Semuanya
penuh tanda tanya. Gadis itu selalu membiarkan aku bermain dengan tanda tanya.
Ia gadis yang baik, cantik, dan juga cukup cerewet. Sifatnya yang cerewet itu
yang selalu aku rindukan. Sifatnya yang cerewet itu yang selalu mengingatkanku
padanya.
Dia
Gita, dia temanku. Temanku sejak SMP, kemudian kami berlanjut di SMA yang sama.
Saat kuliah kami juga satu jurusan di tempat kuliah yang sama. Sekarang, kami
juga bekerja di satu tempat yang sama.
***
“Gibran,
kau darimana saja?” tanya Gita seperti biasanya setelah beberapa saat aku
menghilang dari hadapannya.
“Aku
? Aku tidak pergi kemana-mana. Aku hanya pergi keluar sebentar.”
“Seharusnya
kau mengabariku.”
“Mengapa
aku harus mengabarimu?”
“Karena
aku mengkhawatirkanmu.”
“Mengapa
kau selalu mengkhawatirkanku?” aku terus bertanya dengan cuek. Gitta menatapku
lurus.
“Mengapa
menatapku seperti itu?” mendapat pertanyaan seperti itu dariku, Gita langsung
meninggalkanku dengan tanda tanya.
***
“Gibran,
kau sudah makan?” tanyanya.
“Belum.”
“Mengapa
belum?”
“Apa
kau tidak lihat, aku sedang sibuk.”
“Apa
aku perlu membuatkanmu makanan?” tanyanya lagi.
“Untuk
apa ? Supaya aku tidak sakit?” aku bertanya balik.
“Bagaimanapun
juga kau harus makan.” Katanya dengan bersikeras.
“Mengapa
kau memaksaku?”
“Aku
tidak memaksamu.”
“Lalu
kenapa ? Kau mengkhawatirkanku lagi ? Sudahlah Gita, kau jadi wanita terlalu
peduli. Sudah sana, pikirkan hal lain saja, apa hanya aku yang selalu kau
pikirkan?” tak sadar, aku sudah berbicara panjang lebar. Lagi-lagi aku mendapat
tatapan tajam dari Gita.
“Jangan
suka menatapku seperti itu.” Kataku. Tanpa bicara sepatah katapun, ia berlari
meninggalkanku.
***
“Lihat
apa yang terjadi, kau sekarang sakit, Gibran.”
“Lagi-lagi
kau Gita. Mengapa repot-repot datang kemari untuk menjengukku ? Aku baik-baik
saja.”
“Bagaimana
mungkin kau baik-baik saja jika kau sekarang terbaring seperti ini di atas
ranjang.”
“Kau
membawakanku apa ? Buah-buahan?” aku segera mengambil bingkisan itu dari tangan
Gita. “Apa yang kau lihat?” tanyaku begitu melihat Gita hanya diam saja. “Kau
lihat ? Aku baik-baik saja. Jangan mengkhawatirkanku. Kembalilah bekerja.” Kataku.
“Baiklah,
kau harus buktikan padaku bahwa kau baik-baik saja.” Seusai mengatakan hal itu
ia pergi.
***
“Gita,
jangan cari aku. Siang ini aku mau keluar dulu. Kalau direktur datang, katakan saja aku sedang ada keperluan di luar.” Ujarku
pada Gita.
“Kau
mau kemana?”
“Aku
harus menemui seseorang.”
“Seseorang
? Wanita?”
“Sepertinya
benar. Sudah dulu ya, aku harus segera pergi.” Aku berjalan keluar ruangan,
sementara itu masih terdengar suara Gita.
“Hei,
kau mau kemana ? Kapan kau kembali ke sini?” maaf Gita, aku harus pergi dulu.
***
“Gita,
kemari ! Mengapa semua bisa jadi berantakan seperti ini?” gadis itu hanya
menunduk ketika dipanggil. Sebenarnya semua adalah kesalahanku.
“Mengapa
kau biarkan Gibran pergi keluar sementara arsip-arsip penting ini harus
diperiksa siang ini juga!”
“Jangan
salahkan Gibran, pak. Ini semua salah saya. Saya tadi berjanji pada Gibran untuk
menggantikannya memeriksa arsip-arsip ini selagi Gibran keluar.” Aku tercengang.
“Benar
begitu, Gibran?” pak direktur menatapku. Drama macam apa ini ? Aku hanya
menganggukan kepala.
“Kalau
begitu, sekarang kalian berdua cepat periksa arsip-arsip itu, jangan lagi
keluar dari kantor selagi tugas belum selesai.”
***
“Git,
drama apa yang tadi kau lakukan ? Aku tak tahu kau pandai bersandiwara.”
“Drama
yang mana maksudmu?”
“Mengapa
kau berbohong bahwa kau menggantikan
tugasku?”
Gita
memandangiku, tanpa menjawab, ia langsung pergi begitu saja meninggalkan tanda
tanya di benakku.
Malam
semakin larut dan aku tak juga menemukan jawabannya.
***
Hari
ini adalah hari yang sibuk, aku pulang sangat larut malam tak seperti biasanya.
Di kota ini aku hanya tinggal sendirian. Semua keluargaku tinggal berpencar di
berbagai kota.
Begitu
aku pulang dan memasuki teras rumahku, aku menyadari sesuatu. Aku terkejut.
“Gita
? Apa yang kau lakukan di sini ? Git, bangun..” ujarku, namun Gita tak juga
bangun. Mungkin ia begitu lelah. Aku melihat sebuah kotak di sampingnya. Perlahan-lahan
kubuka kotak itu. Kue ulangtahun ? Siapa yang berulangtahun ?
“Gita,
bangunlah Git. Mengapa kau bisa tidur di sini?”
Perlahan-lahan
ia menyadari suaraku. Ia menatap sekelilingnya.
“Gibran,
kau baru pulang ? Mengapa larut sekali?”
“Sebelumnya,
kau yang harus dulu menjawab pertanyaanku. Sedang apa kau di sini ? Kue
ulangtahun siapa ini?”
“Gibran,
apa kau lupa dengan hari ini ? Mengapa kau begitu sibuk sampai bisa melupakan
hari ini?” kurasakan Gita menahan emosi dalam kalimatnya.
“Apa
? Maksudmu, aku berulangtahun hari ini?” aku memegang keningku.
Gita
mengangguk. Aku menatap jam tanganku, sekarang sudah pukul sepuluh malam.
“Gita,
hanya tinggal dua jam lagi kita bisa merayakan ulangtahunku. Ini sangat larut,
bagaimana kalau kau pulang saja ? Aku akan mengantarmu.”
Gita
diam tak bergerak. Dia hanya menatapku.
“Oh
ya, terimakasih kuenya. Aku tidak tahu kau sangat hafal tanggal kelahiranku.” Ucapku
sedikit salah tingkah.
“Kau
lelah bukan ? Istirahatlah, aku bisa pulang sendiri.”
“Jangan
seperti itu, semua pria tahu, wanita tidak baik dibiarkan pulang sendiri tengah
malam. Apalagi wanita sebaik dirimu.”
“Sejak
kapan kau jadi peduli padaku?” aku tercengang mendengar perkataannya. Sebelum
aku berhasil menjawab, ia sudah melangkah pergi. Begitu sebuah taksi lewat, ia
segera masuk ke dalam taksi itu, dan taksi itu menghilang di ujung jalan. Lagi-lagi
ia meninggalkan sebuah pertanyaan, ‘mengapa
ia berkata seperti itu?’
***
Hari
sendu itupun tiba, hari yang datang sangat tiba-tiba, hari yang benar-benar
mengejutkanku.
“Mbak,
kantor kenapa sepi begini?” tanyaku pada seorang office girl.
“Sepi
pada ngelayat, ada pegawai yang meninggal.”
“Siapa?”
“Mbak
Gita, mas.” Aku tercengang. Gita ?
“Mbak,
jangan bercanda begitu. Saya serius. Mbaknya bercanda, kan?”
“Saya
serius, mas.” Tiba-tiba saja tubuhku lemas. Aku mulai tak bisa menahan
bendungan air mataku. Aku berlari keluar kantor, kupacu mobilku.
Benar
saja, rumah itu ramai. Rumah yang dulu sering menjadi tempat belajar kelompok,
rumah yang dulu sering menjadi tempat kami semua berkumpul dan bermain kucing-kucingan,
bahkan rumah yang dulu sering menjadi sasaran tempat singgah ketika aku dan
yang lainnya membolos. Rumah Gita, rumah sejuta kenangan.
Hari
itu gerimis ikut berduka atas kematian Gita yang tiba-tiba itu. Gita meninggal
di usianya yang masih sangat muda, dia meninggal dengan tenang dalam tidurnya. Aku
berhari-hari tak masuk kerja untuk mempercayai semua ini. Bagaimana mungkin aku
terbiasa dengan tanpa kehadiran Gita ?
***
Aku
duduk diam di kursi kerjaku. Sebuah flashdisk menarik perhatianku. Aku lupa,
Gita pernah memberiku flashdisk ini untuk memeriksa beberapa data di dalamnya. Begitu
flashdisk sudah disambungkan, file-file dokumen bermunculan. Satu demi satu
judul file itu kubaca. Ada satu judul yang aneh, “Gibran”. Mengapa ada file
yang berjudul namaku ? Dengan cepat segera kubuka file itu.
Aku benci harus
jujur mengenai hal ini
Aku benci harus
berpura-pura tak lelah mencintaimu
Aku benci
mencintai seseorang yang tak peka sepertimu
Aku benci tak bisa
mengendalikan perasaanku
Aku benci setiap
kau bertanya mengapa, mengapa, mengapa ?
Aku benci setiap
kau hanya memandangku cuek dan tak berguna
Aku benci setiap
kau tak bisa mengartikan arti pandangku
Aku benci karena
kau tak pernah bisa membaca pikiranku
Aku benci karena
mencintai seseorang sepertimu
~Gita Anatasya~
Maaf
Gita, aku benar-benar tidak tahu.
Tetapi
sekarang aku tahu, aku sudah menemukan jawaban dari segala tanda tanya yang kau
tinggalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar