24/12/18

'a Different Broken Heart'


Desember selalu saja punya cerita sendiri dan seolah memang datang untuk menabur kisah demi kisah yang mengecewakan bagi kita yang mungkin belum lapang hatinya dalam menerima hal-hal kecil yang menyakitkan dalam hidup kita.

Desember kali ini datang membawa sebuah kesadaran dan pelajaran berharga dari hadirnya krisis dalam suatu rasa. Tidak tahu pasti namanya apa, tetapi sebegitu menyakitkannya manakala kita mengetahui bahwa kita bukanlah bagian dari orang-orang yang dipercaya oleh teman kita sendiri, sahabat kita sendiri.

Dia datang dengan segala kebaikan hatinya, membuat kita nyaman sepenuhnya, sampai kita berpikir dialah soulmate kita. Banyak sekali kemiripan diantara kita, utamanya hal-hal dan suasana yang kita sama-sama suka, terlebih orang lain berkata tidak untuk hal-hal tersebut hingga membuat kita merasa bahwa kita berjodoh dengannya karena sama-sama menyenangi hal-hal dan suasana yang mungkin orang lain asing terhadapnya.

Lalu dia pergi, meninggalkan kesan bahwa ia lebih ingin kita abaikan.

Saat itu, saya memahami begitu berharganya perasaan untuk dipercaya, dihargai, dihormati, hingga dicintai.

Kepercayaan seolah melebihi banyak hal. Kau tahu apa yang membuat  seseorang bisa menyerahkan segalanya untukmu? Karena mungkin semua hanya didasari oleh satu hal, kepercayaan yang menggebu-gebu pada dirimu.

Misal, dia percaya bahwa kau setulus hati mencintainya, untuk itu dia rela menunggumu tak peduli berapapun lamanya, dia rela membuang seluruh waktunya hanya untuk menunggumu yang ia yakini akan pulang.

Back to December Again


Hari ini saya baru kembali menulis setelah selama Desember digandrungi berbagai macam pekerjaan yang sampai sekarang pun tidak kelar-kelar. Sekarang saya sedang menulis ditemani rasa sakit di kepala saya, meriang di tubuh saya, mampet di hidung saya, berat di tenggorokan saya.

Saya baru saja pulang dari kafe Antologi usai rapat dengan divisi kreasi untuk penyelenggaraan festival kami di bulan Januari mendatang, saya ijin pamit pulang duluan karena tidak kuat dengan AC di kafe tersebut dengan tubuh saya yang sedang meriang dan kepala seperti dibentur-benturkan ke tembok. Karena sudah malam, saya tidak sadar kalau hujannya cukup deras, waktu saya sudah sadar barulah saya menepi dan membuat saya terpaksa menggunakan jas hujan. Saya mampir dulu membeli makan malam, seperti biasa membeli sebungkus nasi dengan cumi rica-rica kesukaan saya ditambah ada sayur sawi di dalamnya.

Pagi tadi juga saya baru pulang dari Magelang. Hampir-hampir saya jatuh di sungai karena saya salah focus melihat seorang anak perempuan yang masih kecil sendirian ketiduran saat sedang menjaga dagangan buah-buahannya di dekat jembatan. Lalu saya menyesal karena telah bingung membuat rencana liburan sebab tidak kemana-mana, lihat Nin, lihat anak perempuan itu betapa boringnya hari-harinya sampai ia ketiduran saat menjaga dagangannya! Kamu sendiri tidak perlu bersusah-susah seperti itu untuk makan, tidak sampai ketiduran di pinggir jalan! Pakai liburan kamu buat belajar toefl sana! Sadar diri sudah mau proposal, KKN, Skripsi, Wisuda! Sadar diri dari sekarang!

Waktu berangkat ke sana macet, biasa long weekend. Hanya semalam saja memang di sana. Begitulah kehidupan saya. Saya hanya bertemu dengan orangtua saya sehari semalam saja, tetapi itu hampir tiap bulan.  Lewat video call, Ibu saya bilang bahwa pasti Ayah saya bahagia bertemu dengan kalian, saya jawab biasa saja sepertinya, mukanya biasa saja soalnya. Mendengar hal itu Ayah saya senyum-senyum seraya berkata, “Ya, emang harus gimana?” Iya juga sih, saya juga bingung kalau saya jadi Ayah saya kudu gimana menunjukkan rasa bahagianya. As usually, entah kenapa sudah menjadi tradisi keluarga saya, kalau ada salah satu anggota yang baru datang yang lainnya ngumpet atau pura-pura tidur. Waktu saya tiba di rumah Magelang, Ayah dan adik saya lagi mojok di ruang tamu, ngumpet. Saya selalu masuk lewat pintu belakang. Ketawa-ketawalah kami waktu saya berhasil menemukan mereka.

Pagi tadi juga saya sangat terpukul nonton berita di TV, bagaimana tidak, Indonesiaku kembali dihantam musibah, setelah sebelumnya tsunami dan gempa di Palu, jatuhnya pesawat, dan musibah-musibah sebelumnya. Meski begitu, kata Ibu saya, di Palu usai bencana masih ada saja yang berani jalan-jalan ke mall, foya-foya dan lain sebagainya, kata Ibu saya, bagaimana bisa mereka masih bisa melakukan itu semua setelah apa yang telah terjadi di sini?

30/11/18

Sebuah Opini Terhadap Penghafal Al-Qur'an


“Mbakmu penghafal Al-Quran, ya? Kok jilbabnya kecil?” tanya seorang bocah SMP pada temannya yang memiliki kakak perempuan seorang hafidhoh yang kebetulan adalah teman saya.

“Benar-benar ya anak SMP tuh suka ngejudge. Omaygat. Style kan nggak menjamin semuanya. Anak-anak SMP yang sangat menggemaskan.” Ujar teman saya menanggapi celotehan dari teman-teman adiknya itu.

Kisah tersebut merupakan curhatan hati seorang teman yang sedang dalam proses menghafal Al-Qur’an meskipun ia telah selesai menyetorkan 30 juz. Mengapa saya menyebutnya masih sedang dalam proses? Karena sampai kapanpun kita tidak akan pernah berhenti untuk menghafalkan Al-Qur’an, untuk membacanya, mengkajinya, mengajarkannya, juga mengamalkannya. Apakah kiranya jika telah selesai menghafal 30 juz itu artinya sudah selesai perjuangannya? Justru di saat telah selesai itulah perjuangan yang lebih berat menanti para penghafal Al-Qur’an, perjuangan untuk tetap menjaga hafalan dalam hati dan ingatan mereka di tengah akhir zaman yang serba-serbi penuh finah, maksiat, dan hal-hal dosa dianggap biasa.

Begini, menanggapi penilaian bocah SMP tersebut, lalu bolehkah saya bertanya, apakah mereka-mereka yang jilbabnya besar adalah pejuang Al-Qur’an? Apakah mereka penghafal Al-Qur’an? Apakah benar mereka merutinitaskan Al-Qur’an dalam sehari-hari mereka? Apakah mereka memasang target bersama Al-Qur’an dalam hari-hari mereka? Mungkin memang benar mereka telah berhasil mengamalkan perintah dalam Al-Qur’an soal memakai jilbab lebar yang menutupi dada, tetapi soal hati dan pikiran, tidak ada satupun manusia yang mengetahuinya.

Jika pikiran semua orang sebagaimana pemikiran bocah SMP dalam cerita di atas, lantas bagaimana jika orang yang berjilbab kecil mendengar hal itu lalu mereka jadi berkecil hati untuk menghafal dan mendekatkan diri pada Al-Qur’an tatkala ada ocehan di antara kita yang seperti itu?


Di lain hal juga saya berterima kasih untuk segala pendapat yang datang. Hal ini mungkin bisa menjadi salah satu koreksi diri bagi para penghafal Al-Qur’an sendiri.
 

23/11/18

Tuhan Lebih Tahu


Setiap melihat bahagia mengiringi hidup manusia,

Berkata aku pada diriku,

“Kamu juga akan bahagia dengan cara yang sudah ditakdirkan untukmu,

dengan waktu yang sudah disesuaikan dengan waktu di dalam hidupmu,

karena Tuhan lebih tahu porsi kebahagiaan yang pantas untuk kamu miliki,

Karena Tuhanmu lebih tahu apa-apa yang terbaik untuk dirimu.”


//Yogyakarta, 22 November 2018//

Semoga Selalu Masih Ada Waktu


Waktu aku tiba di kamarnya,

“Niki sinten?”

Masih hening.

Beberapa waktu kemudian, kami masih menunggunya untuk mengingat-ingat aku.

“Nina.” Jawabnya.

Aku lega, namaku masih mampu diucapnya.

Tiba waktu pulang.

“Nina pamit dulu, ya. Mau berangkat kuliah.”

Tatapannya seperti kosong. Begitu lama untuk mencerna apa yang kubilang.

Tidak, bukan tatapannya kosong, barangkali bukan karena sulit dicerna kalimatku.

Barangkali ia sendiri sudah kesulitan merespon,

Barangkali air mataku bisa terjatuh jika masih dalam ruang itu,

Barangkali akan benar terjatuh beningku bila ingat kemarin kudapati wajahnya ambruk di meja kamarnya sendiri. Hampir saja, gelas dan piring di meja itu terjatuh. Ia bahkan tak bisa menolong dirinya sendiri untuk meminta bantuan pada kami.

Bangkit


Usai gempa dan tsunami yang melanda Donggala dan Palu, mengakibatkan kerugian harta benda serta berjatuhannya ribuan korban,

Rumah kami disulap menjadi kantor sebab kantor tempat ayah saya bekerja mengalami kerusakan,

Ruang tamu rumah dipenuhi printer dan alat perkatoran lainnya,

Teras rumah menjadi seperti pantry kantor dengan ditempatkannya dispenser dan lain sebagainya di sana,

Ruang  makan menjadi ruang kerja ayah saya, benar-benar lengkap dengan monitor, kalender dan segala yang tampak seperti biasanya di atas meja seorang pekerja,

Sementara itu, garasi samping dipenuhi jejeran meja karena menjadi ruang kerja para staff di bawah pimpinan ayah saya,

Fingerprint untuk absensi dan ruang untuk meeting menggunakan taman di seberang rumah,

Mereka melakukan apel pagi juga di jalanan kompleks.

Aku, kita, kami, menunggu Palu dan Donggala bangkit. 

17/11/18

[The End]: Sebuah Tanya


Namanya Pram, dulu ia rapi, taat shalat 5 waktu ke masjid, rajin mengaji, sering ikut kajian-kajian keagamaan dan hidupnya tenang. Dulu, sebelum ia kehilangan panutannya. Pram yang sekarang adalah bocah yang kebingungan dalam hidupnya sendiri karena dua orang sahabatnya yang menjadi panutannya selama ini memutuskan untuk pindah dari kota yang menjadi awal mula persahabatan mereka. Keduanya memutuskan untuk bermimpi lebih jauh lagi, lebih tinggi lagi.

Pram yang taat mulai berubah sejak masuk sanggar seni itu. Ia bercerita bahwa pernah selama satu minggu memutuskan untuk tidak berkunjung ke sanggar dan ia bisa mendapati dirinya yang begitu rapi. Selama satu minggu itu ia mampu melaksanakan shalat lima waktu, tetapi begitu ia datang kembali ke sanggar seninya, penampilannya berantakan. Aku cukup terkejut saat melihat foto dirinya pada sekitar dua tahun yang lalu, ia terlihat bagai selebgram dengan kulit bening, mata dengan pandangan optimis, kerapihan begitu melekat di dirinya yang dulu. Aku memandangi ia yang ada pada hari ini, ia yang tak ingin ia ingini. Pram, ia pasti sangat merindukan dirinya yang dulu. Apa yang bisa kulakukan?

Ia juga bercerita pernah suatu kali ke sanggar membawa sarung, berniat jika azan tiba dia hendak pergi shalat, tetapi – sekali lagi dengan tatapan sedih, begitu ia ada di sana, atmosfernya berbeda, tiba-tiba saja ia tidak jadi menunaikan shalat. Di sanggar itu, tidak pernah disinggung soal tuhan, tidak ada pembicaraan tentang agama apalagi Tuhan.  Bagi mereka, hubungan antara Tuhan dengan manusia adalah urusan pribadi masing-masing manusia, sudah menjadi sangat individual sehingga tak ada yang peduli satu sama lain soal menaati perintah Tuhan. Miris, kata Pram.

Namanya Pram, dan ia adalah anak yang beruntung karena sangat disayangi oleh ibunya. Kata Pram, ibunya mengatakan bahwa beliau rela menyekolahkannya dimanapun, berapapun biaya yang harus dikeluarkannya, asalkan Pram bersekolah tinggi dan pulang ke rumah bisa mengaji, itu saja cukup bagi ibunya. Mungkin inilah hal-hal yang begitu lama amat mengganggu pikiran Pram dan ia renungi berpuluh-puluh kali hingga sampai datang padaku di kemudian hari. Pertanyaan yang mengganggu pikirannya dan entah mengapa sulit sekali ia temukan jawabannya; untuk apa ia hidup? mau apa? mau kemana? Ia kebingungan berpikir, sementara orangtuanya rela mengeluarkan harta sebanyak apapun untuk hidupnya.

Pram bercerita bahwa tempo hari, ibunya pernah datang ke kos tempat dimana ia tinggal selama di Yogyakarta ini. Kos Pram bukanlah kos kumuh atau bahkan jelek. Kos nya adalah kos standar yang masih sangat layak untuk ditempati manusia. Akan tetapi, ibunya mengatakan bahwa lebih baik ia cari kos yang mahal saja tetapi bagus daripada kosnya yang sekarang yang menurut ibunya bangunannya seperti mau roboh, padahal kami semua tahu kosnya masih sangat layak dan bagus-bagus saja tetapi lucunya ibunya sangat khawatir, katanya “takut roboh”.

[Chapter 1]: Sebuah Tanya


Pekerjaanku sebagai seorang editor terjemahan lepas membuat hari-hariku terpaksa menjadikan kafe sebagai rumah kedua. Aku yang awalnya sangat bosanan, seringkali berpindah dari satu kafe ke kafe yang lain. Namun, barangkali pikirku benar bahwa suatu saat akan ada satu kafe yang cocok. Aku akhirnya menemukannya, sebuah kafe ala rumahan di jalan Srikandi. Kafe ini tidak terlalu terlihat karena jalan Srikandi bukan jalan umum yang sering dilalui kendaraan, namun sangat mencolok karena di daerah sini ia berada di antara rumah-rumah besar dan berpagar tinggi. Tampaknya sang pemilik rumah tak mau ketinggalan memanfaatkan rumahnya yang terletak di Yogyakarta untuk membuka usaha. Jadilah ia bangun sebuah kafe sederhana dimana pengunjung dapat memilih untuk duduk di dalam atau di luar. Di dalam, pengunjung kafe akan duduk-duduk anggun dengan pemandangan dekorasi ruang yang menyamankan mata. Pun di luar, pengunjung akan ditawarkan pemandangan yang sejuk dengan berbagai jenis tanaman dan pepohonan di sekitarnya, ditambah lagi kafe ini menyediakan jajanan di angkringan yang terletak di taman kafe bersama dengan deretan bangku-bangku yang bisa pengunjung tempati.

Kafe The House bukanlah awal mula cerita ini terkisah, tetapi bolehlah aku memulainya dari sini, tempat yang rupanya kami selalu bertemu satu sama lain, tetapi awalnya tidak saling mengenal, sampai pada suatu hari aku menjadi salah seorang panitia untuk event di Jogja National Museum dan melakukan survey lukisan di sanggar tempat ia biasa berkarya.

Di sanggarnya kami berkenalan satu sama lain. Aku bersama dengan seorang temanku, sedangkan ia di sana dengan beberapa anak sanggar lainnya. Rasanya tak heran saja saat pertama kali melihat kelusuhannya, kumaklumi karena mereka anak sanggar, tetapi entah juga berawal darimana pemakluman terhadap semua kelusuhan itu. Aku yakin karpet yang tergelar di sana hampir tidak pernah dicuci, apa lagi keset-keset itu yang terlihat hanya dipakai lalu dijemur, basah terguyur hujan, kering kembali terkena terik matahari. Sanggar itu bentuknya cukup unik menurutku. Beberapa bagian beratap, sebagian lainnya bangku-bangku dan meja beratap langit dengan sebuah pohon rimbun di salah satu sisinya.

Sesuai kesepakatan pada komunikasi kami sebelumnya via sosmed, hari itu mereka akan menunjukkan koleksi lukisan mereka pada kami yang sekiranya jika ada yang sesuai dengan tema akan kami ikutsertakan di pameran lukisan di Jogja National Museum pada acara yang akan kami adakan sebulan mendatang. Mereka mempercayai kami dan dengan senang menceritakan lukisan-lukisan itu.

Kulihat ia tak banyak bicara sebagaimana temannya yang lain. Sesekali melirik ke arahku, juga ke arah temanku, tidak ada yang spesial. Aku menatapnya dengan tatapan wanita dewasa agar ia tahu barangkali memang aku lebih tua darinya, sementara ia hanya masih terlihat seperti bocah yang tenggelam dalam dunianya sendiri.

Berawal dari sanggar yang kemudian beberapa kali bertemu di kafe The House, kami seringkali bertukar pikiran. Anehnya aku tak pernah berbicara soal identitas diriku padanya tetapi ia banyak bercerita tentang dirinya padaku. Mengenang perkenalan pertama kami, sosok hitam manis itu tak banyak bicara, hingga Sekarang tiba-tiba saja aku tahu banyak hal tentangnya, ini sangat aneh, ia sendiri yang datang dan bercerita padaku tanpa kupinta.

Nervous



The train will depart at 3:26 p.m.
And I'm nervous.

I thought I was nervous because the first time I was riding a train between provinces after the last many years ago. I thought I was nervous because I would attend a community friend's old meeting reunion. I thought I was nervous about leaving college and not taking the psychoanalysis class that I was very curious about.

I thought I didn't want to tell where I was, only one time I felt wan to tell about where I was through my social media. Until the first morning I arrived, my phone ringing, "Where are you? Are you in Bogor? "

The answer to all my nervous that I feel might be;
Because I am so sensitive to Bogor.


//Yogyakarta, November 2018//