“Wira Negara dalam sebuah tulisan pernah mengatakan
hal yang paling sulit dalam mencintai adalah memulainya terutama membuka hati
setelah membereskan yang lama. Namun, apakah kau tahu? Apa kau pikir semudah
itu bagi perempuan selemah diriku? Melupakan yang telah pergi selamanya,
menggantinya dengan yang tiba-tiba datang? Di saat kepergiannya justru lebih
mendadak dari perkenalan kita yang baru-baru ini. Sekalipun kutahu bahwa kau
hanya menggodaku saja, lewat selembar kertas yang kau lukis puisi di atasnya dengan
pena pucat yang kau simpan di sela buku yang kau kembalikan tepat pada
pertemuan terakhir kita. Aku tahu, semua itu sengaja ditulis untuk merisaukan
aku bahkan di saat kau ingin pergi merantau dengan tenang tanpa diiringi
rinduku padamu, toh untuk apa juga aku merindu, perkenalan terlalu singkat itu
kau bilang tak pernah cukup untuk mencipta rindu yang tulus, hanya basa basi
belaka bila aku menjerit mengatakan rindu.
Tak perlu terkejut mengapa aku tahu kau tak
sungguh meninggalkanku, kau pergi untuk ilmu yang lebih tinggi, bukan pergi
karena patah hati. Meski kau tak mengatakannya di pertemuan terakhir yang
berhasil membuatku menangis seorang diri. Aku tahu hal-hal yang ingin kutahu.
Aku tak perlu meneriakimu penjahat, aku yakin kau lebih memahami dirimu
sendiri.
Kau bilang kau tahu banyak tentang diriku.
Tetapi, untuk hatiku kau tidak tahu apa-apa rupanya. Seorang pria yang kutulis
dalam surat yang tak sengaja kutinggalkan di dalam buku tersebut adalah pria
yang kulindungi mati-matian namanya, namun surat itu tak pernah kusangka akan
tiba dalam genggammu, dalam matamu. Pria yang selalu hadir dalam rindu dan
segala doaku, namun ia meninggalkanku untuk selamanya karena sakit yang telah
lama dideritanya pada dua bulan sebelum aku mengenalmu. Semua terjadi tiba-tiba,
aku masih berduka meski aku tak menolak kehadiranmu. Namun, sekali lagi
kutanyakan, bagaimana mungkin semudah itu untuk melupakan yang pergi? Kau tak
pernah bertanya tentang hatiku, namun kau memilih pergi begitu saja usai
membaca selembaran surat yang sangat tak sengaja kutinggalkan di buku yang
bahkan sudah lama aku tak membukanya.” (Yogyakarta, 5 Oktober 2015, Dari
perempuan yang terluka dan tak perlu kau sembuhkan.)
Usai membaca isi
lembaran itu, jantungku tidak karuan. Aku tergopoh-gopoh pulang ke rumah,
semalaman aku tidak bisa menenangkan diriku sendiri. Kuputuskan untuk
menemuinya, mencarinya hingga kami bertemu, meski aku sama sekali tidak tahu
keberadaannya. Ini sudah sangat lama, sudah sangat terlambat, tetapi aku merasa
semua baru saja terjadi. Aku merasa takdir membawaku pulang untuk menemuinya,
takdir mempertemukanku dengan lembaran surat yang ia pikir mungkin tak akan
pernah sampai, kita tidak pernah tahu bagaimana hebatnya takdir bekerja.
***
“Apa kabar,
Bram?”
“Baik, Wan.”
“Sudah lama, ya.
Tepat sekali kamu datang, apa kamu datang ke Yogyakarta untuk menghadiri
pernikahananya?”
“Siapa?”
“Perempuan yang
selalu kau tunjuk-tunjuk saat gelangggang sedang ramai-ramainya dipakai untuk
berlatih teater, perempuan yang senang kau bicarakan, Sonia namanya.”
Seketika, ada
kebekuan waktu yang kurasakan. Lantas, setelah sadar, aku menggeleng dan
tertawa namun kesakitan.
“Ah, tidaklah.
Mari kita ngopi, aku kangen kita ngumpul dan ngobrol-ngobrol hingga larut.”
Irwan tertawa,
begitu pula aku, hanya saja ia tulus tertawa sementara aku berpura-pura. Irwan
merangkulku, kubalas rangkulannya. Aku menahan bening yang meronta keluar dari
sudut mataku. Ah, Sonia.
Aku secangkir
kopi saja. Tanpa gula. Aku tak terlalu suka pemanis untuk hal-hal yang memang
dikodratkan pahit, begitu kata seseorang bernama Candra Malik.
Aku bingung mau berkata seperti apa, ini lebih dari sekedar bagus. Oh ya, maaf aku membaca ini diam-diam.
BalasHapusTerima kasih banyak, Kak! :) Semoga terhibur.
HapusSama-sama, tentu saya sangat terhibur
Hapus