24/12/14

Samudra di Tengah Dunia [Chapter 1]


Lelahmu jadi lelahku juga
Bahagiamu bahagiaku juga
Berbagi takdir kita selalu
Kecuali tiap kau jatuh hati

Kali ini hampir habis dayaku
Membuktikan padamu ada cinta yang nyata
Setia hadir setiap hari
Tak tega biarkan kau sendiri
 Meski seringkali kau malah asyik sendiri
 
Karena kau tak lihat terkadang malaikat
Tak bersayap tak cemerlang tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya

Hampamu tak kan hilang semalam
Oleh pacar impian
Tetapi kesempatan untukku yang mungkin tak sempurna
Tapi siap untuk diuji
Kupercaya diri
Cintaku yang sejati

Namun tak kau lihat terkadang malaikat
Tak bersayap tak cemerlang tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya

Kau selalu meminta terus kutemani
Engkau selalu bercanda andai wajahku diganti
Relakan ku pergi
Karna tak sanggup sendiri

Namun tak kau lihat terkadang malaikat
Tak bersayap tak cemerlang tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu Aku kan jadi juaranya
(Malaikat Juga Tahu – Dee Lestari )

Awalnya aku sempat terkejut ketika ia memintaku untuk menemaninya hari ini. Sudah lama sekali aku dan dia menjaga jarak, tetapi kami sama-sama tak tahu alasan mengapa kami membuat jarak. Orang-orang yang membuat kami menjadi seperti ini. Sudah lama aku tak melewati hari bersamanya. Ya, dulu kami sering pergi bersama, bukan karena terjadi sesuatu yang spesial di antara kami. Tetapi, karena ia menganggapku sebagai temannya. Sementara aku berbeda, aku memandangnya karena aku menyukainya. Dulu, ia memiliki seorang kekasih, dan aku bukanlah seorang perusak. Aku tak pernah mengatakan apapun, dan waktu terus berjalan menjadikan kami berdua sebagai teman. Hanya teman.

Tetapi, sekitar hampir setahun yang lalu, kekasihnya berpaling pada temannya sendiri. Aku tahu dia begitu terkejut, aku tak kalah terkejut. Awalnya aku cukup senang, memikirkan mungkin aku bisa mendapatkannya. Tetapi, begitu aku melihat hari-harinya yang berubah, aku mengerti bahwa ia begitu kehilangan. Aku tak tahu harus berbuat apa, karena jarak di antara kami sudah tercipta dengan jelas. Aneh rasanya bila menyapanya, tetapi aku tahu dari caranya melihatku, dia berkali-kali berusaha untuk menyapaku namun selalu diurungkannya niat itu.
“Mari kita buat jarak, mungkin dua minggu?” begitu katanya pada setahun yang lalu. Aku terkejut dengan perkataannya yang membuat keputusan seperti itu. Tetapi, aku mengerti mengapa ia melakukan ini.
“Baiklah, hanya dua minggu.” Kataku. Ia mengangguk lalu pergi. Namun, hingga kini aku merasa dua minggu itu tak kunjung berakhir. Tetapi, hari ini berbeda. Ia kembali.
Kupacu motorku dengan kecepatan tinggi, aku akan menjemputnya.
Seorang gadis melambai-lambai dari jauh, diakah itu? mengapa seperti orang lain?
Aku menghentikan motorku di depan gadis itu.
“Lily?” ucapku tak percaya dengan penampilannya. ia mengubah penampilannya, memotong rambutnya hingga bahu. Bukankah ia pernah mengatakan padaku bahwa ia menyukai rambut panjang? Mengapa sekarang ia memotongnya? Dan sepertinya ia menggunakan tas baru, sebelumnya aku tak pernah melihat tas yang digunakannya sekarang ini.
“Tas baru, yah?”
“Hei, mestinya kamu bertanya dulu soal rambutku.” Ujarnya dengan nada kesal dan bibir sedikit dimanyunkan.
“Aku pikir alasannya begitu privasi.”
“Dasar kau. Jadi, benar-benar tak penasaran ya?”
“Bukan begitu. Ayo, pergi! Aku lebih penasaran kau ingin mengajakku kemana.”
“Oke, kita pergi!”
Ia segera duduk di belakangku dan menggunakan helm yang kuberi.
“Kau belum juga mengganti helmnya, ya? aku bilang kan aku tak suka helm model kodok seperti ini. Hei, helmnya kelihatan masih baru.”
“Iya, aku menyimpannya. Helm itu khusus Lily.”
“Khusus untukku? Kenapa?”
“Karena aku jarang membonceng perempuan lain, selain ibu dan kakakku.”
“Jadi, kau pikir helm model kodok begini hanya cocok untukku, begitu?”
“Kita tak akan pergi sampai kau mau memakai helm itu.”
Aku menoleh ke spion, Lily menggunakannya dengan merengut. Dasar cewek itu, saat merengut saja begitu manis, bagaimana aku bisa melupakannya?
“Jadi, kita mau kemana?” tanyaku dalam perjalanan.
“Ke pantai. Bukannya pantai adalah tempat favorit kita berdua?” mendengarnya mengatakan hal itu aku tertawa.
“Kita berdua? Sejak kapan?”
“Oh, aku sudah mengatakan hal yang salah, tempat favoritku saja, bukan tempat favoritmu.”
“Tetapi, aku juga menyukai pantai.”
“Yasudah, berarti aku benar, tempat favorit kita berdua.”
Aku tersenyum sambil menoleh ke arah spion. Lily juga tengah tersenyum memandang langit. Aku merasakan lega yang luar biasa. Lily tengah bersamaku.
“Apa liat-liat? Bawa motor yang bener, jangan ngeliatin aku!” Ya ampun, dia melihatku dari spion.
“Siapa yang ngeliatin kamu?”
“Enggak usah mengelak begitu. Kamu selalu kalah.”
Lagi-lagi aku tersenyum mendengar ocehannya.

Sore yang begitu tentram. Di antara keindahan pantai, aku menemukan keindahan yang sesungguhnya, Lily kembali, kembali di sampingku. Sebagai teman, tentu saja. Apa aku bisa mengubahnya kali ini? Lily, bisakah?
“Kau tahu kan, apa yang terjadi padaku?” ia memulai pembicaraan.
“Apa?” aku tak tahu hal apa yang dimaksudnya.
“Soal kehilangan. Soal kekecewaan.”
‘Jadi, kau masih mengingat hal itu, Lily? Jadi, bagaimana selama ini kau menjalani hari-harimu? Bagaimana yang kau rasa ketika kau mendapati mereka di depanmu tengah bercumbu?’ batinku.
Aku diam tak menjawabnya. Akan lebih baik jika aku mendengarkannya dahulu.
“Sebenarnya bukan ini yang mau aku bicarakan, tetapi aku tak tahu harus mengatakan hal ini dimana? Kepada siapa? Entah, kenapa aku begitu tertahan, aku tak bisa menceritakan ini pada teman-temanku, kau tahu kan bagaimana teman-temanku? Aku tak mempercayai mereka. sekarang bilang ya, besok bilang tidak. Sekarang ramah, tiba-tiba marah. Aku sulit menerima perubahan-perubahan seperti itu, apa lagi perubahan yang di luar pemikiranku sebelumnya, termasuk perasaannya padaku.”
‘Lily, seharusnya kau mempercepat hari ini.’
“Kau tahu kan aku benci persaingan? Apa lagi jika harus bersaing dengan temanku sendiri. Aku menghindar, aku terlalu malas. Aku berpikir dengan aku menghindar, mereka juga tak akan mencari masalah denganku. Tetapi, mereka selalu memulainya, di belakangku, aku bodoh, selalu terlambat menyadarinya.”
‘Lily, bukankah kau kuat?’
“Tetapi, aku tak kehilangan segalanya. Aku masih punya banyak hal lainnya yang perlu aku urus. Aku benar-benar menghindari. Tetapi, ketika aku menghindar, orang-orang itu membullyku. Aku tahu itu bercanda, bercanda yang tak lucu dan mereka lakukan itu terus-menerus padaku, memojokkan aku, seolah mereka tak pantas untuk dibully. Mereka tak berkaca, kelakuan mereka, membuat aku merasa ilfeel setengah mati. Seperti mereka yang mengoceh ini itu, menyalahlan orang lain. Apa mereka tak berpikir kenapa mereka disalahkan? Karena perkataan mereka. Mereka berpikir negative kepada orang-orang yang tak pantas mendapatkan itu.”
Kemudian dia memperbaiki posisinya, dan memandangiku.
“Samudera..” ia memanggilku.
“Ya, Lily.” Aku ikut menatapnya.
“Kamu percaya padaku, kan?”
Aku mengangguk.
“Aku mau menghilangkan segala hal buruk tentang aku di mata kamu. Hal buruk yang keluar dari mulut-mulut mereka yang seperti sampah, mereka tak tahu apa yang kita rasa, mereka menuduh sesuka hati. Samudera, aku benci mereka!” kemudian ia menangis, sesenggukan sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Lily, hal buruk apa?” tanyaku.
‘Kau tak pernah terlihat buruk, Lily.’ Batinku.
“Aku sama sekali tak pernah berniat memanfaatkanmu, Samudera. Kamu harus percaya. Kau temanku, kan? Terlalu banyak waktumu yang kau beri padaku, terlalu banyak usaha yang kau buat, terlalu banyak kesempatan yang tak pernah aku sadari, terlalu banyak yang tak kusadari, bahkan aku tak pernah melihatmu dari sisi lain. Samudra, maafkan aku.” Tangisnya mereda, wajahnya penuh pengharapan.
“Lily, aku tak mengerti.” Mengapa aku begitu bodoh? Seharusnya aku mengerti maksud perkataannya.
“Ini sudah terlalu lama Samudera, tetapi aku berharap ini belum basi.”
“Apa?”
“Mari lewati hari ini bersama. Jadilah pemanduku satu hari ini.”
Aku tahu, jawabannya tak nyambung dengan pertanyaanku, tetapi aku akan menurut saja.
“Kenapa? Kenapa hanya satu hari? Aku bisa menjadi pemandumu kapanpun kau mau.”
“Samudra, bulan depan aku pindah. Mungkin, tak akan kembali ke kota ini.”
Tiba-tiba saja hatiku seperti tertampar. Keras sekali. Apa? Lily? Akan pindah? Bulan depan? Dan selama ini aku kemana saja? Bukankah aku temannya? Tetapi, mengapa selama ini aku membiarkan hari-harinya tak indah? Bukankah aku temannya? Seharusnya bisa membuatnya merasa lebih baik setelah merasa kehilangan.

“Hari ini, aku mau keliling kota, ke tempat-tempat yang indah, dan ke tempat-tempat yang belum pernah aku kunjungi selama aku tinggal di kota ini.”
“Kemanapun, Ly. I’ll stay there, with you.”
Thanks, Sam.”

Udara pantai merasuki kami berdua, suasananya jauh lebih baik. Kami menyusuri pesisir pantai. Wajahnya tampak bercahaya menyatu dengan sinar senja, kuning keemasan.
“Bisakah kita mengambil gambar berdua, Sam?” tanyanya.
“Eh? Mengapa tidak?”
Aku mengeluarkan ponselku.
“Enggak, Sam. Aku bawa ini.”
Aku melihatnya mengeluarkan sebuah kamera.
“Kamu benar-benar ingin membuat hari ini menjadi istimewa, ya?”
“Tentu saja.” Senyumnya mengembang.

Setelah puas dengan berkali-kali memotret kami memutuskan untuk menikmati segelas es kelapa muda. Ia duduk, masih dengan kamera di tangannya.
“Hmm, kapan lagi yah ada hari seperti ini?”
Aku menatapnya, ia masih menatap layar kamera.
“Bisakah besok kau keluar lagi? Gantian, aku lagi yang mengajakmu.”
“Hmm.” Iya hanya bergumam, tak mendengarkanku, asik dengan kameranya.
“Lily, bisakah?”
“Besok? Oh ya, tentu saja.” Senyumnya mengembang lagi. Aku menghela nafas memperhatikan tingkahnya.
Kami segera meneguk es kelapa muda yang sudah tersaji itu. Dengan cepat kami menghabiskannya, rupanya bukan cuma aku saja yang begitu haus.
Lily bangkit dari kursinya, dan mengeluarkan dompetnya hendak membayar.
“Lily, simpan dompetmu. Aku saja yang membayar.”
Lily memandangku sejenak.
“Sudahlah, kali ini biar aku saja.” Aku merasa seperti ada perasaan tak enak dalam dirinya. Ah, Lily, sungguh tak apa-apa beli aku yang membayarnya.
“Sam, ayo kita ke benteng! Bukankah benteng dekat dari sini?”

Rupanya belum lelah juga dia. Kami bergegas menuju tempat parkir, dan kembali berjelajah. Tak disangka, suasana benteng sore ini cukup ramai. Sore ini, berbagai kalangan datang ke sini, ada yang bersama keluarganya, teman-temannya, bahkan hanya berdua dengan kekasihnya, entah aku masuk kategori yang mana.
“Kita ambil beberapa pose lagi, ya. Latarnya bagus.”
Aku mengangguk setuju. Kami tak menghiraukan orang-orang di sekeliling kami, dan asik mengambil gambar. Sudah tak terhitung lagi berapa banyak gambar yang kami ambil. Kebanyakan adalah foto kami berdua. Lily kelihatannya gembira sekali. Begitupun denganku.
Aku memperhatikan langit, lalu melirik jam tanganku. Lily masih asik dengan kameranya.
“Lily, mau pergi ke tempat favoritku yang lain, tidak?”
“Kelihatannya kau punya banyak tempat favorit?” ia menyunggingkan seulas senyum.
“Sepertinya begitu.”
“Ayo kita pergi, mari kita lihat sebagus apa tempat yang dikatakan sebagai tempat favorit itu.”

Aku tahu, hidupnya selalu dipenuhi rasa penasaran. Lily sama denganku, suka berjelajah. Lily suka memaksaku untuk mengajaknya bila aku pergi mendaki atau semacamnya. Aku sulit mengajaknya, karena aku tahu Lily adalah tipe orang yang mudah jatuh sakit jika ia kelelahan, aku bisa khawatir setengah mati bila ia ikut denganku mendaki. Tetapi, sekarang sepertinya aku menyesal. Tak akan ada waktuku lagi untuk mendaki bersamanya. Kami akan berpisah, dan akan menciptakan jarak yang sebenarnya. Bagaimana aku bisa melupakanmu, Ly?

Motorku berhenti di tempat tujuan kami berikutnya, tempat favoritku. Sejenak Lily tak mengatakan apapun, aku tahu ia tengah terpukau, mungkin sebentar lagi tempat ini akan menjadi tempat favoritnya juga.
“Sam, tempat apa ini? Sepi..”
Heh? Mengapa justru itu yang keluar dari mulutnya?
“Apa? Sepi bagaimana?”
“Kenapa tempat seindah ini, bisa tak ada orang yang kemari?”
“Ly, tempat ini tersembunyi, letaknya di ujung juga, di bagian daratan yang menjorok ke laut. Aku menemukan tempat ini ketika aku tersesat. Kau tahu, dari sini senja lebih indah dibandingkan tempat manapun di daerah ini.”
“Kau selalu tahu tempat mana yang aku suka.”
Lalu ia menoleh menatapku, “Sam, maaf karena aku terlambat untuk mengerti.”
“Hmm, kenapa?” tanyaku meminta ia mengulangi perkataannya.
“Ah, tidak, Sam. Tidak ada apa-apa.”
Lily tak mengulang kalimatnya. Ah, mungkin bukan sesuatu yang penting.

Tak disangka gerimis menyambut malam. Kami belum juga memutuskan untuk pulang. Lily bilang ia tak ingin berteduh, lagipula hanya gerimis, jadi ia ingin menikmatinya saja, membiarkan gerimis-gerimis itu menjatuhkan diri dan menabrak tubuhnya.
“Sam, kita lewat perkampungan Cina, ya?”
“Perkampungan apa, Ly? Memangnya ada?”
Sejenak aku mendengar Lily tertawa.
“Hmm, entahlah, aku tak tahu namanya apa, aku sendiri yang menamainya kampung Cina, hehe. Kamu tahu kan jalanan kecil yang dipenuhi bangunan ruko di kanan dan kiri, dan hampir semua pemiliknya dan yang tinggal di situ adalah penduduk keturunan Tionghoa?”
“Oh, aku tahu, di Jalan Somba Opu, kan? Untuk apa lewat di sana, Ly?”
“Aku mau mengambil gambar lagi. Di sana, kegiatan masyarakat banyak yang terlihat jelas. Entah itu pedagang kaki lima, anak jalanan, pembeli dan penjual, apapun itu.”
“Ckck, jadi kamu mau foto di tengah jalan gitu?”
“Kalau sepi sih, aku mau-mau aja!”
“Nggak boleh!”
“Ih, kenapa? Kamu takut aku ditabrak, ya?”
“Bukan. Tapi, malu-maluin tahu!”
“Sialan, kamu!”

Sepanjang perjalanan menuju ke sana Lily terus-menerus mengguraukan hal-hal lucu, seolah ia sengaja ingin membingkai senyum di bibirku. Aku berharap waktu bisa berhenti, membuat aku selamanya berada di sisi Lily. Tetapi, waktu bukan milikku. Membiarkan waktu terus berjalan sama saja membuat perpisahan antara aku dan Lily semakin dekat, membuat segala hal yang dilalui hanya menjadi sebuah kenangan yang mungkin suatu saat akan terbungkus rapat oleh Lily, mungkinkah juga olehku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar