![]() |
Source: Tumblr/cottageaesthetic |
Yang Terhormat,
Tuan Sam
di Tempat
Samudra, rupanya sayalah orang yang
ditunjukkan jalan itu untuk yakin bahwasannya kau ada, hadir. Kemarin saya tak
sengaja menemukan blog milikmu. Sebuah blog yang berisi jurnal foto. Saya
menemukan sebuah foto di sana. Saya tahu ini tidak masuk akal bagi saya. Sebab,
bagaimana bisa saat itu engkau berada di sana? Di saat yang sama, saya pun ada
di sana. Saya sudah memeriksa banyak foto yang sering saya ambil di sana. Tak
sedikit pun timbul keraguan. Bahwasannya tempat itu adalah sama. Saya pikir
suatu hari nanti akan datang kesempatan bagi saya untuk bisa mendengar semua
penjelasan yang masuk akal ini, tentang mengapa di hari itu kau ada di sana,
mengendap-endap mungkin, bagaimana bisa saya tidak menyadari kehadiran engkau
yang dekat di hati. Ya, mungkin suatu saat nanti datang harinya. Atau tidak
akan pernah. Saat seluruh pertahanan saya telah runtuh. Tak tersisa.
Samudra, telah kutangisi engkau di hadapan ibundaku
selama berwaktu-waktu. Saya kehabisan kata. Di hadapannya hanya bisa
menyuguhkan air mata. Pada akhirnya saya sadar bahwa di dunia ini ada hal-hal yang
tidak bisa kita kendalikan, seperti hatinya orang lain. Engkau yang tak
bersegera menujuku juga mungkin sudah menjadi bagian dari ketetapan-Nya. Ada sesuatu
yang menahanmu. Atau engkau memang tidak seharusnya datang, kata-Nya. Adalah salah
saya, yang bersikeras menunggu di ruang yang tak pasti.
Usai menangisimu di hadapannya dengan
kuungkapkan segala kebaikanmu yang saya tahu, bunda akhirnya mempercayaimu. Awalnya
bunda sudi membiarkanku untuk menunggu engkau, tetapi akhirnya bunda mengatakan
sampai kapan? Mengapa orang bertanya sampai kapan adalah karena tidak ada
kejelasan satuan waktu yang menjadi tujuannya.
Kata ayah, jangan menyia-nyiakan seseorang yang
baik dan pasti demi satu orang lainnya yang belum tentu baik dan tidak pasti. Kata
bunda, kalau saya menikah akan ada banyak sekali orang yang berbahagia. Saya
adalah cucu pertama perempuan dari kedua belah pihak keluarga besar ayah maupun
bunda. Ada harapan yang besar di pundak saya. Semua orang ingin memilihkan yang
terbaik untuk kehidupan saya. Saya berterima kasih kepada Allah untuk hal itu.
Samudra, saya memikirkan kembali tentang hidup ini. Untuk apa kita hidup? Apa tujuan hidup kita? Apa kiranya yang kita sedang cari di hidup yang singkat ini?
Saya sadar apa yang terbaik bagi diri saya
belum tentu baik menurut Tuhan saya, belum tentu baik bagi orang-orang di sekitar
saya. Ketika hawa nafsu dan ego bersatu, tertutup sudah pikiran kita dari
segala upaya dan saran baik di luar. Saya berusaha merendahkan keduanya,
imajinasi saya perlu bersaing dengan kenyataan. Apa-apa yang terbaik tidak
pernah ada dalam takaran manusia, kata Mas Gun. Dan kita harus membuat benteng,
bukan untuk mempertahankan apa yang baik menurut kita, tetapi berusaha sesiap
mungkin atas setiap kejutan dari-Nya yang ternyata kelak baru kita sadari
itulah yang terbaik bagi diri kita.
Saya akan menata ulang hati, memikirkan
ulang perasaan ini bahwasannya barangkali saya hanya jatuh cinta dengan
kebaikanmu, kebaikan yang sebenarnya bisa juga dilakukan oleh banyak orang lainnya.
Saya berencana tidak akan membuat surat lagi. Kelak, surat-surat yang ada
adalah untuk diri saya sendiri. Bunda sedih melihat anaknya harus menanti dalam
ketidakpastian. Saya akan menjadi tegas dan memilih masa depan saya. Engkau
boleh terus diam jika hanya ingin menjadi bagian dari masa lalu saya.
Bahkan pada akhirnya bunda dan ayah merestui
saya untuk pergi ke Blue Fire yang berada di selatan pulau Jawa agar pandangan
saya terbuka dengan mungkin bertemu sesuatu di jalan, berdiskusi dengan seseorang
yang kutemui, atau pelajaran apapun yang semoga kutemukan di jalan nanti. Saya
juga akan mampir menemui para sesepuh untuk meminta nasihat atas keresahanku. Saya
berharap perjalanan ini menjadi perjalanan yang diridhoi-Nya, berkah, serta penuh
hikmah. Saya akan melakukan perjalanan dengan harapan menemukan jawaban. Biar
kucari sendiri jawaban tersebut atas ketidaktegasan engkau yang kuterima.
Samudra, saya akan mengenang engkau hanya
sekedar sebagai sebuah cobaan yang pernah singgah dalam perjalanan hidupku.
Namun, saya berhasil keluar sebagai pemenang. Memenangkan diri dari
ketidakpastian yang pernah kau ciptakan.
Samudra, saya tidak sedang marah. Tapi ini
sudah mencapai batas kemampuanku dalam menunggu engkau. Tak sekalipun saya
menyesal pernah mengenal engkau. Kau adalah cobaan sekaligus pelajaran terbaik
dalam hidupku untuk sekarang ini.
‘Saya mencintaimu tapi sikapku gagal
membuktikan hal itu’, apakah suatu hari nanti kalimat tersebut akan terlintas di
benak engkau kiranya?
So, let her go.
***
Tulisannya sedikit-banyak
dipengaruhi oleh buku yang tengah dibacanya, Anak Semua Bangsa, karya Mbah Pram. Sepertinya.
Dalam isakan, ia
menulis. Terjebak dalam langit yang runtuh. Udara yang sulit ia hirup. Dan hal-hal
yang sebentar lagi berlalu. Ia akan memilih jalannya. Surat itu sudah tayang di
halaman blognya. Jumlah viewers meningkat menandakan ada orang-orang yang
membaca surat yang seharusnya ditujukan pada Saddam Samudra. Ah, Mentari sudah
tidak peduli pada siapa yang membacanya.
Lega menghampirinya.
Sudah lama ia tidak menangis selama itu. Tanpa jeda. Mentari bangkit dari
tempat duduknya. Menghadapkan wajah ke arah jendela. Awan di langit sana
membentuk wajah Sam pada belasan tahun lalu, kian lama kian memudar. Tinggallah
semburat kekuningan di langit. Hendak menjemput malam.
Titik-titik air itu telah mengering. Mentari telah kembali menjadi dirinya sendiri. Utuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar