24/09/18

[Chapter 2]: Segenap Kepergian


Perempuan itu tahu betul bahwa aku tak bersungguh-sungguh padanya, tahu betul dengan permainanku, tahu betul aku hanya menggodanya saja, tahu betul bagaimana kelak ia akan terluka bila ia anggap ketidakseriusanku sebagai kesungguhan. Namun, kini, rasanya aneh bila aku pun mengganggap diriku bahwa kala itu aku hanya bercanda, sekedar menggoda saja, atau bahkan kasarnya hanya mengisi waktu tatkala tiba-tiba gelanggang dipenuhi gadis-gadis cantik berlatih bermain teater. Ya, atau mungkin memang karena kami anak teater, kami senang bermain, menggoda para gadis yang hidungnya mancung, kulitnya putih mulus, dan cara mereka berbicara terngiang-ngiang di dalam sukma kami.

Sayang sekali, terlambat kusadari bahwa mungkin ketidakseriusan itu menjadi kesungguhan tatkala sudah bertahun-tahun tak jumpa namun garis wajahnya masih teringat jelas di benakku, senyumnya yang santun, tatapannya yang menghangatkan, dan bibir kecilnya yang jarang sekali kudapati cerewet berbicara, ia tak seperti gadis cantik lainnya, yang senang menari-nari di tengah lapangan, ia lebih senang duduk menunggu di sudut bangku penonton, sambil membaca buku yang jujur aku tidak tertarik untuk bertanya tentang buku apa yang tengah dibacanya.

 Mungkin juga dia tahu aku berbohong saat pertama kali dia protes tidak pernah mendapat sapaan dariku lalu kujawab bahwa aku jarang dekat dengan perempuan, apalagi secara tatap muka. Lebih tepatnya aku sadar diri, memangnya siapa aku, bisa semudah itu menyapa perempuan macam dia, yang anggun dan bahkan mungkin tak tersentuhkan oleh lelaki pecundang macam aku ini yang selalu bersembunyi dibalik lampu-lampu yang kumainkan.

Tetapi asal dia tahu saja bahwa aku jujur saat kukatakan padanya bahwa temanku cuma anak sanggar, tidak banyak. Giliran aku yang tahu bahwa dia berbohong soal temannya yang hanya sedikit. Aku tahu dia menyembunyikan ketenarannnya di balik anggun dan kekalemannya itu. Dia menyembunyikan dirinya di dalam buku-buku yang dibacanya.

Dia protes untuk kedua kalinya saat kukatakan bahwa aku tidak mudah mengingat wajah, termasuk wajahnya, sekalipun hanya satu yang anggun di dunia dan apabila itu hanyalah dirinya. Sialnya lagi, Aku masih ingat pula pertama kalinya ia menolak dengan santun untuk kuantar pulang. Dia bertanya mengapa aku ingin mengenalnya, tentu saja aku menjawab bahwa aku tidak tahu. Aku bilang lagi bahwa aku ingin tahu banyak hal tentangnya dan kukatakan bahwa tidak perlu sekarang, tidak perlu terburu-buru, karena aku takut nanti cepat lupa. Dia menjawab, kapan-kapan saja, aku balas ya sekarang tetapi nyicil, dia tertawa, aku juga tertawa. Aku bilang nanti aku chat lewat WhatsApp dia menjawab menantangku, bertanya bahwa memangnya aku berani ngechat dia? Kubilang memangnya ada alasan buat aku untuk tidak berani? Dia tertawa serta menjawab tidak tahu. Kubilang memangnya ada yang menjaganya hingga aku harus takut, tentu diakhiri tawa. Dia pun tertawa, lebih menertawai bahasaku sebenarnya.

Dia bilang dia butuh tambahan waktu, dia bilang dia ingin sehari menjadi 26 jam tetapi mungkin takdir terbaik yang ditetapkan oleh Tuhan adalah 24 jam dalam sehari. Aku bilang sepertinya enak jika sehari menjadi 26 jam, aku jadi bisa mengenalnya lebih dalam, tentu diiringi tawa. Dia menjawab, bahwa dia cuma perempuan biasa jadi aku tidak perlu mengenalnya dalam-dalam, tetapi kataku aku tidak mau jika tidak mengenalnya dalam-dalam, mumpung aku bisa mengenalnya mengapa tidak?

Suatu hari setelah beberapa waktu kami tidak saling komunikasi, aku memberanikan diri menyapanya kembali dalam sebuah pesan singkat via WhatsApp. “Hai, Sonia.” Dan dia membalas, “Oh, masih berani ngechat aku.” Aku lupa cerita bahwa selain anggun, dia juga agak-agak diam yang menjutekkan begitulah. Balasannya tidak pernah terduga olehku, keji dan bengis, tetapi aku suka. Kadang dia juga begitu percaya diri di tengah kekalemannya, waktu menolak tawaranku untuk kuantar pulang, kubilang aku takut jika dia pulang sendirian, takut digoda di tengah jalan, dia bilang bahwa tidak ada yang berani untuk menggodanya karena ia akan menjuteki orang itu terlebih dahulu. Kubalas ia, bahwa aku orangnya pemberani, jadi besok-besok aku akan terus menggodanya. Dia bilang, dia risih, maka kubilang kalau begitu aku hanya akan menjaganya, tidak menggodanya. Dia bertanya lagi, bagaimana caraku menjaganya? Kujawab bahwa dia harus selalu di dekat aku, supaya aku mudah menjaganya.

Aku tahu ia hanya sekedar menikmatinya. Perempuan cerdas seperti dia tidak mungkin kenyang dan percaya dengan gombalanku. Dia bilang dia kenyang makan gombalan, aku bilang bahwa enak sekali jika punya istri seperti dia, kalau lapar cuma perlu digombali saja sudah kenyang.

Kini, aku telah pulang dari merantau di negeri orang. Kusadari aku tidak sungguh-sungguh menggodanya karena mungkin aku memang berniat untuk sungguh-sungguh padanya di tengah ketidakpercayaannya terhadap segala yang kukatakan untuknya. Buku yang katanya adalah buku kesukaannya itu, tak kusangka disumbangkannya hingga tertakdirkan aku harus bertemu buku itu untuk yang kedua kalinya dan menemukan lembaran usang yang berbeda. Aku berhenti cukup lama, apa lagi isinya kali ini? Apa aku harus patah hati untuk kedua kalinya setelah aku membaca surat yang pernah dituliskan dan diselipkannya di bukunya itu? Sebuah surat yang sunguh-sungguh bukan ditujukan untukku, melihat tanggal dan isinya. Kupikir aku perlu membukanya, untuk menantang diriku, masihkah aku menyukainya? Masihkah aku patah hati mengetahuinya bersama orang lain?

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar