09/06/21

#14 Surat Terakhir

 

Source: Tumblr/cottageaesthetic

Yang Terhormat,

Tuan Sam

di Tempat

 

Samudra, rupanya sayalah orang yang ditunjukkan jalan itu untuk yakin bahwasannya kau ada, hadir. Kemarin saya tak sengaja menemukan blog milikmu. Sebuah blog yang berisi jurnal foto. Saya menemukan sebuah foto di sana. Saya tahu ini tidak masuk akal bagi saya. Sebab, bagaimana bisa saat itu engkau berada di sana? Di saat yang sama, saya pun ada di sana. Saya sudah memeriksa banyak foto yang sering saya ambil di sana. Tak sedikit pun timbul keraguan. Bahwasannya tempat itu adalah sama. Saya pikir suatu hari nanti akan datang kesempatan bagi saya untuk bisa mendengar semua penjelasan yang masuk akal ini, tentang mengapa di hari itu kau ada di sana, mengendap-endap mungkin, bagaimana bisa saya tidak menyadari kehadiran engkau yang dekat di hati. Ya, mungkin suatu saat nanti datang harinya. Atau tidak akan pernah. Saat seluruh pertahanan saya telah runtuh. Tak tersisa.

Samudra, telah kutangisi engkau di hadapan ibundaku selama berwaktu-waktu. Saya kehabisan kata. Di hadapannya hanya bisa menyuguhkan air mata. Pada akhirnya saya sadar bahwa di dunia ini ada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan, seperti hatinya orang lain. Engkau yang tak bersegera menujuku juga mungkin sudah menjadi bagian dari ketetapan-Nya. Ada sesuatu yang menahanmu. Atau engkau memang tidak seharusnya datang, kata-Nya. Adalah salah saya, yang bersikeras menunggu di ruang yang tak pasti.

Usai menangisimu di hadapannya dengan kuungkapkan segala kebaikanmu yang saya tahu, bunda akhirnya mempercayaimu. Awalnya bunda sudi membiarkanku untuk menunggu engkau, tetapi akhirnya bunda mengatakan sampai kapan? Mengapa orang bertanya sampai kapan adalah karena tidak ada kejelasan satuan waktu yang menjadi tujuannya.

Kata ayah, jangan menyia-nyiakan seseorang yang baik dan pasti demi satu orang lainnya yang belum tentu baik dan tidak pasti. Kata bunda, kalau saya menikah akan ada banyak sekali orang yang berbahagia. Saya adalah cucu pertama perempuan dari kedua belah pihak keluarga besar ayah maupun bunda. Ada harapan yang besar di pundak saya. Semua orang ingin memilihkan yang terbaik untuk kehidupan saya. Saya berterima kasih kepada Allah untuk hal itu.

Samudra, saya memikirkan kembali tentang hidup ini. Untuk apa kita hidup? Apa tujuan hidup kita? Apa kiranya yang kita sedang cari di hidup yang singkat ini?

Saya sadar apa yang terbaik bagi diri saya belum tentu baik menurut Tuhan saya, belum tentu baik bagi orang-orang di sekitar saya. Ketika hawa nafsu dan ego bersatu, tertutup sudah pikiran kita dari segala upaya dan saran baik di luar. Saya berusaha merendahkan keduanya, imajinasi saya perlu bersaing dengan kenyataan. Apa-apa yang terbaik tidak pernah ada dalam takaran manusia, kata Mas Gun. Dan kita harus membuat benteng, bukan untuk mempertahankan apa yang baik menurut kita, tetapi berusaha sesiap mungkin atas setiap kejutan dari-Nya yang ternyata kelak baru kita sadari itulah yang terbaik bagi diri kita.

Saya akan menata ulang hati, memikirkan ulang perasaan ini bahwasannya barangkali saya hanya jatuh cinta dengan kebaikanmu, kebaikan yang sebenarnya bisa juga dilakukan oleh banyak orang lainnya. Saya berencana tidak akan membuat surat lagi. Kelak, surat-surat yang ada adalah untuk diri saya sendiri. Bunda sedih melihat anaknya harus menanti dalam ketidakpastian. Saya akan menjadi tegas dan memilih masa depan saya. Engkau boleh terus diam jika hanya ingin menjadi bagian dari masa lalu saya.

Bahkan pada akhirnya bunda dan ayah merestui saya untuk pergi ke Blue Fire yang berada di selatan pulau Jawa agar pandangan saya terbuka dengan mungkin bertemu sesuatu di jalan, berdiskusi dengan seseorang yang kutemui, atau pelajaran apapun yang semoga kutemukan di jalan nanti. Saya juga akan mampir menemui para sesepuh untuk meminta nasihat atas keresahanku. Saya berharap perjalanan ini menjadi perjalanan yang diridhoi-Nya, berkah, serta penuh hikmah. Saya akan melakukan perjalanan dengan harapan menemukan jawaban. Biar kucari sendiri jawaban tersebut atas ketidaktegasan engkau yang kuterima.

Samudra, saya akan mengenang engkau hanya sekedar sebagai sebuah cobaan yang pernah singgah dalam perjalanan hidupku. Namun, saya berhasil keluar sebagai pemenang. Memenangkan diri dari ketidakpastian yang pernah kau ciptakan.

Samudra, saya tidak sedang marah. Tapi ini sudah mencapai batas kemampuanku dalam menunggu engkau. Tak sekalipun saya menyesal pernah mengenal engkau. Kau adalah cobaan sekaligus pelajaran terbaik dalam hidupku untuk sekarang ini.

‘Saya mencintaimu tapi sikapku gagal membuktikan hal itu’, apakah suatu hari nanti kalimat tersebut akan terlintas di benak engkau kiranya?

So, let her go.

 

***

 

Tulisannya sedikit-banyak dipengaruhi oleh buku yang tengah dibacanya, Anak Semua Bangsa, karya Mbah Pram. Sepertinya.

Dalam isakan, ia menulis. Terjebak dalam langit yang runtuh. Udara yang sulit ia hirup. Dan hal-hal yang sebentar lagi berlalu. Ia akan memilih jalannya. Surat itu sudah tayang di halaman blognya. Jumlah viewers meningkat menandakan ada orang-orang yang membaca surat yang seharusnya ditujukan pada Saddam Samudra. Ah, Mentari sudah tidak peduli pada siapa yang membacanya.

Lega menghampirinya. Sudah lama ia tidak menangis selama itu. Tanpa jeda. Mentari bangkit dari tempat duduknya. Menghadapkan wajah ke arah jendela. Awan di langit sana membentuk wajah Sam pada belasan tahun lalu, kian lama kian memudar. Tinggallah semburat kekuningan di langit. Hendak menjemput malam.

Titik-titik air itu telah mengering. Mentari telah kembali menjadi dirinya sendiri. Utuh. 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar