Menulis cerita
ini bukan berarti merasa unggul dari yang lain, menulis cerita untuk berbagi. Berbagi
cerita tentang keluar dari zona nyaman adalah apa yang saya ingin bagi kepada
para pembaca budiman. Tentang sebuah cerita seorang anak manja yang tidak tahu
apa-apa, hanya tahu cara bersenang-senang atau bersedih untuk sesuatu yang tak
begitu penting. Tentang sebuah cerita seorang anak manja yang banyak diberi
kebebasan, tak dikekang hidupnya, bahkan dibiarkan untuk memilih, sampai suatu
hari ia berani mengambil keputusan untuk merantau, meninggalkan tempat
tidurnya, kamarnya, rumahnya, orangtuanya, teman-temannya, untuk hidup yang
baru, untuk menyerukan mimpi-mimpinya, menggantungkannya di langit-langit
dunia. Ia hanya tahu cara menggantungkannya saja, ia belum tahu cara
melesatkannya ke udara, ke langit, ke angkasa, untuk dilihat oleh semesta.
Ini tentang seorang
anak yang ambisinya biasa saja, hanya sok tahu dan menantang diri sendiri untuk
pergi dari rumah untuk mengejar sederetan mimpinya. Terkadang ia berpikir, ini
mimpi atau hanya deretan tuntutan hidup yang harus dijalaninya?
Ini tentang
seorang anak yang yakin pada Tuhannya. Ia percaya, kuasa Tuhan bisa
menggerakkan apapun. Maka dari itu, percuma sudah segala usaha bila tiada kau
berdoa merayu Tuhanmu itu, begitu katanya.
Tahun pertama di
kehidupannya yang baru, ia mengalami kegagalan berkali-kali. Belum lagi pada
tahun yang sama beberapa hal di dalam hati perlu dibenahi. Belum lagi banyak
hal yang harus diadaptasi. Belum lagi ia memikirkan tiada siapapun di sini. Belum
lagi ia masih bersedih atas rindu yang sulit dikendali. Dan banyak sekali hal
yang belum usai, ia pikir begitu.
Pada masa
sekolah, anak itu adalah anak yang biasa saja. Ia menjalani kehidupan normal. Angkat
tangan di kelas demi memburu rangking, join gank
agar terlihat keren ketika masuk di kantin dengan rombongan, join
organisasi agar dirinya dipandang, berteman dengan kakak kelas agar tak
diremehkan, cukup jutek pada adik kelas karena malas berurusan. Sehari-hari
berangkat ke sekolah selalu ingin pagi-pagi supaya ketemu doi yang rajin masuk
pagi, oh salah, selalu ingin pagi-pagi supaya tidak telat karena kalau telat
kena poin pelanggaran. Ya, anak ini perfeksionis. Ia tidak mau mempunyai
catatan kriminal sekecil apapun. Padahal itu bukan masalah besar. Ia tak mau
membuat harga dirinya tercoreng sedikitpun. Maka ketika seorang pria berhasil
menumpahkan air matanya, betapa geramnya ia. Berani-beraninya ia menangis untuk
seseorang yang melihat dirinya saja muak. Sebuah pelajaran yang didapatinya
bahwa ia hanya perlu melihat mereka yang ingin melihatnya, bukan
mengabaikannya. Hidup timpang sekali jika begitu, itu yang dirasakannya. Setelah
semua ini berlalu, ia menyadari bahwa hidupnya tak lepas dari banyak drama
murahan yang kini memualkannya.
Selama 18 tahun
ia hidup, tak pernah lepas dari mata kedua orangtuanya. Diantara empat bersaudara,
ia satu-satunya yang mencatat sejarah sebagai anak yang tak pernah hidup di
asrama atau pesantren. Kini, ia menantang dirinya sendiri untuk berbagi tempat
tidur, kamar, rumah, dan apa-apanya dengan orang lain. Berat bagi dirinya, tapi
bukankah ini adalah pelajaran paling dasar? Tentang hidup bersama orang lain. Toh,
suatu saat ia benar-benar lepas dari orangtuanya dan tinggal seatap dengan “orang
lain”.
Anak itu tidak
tahu soal memasak. Yang ia hanya tahu cara memasak air, nasi, mie. Lalu menggoreng
tahu, tempe, atau telor. Selain itu, ia juga hanya tahu memasak sayur kangkung
atau oseng-oseng kacang panjang. Makanya dia senang sekali makan kacang
panjang. Keterlaluannya, ia tidak tahu masak nasi goreng, adiknyalah yang
mengajarinya, karena adiknya lebih dulu meninggalkan zona nyaman. Setelah ia
memutuskan keluar dari zona nyamannya, ia berada di situasi yang membuatnya
harus bisa memasak. Awalnya ia masak asal-asalan. Namun, makin lama ia makin
banyak tahu tentang bumbu-bumbu dapur. Terkadang dibantu google, ia memasak. Lega,
meskipun terkadang ia merasa gagal, tetap saja masakannya habis dimakan. Situasi
di tempatnya yang baru juga membuatnya harus berurusan dengan kerumahtanggaan. Jika
dilihat lembar hidupnya yang lalu, kerjaannya hanya sekolah, pulang, makan,
tidur, ngerjain PR. Ya, gitu-gitu saja. Pulang sekolah tidak langsung pulang,
nongkrong ke McD yang sudah seperti rumah kedua, atau ngemall, pokoknya cari
tempat untuk makan siang. Jika ia langsung pulang, ia hanya akan mendapati
rumahnya yang kosong, ia tidak terlalu suka nonton televisi. Kadang jika ia
langsung pulang, rumahnya terkunci, atau meja makannya kosong. Siklusnya hanya
begitu. Ia mengerjakan PR nya tengah malam, sebelumnya ia akan tidur dulu. Bangun,
lalu menyeduh kopi. Kini, kopi hanya kenangan untuknya. Ia sudah tak bisa minum
kopi setelah kejadian pada suatu malam. Di situasi yang baru ini, ia akhirnya
punya rutinitas yang berbeda, situasi ini membuatnya untuk menyapu, mengepel,
menyapu sawang di langit-langit ruangan yang tinggi, membersikan atap dari
dedaunan, menyapu halaman, mencuci karpet, bahkan menyikat kamar mandi, serta
mengikat para kantong sampah yang baunya bukan main.
Anak itu bodoh
soal mencuci pakaian. Ia tidak tahu penggunaan mesin cuci. Padahal gampangnya
bukan main. Jadilah, kakeknya mengajarinya. Adiknya juga mengajarinya. Dulu, di
rumahnya, memang ada mesin cuci, ada juga bibi yang bantu-bantu. Jadi, dia sama
sekali tidak pernah bersentuhan dengan cucian kecuali angkat jemuran, itupun
kalau disuruh atau tiba-tiba hujan. Namun, setelah ia keluar dari zona nyaman
itulah akhirnya ia bisa menggunakan mesin cuci bahkan mencuci baju dengan
tangannya sendiri. Awalnya, sangat luar biasa. Jari-jarinya lecet sampai
berdarah, bukan hanya jari-jari tangan, tetapi juga jari-jari kakinya karena ia
jarang berlama-lama terkena air kotor saat mencuci. Ia berusaha menikmati
penderitaan itu, meskipun memang perih.
Anak itu tidak
tahu-menahu soal transfer atau ambil uang di ATM. Selama ini untuk belanja
secara online, ia dengan santai meminta tolong pada bapaknya untuk transfer. Setelah
ia pergi dari rumah, ia dibekali kartu ATM sendiri. Ia mengatur pengeluarannya
sendiri. Makin rajin juga ia belanja online karena kini sudah mahir transfer. Bukan
main lincahnya. Tetapi, anak itu bukan anak yang akan membiarkan dirinya jatuh
pada titik tidak punya uang. Ia menggunakan prinsip untuk keuangannya. Ia akan
berhenti menarik uang pada batas tertentu. Sehingga, ATM nya tidak pernah
kosong, karena uangnya tertabung. Entah tertabung untuk apa juga ia tak
mengerti. Mungkin untuk kebutuhan mendadak atau untuk mengikuti nafsunya
terhadap buku yang sulit ia kendalikan itu. Anak-anak yang lain mungkin
menabung untuk membeli keluaran ponsel terbaru, tetapi dia sama sekali tak
tertarik.
Anak itu tadinya
apa-apa dibelikan oleh orangtuanya. Sekarang,
setelah ia hidup jauh dari orangtuanya ia sendirilah yang membelikan apa-apa
untuk dirinya. Mulai dari memilih sendiri baju dan sepatu yang mau dipakainya
hingga memikirkan juga budget yang diperlukan untuk membeli itu semua. Ia harus
mengolah uangnya sendiri.
Anak itu dari
dulu memang senang berkomunitas. Menurutnya, membuat jaringan pertemanan itu
sangat penting. Benar-benar penting. Bukan hanya itu, berbicara dengan orang-orang
yang lebih senior di dalam suatu komunitas ternyata begitu menyenangkan, begitu
membuatnya menyadari bahwa banyak sekali hal yang tak ia pahami.
Anak itu
menjelajahi banyak tempat. Orang-orang di luar sana mungkin diantaranya
berpikir anak ini punya pemasukan yang besar, anak ini punya banyak waktu, anak
ini hanya bersenang-senang. Kenyataannya tak seperti begitu-begitu amat. Ia hanya
seorang anak dengan simpanan uang yang cukup untuk membawanya pergi,
menggunakan sela-sela waktu sibuknya yang kosong, dan menjelajahi bukan sekedar
menjelajah. Anak itu pernah pergi ke Tana Toraja untuk study tour, ke Bukittinggi untuk sebuah acara nasional, ke Malang
untuk mengenal HMJ di sebuah universitas di sana, ke Surabaya karena lolos
olimpiade, ke Bandung karena neneknya tinggal di sana, ke Bogor karena ia
menengok rumahnya yang di sana, ke Makassar karena bapaknya ditugaskan di sana,
atau ke Palu karena pekerjaan bapaknya.
Anak itu mulai
banyak melakukan bepergian sendirian. Ia mendapati pelajaran bahwa kesepian itu
memang sesuatu yang menyedihkan, tetapi ada saatnya memang kita hanya ingin
sendirian, tanpa diganggu, dan itu sangat menenangkan.
Anak itu mulai
memperbanyak koleksi bukunya dibandingkan tiket bioskopnya. Kini, untuk
menonton di bioskop ia akan memikirkan berkali-kali, namun jika buku, ia hanya
memikirkan satu kali. Keluar dari zona nyaman telah merubah pola pikirnya.
Setiap orang
punya cerita masing-masing, punya rencana masing-masing, dan punya takdir
masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar