian semua.
El,
seseorang yang mengajarkanku bahwa tak selamanya berandalan adalah berandalan,
waktu bisa merubah apapun, termasuk pribadi seseorang.
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar