Gelap.
Iya, aku tahu. Aku memang tengah tidur. Apa aku tengah bermimpi? Mengapa di
sini gelap sekali? Dan sempit. Apa aku tengah terikat? Atau apa ada sesuatu
yang melilitku? Sesak. Dan tiba-tiba saja sesuatu yang sangat mengejutkan
terjadi. Aku keluar dari tubuhku sendiri. Ada apa ini? Aku panik!!! Mengapa aku
melayang-layang seperti ini? Inikah yang dinamakan roh? Roh yang berkaitan
dengan kematian dan selalu dibicarakan oleh orang-orang?
Aku
bergegas keluar dari kamarku. Menelusuri ruangan demi ruangan yang ada di dalam
rumahku.
“Ma..mama..mama..”
aku menggoyangkan-goyangkan tubuh mama yang tengah tertidur pulas. Tetapi tak
bisa. Seketika aku ketakutan. Aku menoleh ke arah cermin di kamar mama, Ya
Tuhan tak ada diriku di dalamnya! Aku menjerit-jerit dan menabrak-nabrakkan
tubuhku ke dinding-dinding tetapi tak ada rasa sakit kurasakan begitupun dengan
suara, tak ada suara gaduh yang timbul.
Siang
itu gerimis. Mama tertidur pulas, papa belum pulang kerja, dan adikku tengah
bermain di luar. Aku menangis di sudut kamar mama. Sendirian. Mama tak akan
mungkin mendengar suara tangisku. Apa aku sudah….meninggal?
Aku
terus memandangi mama, hingga ia terbangun. Ia memandang keluar jendela.
“Tumben,
gerimis. Hmm, Viona udah bangun belum, ya?” mama memikirkanku. Kuikuti
langkahnya menuju kamarku.
“Viona,
Viona.”
“Iya,
ma.” Sahutku dengan bodoh, mama tak akan mungkin mendengarnya.
Mama
menjatuhkan tubuhnya di sebelah ragaku. Ia berbaring di sana, memandangiku
sambil tersenyum. Jemarinya mulai menyentuh wajahku kemudian membelai rambutku.
Ia belum menyadarinya.
“Ma…”
panggilku gemetar.
Jemarinya
berhenti, ia memandangi sekitar. Apa ia baru saja menyadari kehadiranku?
Kemudian
ia memainkan kembali jemarinya di wajahku.
“Viona,
alis kamu, mata kamu, mirip mama. Hidung dan bibir kamu mirip papa.” Mama masih
tersenyum. Kemudian mengernyitkan dahinya. “Viona, kamu kok dingin?” ia
kemudian menarik selimut untukku.
Ia
melangkah keluar.
“Ma,
jangan tinggalkan Viona, ma..”
Langkahnya
terhenti. Ia menoleh ke arah jasadku
yang terbujur kaku di atas tempat tidur.
“Viona?
Kamu sakit?” Tangannya menyentuh keningku. “Viona? Viona?!!! Kamu dengar mama,
nak?!”
Ia
panik dan memeriksa nadiku.
“Viona?
Enggak, enggak mungkin. Vionaaaaaaaaaaa!!!!!!”
Mama
memelukku erat, aku membisu di sudut kamarku.
***
Berita
kematianku menyebar cepat. Malam itu gerimis sudah berhenti, namun aroma dan
hawa dinginnya masih tinggal. Rumahku sesak dengan orang-orang yang melayatku.
Mama belum juga berhenti histeris, beberapa ibu-ibu berusaha menenangkannya.
“Ma,
maafin Viona.” Ujarku cemas.
Teman-temanku
yang perempuan belum banyak yang hadir, mungkin karena sudah malam. Malam itu
lebih banyak teman-temanku yang laki-laki yang datang melayat. Aku
memperhatikan mereka satu-persatu.
Di
terasku duduk teman-teman sekelasku yang laki-laki. Terlihat jelas bahwa mereka
tengah membicarakanku.
“Dua
hari yang lalu gue enggak sengaja numpahin air ke lukisannya, dan dia enggak
marah. Sampai dia meninggal sekarang, gue masih enggak enak sama Viona.” Ujar
Arfin, ketua kelasku.
“Iya,
dia enggak pernah marah dan enggak pernah tersinggung meskipun gue kalau
bercanda sering kelewatan batas.” Iwan menambahkan. Iwan termasuk orang yang
konyolnya the best di kelasku. Dia hobi membuat orang tertawa.
“Iya,
Viona enggak seperti gadis-gadis lain yang kalau diganggu sedikit langsung
marah atau nangis. Dia enggak pernah menganggap kita mengganggunya, dia justru
nerima kita dan menghargai kita.” Mendadak aku begitu terharu mendengar
kejujuran Zakiy. Zakiy adalah pengganggu dan pembohong paling handal di
kelasku. Dia juga konyol. Dia sering membuat perempuan menangis karena ulahnya.
Aku
memperhatikan tamu yang lain. Serombongan anak-anak popular di sekolahku juga
hadir. Zayn, Firman, Davin, dan teman-temannya.
“Gue
benar-benar merasa kehilangan. Viona emang bukan gebetan gue, atau apa. Tetapi,
selama ini dia banyak bantuin gue, ngerjain tugas kesenian atau tugas lainnya.”
“Yaelah,
Zayn. Kalau itu sih, lu ngerasa kehilangan karena lu takut enggak ada yang
bantuin lu lagi.” Tanggap Firman.
“Gue
Serius, Firman.” Ucap Zayn sambil menunduk.
“Zayn,
tadi siang, kita masih duduk-duduk bareng dia, bro. sekarang, kita sudah
kehilangan dia. Cepat banget. Tadi siang, lu dengar sendiri, kan? Gue baru saja
cerita-cerita flashback sama Viona. Cinta pertama gue.” mata Davin
berkaca-kaca. Davin adalah cinta pertamaku, dan aku adalah cinta pertamanya.
Dan kami saling tahu, kami tak mudah untuk melupakan satu sama lain. Meski
cinta kami sudah menguap sejak beberapa tahun yang lalu. Kami sudah melangkah
masing-masing, tetapi kenangan akan tetap selalu ada. Tahun lalu Davin meminta
kembali padaku, tetapi aku menolak karena aku telah mencintai pria lain. Dan
beberapa bulan yang lalu pria itu mengkhianatiku, berpaling pada gadis lain
yang merupakan temanku sendiri.
Ngomong-ngomong
pria itu dimana?
Dia
juga ada di sini ternyata, di sudut teras, duduk diam menunduk. Sendirian. Aku
duduk di bangku kosong di sebelahnya. Aku memperhatikan wajahnya. Ya Tuhan, apa
itu di pipinya? Apa ia menangis? Aku tak bisa melihat jelas, kedua tangannya
menutupi wajahnya. Tangannya mulai bergerak dan ia menyeka kedua pipinya. Aku
benar, dia menangis.
“Sayang?
Masih bisakah aku memanggilmu sayang? Tak apa kan? Kau juga tak akan mungkin
mampu mendengarku. Sayang, bukankah keadaannya bagus? Kau sudah memiliki yang
lain sementara aku benar-benar pergi. Jadi, kau tak akan merasa kehilanganku
sepenuhnya.” Ujarku, lirih.
“Maafkan
aku, Viona.” Ucapnya.
Aku
terperangah, apa ia mendengarku? Ah, tidak mungkin.
“Apa
kau mendengarku, Farel?” ia bangun dari duduknya, dan melewatiku.
“Farel!!!”
seruku.
Rombongan
anak-anak yang dicap nakal di sekolah juga datang. Mereka tengah membicarakanku
di parkiran. Mereka duduk di atas motor masing-masing.
Ada
pria lain yang juga menyudutkan dirinya, Galang. Pria itu menyukaiku,
setidaknya begitu yang orang-orang katakan. Tetapi, aku tak pernah menyadari
hal itu. Aku dan Galang berteman, Galang membuatku benar-benat merasa nyaman
saat bersamanya, bahkan orang yang aku cintai tak pernah memperlakukanku
seperti itu. Aku tak pernah menyadari perasaan Galang padaku, karena tiap kali
aku berbicara dan bercerita degannya ia tak pernah sedikitpun membahas tentang
perasaan, tentang hati, tentang apapun itu, kami hanya membahas tentang film,
foto, buku, makanan, hobi masing-masing, tentang mendaki, tentang menulis,
bukan membahas sesuatu yang seperti cinta.
Aku
baru menyadari perasaannya pada bulan lalu. Aku tahu ini sangat terlambat. Aku
dan Galang sudah tak sedekat dulu, dan aku benci dengan kondisi ini. Aku
berencana untuk mengembalikan keadaan, tetapi takdirku berkata lain.
Ia
pasti terkejut mendengar kabar ini. Ia hanya diam di sudut, dan tak berbicara
dengan siapapun. Ia bangkit, dan melangkah masuk. Hanya sampai di pintu,
langkahnya terhenti, ia mengintip dari luar. Aku merasakan desahan nafasnya
mulai tak teratur. Matanya lurus memandangi jasadku. Dan untuk kesekian kalinya
aku terkejut lagi, Galang meneteskan airmatanya. Deras. Lebih deras dari yang
dilakukan oleh Farel. Ia tak kuat berada di sana, dan langsung berbalik. Ia
berlari ke arah mobilnya dan segera masuk. Aku masih mengikutinya. Ia
menyandarkan kepalanya di atas setir mobil. Airmatanya berlinangan, tak juga
dihapusnya. Tangisannya memecah keheningan yanga ada di dalam mobilnya sendiri.
Aku tak tahu kalau ia akan sesedih ini. Aku menyentuh pundaknya. Kuhadapkan
wajahku ke wajahnya.
“Galang,
berhentilah. Kamu enggak harus merasa sesedih ini.” Ujarku. Malam itu
kuhabiskan menangis bersama Galang di dalam mobilnya.
***
Aku
menjelajah ke belahan bumi lainnya. Ke rumah Randy, salah seorang temanku yang
pindah sekolah, ia di drop out karena tak mampu menyelasaikan tugas-tugasnya
serta berkelakuan buruk. Entah bagaimana penilaian guru, bagiku kelakuan nakal
Randy adalah kelakuan nakal sewajarnya anak SMA. Randy memutuskan untuk pindah
kota.
Di
dalam kamar yang bercat biru, ia duduk terdiam, merenung di ujung ranjangnya.
“Arrrgh,
gila. Ini gila. Viona. Ini gila. Viona. Aaaarghhh..”
Ia
menyebut-nyebut namaku. Apanya yang gila, Randy?
“Kemarin
lu masih bisa balas chat gue, kemarin lu bilang lu bakal bisnis sama gue. Vi,
gue mesti gimana. Enggak ada lagi yang ingetin gue shalat, ingetin gue supaya
enggak nakal, enggak ada lagi yang bisa jadi pelampiasan gue kan Vi, cuma lu
doang yang sabar dikata-katain sama gue, cuma lu doang yang nerima gue tulus
sebagai teman lu, cuma lu doang yang mau jadi tempat bertumpahnya semua emosi
gue, Vi. Ayolah, Vi, ini semua enggak benar, kan?”
Aku
terperangah mendengar perkataannya. Randy memukul-mukul besi ranjangnya.
Emosinya berkecamuk.
“Anjing
banget hidup ini, bego ah Vi, kenapa mati sekarang!!! Arrghhhh!!!”
Kebiasaannya
berbicara kasar belum juga hilang.
“Bego
lu Vi, begoooo!!!”
Dia
baringkan tubuhnya di atas ranjang, dan untuk pertama kalinya aku melihat ia
menangis. Menangis sejadi-jadinya.
Aku
menembus dinding, menjauh pergi.
Di
sudut lainnya, sama saja. Vicky, teman lamaku, juga seperti Randy. Sejak 6
tahun yang lalu aku tak bertemu dengannya. Kami saling berjanji satu sama lain,
suatu hari nanti akan bertemu, membuat pertemuan dan bercerita banyak hal,
bercerita semuanya, semua hal yang kami lakukan selama 6 tahun tak bertemu,
tetapi kekuatan takdir merusak semuanya.
Vicky
memainkan ponselnya, aku melihatnya memperhatikan fotoku.
“Vi,
bukannya kita udah janji, ya? Vi, kalau lu enggak bisa menepati enggak apa-apa
kok, Vi. Biar gue aja sendiri yang nepati janji kita. Nanti gue datang ke
kuburan elu ya, Vi. Tunggu gue di sana, ya. kita cerita-cerita di sana aja, ya.
gimana, Vi?” Vicky melepas kacamatanya yang berembun, matanya berkaca-kaca. Ia
menunduk, tenggelam dalam kesedihan yang disebabkan olehku.
Aku
berlalu, tak tahan melihatnya menangis untukku.
***
Perkuburan
itu ramai dipenuhi oleh mereka yang mengantar jenazahku. Setengahnya adalah
keluargaku, dan setengahnya lagi adalah teman-temanku. Ah, bagaimana mungkin
nanti, besok, dan selamanya aku tak bisa lagi bersama-sama dengan mereka.
The
Brandalzzz adalah nama gengku. Dan aku adalah yang paling kurang brandal. Cecil,
orang yang paling dekat denganku tengah berjongkok di ujung kuburanku. Diikuti oleh
Fero, Tya, Natasha, dan Balqis. Mereka semua adalah The Brandalzzz. Ditambah dengan
Ego, dan Aldo.
Tak
ada yang bersuara, semuanya terdiam, menunduk dalam, fokus menatap jenazahku
yang dikebumikan. Aku memejamkan mata, lambat laun aku tertiup angin, menjauh
dari mereka semua. Bencinya lagi, aku bahkan tak bisa meneteskan airmata.
***
Suatu
sore, aku merindukan diriku sendiri. Angin kembali membawaku ke perkuburanku
sendiri. Tanpa diduga, aku bertemu dengan Farel, mengejutkannya lagi aku
melihat Galang juga berada tak jauh dari nisanku. Ia menaburi tanah kuburku
dengan bunga-bunga. Farel memandangi punggungnya, tak lama Galang menoleh. Ia balas
menatap Farel.
“Farel,
kenapa elu memutuskan berpisah dari Deva? Bukannya Deva lebih sempurna dari
Viona?”
“Bukan
urusan lu.” Deva adalah temanku yang berhasil membawa Farel dariku, tetapi
rupanya ia sudah berpisah. Entah mengapa.
“Di
benak Viona ada banyak tanda tanya tentang lu, gue sedih banget karena sampai
dia meninggal gue belum bisa membantu dia menjawab pertanyaan-pertanyaan bodoh
di benaknya, pertanyaan seperti kenapa Farel memilih untuk berpisah? Mengapa
Farel berpaling pada Deva, temannya sendiri, mengapa Farel melakukan itu? Apa
Deva lebih baik dari Viona? Dan masih banyak lagi pertanyaan di benak Viona
yang belum lu jawab, karena Viona tahu, lu Cuma akan bungkam.”
“Lu
serakah, lu egois, Farel. Lu sudah punya Viona yang begitu sempurnanya di mata gue,
dan lu masih pengen Deva yang enggak kalah sempurna itu? Lu egois. Viona dan
Deva itu temenan, akrab, tetapi elu enggak tahu, kan? Itu karena elu emang
enggak care sama Viona. Lu enggak tahu seberapa baiknya Viona bersikap ke Deva,
kan? Makanya luka yang lu beri ke Viona lebih dalam dari yang lu kira.”
“Bagaimana
dengan lu sendiri Galang, apa lu enggak malu selalu cari perhatian sama milik
orang lain?”
“Apa
maksud lu? Ternyata gue belum bilang ke elu ya? Gue emang suka sama Viona, lu
beruntung. Tetapi, Viona enggak pernah tahu hal itu, gue selalu menjaga
pertemanan antara gue dan Viona. Gue enggak pernah membicarakan soal cinta sama
Viona, elu yang terlalu jauh berpikir. Kenapa gue selalu jalan bareng Viona?
Itu karena, kenapa elu selalu memilih teman-teman lu dibanding Viona. Lu sering
membatalkan janji, padahal Viona sudah datang di tempat janjian kalian. Lu
sering nolak ajakannya, bahkan perbedaan genre film saja lu enggak bisa
mentoleransinya, kan? Viona nonton bareng gue, karena kesamaan genre film
kesukaan kami, lu juga pernah kan nonton bareng temen lu? Jadi, wajar saja kan
kalau Viona juga boleh pergi sama temannya? Lu enggak mikir.”
“Jadi,
maksud elu gue yang salah?”
“Farel,
lu enggak tahu seberapa irinya gue sama elu. Setiap gue jalan sama Viona, tiap
gue cerita-cerita sama dia, dia selalu membicarakan elu, tentang betapa
sayangnya dia sama elu, meskipun elu cuek tetapi Viona enggak akan milih orang
lain, sampai dia meninggal sekarang ini. Apa lu enggak merasa bersalah?”
“Gue
memutuskan Deva, karena gue merasa bersalah.”
“Lu
terlambat. Kesalahanlu terlambat. Viona bilang sama gue dia sudah lega, lega
melihat watak lu yang sebenarnya. Viona bilang ke gue banyak lelaki lain yang
mencintainya dan lebih baik dari elu, tetapi Viona akan selalu memilih elu.
Itulah kenapa dia kecewa ketika elu tiba-tiba memilih orang lain.”
“Jadi,
menurut lu sekarang gue mesti gimana, Lang? mesti gimana?!!”
“Gue
enggak tahu, Rel. Elu salah, fix! Dan percuma lu mau perbaiki semuanya, enggak
ada gunanya, Rel.”
Galang
melangkah pergi, tetapi dengan cepat Farel mencegahnya.
“Lang,
makasih. Makasih untuk kehadiran lu dalam hidup Viona. Hal-hal yang enggak bisa
gue beri ke Viona, bahkan kalau itu cuma sekedar waktu luang, dan lu selalu
bisa ada di sana untuk Viona menggantikan gue, gue benar-benar terimakasih sama
elo.”
Dan
hal yang tak kubayangkan terjadi, mereka merangkul satu sama lain. Farel menangis
di pundak Galang. Tetapi, aku tahu. Luka Galanglah yang paling dalam. Galanglah
yang mungkin lebih merasa kehilangan aku.
Aku
tersenyum lega, aku mungkin sudah tiada, tetapi aku tetap hidup di dalam hati
kedua pria tersebut. Aku percaya, aku masih hidup di dalam hati Farel, apa lagi
di dalam hati Galang. Mulailah hargai orang-orang yang mencintaimu, jangan
sakiti mereka, karena sesungguhnya kau juga tak ingin disakiti oleh orang yang
kau cinta. Logikanya seperti itu, kan? :)
THE END
Sumber
gambar:
Keren ceritanya,
BalasHapusMakasih ;)
HapusMba Nina salam kenal ya dari aku :) rahma
BalasHapusHai, salam kenal juga :)
Hapuskeren kakk !!! :)
BalasHapuskalau boleh aku mau pake cerpen kk buat mading sekolahku :)
thankyou yaa! ;)
Hapussilahkan ;)
Ceritanya mengharukan. Bisa berandai seperti itu, merasa kehilangan saat sudah pergi :(
BalasHapuskamu sendiri mungkin juga pernah berandai seperti itu :') bagaimana perasaan orang-orang di sekitar kita saat tahu kita sudah tiada, cerita ini berawal dari logikaku tentang dunia yang sementara, kemudian setelah dunia akan ada kehidupan yang lebih abadi :)
Hapus