Fasya,
gadis bermata teduh itu mencintai kesepian. Rembulan, bintang, awan, langit,
semua berkawan dengannya. Rerumputan, pepohonan, ilalang, hutan, senantiasa
menjadi temannya. Fasya, gadis dengan mata bermandikan cahaya rembulan itu
mencintai buku-buku, teh, bunga-bunga, bahkan anak-anak. Fasya, seorang gadis
yang normal tetapi memilih menjalani hidup yang tak normal.
Ketika
duduk di bangku sekolah dasar dulu, Fasya disebut-sebut sebagai siswi populer
dengan kecerdasan di atas rata-rata anak seusianya, kemampuannya berbicara
dengan penuh percaya diri di depan umum, dan prestasinya begitu gemilang hingga
ia selalu menjadi kebanggan sekolahnya.
Sayangnya,
selepas ia lulus sekolah dasar, kedua orangtuanya meninggal dunia dalam
kecelakaan beruntun. Fasya yang memiliki kecerdasan yang tinggi itu paham betul
apa yang terjadi dengan orangtuanya. Jiwanya begitu terguncang, pikirannya
menjadi kacau balau, kepingan hatinya hancur berserakan.
Kemudian
ia menghilang. Tak terdengar lagi kabarnya. Tak tahu lagi seperti apa kini
rupanya. Tak paham lagi bagaimana kondisinya, kondisi hati dan lukanya. Entah
seperti apa kini.
***
Aku
berbaring menatapi langit-langit bisu di dalam kamar asramaku. Sudah sejauh ini
rupanya langkahku, impianku untuk segera lulus sudah mendekat ke arahku.
Impian-impian yang lebih besar juga tengah menungguku, memintaku untuk segera
digapai.
“Jadi,
bagaimana, Boi?” perhatianku berpindah pada pertanyaan Ari, pria asal Pulau
Belitung itu penuh dengan ambisi.
“Apanya
yang bagaimana, Boi?” kubalas dengan menirukan logatnya.
“Setelah
lulus nanti, apa rencanamu?” kali ini pertanyaannya membuatku kembali
memandangi langit-langit yang bisu.
Namun
tiba-tiba saja bayangan seorang anak perempuan berkelebat di langit-langit
tanpa suara itu. Anak perempuan yang pertama kali kusuka. Kupejamkan mataku
sesaat. Kemudian membukanya, menarik napas panjang, aku menyadari anak
perempuan itu bukan lagi seorang anak perempuan. Buruknya lagi aku tak tahu
dimana ia. Akhirnya aku menjawab pertanyaan Ari seadanya saja.
“Aku
belum memikirkannya, Boi. Kau sendiri bagaimana?”
“Setelah
lulus nanti, akan segera kusebar undangan. Tak sabar aku ingin pinang si Juleha
itu, Boi.” Ujarnya sambil tertawa, aku sedikit terkejut hingga langsung bangkit
dari tempat tidur. Ia menepuk-nepuk bahuku. Aku hanya bisa mengangguk-anggukan
kepalaku.
“Siapa
gadis yang ada di dalam puisi-puisimu itu, Boi?”
Aku
terkejut mendengar pertanyaannya.
“Apa?
Kau tahu tentang puisi-puisiku? Hei! Kau pasti membuka-buka lemariku, ya?!” aku
jengkel bukan main, kujitak kepalanya berkali-kali.
“Maafkan
aku, Boi. Sebentar lagi kita berpisah dan akan melanjutkan ke proses kehidupan
yang lainnya, mengapa kau tutup-tutupi gadismu itu? Setidaknya biarkan sahabatmu
ini tahu bahwa kau juga bias laku, Boi!”
Mendengar
itu, kupelototi saja dia. Dia membalasku dengan cengiran. Kemudian mengambil
handuknya sambal bersiul menuju kamar mandi.
Selama
beberapa detik, memoriku sempat terguncang. Bayangan gadis itu sungguh buram di
benakku, meski ingin sekali aku mengingat rupanya. Seperti apa ia sekarang?
Dimana ia sekarang?
Jika
benar ia tak berharga untukku, mengapa sejak kecil dulu aku suka sekali membuat
puisi tentang dirinya? Mengapa ia selalu menginspirasiku untuk membuat
rangkaian kata-kata puitis? Mengapa aku suka menggambarkan dirinya melalui
kalimat-kalimat sederhana yang aku tak mengerti mengapa harus karena
kehadirannya? Bahkan aku tak paham mengapa aku masih menyimpan semua
kertas-kertas usang yang berisi semua puisi itu? Pertanyaan dari Ari tadi
seperti sebuah takdir kecil, takdir yang membuatku harus mengingatnya kembali
pada hari ini. Gadis itu, masihkah ia mengingatku?
Aku
memikirkannya begitu lama, sampai-sampai aku tak menyadari bahwa Ari sudah
keluar dari kamar mandi.
“Lekas
ganti bajumu, Boi. Berpenampilanlah yang wajar, kita akan melatih junior kita!”
“Berpenampilan
yang wajar? Hei, maksudmu selama ini aku sering tak wajar?”
Ari
tak menjawabku, ia melemparkan handuknya ke arah wajahku. Asem!
Beginilah
hari-hari terakhir kami di Akademi Pelayaran kebanggan kami ini. Melatih para
junior sudah menjadi bagian tugas kami. Selain itu, kami masih mengikuti apel
tiap harinya, serta kegiatan rutin pembersihan kamar.
Aku
tak begitu terkejut mendengar pengakuan Ari bahwa ia akan segera meminang
Juleha, akhir-akhir ini beberapa dari teman kami bahkan sudah menyebar
undangan. Tentu saja undangan pernikahan. Acara yang begitu sakral, sebab
keputusanmu untuk menikah adalah keputusan yang berdampak permanen. Ya, sebab
kau akan bersama orang yang kau pilih untuk selamanya, menerima segala
kekurangan dan kelebihannya, menjadi penyeimbangnya, penyemangatnya, ia akan
menjadi orang pertama yang kau lihat saat hendak tidur begitu juga saat
terbangun. Suaranya akan mengisi hari-harimu, tingkahnya akan menjadi kebiasaan
yang kau lihat. Kau tak bisa bermain-main soal yang satu ini, begitu sensitif
kataku.
Oh,
ayolah, mengapa aku begitu sok tahu mengenai ini, bahkan aku sendiripun tak
seperti teman-temanku yang lain. Mereka telah berhasil jatuh hati, mereka tahu
jatuh hati pada siapa, pada orang yang berada dimana.
Aku
sendiri betapa malangnya mencintai seorang gadis yang ku kais-kais dari
kenanganku yang berantakan, membayangkan rupanya saja sudah begitu sulit, apa
lagi mengetahui keberadaannya. Setidaknya, memoriku mengingatkanku bahwa masih
ada sisa-sisa perasaan itu. Aku perlu mencarinya. Kuanggukkan kepalaku, dan
kukepalkan tanganku.
“Kenapa
lu, Bro?” Jason cekikikan melihat tingkahku.
“Enggak
apa-apa, Bro.”
“Kok
gua belum dapat undangan lu ya? Lu kan yang paling ngebet di antara kita.”
Jason
berbicara omong kosong, sementara Ari hanya datar menatapku, sepertinya aku
tahu apa harapan Ari terhadapku. Ari mendekatiku.
“Selamat
berjuang, Boi.” Ari mengatakan hal itu dengan sungguh-sungguh kepadaku.
Aku
hanya membungkam, sementara Jason memasang wajah penasaran. Ari berlalu, tetapi
Jason masih menunggu reaksiku.
“Jadi,
kapan lu sama Adinda bertunangan?”
Aku
menoleh cepat. Pertanyaan Jason tak kusangka-sangka.
“Siapa
yang bertunangan sama Adinda?”
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar