04/11/17

Menantang Diri Sendiri



Menulis cerita ini bukan berarti merasa unggul dari yang lain, menulis cerita untuk berbagi. Berbagi cerita tentang keluar dari zona nyaman adalah apa yang saya ingin bagi kepada para pembaca budiman. Tentang sebuah cerita seorang anak manja yang tidak tahu apa-apa, hanya tahu cara bersenang-senang atau bersedih untuk sesuatu yang tak begitu penting. Tentang sebuah cerita seorang anak manja yang banyak diberi kebebasan, tak dikekang hidupnya, bahkan dibiarkan untuk memilih, sampai suatu hari ia berani mengambil keputusan untuk merantau, meninggalkan tempat tidurnya, kamarnya, rumahnya, orangtuanya, teman-temannya, untuk hidup yang baru, untuk menyerukan mimpi-mimpinya, menggantungkannya di langit-langit dunia. Ia hanya tahu cara menggantungkannya saja, ia belum tahu cara melesatkannya ke udara, ke langit, ke angkasa, untuk dilihat oleh semesta.

Ini tentang seorang anak yang ambisinya biasa saja, hanya sok tahu dan menantang diri sendiri untuk pergi dari rumah untuk mengejar sederetan mimpinya. Terkadang ia berpikir, ini mimpi atau hanya deretan tuntutan hidup yang harus dijalaninya?

Ini tentang seorang anak yang yakin pada Tuhannya. Ia percaya, kuasa Tuhan bisa menggerakkan apapun. Maka dari itu, percuma sudah segala usaha bila tiada kau berdoa merayu Tuhanmu itu, begitu katanya.

Tahun pertama di kehidupannya yang baru, ia mengalami kegagalan berkali-kali. Belum lagi pada tahun yang sama beberapa hal di dalam hati perlu dibenahi. Belum lagi banyak hal yang harus diadaptasi. Belum lagi ia memikirkan tiada siapapun di sini. Belum lagi ia masih bersedih atas rindu yang sulit dikendali. Dan banyak sekali hal yang belum usai, ia pikir begitu.

Pada masa sekolah, anak itu adalah anak yang biasa saja. Ia menjalani kehidupan normal. Angkat tangan di kelas demi memburu rangking, join gank agar terlihat keren ketika masuk di kantin dengan rombongan, join organisasi agar dirinya dipandang, berteman dengan kakak kelas agar tak diremehkan, cukup jutek pada adik kelas karena malas berurusan. Sehari-hari berangkat ke sekolah selalu ingin pagi-pagi supaya ketemu doi yang rajin masuk pagi, oh salah, selalu ingin pagi-pagi supaya tidak telat karena kalau telat kena poin pelanggaran. Ya, anak ini perfeksionis. Ia tidak mau mempunyai catatan kriminal sekecil apapun. Padahal itu bukan masalah besar. Ia tak mau membuat harga dirinya tercoreng sedikitpun. Maka ketika seorang pria berhasil menumpahkan air matanya, betapa geramnya ia. Berani-beraninya ia menangis untuk seseorang yang melihat dirinya saja muak. Sebuah pelajaran yang didapatinya bahwa ia hanya perlu melihat mereka yang ingin melihatnya, bukan mengabaikannya. Hidup timpang sekali jika begitu, itu yang dirasakannya. Setelah semua ini berlalu, ia menyadari bahwa hidupnya tak lepas dari banyak drama murahan yang kini memualkannya.

Selama 18 tahun ia hidup, tak pernah lepas dari mata kedua orangtuanya. Diantara empat bersaudara, ia satu-satunya yang mencatat sejarah sebagai anak yang tak pernah hidup di asrama atau pesantren. Kini, ia menantang dirinya sendiri untuk berbagi tempat tidur, kamar, rumah, dan apa-apanya dengan orang lain. Berat bagi dirinya, tapi bukankah ini adalah pelajaran paling dasar? Tentang hidup bersama orang lain. Toh, suatu saat ia benar-benar lepas dari orangtuanya dan tinggal seatap dengan “orang lain”.

Anak itu tidak tahu soal memasak. Yang ia hanya tahu cara memasak air, nasi, mie. Lalu menggoreng tahu, tempe, atau telor. Selain itu, ia juga hanya tahu memasak sayur kangkung atau oseng-oseng kacang panjang. Makanya dia senang sekali makan kacang panjang. Keterlaluannya, ia tidak tahu masak nasi goreng, adiknyalah yang mengajarinya, karena adiknya lebih dulu meninggalkan zona nyaman. Setelah ia memutuskan keluar dari zona nyamannya, ia berada di situasi yang membuatnya harus bisa memasak. Awalnya ia masak asal-asalan. Namun, makin lama ia makin banyak tahu tentang bumbu-bumbu dapur. Terkadang dibantu google, ia memasak. Lega, meskipun terkadang ia merasa gagal, tetap saja masakannya habis dimakan. Situasi di tempatnya yang baru juga membuatnya harus berurusan dengan kerumahtanggaan. Jika dilihat lembar hidupnya yang lalu, kerjaannya hanya sekolah, pulang, makan, tidur, ngerjain PR. Ya, gitu-gitu saja. Pulang sekolah tidak langsung pulang, nongkrong ke McD yang sudah seperti rumah kedua, atau ngemall, pokoknya cari tempat untuk makan siang. Jika ia langsung pulang, ia hanya akan mendapati rumahnya yang kosong, ia tidak terlalu suka nonton televisi. Kadang jika ia langsung pulang, rumahnya terkunci, atau meja makannya kosong. Siklusnya hanya begitu. Ia mengerjakan PR nya tengah malam, sebelumnya ia akan tidur dulu. Bangun, lalu menyeduh kopi. Kini, kopi hanya kenangan untuknya. Ia sudah tak bisa minum kopi setelah kejadian pada suatu malam. Di situasi yang baru ini, ia akhirnya punya rutinitas yang berbeda, situasi ini membuatnya untuk menyapu, mengepel, menyapu sawang di langit-langit ruangan yang tinggi, membersikan atap dari dedaunan, menyapu halaman, mencuci karpet, bahkan menyikat kamar mandi, serta mengikat para kantong sampah yang baunya bukan main.

Anak itu bodoh soal mencuci pakaian. Ia tidak tahu penggunaan mesin cuci. Padahal gampangnya bukan main. Jadilah, kakeknya mengajarinya. Adiknya juga mengajarinya. Dulu, di rumahnya, memang ada mesin cuci, ada juga bibi yang bantu-bantu. Jadi, dia sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan cucian kecuali angkat jemuran, itupun kalau disuruh atau tiba-tiba hujan. Namun, setelah ia keluar dari zona nyaman itulah akhirnya ia bisa menggunakan mesin cuci bahkan mencuci baju dengan tangannya sendiri. Awalnya, sangat luar biasa. Jari-jarinya lecet sampai berdarah, bukan hanya jari-jari tangan, tetapi juga jari-jari kakinya karena ia jarang berlama-lama terkena air kotor saat mencuci. Ia berusaha menikmati penderitaan itu, meskipun memang perih.

Anak itu tidak tahu-menahu soal transfer atau ambil uang di ATM. Selama ini untuk belanja secara online, ia dengan santai meminta tolong pada bapaknya untuk transfer. Setelah ia pergi dari rumah, ia dibekali kartu ATM sendiri. Ia mengatur pengeluarannya sendiri. Makin rajin juga ia belanja online karena kini sudah mahir transfer. Bukan main lincahnya. Tetapi, anak itu bukan anak yang akan membiarkan dirinya jatuh pada titik tidak punya uang. Ia menggunakan prinsip untuk keuangannya. Ia akan berhenti menarik uang pada batas tertentu. Sehingga, ATM nya tidak pernah kosong, karena uangnya tertabung. Entah tertabung untuk apa juga ia tak mengerti. Mungkin untuk kebutuhan mendadak atau untuk mengikuti nafsunya terhadap buku yang sulit ia kendalikan itu. Anak-anak yang lain mungkin menabung untuk membeli keluaran ponsel terbaru, tetapi dia sama sekali tak tertarik.

Anak itu tadinya apa-apa dibelikan oleh orangtuanya.  Sekarang, setelah ia hidup jauh dari orangtuanya ia sendirilah yang membelikan apa-apa untuk dirinya. Mulai dari memilih sendiri baju dan sepatu yang mau dipakainya hingga memikirkan juga budget yang diperlukan untuk membeli itu semua. Ia harus mengolah uangnya sendiri.

Anak itu dari dulu memang senang berkomunitas. Menurutnya, membuat jaringan pertemanan itu sangat penting. Benar-benar penting. Bukan hanya itu, berbicara dengan orang-orang yang lebih senior di dalam suatu komunitas ternyata begitu menyenangkan, begitu membuatnya menyadari bahwa banyak sekali hal yang tak ia pahami.

Anak itu menjelajahi banyak tempat. Orang-orang di luar sana mungkin diantaranya berpikir anak ini punya pemasukan yang besar, anak ini punya banyak waktu, anak ini hanya bersenang-senang. Kenyataannya tak seperti begitu-begitu amat. Ia hanya seorang anak dengan simpanan uang yang cukup untuk membawanya pergi, menggunakan sela-sela waktu sibuknya yang kosong, dan menjelajahi bukan sekedar menjelajah. Anak itu pernah pergi ke Tana Toraja untuk study tour, ke Bukittinggi untuk sebuah acara nasional, ke Malang untuk mengenal HMJ di sebuah universitas di sana, ke Surabaya karena lolos olimpiade, ke Bandung karena neneknya tinggal di sana, ke Bogor karena ia menengok rumahnya yang di sana, ke Makassar karena bapaknya ditugaskan di sana, atau ke Palu karena pekerjaan bapaknya.

Anak itu mulai banyak melakukan bepergian sendirian. Ia mendapati pelajaran bahwa kesepian itu memang sesuatu yang menyedihkan, tetapi ada saatnya memang kita hanya ingin sendirian, tanpa diganggu, dan itu sangat menenangkan.

Anak itu mulai memperbanyak koleksi bukunya dibandingkan tiket bioskopnya. Kini, untuk menonton di bioskop ia akan memikirkan berkali-kali, namun jika buku, ia hanya memikirkan satu kali. Keluar dari zona nyaman telah merubah pola pikirnya.

Setiap orang punya cerita masing-masing, punya rencana masing-masing, dan punya takdir masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar