Perempuan itu
tahu betul bahwa aku tak bersungguh-sungguh padanya, tahu betul dengan
permainanku, tahu betul aku hanya menggodanya saja, tahu betul bagaimana kelak
ia akan terluka bila ia anggap ketidakseriusanku sebagai kesungguhan. Namun,
kini, rasanya aneh bila aku pun mengganggap diriku bahwa kala itu aku hanya
bercanda, sekedar menggoda saja, atau bahkan kasarnya hanya mengisi waktu
tatkala tiba-tiba gelanggang dipenuhi gadis-gadis cantik berlatih bermain
teater. Ya, atau mungkin memang karena kami anak teater, kami senang bermain,
menggoda para gadis yang hidungnya mancung, kulitnya putih mulus, dan cara
mereka berbicara terngiang-ngiang di dalam sukma kami.
Sayang sekali,
terlambat kusadari bahwa mungkin ketidakseriusan itu menjadi kesungguhan tatkala
sudah bertahun-tahun tak jumpa namun garis wajahnya masih teringat jelas di
benakku, senyumnya yang santun, tatapannya yang menghangatkan, dan bibir
kecilnya yang jarang sekali kudapati cerewet berbicara, ia tak seperti gadis
cantik lainnya, yang senang menari-nari di tengah lapangan, ia lebih senang
duduk menunggu di sudut bangku penonton, sambil membaca buku yang jujur aku
tidak tertarik untuk bertanya tentang buku apa yang tengah dibacanya.
Mungkin juga dia tahu aku berbohong saat
pertama kali dia protes tidak pernah mendapat sapaan dariku lalu kujawab bahwa
aku jarang dekat dengan perempuan, apalagi secara tatap muka. Lebih tepatnya
aku sadar diri, memangnya siapa aku, bisa semudah itu menyapa perempuan macam
dia, yang anggun dan bahkan mungkin tak tersentuhkan oleh lelaki pecundang
macam aku ini yang selalu bersembunyi dibalik lampu-lampu yang kumainkan.
Tetapi asal dia
tahu saja bahwa aku jujur saat kukatakan padanya bahwa temanku cuma anak
sanggar, tidak banyak. Giliran aku yang tahu bahwa dia berbohong soal temannya
yang hanya sedikit. Aku tahu dia menyembunyikan ketenarannnya di balik anggun
dan kekalemannya itu. Dia menyembunyikan dirinya di dalam buku-buku yang dibacanya.
Dia protes untuk
kedua kalinya saat kukatakan bahwa aku tidak mudah mengingat wajah, termasuk
wajahnya, sekalipun hanya satu yang anggun di dunia dan apabila itu hanyalah
dirinya. Sialnya lagi, Aku masih ingat pula pertama kalinya ia menolak dengan
santun untuk kuantar pulang. Dia bertanya mengapa aku ingin mengenalnya, tentu
saja aku menjawab bahwa aku tidak tahu. Aku bilang lagi bahwa aku ingin tahu
banyak hal tentangnya dan kukatakan bahwa tidak perlu sekarang, tidak perlu
terburu-buru, karena aku takut nanti cepat lupa. Dia menjawab, kapan-kapan
saja, aku balas ya sekarang tetapi nyicil, dia tertawa, aku juga tertawa. Aku
bilang nanti aku chat lewat WhatsApp dia menjawab menantangku, bertanya bahwa
memangnya aku berani ngechat dia? Kubilang memangnya ada alasan buat aku untuk
tidak berani? Dia tertawa serta menjawab tidak tahu. Kubilang memangnya ada
yang menjaganya hingga aku harus takut, tentu diakhiri tawa. Dia pun tertawa,
lebih menertawai bahasaku sebenarnya.
Dia bilang dia
butuh tambahan waktu, dia bilang dia ingin sehari menjadi 26 jam tetapi mungkin
takdir terbaik yang ditetapkan oleh Tuhan adalah 24 jam dalam sehari. Aku
bilang sepertinya enak jika sehari menjadi 26 jam, aku jadi bisa mengenalnya
lebih dalam, tentu diiringi tawa. Dia menjawab, bahwa dia cuma perempuan biasa
jadi aku tidak perlu mengenalnya dalam-dalam, tetapi kataku aku tidak mau jika
tidak mengenalnya dalam-dalam, mumpung aku bisa mengenalnya mengapa tidak?
Suatu hari
setelah beberapa waktu kami tidak saling komunikasi, aku memberanikan diri menyapanya
kembali dalam sebuah pesan singkat via WhatsApp. “Hai, Sonia.” Dan dia
membalas, “Oh, masih berani ngechat aku.” Aku lupa cerita bahwa selain anggun,
dia juga agak-agak diam yang menjutekkan begitulah. Balasannya tidak pernah
terduga olehku, keji dan bengis, tetapi aku suka. Kadang dia juga begitu
percaya diri di tengah kekalemannya, waktu menolak tawaranku untuk kuantar
pulang, kubilang aku takut jika dia pulang sendirian, takut digoda di tengah
jalan, dia bilang bahwa tidak ada yang berani untuk menggodanya karena ia akan
menjuteki orang itu terlebih dahulu. Kubalas ia, bahwa aku orangnya pemberani,
jadi besok-besok aku akan terus menggodanya. Dia bilang, dia risih, maka
kubilang kalau begitu aku hanya akan menjaganya, tidak menggodanya. Dia
bertanya lagi, bagaimana caraku menjaganya? Kujawab bahwa dia harus selalu di
dekat aku, supaya aku mudah menjaganya.
Aku tahu ia
hanya sekedar menikmatinya. Perempuan cerdas seperti dia tidak mungkin kenyang
dan percaya dengan gombalanku. Dia bilang dia kenyang makan gombalan, aku
bilang bahwa enak sekali jika punya istri seperti dia, kalau lapar cuma perlu
digombali saja sudah kenyang.
Kini, aku telah
pulang dari merantau di negeri orang. Kusadari aku tidak sungguh-sungguh
menggodanya karena mungkin aku memang berniat untuk sungguh-sungguh padanya di
tengah ketidakpercayaannya terhadap segala yang kukatakan untuknya. Buku yang
katanya adalah buku kesukaannya itu, tak kusangka disumbangkannya hingga tertakdirkan
aku harus bertemu buku itu untuk yang kedua kalinya dan menemukan lembaran
usang yang berbeda. Aku berhenti cukup lama, apa lagi isinya kali ini? Apa aku
harus patah hati untuk kedua kalinya setelah aku membaca surat yang pernah
dituliskan dan diselipkannya di bukunya itu? Sebuah surat yang sunguh-sungguh
bukan ditujukan untukku, melihat tanggal dan isinya. Kupikir aku perlu
membukanya, untuk menantang diriku, masihkah aku menyukainya? Masihkah aku
patah hati mengetahuinya bersama orang lain?
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar