Tempo hari, saya
melihat seorang kakek dengan peluh di wajahnya tetapi tetap bersemangat
mendorong gerobak rujaknya. Meski jalan yang dilewatinya cukup sulit, kadang
menanjak kadang menurun. Menurunpun harus hati-hati menahan gerobaknya agar
tidak meluncur ke bawah, oleh karena itu biasanya mobil-mobil jadi mengantri di
belakang gerobaknya. Saya berdoa semoga para pengemudi itu memiliki hati yang
sabar. Bukan hal yang mudah membawa gerobak dengan jalan menanjak apa lagi
menurun.
Wajahnya sudah
renta sekali, mungkin seumuran kakek saya yang sudah hampir 80 tahun hidup di
bumi. Saya tidak ingin membayangkan jikalau kakek saya adalah kakek tua yang mendorong
gerobaknya itu, ya karena saya tidak bisa membayangkan makanya saya tidak ingin
membayangkannya.
Pikiran saya
menerawang, membayangkan kehidupan yang kini dijalani kakek saya. Kakek saya,
seorang pensiunan yang kalau tidak salah dulu karyawan pabrik atau apa, saya
lupa, hidup di rumah bersama nenek saya, rumah yang mereka beli dan memang
sudah direncakanan untuk ditempati untuk menikmati hari tua mereka.
Kakek saya tetap
menjalani kehidupannya sehari-hari. Hampir sebagian waktunya ia habiskan duduk di
sofa sambil menonton televisi dengan volume yang cukup keras karena telinganya
sudah mulai berkurang fungsinya. Lalu, senyumnya merekah begitu melihat cucunya
ini tiba dengan sebungkus kue sus coklat kesukaannya. Tak jarang cucunya ini
datang dengan basah kuyup akibat hujan dadakan. Tetapi, cucunya ini tetap
tersenyum lebar, ia ingin menyiratkan bahwa basah oleh hujan bukanlah masalah,
kecuali jika di tas cucunya ini membawa laptop. Tentu cucunya tidak
menceritakan perihal itu pada kakek. Meski, sang cucu terus memikirkan
laptopnya karena tadi hujan tiba-tiba deras ketika ia berada di tengah-tengah
pematang sawah, entah harus berteduh dimana.
Kakek saya suka
sekali makan kue sus coklat, bisa sekali makan langsung habis. Meski saya hanya
bisa membawakan itu untuknya, tetapi ada kebahagiaan yang bergetar ketika orang
lain bahagia dengan yang kita lakukan untuknya.
Hal yang perlu
saya jaga sekarang adalah, tetap menjaga kehidupan keturunan kakek saya agar
tetap berusaha menjalani hidup yang menyenangkan dan berarti bagi orang lain.
Sebuah caption mengatakan do what you
love and love what you do. Problem saya sepertinya tidak bersembunyi di
antara kalimat itu, tetapi saya menjalani sesuatu yang saya kurang senangi.
Saya berada di
sebuah jurusan kuliah, yang dimana jurusan itu adalah pilihan ketiga saya. Kadang
saya punya prinsip bahwa kita mesti bertanggungjawab dengan segala pilihan
kita. Tetapi, kadang ketika sudah dijalani, ini berbeda dengan ekspetasi kita.
Saya tidak ingin menjual pengorbanan ayah saya yang bahagia bukan main ketika beliau membukakan
hasil tes seleksi perguruan tinggi tingkat nasional milik saya. Jadi, yang
kasih tahu saya lolos adalah ayah saya.
Saya tidak ingin
mempercayai hasil itu mengingat ketika mengerjakan soal saya kehabisan waktu,
tidak sempat mengecek ulang jawaban, bahkan untuk soal matematika, tak ada
satupun yang saya selesaikan. Matematika buat saya adalah suatu momok yang
menyebalkan, tetapi saya selalu dihinggapi rasa “wah” kita menadapati seseorang
matematikanya begitu dahsyat. Itulah mengapa saya selalu jatuh hati dengan ayah
saya.
Ayah saya
kemudian menghubungi saya bahwa katanya beliau akan terbang ke sini
mengantarkan dokumen-dokumen kepentingan registrasi ulang saya. Bagaimana
mungkin saya menjual apa yang sudah beliau lakukan bahkan di tengah-tengah
kesibukan pekerjaan beliau?
Bagaimana bisa
pula saya menjual peluk, kecup, dan air mata di wajah kakek saya begitu saya
tiba di rumahnya waktu itu. Saya pun menyadari bahwa suatu keberhasilan tidak
sesederhana itu, jika melihat berapa banyak orang yang turut berbahagia dengan
apa yang kita dapatkan.
Saya tidak ingin
menjual kebahagiaan mereka. Mungkin untuk sekarang, saya masih memegang teguh prinsip
saya, yakni bertanggungjawab dengan segala yang saya pilih dalam hidup saya.
Toh, mengapa saya harus menjual itu semua jika mereka akan selalu mendukung
saya. Apa dukungan mereka kurang cukup menjadi alasan saya untuk bertahan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar