How’s life, Nin?
Akhirnya pulang ke rumah ini lagi. Sedikit
jenuh dengan rutinitas, tidak bohong, sebab jenuh adalah hal yang manusiawi. Tetapi
pada prinsipnya tetap meletakkan rasa syukur di antara segalanya. Utamanya untuk
satu hal yang tak tertandingi; masih bernafas hingga detik ini. Artinya, masih
punya banyak kesempatan untuk berbuat baik lagi. Dan kini, bertambah lagi
seorang manusia yang ingin selalu saya bahagiakan, yang ingin selalu saya
perlakukan dengan baik; seorang laki-laki yang kini keridhaannya menjadi yang
utama bagi saya, selain ridha-Nya.
Akhirnya pulang ke rumah ini lagi. Jauh-jauh
berkelana mencari kebahagiaan, lupa bahwa dahulu kala pulang ke sini menjadi
salah satu yang menenangkan, membahagiakan. Masih diberi kemampuan untuk mengetik
kata demi kata, mengetuk hati demi hati, semoga. Mengetuk dengan maksud memberi
makna kebaikan yang semoga bisa diwujudkan, bukan membuat jatuh hati para
pembaca. Walau pada akhirnya menikahi seorang pembaca, hehe. Tidak menyangka.
144 Hari Bersama,
Hal-hal Apa yang Menjadi Pelajaran?
Ternyata baru 144 hari.
“Aduh, masih ada 50 tahun lagi. Kalau bosan gimana, ya?!!” tanya saya padanya. Sambil ketawa-ketawa.
“Belum ada setahun, tapi kenapa
rasanya kayak sudah lama tinggal bareng kamu..” katanya.
Oleh karena itu, salut betul pada
para bapak dan ibu yang berhasil mempertahankan pernikahan hingga
berpuluh-puluh tahun. Bukan hal yang mudah, hidup seatap lalu berusaha
menyambungkan segala obrolan, sifat, selera, toleransi, ekspektasi, dan
lain-lain. Sebenarnya tidak
harus menyambungkan segalanya, yang terpenting adalah ruang penerimaan itu
dibuka seluas-luasnya, ego itu direndahkan serendah-rendahnya, maaf itu
dihadirkan sebanyak-banyaknya.
144 hari pertama yang sangat berarti
untuk kami. Hari-hari dimana terus saling belajar; belajar memahami satu sama
lain, belajar menerima kekurangan pasangan, belajar merendahkan ego, belajar
menghadirkan maaf yang banyak, belajar saling mengucap terima kasih untuk
segala halnya, dan juga belajar bersyukur atas rezeki yang Allah berikan,
sedikit maupun banyak.
Siap
Menerima Segala Kritik dan Saran
Akhirnya pulang ke rumah ini lagi. Siang-siang
hari, usai memasak semangkuk sayur terong balado dan ayam crispy. Syukur Alhamdulillah
kuota dan wifi berlimpah, karenanya bisa memasak sembari melihat resep di
channel youtube entah siapa, tidak kenal.
Siang ini mengirim banyak chat
padanya, banyak emotnya juga.
“Sebelum kamu menjadi juri atas masakanku, aku akan menjadi juri terlebih
dahulu untuk masakanku.”
“Aduh deg-degan..”
“Ntar malam masakanku dikomentarin apa ya.. (emot lesu, emot mulut terbuka lebar, emot
mengeluh)”
“Jangan sadis-sadis plissss.. (emot nangis yang banyak)”
Jadi, dia ini pernah magang sebagai juri di master chef negeri antah berantah. Jadi lagi, setiap kali saya selesai memasak, setiap kali itu pula ruang hati saya meluas, juga kedua telinga saya bersiap untuk menerima segala kritik dan saran darinya. Awal-awal heran kenapa selalu deg-degan, oh yang ini bukan deg-degan karena cinta, tapi deg-degan karena seringnya tidak merasa siap untuk dikomentari. Padahal salah satu risiko pernikahan adalah harus selalu siap untuk dikomentari, lebih tepatnya untuk menerima segala kritik dan saran dalam hal apapun demi menjadi lebih baik, apalagi hal sesepele masakan yang sangat subjektif. Apalagi kita memasak memang untuk dia makan, memang untuk bikin dia senang dengan masakan kita. Dan perasaan bahagia di hati kita juga akan muncul begitu saja, ketika melihat seseorang yang kita sayangi berbahagia atas apa yang telah kita lakukan untuknya. Eciee.
Deeptalk
Sebelum Tidur
Sudah 144 hari berlalu, tetapi
rasa-rasanya masih berada di hari itu, hari dimana benda cantik itu memperindah
si jari manis. Pikiran kami tidak pernah menjauh dari hari terikrarnya sebuah
janji. Lebih tepatnya janjinya kepada-Nya untuk menjaga keluarga kecil ini.
“Kamu sayang aku, nggak?” tanya saya.
“Sayang.”
“Sejak kapan?”
“Hari ini.”
“Kok hari ini?!”
“Bercanda, ih.”
“Sejak kapan?!!”
“Sejak pertama kali lihat di fakultas.”
Mungkin sedikit bohong, tapi
mendengar jawabannya menimbulkan senyum tak terkira.
Jadi, saya selalu membahas perihal
hari-hari pertama kami bertemu, berkenalan, berdiskusi, berbicara banyak hal. Dan
dia tidak pernah bosan menjawab, walau saya sudah tahu jawabannya. Entah kenapa
ini selalu menjadi topik obrolan favorit saya. Rasanya kembali ke awal dimana
cintanya begitu menggebu, merasakan bagaimana perjuangannya mencintai dalam
diam, bagaimana mengetahui bahwa selama ini ia menahan perasaannya, bahkan ia
pernah berniat untuk berhenti melihat ke arah saya – yang baru saya ketahui
setelah kami hendak menikah. Dan ketika menuliskan ini, air mata saya masih
saja terjatuh. Saat itu, entah saya yang tidak peka atau dia terlalu pandai
menyembunyikan perasaannya.
Tulisan ini merupakan tulisan dari
hati sebagai wujud apresiasi saya untuknya yang telah merawat saya saat sakit
selama satu minggu ini. Malam hari berkeliling apotek mencari obat, sulitnya
minta ampun tanpa resep dokter. Juga, memasakkan daging di hari raya Idul Adha.
Juga, dengan sabar membersihkan luka saya dan menuntun saya bangun dari tempat
tidur, menunggui saya di depan pintu toilet, membiarkan saya menangis menahan
sakit yang menyiksa diri. Terima kasih,
Kak. Aku nggak akan lupa dengan segala kebaikan kamu. Nanti Allah yang balas,
ya! (nangis banget)
“Kenapa kamu baik banget?” tanya saya.
“Kan aku sudah janji sama Allah.” (nangis lagi)
Tulisan dari seseorang yang ingin
terus belajar ini akan dilanjutkan kapan-kapan. Sudah ngantuk. Besok-besok
dilanjutkan dengan catatan-catatan kecil yang sudah ada, ya! Terima kasih sudah
membaca dengan hati yang lapang! :)
---
Yk, 14 Juli 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar