12/03/13

Kutemukan Jawabannya




Semuanya penuh tanda tanya. Gadis itu selalu membiarkan aku bermain dengan tanda tanya. Ia gadis yang baik, cantik, dan juga cukup cerewet. Sifatnya yang cerewet itu yang selalu aku rindukan. Sifatnya yang cerewet itu yang selalu mengingatkanku padanya.
Dia Gita, dia temanku. Temanku sejak SMP, kemudian kami berlanjut di SMA yang sama. Saat kuliah kami juga satu jurusan di tempat kuliah yang sama. Sekarang, kami juga bekerja di satu tempat yang sama.

***

“Gibran, kau darimana saja?” tanya Gita seperti biasanya setelah beberapa saat aku menghilang dari hadapannya.
“Aku ? Aku tidak pergi kemana-mana. Aku hanya pergi keluar sebentar.”
“Seharusnya kau mengabariku.”
“Mengapa aku harus mengabarimu?”
“Karena aku mengkhawatirkanmu.”
“Mengapa kau selalu mengkhawatirkanku?” aku terus bertanya dengan cuek. Gitta menatapku lurus.
“Mengapa menatapku seperti itu?” mendapat pertanyaan seperti itu dariku, Gita langsung meninggalkanku dengan tanda tanya.

***

“Gibran, kau sudah makan?” tanyanya.
“Belum.”
“Mengapa belum?”
“Apa kau tidak lihat, aku sedang sibuk.”
“Apa aku perlu membuatkanmu makanan?” tanyanya lagi.
“Untuk apa ? Supaya aku tidak sakit?” aku bertanya balik.
“Bagaimanapun juga kau harus makan.” Katanya dengan bersikeras.
“Mengapa kau memaksaku?”
“Aku tidak memaksamu.”
“Lalu kenapa ? Kau mengkhawatirkanku lagi ? Sudahlah Gita, kau jadi wanita terlalu peduli. Sudah sana, pikirkan hal lain saja, apa hanya aku yang selalu kau pikirkan?” tak sadar, aku sudah berbicara panjang lebar. Lagi-lagi aku mendapat tatapan tajam dari Gita.
“Jangan suka menatapku seperti itu.” Kataku. Tanpa bicara sepatah katapun, ia berlari meninggalkanku.

***

“Lihat apa yang terjadi, kau sekarang sakit, Gibran.”
“Lagi-lagi kau Gita. Mengapa repot-repot datang kemari untuk menjengukku ? Aku baik-baik saja.”
“Bagaimana mungkin kau baik-baik saja jika kau sekarang terbaring seperti ini di atas ranjang.”
“Kau membawakanku apa ? Buah-buahan?” aku segera mengambil bingkisan itu dari tangan Gita. “Apa yang kau lihat?” tanyaku begitu melihat Gita hanya diam saja. “Kau lihat ? Aku baik-baik saja. Jangan mengkhawatirkanku. Kembalilah bekerja.” Kataku.
“Baiklah, kau harus buktikan padaku bahwa kau baik-baik saja.” Seusai mengatakan hal itu ia pergi.

***

“Gita, jangan cari aku. Siang ini aku mau keluar dulu. Kalau direktur datang, katakan  saja aku sedang ada keperluan di luar.” Ujarku pada Gita.
“Kau mau kemana?”
“Aku harus menemui seseorang.”
“Seseorang ? Wanita?”
“Sepertinya benar. Sudah dulu ya, aku harus segera pergi.” Aku berjalan keluar ruangan, sementara itu masih terdengar suara Gita.
“Hei, kau mau kemana ? Kapan kau kembali ke sini?” maaf Gita, aku harus pergi dulu.

***

“Gita, kemari ! Mengapa semua bisa jadi berantakan seperti ini?” gadis itu hanya menunduk ketika dipanggil. Sebenarnya semua adalah kesalahanku.
“Mengapa kau biarkan Gibran pergi keluar sementara arsip-arsip penting ini harus diperiksa siang ini juga!”
“Jangan salahkan Gibran, pak. Ini semua salah saya. Saya tadi berjanji pada Gibran untuk menggantikannya memeriksa arsip-arsip ini selagi Gibran keluar.” Aku tercengang.
“Benar begitu, Gibran?” pak direktur menatapku. Drama macam apa ini ? Aku hanya menganggukan kepala.
“Kalau begitu, sekarang kalian berdua cepat periksa arsip-arsip itu, jangan lagi keluar dari kantor selagi tugas belum selesai.”

***

“Git, drama apa yang tadi kau lakukan ? Aku tak tahu kau pandai bersandiwara.”
“Drama yang mana maksudmu?”
“Mengapa  kau berbohong bahwa kau menggantikan tugasku?”
Gita memandangiku, tanpa menjawab, ia langsung pergi begitu saja meninggalkan tanda tanya di benakku.
Malam semakin larut dan aku tak juga menemukan jawabannya.

***

Hari ini adalah hari yang sibuk, aku pulang sangat larut malam tak seperti biasanya. Di kota ini aku hanya tinggal sendirian. Semua keluargaku tinggal berpencar di berbagai kota.
Begitu aku pulang dan memasuki teras rumahku, aku menyadari sesuatu. Aku terkejut.
“Gita ? Apa yang kau lakukan di sini ? Git, bangun..” ujarku, namun Gita tak juga bangun. Mungkin ia begitu lelah. Aku melihat sebuah kotak di sampingnya. Perlahan-lahan kubuka kotak itu. Kue ulangtahun ? Siapa yang berulangtahun ?
“Gita, bangunlah Git. Mengapa kau bisa tidur di sini?”
Perlahan-lahan ia menyadari suaraku. Ia menatap sekelilingnya.
“Gibran, kau baru pulang ? Mengapa larut sekali?”
“Sebelumnya, kau yang harus dulu menjawab pertanyaanku. Sedang apa kau di sini ? Kue ulangtahun siapa ini?”
“Gibran, apa kau lupa dengan hari ini ? Mengapa kau begitu sibuk sampai bisa melupakan hari ini?” kurasakan Gita menahan emosi dalam kalimatnya.
“Apa ? Maksudmu, aku berulangtahun hari ini?” aku memegang keningku.
Gita mengangguk. Aku menatap jam tanganku, sekarang sudah pukul sepuluh malam.
“Gita, hanya tinggal dua jam lagi kita bisa merayakan ulangtahunku. Ini sangat larut, bagaimana kalau kau pulang saja ? Aku akan mengantarmu.”
Gita diam tak bergerak. Dia hanya menatapku.
“Oh ya, terimakasih kuenya. Aku tidak tahu kau sangat hafal tanggal kelahiranku.” Ucapku sedikit salah tingkah.
“Kau lelah bukan ? Istirahatlah, aku bisa pulang sendiri.”
“Jangan seperti itu, semua pria tahu, wanita tidak baik dibiarkan pulang sendiri tengah malam. Apalagi wanita sebaik dirimu.”
“Sejak kapan kau jadi peduli padaku?” aku tercengang mendengar perkataannya. Sebelum aku berhasil menjawab, ia sudah melangkah pergi. Begitu sebuah taksi lewat, ia segera masuk ke dalam taksi itu, dan taksi itu menghilang di ujung jalan. Lagi-lagi ia meninggalkan sebuah pertanyaan, ‘mengapa ia berkata seperti itu?’

***

Hari sendu itupun tiba, hari yang datang sangat tiba-tiba, hari yang benar-benar mengejutkanku.
“Mbak, kantor kenapa sepi begini?” tanyaku pada seorang office girl.
“Sepi pada ngelayat, ada pegawai yang meninggal.”
“Siapa?”
“Mbak Gita, mas.” Aku tercengang. Gita ?
“Mbak, jangan bercanda begitu. Saya serius. Mbaknya bercanda, kan?”
“Saya serius, mas.” Tiba-tiba saja tubuhku lemas. Aku mulai tak bisa menahan bendungan air mataku. Aku berlari keluar kantor, kupacu mobilku.
Benar saja, rumah itu ramai. Rumah yang dulu sering menjadi tempat belajar kelompok, rumah yang dulu sering menjadi tempat kami semua berkumpul dan bermain kucing-kucingan, bahkan rumah yang dulu sering menjadi sasaran tempat singgah ketika aku dan yang lainnya membolos. Rumah Gita, rumah sejuta kenangan.
Hari itu gerimis ikut berduka atas kematian Gita yang tiba-tiba itu. Gita meninggal di usianya yang masih sangat muda, dia meninggal dengan tenang dalam tidurnya. Aku berhari-hari tak masuk kerja untuk mempercayai semua ini. Bagaimana mungkin aku terbiasa dengan tanpa kehadiran Gita ?

***

Aku duduk diam di kursi kerjaku. Sebuah flashdisk menarik perhatianku. Aku lupa, Gita pernah memberiku flashdisk ini untuk memeriksa beberapa data di dalamnya. Begitu flashdisk sudah disambungkan, file-file dokumen bermunculan. Satu demi satu judul file itu kubaca. Ada satu judul yang aneh, “Gibran”. Mengapa ada file yang berjudul namaku ? Dengan cepat segera kubuka file itu.

Aku benci harus jujur mengenai hal ini
Aku benci harus berpura-pura tak lelah mencintaimu
Aku benci mencintai seseorang yang tak peka sepertimu
Aku benci tak bisa mengendalikan perasaanku
Aku benci setiap kau bertanya mengapa, mengapa, mengapa ?
Aku benci setiap kau hanya memandangku cuek dan tak berguna
Aku benci setiap kau tak bisa mengartikan arti pandangku
Aku benci karena kau tak pernah bisa membaca pikiranku
Aku benci karena mencintai seseorang sepertimu
~Gita Anatasya~

Maaf Gita, aku benar-benar tidak tahu.
Tetapi sekarang aku tahu, aku sudah menemukan jawaban dari segala tanda tanya yang kau tinggalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar