03/04/15

Takdir Viona




Gelap. Iya, aku tahu. Aku memang tengah tidur. Apa aku tengah bermimpi? Mengapa di sini gelap sekali? Dan sempit. Apa aku tengah terikat? Atau apa ada sesuatu yang melilitku? Sesak. Dan tiba-tiba saja sesuatu yang sangat mengejutkan terjadi. Aku keluar dari tubuhku sendiri. Ada apa ini? Aku panik!!! Mengapa aku melayang-layang seperti ini? Inikah yang dinamakan roh? Roh yang berkaitan dengan kematian dan selalu dibicarakan oleh orang-orang?
Aku bergegas keluar dari kamarku. Menelusuri ruangan demi ruangan yang ada di dalam rumahku.
“Ma..mama..mama..” aku menggoyangkan-goyangkan tubuh mama yang tengah tertidur pulas. Tetapi tak bisa. Seketika aku ketakutan. Aku menoleh ke arah cermin di kamar mama, Ya Tuhan tak ada diriku di dalamnya! Aku menjerit-jerit dan menabrak-nabrakkan tubuhku ke dinding-dinding tetapi tak ada rasa sakit kurasakan begitupun dengan suara, tak ada suara gaduh yang timbul.
Siang itu gerimis. Mama tertidur pulas, papa belum pulang kerja, dan adikku tengah bermain di luar. Aku menangis di sudut kamar mama. Sendirian. Mama tak akan mungkin mendengar suara tangisku. Apa aku sudah….meninggal?
Aku terus memandangi mama, hingga ia terbangun. Ia memandang keluar jendela.
“Tumben, gerimis. Hmm, Viona udah bangun belum, ya?” mama memikirkanku. Kuikuti langkahnya menuju kamarku.
“Viona, Viona.”
“Iya, ma.” Sahutku dengan bodoh, mama tak akan mungkin mendengarnya.
Mama menjatuhkan tubuhnya di sebelah ragaku. Ia berbaring di sana, memandangiku sambil tersenyum. Jemarinya mulai menyentuh wajahku kemudian membelai rambutku. Ia belum menyadarinya.
“Ma…” panggilku gemetar.
Jemarinya berhenti, ia memandangi sekitar. Apa ia baru saja menyadari kehadiranku?
Kemudian ia memainkan kembali jemarinya di wajahku.
“Viona, alis kamu, mata kamu, mirip mama. Hidung dan bibir kamu mirip papa.” Mama masih tersenyum. Kemudian mengernyitkan dahinya. “Viona, kamu kok dingin?” ia kemudian menarik selimut untukku.
Ia melangkah keluar.
“Ma, jangan tinggalkan Viona, ma..”
Langkahnya terhenti.  Ia menoleh ke arah jasadku yang terbujur kaku di atas tempat tidur.
“Viona? Kamu sakit?” Tangannya menyentuh keningku. “Viona? Viona?!!! Kamu dengar mama, nak?!”
Ia panik dan memeriksa nadiku.
“Viona? Enggak, enggak mungkin. Vionaaaaaaaaaaa!!!!!!”
Mama memelukku erat, aku membisu di sudut kamarku.

***

Berita kematianku menyebar cepat. Malam itu gerimis sudah berhenti, namun aroma dan hawa dinginnya masih tinggal. Rumahku sesak dengan orang-orang yang melayatku. Mama belum juga berhenti histeris, beberapa ibu-ibu berusaha menenangkannya.
“Ma, maafin Viona.” Ujarku cemas.
Teman-temanku yang perempuan belum banyak yang hadir, mungkin karena sudah malam. Malam itu lebih banyak teman-temanku yang laki-laki yang datang melayat. Aku memperhatikan mereka satu-persatu.
Di terasku duduk teman-teman sekelasku yang laki-laki. Terlihat jelas bahwa mereka tengah membicarakanku.
“Dua hari yang lalu gue enggak sengaja numpahin air ke lukisannya, dan dia enggak marah. Sampai dia meninggal sekarang, gue masih enggak enak sama Viona.” Ujar Arfin, ketua kelasku.
“Iya, dia enggak pernah marah dan enggak pernah tersinggung meskipun gue kalau bercanda sering kelewatan batas.” Iwan menambahkan. Iwan termasuk orang yang konyolnya the best di kelasku. Dia hobi membuat orang tertawa.

“Iya, Viona enggak seperti gadis-gadis lain yang kalau diganggu sedikit langsung marah atau nangis. Dia enggak pernah menganggap kita mengganggunya, dia justru nerima kita dan menghargai kita.” Mendadak aku begitu terharu mendengar kejujuran Zakiy. Zakiy adalah pengganggu dan pembohong paling handal di kelasku. Dia juga konyol. Dia sering membuat perempuan menangis karena ulahnya.
Aku memperhatikan tamu yang lain. Serombongan anak-anak popular di sekolahku juga hadir. Zayn, Firman, Davin, dan teman-temannya.
“Gue benar-benar merasa kehilangan. Viona emang bukan gebetan gue, atau apa. Tetapi, selama ini dia banyak bantuin gue, ngerjain tugas kesenian atau tugas lainnya.”
“Yaelah, Zayn. Kalau itu sih, lu ngerasa kehilangan karena lu takut enggak ada yang bantuin lu lagi.” Tanggap Firman.
“Gue Serius, Firman.” Ucap Zayn sambil menunduk.
“Zayn, tadi siang, kita masih duduk-duduk bareng dia, bro. sekarang, kita sudah kehilangan dia. Cepat banget. Tadi siang, lu dengar sendiri, kan? Gue baru saja cerita-cerita flashback sama Viona. Cinta pertama gue.” mata Davin berkaca-kaca. Davin adalah cinta pertamaku, dan aku adalah cinta pertamanya. Dan kami saling tahu, kami tak mudah untuk melupakan satu sama lain. Meski cinta kami sudah menguap sejak beberapa tahun yang lalu. Kami sudah melangkah masing-masing, tetapi kenangan akan tetap selalu ada. Tahun lalu Davin meminta kembali padaku, tetapi aku menolak karena aku telah mencintai pria lain. Dan beberapa bulan yang lalu pria itu mengkhianatiku, berpaling pada gadis lain yang merupakan temanku sendiri.

Ngomong-ngomong pria itu dimana?
Dia juga ada di sini ternyata, di sudut teras, duduk diam menunduk. Sendirian. Aku duduk di bangku kosong di sebelahnya. Aku memperhatikan wajahnya. Ya Tuhan, apa itu di pipinya? Apa ia menangis? Aku tak bisa melihat jelas, kedua tangannya menutupi wajahnya. Tangannya mulai bergerak dan ia menyeka kedua pipinya. Aku benar, dia menangis.
“Sayang? Masih bisakah aku memanggilmu sayang? Tak apa kan? Kau juga tak akan mungkin mampu mendengarku. Sayang, bukankah keadaannya bagus? Kau sudah memiliki yang lain sementara aku benar-benar pergi. Jadi, kau tak akan merasa kehilanganku sepenuhnya.” Ujarku, lirih.
“Maafkan aku, Viona.” Ucapnya.
Aku terperangah, apa ia mendengarku? Ah, tidak mungkin.
“Apa kau mendengarku, Farel?” ia bangun dari duduknya, dan melewatiku.
“Farel!!!” seruku.
Rombongan anak-anak yang dicap nakal di sekolah juga datang. Mereka tengah membicarakanku di parkiran. Mereka duduk di atas motor masing-masing.

Ada pria lain yang juga menyudutkan dirinya, Galang. Pria itu menyukaiku, setidaknya begitu yang orang-orang katakan. Tetapi, aku tak pernah menyadari hal itu. Aku dan Galang berteman, Galang membuatku benar-benat merasa nyaman saat bersamanya, bahkan orang yang aku cintai tak pernah memperlakukanku seperti itu. Aku tak pernah menyadari perasaan Galang padaku, karena tiap kali aku berbicara dan bercerita degannya ia tak pernah sedikitpun membahas tentang perasaan, tentang hati, tentang apapun itu, kami hanya membahas tentang film, foto, buku, makanan, hobi masing-masing, tentang mendaki, tentang menulis, bukan membahas sesuatu yang seperti cinta.
Aku baru menyadari perasaannya pada bulan lalu. Aku tahu ini sangat terlambat. Aku dan Galang sudah tak sedekat dulu, dan aku benci dengan kondisi ini. Aku berencana untuk mengembalikan keadaan, tetapi takdirku berkata lain.
Ia pasti terkejut mendengar kabar ini. Ia hanya diam di sudut, dan tak berbicara dengan siapapun. Ia bangkit, dan melangkah masuk. Hanya sampai di pintu, langkahnya terhenti, ia mengintip dari luar. Aku merasakan desahan nafasnya mulai tak teratur. Matanya lurus memandangi jasadku. Dan untuk kesekian kalinya aku terkejut lagi, Galang meneteskan airmatanya. Deras. Lebih deras dari yang dilakukan oleh Farel. Ia tak kuat berada di sana, dan langsung berbalik. Ia berlari ke arah mobilnya dan segera masuk. Aku masih mengikutinya. Ia menyandarkan kepalanya di atas setir mobil. Airmatanya berlinangan, tak juga dihapusnya. Tangisannya memecah keheningan yanga ada di dalam mobilnya sendiri. Aku tak tahu kalau ia akan sesedih ini. Aku menyentuh pundaknya. Kuhadapkan wajahku ke wajahnya.
“Galang, berhentilah. Kamu enggak harus merasa sesedih ini.” Ujarku. Malam itu kuhabiskan menangis bersama Galang di dalam mobilnya.

***

Aku menjelajah ke belahan bumi lainnya. Ke rumah Randy, salah seorang temanku yang pindah sekolah, ia di drop out karena tak mampu menyelasaikan tugas-tugasnya serta berkelakuan buruk. Entah bagaimana penilaian guru, bagiku kelakuan nakal Randy adalah kelakuan nakal sewajarnya anak SMA. Randy memutuskan untuk pindah kota.
Di dalam kamar yang bercat biru, ia duduk terdiam, merenung di ujung ranjangnya.
“Arrrgh, gila. Ini gila. Viona. Ini gila. Viona. Aaaarghhh..”
Ia menyebut-nyebut namaku. Apanya yang gila, Randy?
“Kemarin lu masih bisa balas chat gue, kemarin lu bilang lu bakal bisnis sama gue. Vi, gue mesti gimana. Enggak ada lagi yang ingetin gue shalat, ingetin gue supaya enggak nakal, enggak ada lagi yang bisa jadi pelampiasan gue kan Vi, cuma lu doang yang sabar dikata-katain sama gue, cuma lu doang yang nerima gue tulus sebagai teman lu, cuma lu doang yang mau jadi tempat bertumpahnya semua emosi gue, Vi. Ayolah, Vi, ini semua enggak benar, kan?”
Aku terperangah mendengar perkataannya. Randy memukul-mukul besi ranjangnya. Emosinya berkecamuk.
“Anjing banget hidup ini, bego ah Vi, kenapa mati sekarang!!! Arrghhhh!!!”
Kebiasaannya berbicara kasar belum juga hilang.
“Bego lu Vi, begoooo!!!”
Dia baringkan tubuhnya di atas ranjang, dan untuk pertama kalinya aku melihat ia menangis. Menangis sejadi-jadinya.
Aku menembus dinding, menjauh pergi.

Di sudut lainnya, sama saja. Vicky, teman lamaku, juga seperti Randy. Sejak 6 tahun yang lalu aku tak bertemu dengannya. Kami saling berjanji satu sama lain, suatu hari nanti akan bertemu, membuat pertemuan dan bercerita banyak hal, bercerita semuanya, semua hal yang kami lakukan selama 6 tahun tak bertemu, tetapi kekuatan takdir merusak semuanya.
Vicky memainkan ponselnya, aku melihatnya memperhatikan fotoku.
“Vi, bukannya kita udah janji, ya? Vi, kalau lu enggak bisa menepati enggak apa-apa kok, Vi. Biar gue aja sendiri yang nepati janji kita. Nanti gue datang ke kuburan elu ya, Vi. Tunggu gue di sana, ya. kita cerita-cerita di sana aja, ya. gimana, Vi?” Vicky melepas kacamatanya yang berembun, matanya berkaca-kaca. Ia menunduk, tenggelam dalam kesedihan yang disebabkan olehku.
Aku berlalu, tak tahan melihatnya menangis untukku.

***

Perkuburan itu ramai dipenuhi oleh mereka yang mengantar jenazahku. Setengahnya adalah keluargaku, dan setengahnya lagi adalah teman-temanku. Ah, bagaimana mungkin nanti, besok, dan selamanya aku tak bisa lagi bersama-sama dengan mereka.
The Brandalzzz adalah nama gengku. Dan aku adalah yang paling kurang brandal. Cecil, orang yang paling dekat denganku tengah berjongkok di ujung kuburanku. Diikuti oleh Fero, Tya, Natasha, dan Balqis. Mereka semua adalah The Brandalzzz. Ditambah dengan Ego, dan Aldo.
Tak ada yang bersuara, semuanya terdiam, menunduk dalam, fokus menatap jenazahku yang dikebumikan. Aku memejamkan mata, lambat laun aku tertiup angin, menjauh dari mereka semua. Bencinya lagi, aku bahkan tak bisa meneteskan airmata.

***

Suatu sore, aku merindukan diriku sendiri. Angin kembali membawaku ke perkuburanku sendiri. Tanpa diduga, aku bertemu dengan Farel, mengejutkannya lagi aku melihat Galang juga berada tak jauh dari nisanku. Ia menaburi tanah kuburku dengan bunga-bunga. Farel memandangi punggungnya, tak lama Galang menoleh. Ia balas menatap Farel.
“Farel, kenapa elu memutuskan berpisah dari Deva? Bukannya Deva lebih sempurna dari Viona?”
“Bukan urusan lu.” Deva adalah temanku yang berhasil membawa Farel dariku, tetapi rupanya ia sudah berpisah. Entah mengapa.
“Di benak Viona ada banyak tanda tanya tentang lu, gue sedih banget karena sampai dia meninggal gue belum bisa membantu dia menjawab pertanyaan-pertanyaan bodoh di benaknya, pertanyaan seperti kenapa Farel memilih untuk berpisah? Mengapa Farel berpaling pada Deva, temannya sendiri, mengapa Farel melakukan itu? Apa Deva lebih baik dari Viona? Dan masih banyak lagi pertanyaan di benak Viona yang belum lu jawab, karena Viona tahu, lu Cuma akan bungkam.”
“Lu serakah, lu egois, Farel. Lu sudah punya Viona yang begitu sempurnanya di mata gue, dan lu masih pengen Deva yang enggak kalah sempurna itu? Lu egois. Viona dan Deva itu temenan, akrab, tetapi elu enggak tahu, kan? Itu karena elu emang enggak care sama Viona. Lu enggak tahu seberapa baiknya Viona bersikap ke Deva, kan? Makanya luka yang lu beri ke Viona lebih dalam dari yang lu kira.”
“Bagaimana dengan lu sendiri Galang, apa lu enggak malu selalu cari perhatian sama milik orang lain?”
“Apa maksud lu? Ternyata gue belum bilang ke elu ya? Gue emang suka sama Viona, lu beruntung. Tetapi, Viona enggak pernah tahu hal itu, gue selalu menjaga pertemanan antara gue dan Viona. Gue enggak pernah membicarakan soal cinta sama Viona, elu yang terlalu jauh berpikir. Kenapa gue selalu jalan bareng Viona? Itu karena, kenapa elu selalu memilih teman-teman lu dibanding Viona. Lu sering membatalkan janji, padahal Viona sudah datang di tempat janjian kalian. Lu sering nolak ajakannya, bahkan perbedaan genre film saja lu enggak bisa mentoleransinya, kan? Viona nonton bareng gue, karena kesamaan genre film kesukaan kami, lu juga pernah kan nonton bareng temen lu? Jadi, wajar saja kan kalau Viona juga boleh pergi sama temannya? Lu enggak mikir.”
“Jadi, maksud elu gue yang salah?”
“Farel, lu enggak tahu seberapa irinya gue sama elu. Setiap gue jalan sama Viona, tiap gue cerita-cerita sama dia, dia selalu membicarakan elu, tentang betapa sayangnya dia sama elu, meskipun elu cuek tetapi Viona enggak akan milih orang lain, sampai dia meninggal sekarang ini. Apa lu enggak merasa bersalah?”
“Gue memutuskan Deva, karena gue merasa bersalah.”
“Lu terlambat. Kesalahanlu terlambat. Viona bilang sama gue dia sudah lega, lega melihat watak lu yang sebenarnya. Viona bilang ke gue banyak lelaki lain yang mencintainya dan lebih baik dari elu, tetapi Viona akan selalu memilih elu. Itulah kenapa dia kecewa ketika elu tiba-tiba memilih orang lain.”
“Jadi, menurut lu sekarang gue mesti gimana, Lang? mesti gimana?!!”
“Gue enggak tahu, Rel. Elu salah, fix! Dan percuma lu mau perbaiki semuanya, enggak ada gunanya, Rel.”
Galang melangkah pergi, tetapi dengan cepat Farel mencegahnya.
“Lang, makasih. Makasih untuk kehadiran lu dalam hidup Viona. Hal-hal yang enggak bisa gue beri ke Viona, bahkan kalau itu cuma sekedar waktu luang, dan lu selalu bisa ada di sana untuk Viona menggantikan gue, gue benar-benar terimakasih sama elo.”
Dan hal yang tak kubayangkan terjadi, mereka merangkul satu sama lain. Farel menangis di pundak Galang. Tetapi, aku tahu. Luka Galanglah yang paling dalam. Galanglah yang mungkin lebih merasa kehilangan aku.
Aku tersenyum lega, aku mungkin sudah tiada, tetapi aku tetap hidup di dalam hati kedua pria tersebut. Aku percaya, aku masih hidup di dalam hati Farel, apa lagi di dalam hati Galang. Mulailah hargai orang-orang yang mencintaimu, jangan sakiti mereka, karena sesungguhnya kau juga tak ingin disakiti oleh orang yang kau cinta. Logikanya seperti itu, kan? :)

THE END

Sumber gambar:

8 komentar:

  1. Mba Nina salam kenal ya dari aku :) rahma

    BalasHapus
  2. keren kakk !!! :)
    kalau boleh aku mau pake cerpen kk buat mading sekolahku :)

    BalasHapus
  3. Ceritanya mengharukan. Bisa berandai seperti itu, merasa kehilangan saat sudah pergi :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. kamu sendiri mungkin juga pernah berandai seperti itu :') bagaimana perasaan orang-orang di sekitar kita saat tahu kita sudah tiada, cerita ini berawal dari logikaku tentang dunia yang sementara, kemudian setelah dunia akan ada kehidupan yang lebih abadi :)

      Hapus