03/03/17

[All About Life] : Pengorbanan yang Tak Layak Jual



Tempo hari, saya melihat seorang kakek dengan peluh di wajahnya tetapi tetap bersemangat mendorong gerobak rujaknya. Meski jalan yang dilewatinya cukup sulit, kadang menanjak kadang menurun. Menurunpun harus hati-hati menahan gerobaknya agar tidak meluncur ke bawah, oleh karena itu biasanya mobil-mobil jadi mengantri di belakang gerobaknya. Saya berdoa semoga para pengemudi itu memiliki hati yang sabar. Bukan hal yang mudah membawa gerobak dengan jalan menanjak apa lagi menurun.

Wajahnya sudah renta sekali, mungkin seumuran kakek saya yang sudah hampir 80 tahun hidup di bumi. Saya tidak ingin membayangkan jikalau kakek saya adalah kakek tua yang mendorong gerobaknya itu, ya karena saya tidak bisa membayangkan makanya saya tidak ingin membayangkannya.

Pikiran saya menerawang, membayangkan kehidupan yang kini dijalani kakek saya. Kakek saya, seorang pensiunan yang kalau tidak salah dulu karyawan pabrik atau apa, saya lupa, hidup di rumah bersama nenek saya, rumah yang mereka beli dan memang sudah direncakanan untuk ditempati untuk menikmati hari tua mereka.

Kakek saya tetap menjalani kehidupannya sehari-hari. Hampir sebagian waktunya ia habiskan duduk di sofa sambil menonton televisi dengan volume yang cukup keras karena telinganya sudah mulai berkurang fungsinya. Lalu, senyumnya merekah begitu melihat cucunya ini tiba dengan sebungkus kue sus coklat kesukaannya. Tak jarang cucunya ini datang dengan basah kuyup akibat hujan dadakan. Tetapi, cucunya ini tetap tersenyum lebar, ia ingin menyiratkan bahwa basah oleh hujan bukanlah masalah, kecuali jika di tas cucunya ini membawa laptop. Tentu cucunya tidak menceritakan perihal itu pada kakek. Meski, sang cucu terus memikirkan laptopnya karena tadi hujan tiba-tiba deras ketika ia berada di tengah-tengah pematang sawah, entah harus berteduh dimana.

Kakek saya suka sekali makan kue sus coklat, bisa sekali makan langsung habis. Meski saya hanya bisa membawakan itu untuknya, tetapi ada kebahagiaan yang bergetar ketika orang lain bahagia dengan yang kita lakukan untuknya.

Hal yang perlu saya jaga sekarang adalah, tetap menjaga kehidupan keturunan kakek saya agar tetap berusaha menjalani hidup yang menyenangkan dan berarti bagi orang lain. Sebuah caption mengatakan do what you love and love what you do. Problem saya sepertinya tidak bersembunyi di antara kalimat itu, tetapi saya menjalani sesuatu yang saya kurang senangi.

Saya berada di sebuah jurusan kuliah, yang dimana jurusan itu adalah pilihan ketiga saya. Kadang saya punya prinsip bahwa kita mesti bertanggungjawab dengan segala pilihan kita. Tetapi, kadang ketika sudah dijalani, ini berbeda dengan ekspetasi kita. Saya tidak ingin menjual pengorbanan ayah saya yang  bahagia bukan main ketika beliau membukakan hasil tes seleksi perguruan tinggi tingkat nasional milik saya. Jadi, yang kasih tahu saya lolos adalah ayah saya.

Saya tidak ingin mempercayai hasil itu mengingat ketika mengerjakan soal saya kehabisan waktu, tidak sempat mengecek ulang jawaban, bahkan untuk soal matematika, tak ada satupun yang saya selesaikan. Matematika buat saya adalah suatu momok yang menyebalkan, tetapi saya selalu dihinggapi rasa “wah” kita menadapati seseorang matematikanya begitu dahsyat. Itulah mengapa saya selalu jatuh hati dengan ayah saya.

Ayah saya kemudian menghubungi saya bahwa katanya beliau akan terbang ke sini mengantarkan dokumen-dokumen kepentingan registrasi ulang saya. Bagaimana mungkin saya menjual apa yang sudah beliau lakukan bahkan di tengah-tengah kesibukan pekerjaan beliau?

Bagaimana bisa pula saya menjual peluk, kecup, dan air mata di wajah kakek saya begitu saya tiba di rumahnya waktu itu. Saya pun menyadari bahwa suatu keberhasilan tidak sesederhana itu, jika melihat berapa banyak orang yang turut berbahagia dengan apa yang kita dapatkan.

Saya tidak ingin menjual kebahagiaan mereka. Mungkin untuk sekarang, saya masih memegang teguh prinsip saya, yakni bertanggungjawab dengan segala yang saya pilih dalam hidup saya. Toh, mengapa saya harus menjual itu semua jika mereka akan selalu mendukung saya. Apa dukungan mereka kurang cukup menjadi alasan saya untuk bertahan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar