22/06/18

Kebahagiaan yang Lain


Saya mengenal sosoknya hanya sekedarnya saja. Kami berteman di sosial media juga kampus. Karena kami berada di fakultas yang sama, kerap kali kami bertemu di sepanjang area fakultas.

Pada semester satu kala itu, saya mengenalnya sebgaai hijaber yang bila mana menggunakan jilbab banyak menggunakan jarum pentul karena dililit sana-sini. Dari sosial medianya, saya mengetahui bahwa ia seorang model, hobi hunting foto, juga memiliki olshop. Intinya, ia senang sekali upload foto dan update status di sosmed. Selain itu, ia juga memiliki kekasih yang namanya dipajang di bio akun instagramnya. Kekasihnya memang berbeda universitas, tetapi mereka sering hunting foto bersama atau bisa jadi kekasihnya sendiri yang menjadi fotografernya.

Pada semester dua, ia semakin hitz saja di sosial media, makin sering juga update, makin mesra juga dengan kekasihnya itu karena sempat memosting moment surprise yang ia berikan untuk kekasihnya di tempat kerja sang kekasih. Selain itu, job endorsenya juga mulai banyak terlihat di sosial media. Bila bertemu dengannya semakin merasa pangling saja saya karena make up yang digunakannya. Dari warna-warni kukunya, mungkin dia hobi juga berkuteks-ria dan dari tatapan matanya, saya menyadari bahwa ia juga seringkali gonta-ganti soflens.

Pada semester tiga, sepertinya ia putus hubungan dengan kekasihnya. Saya menduga seperti itu, karena di akunnya maupun akun kekasihnya sudah tidak saling memajang nama. Lalu, ia juga mulai menghapus foto-foto lamanya. Entah. Meski masih sering update story instagram, tetapi sudah jarang mengupload foto. Waktu itu di fakultas, saya bertemu dengannya dan terkejut, wajahnya tak penuh oleh make up lagi, jilbabnya sudah tidak dililit-lilitkan lagi bahkan mungkin tak memerlukan jarum pentul lagi. Kala itu ia juga menggunakan gamis sebagai style-nya ke kampus.

Pada semester empat, lebih mengejutkan lagi, sebab dia melangsungkan pernikahan dan memilih untuk berhenti kuliah. Kalau saya pikir-pikir, betapa beraninya dia mengambil keputusan. Saya selalu kagum dengan orang-orang yang berani seperti itu, bahkan bila itu desakan tetap saja ia berani dan tangguh menjalani takdir yang dihadapkan kepadanya. Usut punya usut, saya berusaha mencari tahu tentangnya. Sulit, karena yang saya ketahui ia sudah tidak aktif lagi di sosial medianya. Kabar pernikahannya saya tahu sebab saya mengenal salah satu sahabat dekatnya, bahkan sahabatnya memperlihatkan saya tentang video pernikahannya karena ia memang datang ke acara sahabatnya itu. Terkaget lagi saya karena dalam pernikahannya itu ia telah menggunakan cadar dan sungguh-sungguh melepas statusnya sebagai hijaber gaul masa kini.

Rupanya, ia menikah dengan mantannya sewaktu sekolah dulu. Namun, mantannya tersebut juga telah hijrah. Ketika ia telah hijrah, tiba-tiba mantannya datang melamar, akhirnya mereka menikah. Selain itu, karena mempelai pria juga telah punya usaha, oleh sebab mungkin ia berani untuk menikah di usia muda. Sekarang, ia bersama suaminya tinggal di luar kota.

Sayangnya, saya tidak sempat mewawancara gadis itu atas perubahannya yang menurut saya teramat cepat sekali. Sangat cepat. Drastis, fantastis! Seseorang yang awalnya segala tentang kehidupannya ia umbar di sosial media, kini tiba-tiba ia menghilang dari peradaban.

Mungkin kini ia sudah merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya, yang tidak perlu orang sedunia tahu apa yang ia rasakan. Kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan dalam makna yang sebenarnya, kebahagiaan yang nyata, dekat, bisa digenggamnya. Bukan lagi kebahagiaan semu, kebahagiaan yang berjejer di sosial media, kebahagiaan yang penuh drama dan seringkali tercipta kepura-puraan di sana. Tetapi, mengapa ada orang yang menganggap sosial media adalah segalanya? Bahkan ada yang menjadikan sosial media sebagai rumahnya untuk menyimpan segala pernak-pernik kehidupanya yang tidak semestinya ia letakkan di sana. Apakah saya sudah menulis terlalu berlebihan? Sungguh jemari ini terus mengetik apa yang ada dalam pikiran. Tentu saya jauuuuh dari baik. Sangat jauh. Tetapi, adakah setitik harapan saya genggam? Kelak menjadi prinsip hidup saya kedepannya? Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar