18/06/14

El Dan Keberandalannya [The End]



Dia selalu sibuk dengan bisnisnya, akupun juga begitu dengan urusan di kantorku dan usaha butikku, tetapi ia selalu menyempatkan diri untuk bertemu denganku. Setiap weekend kami selalu keliling kota, kadang naik motor scoopy-nya, kadang juga dengan Honda jazz milikku.

Hingga suatu hari ia datang dengan membawa kejutan.
“Coba tebak, ini kotak apaan?” aku melihat kotak kecil yang dibawanya. Sudah jelas itu sebuah kotak cincin.
“Itu kotak cincin, emang kenapa? Mau dijual? Butuh duit?” candaku. Mimiknya yang tadi serius berubah menjadi jengkel.
Please, gue serius, Raisa.” Katanya. Deg, dia membuatku deg-degan, ngapain sih nyebut namaku segala?
“Gue juga serius, El, lu butuh duit atau gimana?”
“Gue mau ngelamar cewek.” Ujarnya sambil berbisik.
“Oh, cewek? Doyan juga lu sama cewek.”
“Kok lu gitu, sih?” dia bertambah jengkel.
“Oke oke, ceweknya itu siapa?”
“Nah, itu dia gue bingung siapa. Kalau lu mau enggak?”
“Hah??” dia pasti bercanda, itu pikirku. Dia masih menunggu reaksiku. “Mau enggak lu?”

Dia apa-apaan, mengatakannya semudah itu, seperti menawarkan es krim kepada seorang anak kecil berkuncir dua.
“Enggak mau gue, lu mau jadi imam gue? Shalat aja lu enggak becus.” Dia sedikit tercengang mendengar omonganku, mungkin aku terlalu frontal. Masih kuingat pada beberapa tahun yang lalu, ketika waktu Ashar tiba.
“Gue mau shalat Ashar nih, lu mau temenin enggak? Belum shalat juga kan lu?” tanyaku pada Keenan yang saat itu tengah bersama El. El melirikku, mungkin heran kenapa aku hanya mengajak Keenan saja. “Apa liat-liat? Mau ikutan shalat juga?” setahuku dia jarang shalat, makanya aku hanya mengajak Keenan saja. El tertawa. “Shalat? Haha, kapan lu pernah liat gue shalat?” El kurang ajar. “Tapi ayo deh, gue imamin lo!” ujarnya sambil tertawa. Aku menjutekinya. Kini, entah apa yang ada di pikirannya, apa maksudnya ia membawakanku kotak cincin itu.

 
“Kita udah lama enggak ketemu, banyak hal yang udah berubah dalam diri gue yang mungkin enggak lu tahu. Apa lu enggak percaya kalau gue sekarang sudah rajin shalat?”
Aku hanya diam mendengar penuturannya. Entahlah, ia berbicara yang sebenarnya atau tidak.
“Gue udah berubah, dan itu karena elu. Gue udah banyak berubah demi hari ini, tapi ternyata elu masih mandang gue sebagai El yang dulu, El yang nakal dan imut.”
‘Sialan, lagi ngomong serius begini, dia masih sempat melawak, imut? Ngaco!’ batinku, kesal.
“Mana gue tahu kalau lu udah banyak berubah, yang lu selalu pamerkan di depan gue adalah bisnis dan dompet lu yang tebel itu!”
El tersenyum tipis mendengar kalimat terakhirku.
“Iya, tapi gue salah, cewek yang gue suka ternyata benar-benar enggak tertarik dengan dompet tebel gue, karena cewek itu sendiri dompetnya tebel, mungkin lebih tebel dari dompet gue.” Ujarnya dengan senyum lebar. Ia sedang bergurau. “Mungkin hari ini elu anggap semua omongan gue cuma candaan, tapi suatu hari nanti gue bakal datang lagi ke elu untuk ngomongin ini sampai lu percaya sama gue.” Lanjutnya dengan serius. Dia berdiri, lalu meninggalkanku.
‘Lu salah, El. Bukan gue enggak percaya sama elu, tapi sampai kapanpun gue enggak bisa terima elu. Gue tetap pada pendirian gue, gue masih menunggu orang lain, berharap orang lain yang gue tunggu itu juga akan datang pada gue membawa kotak cincin, sama seperti yang lu lakukan hari ini.’ Bisikku dalam hati.

El sudah jarang bertemu denganku, entah ia sibuk atau memang enggan bertemu. Aku juga agak segan untuk menghubunginya lebih dulu. Tetapi, suatu hari ia menghubungiku dan mengajakku bertemu. Kami bertemu di kafe yang sama, kafe yang menjadi tempat langganan kami berdua.
“Gue udah tahu semuanya.” Ujarnya memulai percakapan dengan mata tajam.
“Lu tahu apa?” tanyaku, penasaran.
“Selama ini, gue, elu, dan Keenan, kita bertiga berteman baik. Gue pikir kita bertiga emang benar-benar berteman. Gue enggak ngerti, apa gue yang enggak peduli dan kurang jeli melihat kalian berdua, atau kalian berdua yang terlalu menyembunyikannya dari gue.”
Aku menelan ludah, mulai mengerti kemana arah pembicaraannya.
“Dan, gue tahu apa yang terjadi di antara lu sama dia. Begonya gue adalah gue baru tahu sekarang, pas banget ketika gue lagi suka sama elu.” Dia begitu frontal tanpa ragu-ragu. “Tapi, gue enggak mau rempong, gue enggak akan bikin Keenan kecewa sama gue. “ dia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, “Raisa, kita mungkin perlu berjauhan untuk sementara ini, untuk menyembuhkan luka di hati gue, tsaaaaah..” ia mulai melucu lagi.
“Lu yakin?” tanyaku.
“Yakin.” Jawabnya mantap.
“Gue kirain lu enggak bisa jauh dari gue.” Ceplosku, asal.
“Eh, kampret lu. Emang  sih enggak bisa, tapi kali ini harus bisa!”
“Oke!” seruku.
“Jadi, lu beneran masih nunggu dia? Sok setia, lu! Tapi kalau emang beneran begitu, yaudah semangat ya! Perjuangkan cinta lu! Kita lagi sama-sama berjuang, tapi bedanya adalah gue berjuang untuk mendapatkan elu, eh tapi elunya berjuang untuk mendapatkan dia! Gila, sakit cuy!” serunya, heboh. Ia tertawa keras, mungkin untuk menutupi luka di hatinya, tsaaaah.
“Iya, semoga elu bisa dapat cewek yang lebih solehah daripada gue, ya.” kataku. Dia melirikku dengan memainkan alisnya yang badai itu.
“Hmm, emang elu solehah? Perasaan enggak..” tanggapnya sambil menerawang.
“El, lu bener kampret, ya! seenggaknya gue udah berusaha untuk menjadi wanita solehah.”
“Oh, gitu. Enggak usah emosi keles, mba. Jadi, sepakat ya, kita berjauhan dulu.”
“Tapi..gue enggak bisa jauh dari elu.”
“Ah? Jangan php-in gue, please..”
“Ya bukan gitu, secara lu kan tukang ojek kesayangan gue..”
“Anjrit!” aku hanya tertawa, sementara ia mengumpat tak jelas.
“Kita tetap jadi teman, kan? Sekarang dan selamanya, kan? Doain gue ya biar cepat melupakan elu, susah nih..” ujarnya dengan tersenyum pasrah. Aku hanya melongo. Dia benar-benar sosok yang ceplas-ceplos. Itulah sebabnya aku sulit membedakan yang mana omongannya yang serius dengan yang main-main.

***

Hai, aku Raisa, dulu aku, Keenan, dan El berada dalam lingkar pertemanan. Tanpa kuduga ketika kami beranjak dewasa, El jatuh hati padaku dan ingin melamarku, tetapi ia tak tahu, aku dan Keenan lebih dulu saling jatuh hati katika kami masih SMA dulu. Entah bagaimana bisa, suatu hari El tiba-tiba saja mengetahui hal itu. Mungkin ia sempat sakit hati, tetapi kini ia mendapatkan wanita yang lebih baik dariku.
Kemarin, El melangsungkan akad nikahnya di daerah Tasikmalaya. Keinginannya untuk menikah dengan orang sunda terwujud. El yang kukenal dulu seperti seorang berandalan, kini ia menikah dengan seorang gadis berjilbab, Nur Laila namanya, asli orang Tasikmalaya. Masih kuingat ketika El pernah berkata, “Yang jelas nanti gue kawin sama cewek kampung. Soalnya, gue cowok gaul, masa kawinnya sama cewek gaul juga. Mending sama cewek kampung, supaya seimbang!”
Mungkin El hanya salah satu orang dari sekian banyak orang dalam hidupku. Tetapi, kisahku bersamanya selalu membekas. Itulah sebabnya mengapa aku menceritakannya kepada kalian semua.
El, seseorang yang mengajarkanku bahwa tak selamanya berandalan adalah berandalan, waktu bisa merubah apapun, termasuk pribadi seseorang.

The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar