18/11/16

Melalui Cara Tuhan




Fasya, gadis bermata teduh itu mencintai kesepian. Rembulan, bintang, awan, langit, semua berkawan dengannya. Rerumputan, pepohonan, ilalang, hutan, senantiasa menjadi temannya. Fasya, gadis dengan mata bermandikan cahaya rembulan itu mencintai buku-buku, teh, bunga-bunga, bahkan anak-anak. Fasya, seorang gadis yang normal tetapi memilih menjalani hidup yang tak normal. 

Ketika duduk di bangku sekolah dasar dulu, Fasya disebut-sebut sebagai siswi populer dengan kecerdasan di atas rata-rata anak seusianya, kemampuannya berbicara dengan penuh percaya diri di depan umum, dan prestasinya begitu gemilang hingga ia selalu menjadi kebanggan sekolahnya. 

Sayangnya, selepas ia lulus sekolah dasar, kedua orangtuanya meninggal dunia dalam kecelakaan beruntun. Fasya yang memiliki kecerdasan yang tinggi itu paham betul apa yang terjadi dengan orangtuanya. Jiwanya begitu terguncang, pikirannya menjadi kacau balau, kepingan hatinya hancur berserakan.

Kemudian ia menghilang. Tak terdengar lagi kabarnya. Tak tahu lagi seperti apa kini rupanya. Tak paham lagi bagaimana kondisinya, kondisi hati dan lukanya. Entah seperti apa kini.

***

Aku berbaring menatapi langit-langit bisu di dalam kamar asramaku. Sudah sejauh ini rupanya langkahku, impianku untuk segera lulus sudah mendekat ke arahku. Impian-impian yang lebih besar juga tengah menungguku, memintaku untuk segera digapai.
“Jadi, bagaimana, Boi?” perhatianku berpindah pada pertanyaan Ari, pria asal Pulau Belitung itu penuh dengan ambisi.
“Apanya yang bagaimana, Boi?” kubalas dengan menirukan logatnya.
“Setelah lulus nanti, apa rencanamu?” kali ini pertanyaannya membuatku kembali memandangi langit-langit yang bisu.

Namun tiba-tiba saja bayangan seorang anak perempuan berkelebat di langit-langit tanpa suara itu. Anak perempuan yang pertama kali kusuka. Kupejamkan mataku sesaat. Kemudian membukanya, menarik napas panjang, aku menyadari anak perempuan itu bukan lagi seorang anak perempuan. Buruknya lagi aku tak tahu dimana ia. Akhirnya aku menjawab pertanyaan Ari seadanya saja.
“Aku belum memikirkannya, Boi. Kau sendiri bagaimana?”
“Setelah lulus nanti, akan segera kusebar undangan. Tak sabar aku ingin pinang si Juleha itu, Boi.” Ujarnya sambil tertawa, aku sedikit terkejut hingga langsung bangkit dari tempat tidur. Ia menepuk-nepuk bahuku. Aku hanya bisa mengangguk-anggukan kepalaku.
“Siapa gadis yang ada di dalam puisi-puisimu itu, Boi?”
Aku terkejut mendengar pertanyaannya.
“Apa? Kau tahu tentang puisi-puisiku? Hei! Kau pasti membuka-buka lemariku, ya?!” aku jengkel bukan main, kujitak kepalanya berkali-kali.
“Maafkan aku, Boi. Sebentar lagi kita berpisah dan akan melanjutkan ke proses kehidupan yang lainnya, mengapa kau tutup-tutupi gadismu itu? Setidaknya biarkan sahabatmu ini tahu bahwa kau juga bias laku, Boi!”
Mendengar itu, kupelototi saja dia. Dia membalasku dengan cengiran. Kemudian mengambil handuknya sambal bersiul menuju kamar mandi.

Selama beberapa detik, memoriku sempat terguncang. Bayangan gadis itu sungguh buram di benakku, meski ingin sekali aku mengingat rupanya. Seperti apa ia sekarang? Dimana ia sekarang?
Jika benar ia tak berharga untukku, mengapa sejak kecil dulu aku suka sekali membuat puisi tentang dirinya? Mengapa ia selalu menginspirasiku untuk membuat rangkaian kata-kata puitis? Mengapa aku suka menggambarkan dirinya melalui kalimat-kalimat sederhana yang aku tak mengerti mengapa harus karena kehadirannya? Bahkan aku tak paham mengapa aku masih menyimpan semua kertas-kertas usang yang berisi semua puisi itu? Pertanyaan dari Ari tadi seperti sebuah takdir kecil, takdir yang membuatku harus mengingatnya kembali pada hari ini. Gadis itu, masihkah ia mengingatku?

Aku memikirkannya begitu lama, sampai-sampai aku tak menyadari bahwa Ari sudah keluar dari kamar mandi.
“Lekas ganti bajumu, Boi. Berpenampilanlah yang wajar, kita akan melatih junior kita!”
“Berpenampilan yang wajar? Hei, maksudmu selama ini aku sering tak wajar?”
Ari tak menjawabku, ia melemparkan handuknya ke arah wajahku. Asem!
Beginilah hari-hari terakhir kami di Akademi Pelayaran kebanggan kami ini. Melatih para junior sudah menjadi bagian tugas kami. Selain itu, kami masih mengikuti apel tiap harinya, serta kegiatan rutin pembersihan kamar.


Aku tak begitu terkejut mendengar pengakuan Ari bahwa ia akan segera meminang Juleha, akhir-akhir ini beberapa dari teman kami bahkan sudah menyebar undangan. Tentu saja undangan pernikahan. Acara yang begitu sakral, sebab keputusanmu untuk menikah adalah keputusan yang berdampak permanen. Ya, sebab kau akan bersama orang yang kau pilih untuk selamanya, menerima segala kekurangan dan kelebihannya, menjadi penyeimbangnya, penyemangatnya, ia akan menjadi orang pertama yang kau lihat saat hendak tidur begitu juga saat terbangun. Suaranya akan mengisi hari-harimu, tingkahnya akan menjadi kebiasaan yang kau lihat. Kau tak bisa bermain-main soal yang satu ini, begitu sensitif kataku.

Oh, ayolah, mengapa aku begitu sok tahu mengenai ini, bahkan aku sendiripun tak seperti teman-temanku yang lain. Mereka telah berhasil jatuh hati, mereka tahu jatuh hati pada siapa, pada orang yang berada dimana.
Aku sendiri betapa malangnya mencintai seorang gadis yang ku kais-kais dari kenanganku yang berantakan, membayangkan rupanya saja sudah begitu sulit, apa lagi mengetahui keberadaannya. Setidaknya, memoriku mengingatkanku bahwa masih ada sisa-sisa perasaan itu. Aku perlu mencarinya. Kuanggukkan kepalaku, dan kukepalkan tanganku.
“Kenapa lu, Bro?” Jason cekikikan melihat tingkahku.
“Enggak apa-apa, Bro.”
“Kok gua belum dapat undangan lu ya? Lu kan yang paling ngebet di antara kita.”
Jason berbicara omong kosong, sementara Ari hanya datar menatapku, sepertinya aku tahu apa harapan Ari terhadapku. Ari mendekatiku.
“Selamat berjuang, Boi.” Ari mengatakan hal itu dengan sungguh-sungguh kepadaku.
Aku hanya membungkam, sementara Jason memasang wajah penasaran. Ari berlalu, tetapi Jason masih menunggu reaksiku.
“Jadi, kapan lu sama Adinda bertunangan?”
Aku menoleh cepat. Pertanyaan Jason tak kusangka-sangka.
“Siapa yang bertunangan sama Adinda?”



BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar