Jason,
temanku sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama itu mengetahui sepak
terjangku saat di bangku sekolah dulu. Aku sering risih dengan sikapnya yang
sering nempel-nempel denganku, katanya agar ia bisa ketularan famous juga sepertiku pada saat itu.
Entahlah, aku sendiri tidak tahu seeksis apa diriku saat di bangku sekolah
dulu.
Jason
mengetahui banyak hal yang kualami saat masih sekolah dulu. Diantara sekian
banyaknya teman perempuan yang menyukaiku, mungkin yang paling berkesan dan
terkenang di benak kebanyakan temanku adalah perempuan bernama Adinda itu.
Adinda seperti namanya ia bak seorang putri raja yang cantik jelita, berhati
emas, bersuara lembut, berambut badai, bahkan kecerdasannya tak perlu diragukan
lagi. Tak usah ditanyakan lagi berapa banyak pria yang menyukainya lantas patah
hati karena ditolaknya. Pria-pria itu seringkali menuduh bahwa akulah
penyebabnya.
Perempuan
yang disebut-sebut primadona sejagat sekolah itu dikabarkan menyukai diriku.
Aku yang disebut-sebut pria yang cukup pantas bersanding dengannya itu
seringkali dicocok-cocokkan dengannya. Aku bisa melihat jelas tingkah tersipu
Adinda kala itu, bagaimana wajahnya memerah, sesekali tertawa sambil menutup
mulutnya dengan tangan yang kupikir lembut itu, berpura-pura melirik ke arah
lain sambil sesekali memelintir rambutnya dengan jemarinya.
Aku
paham dengan komentar orang-orang di sekitarku, mereka mengatakan berbagai
macam hal yang membuatku seolah-olah harus memaksa diriku sendiri untuk
menerima kehadiran Adinda, orang-orang itu mengatakan, Adinda itu sempurna, Adinda itu gadis idaman, Siapa pria yang berani
menolaknya? Pria sombong mana yang sampai sekarang menggantung perasaannya?
Pria macam apa yang diinginkan Adinda.
Sampai
obrolan itu merembet pada namaku. Jadi,
Pria itu bernama Faras? Mengapa Faras tidak juga meresponnya? Apa pria itu
tidak waras? Padahal ia cocok dengan Adinda, kita lihat saja nanti, bagaimana
kalau kita taruhan kira-kira mereka nanti akan bersatu atau tidak?
Setiap
orang yang kutemui tak percaya padaku saat aku mengatakan bahwa hingga kini tak
pernah sekalipun aku menjalin suatu hubungan dengan gadis manapun. Lalu mereka
tertawa, lantas mengatakan bahwa wajahku yang katanya rupawan ini begitu
sia-sia. Aku tak peduli. Beberapa diantara mereka penasaran, bertanya padaku
perempuan seperti apa yang kuinginkan, atau bahkan sudah adakah perempuan itu
hanya saja aku belum mendapatkannya? Aku hanya menjawabnya dengan senyuman.
Kami
kembali disibukkan dengan pelbagai kegiatan sehari-hari di asrama. Sebagai
seorang senior, aku mengambil alih tugas pengecekan kebersihan tiap kamar.
Melatih junior dalam persiapan penampilan pedang pura juga masih menjadi bagian
dari tugas kami.
Aku
tak menyangka mendapati diriku sudah sejauh ini, proses pembuatan skripsi di
akademi pelayaran ini tidak seperti pembuatan skripsi di universitas pada
umumnya. Mulai sejak semester 3 hingga semester empat, kami ditugaskan untuk
menuntaskan tiga bab awal dalam skripsi. Kemudian berlanjut hingga menjalani ujian
keahlian bidang, dalam hal ini aku mengambil bidang teknik mesin. Setelah itu,
pada semester lima diadakan praktik, tetapi kami harus memiliki segala
kelengkapannya seperti sertifikat, paspor, dan lain sebagainya. Mengenai
praktiknya ini, selama setahun aku ditempatkan di Turki. Tentunya bukan hal
yang mudah hingga aku bisa melakukan praktik di sana. Waktu itu aku melakukan
ujian di suatu perusahaan yang pada akhirnya menempatkanku di negara Turki
bersama dengan empat orang kawanku yang lain.
Setelah
itu, pada semester enam, kami pulang dan kembali belajar lagi untuk melanjutkan
skripsi kami pada semester tujuh hingga delapan. Saat skripsi sudah selesai,
kami melakukan persentasi. Ini tak semudah yang kuceritakan, sebab jika dosenmu
merasa skripsimu begitu “kurang”, dosenmu bisa saja memintamu mengganti
skripsimu.
Sebelumnya
aku tak pernah bermimpi untuk bergabung di teknik mesin seperti ini. Seperti
halnya juga yang dipikirkan oleh orang-orang di sekelilingku. Sejak dahulu aku
sangat menyukai sastra. Ya, sejak aku bertemu dengan gadis itu. Kala itu,
semuanya kupendam. Tak pernah kutunjukkan. Aku lebih suka melihatnya dari
kejauhan, menyentuhnya lewat puisi-puisiku sendiri, memeluknya melalui dekapan
doa-doa. Tiba waktunya aku berpisah dengan gadis itu, perlahan pula puisi-puisi
mulai tak pernah kusentuh. Ya, ada memori yang kurindu. Kemudian seperti sebuah
lagu melewatiku, Jikustik dengan lagunya Puisi, membawaku mengenangnya.
Namun,
kau tahu, aku tidak pernah benar-benar melupakannya. Kumpulan puisi-puisi itu
masih kusimpan rapi. Ketika pada akhirnya aku bertemu suatu waktu yang
mengharuskanku untuk mencintai seseorang, mengapa yang terbayang di benakku
hanya dia? Meski selalu samar wajahnya, sebab sudah terlama aku kehilangannya.
Aku
merenung, terus merenung. Sudahlah, cinta bukan keterpaksaan, pada akhirnya
cinta akan menemuimu, bagaimanapun caranya, ada takdir yang digenggam oleh-Nya.
Aku percaya pada takdir-Nya.
Kupejamkan
mata. Bayangan gadis itu dan bayangan Adinda silih berganti memenuhi ruang
pikirku. Mungkinkah kubiarkan masa lalu menguap, mencintai yang kini ada? Yang
katanya sempurna? Yang katanya pantas bersanding denganku? Lalu, adakah yang
bertanggungjawab bila di kemudian hari perasaanku pada masa laluku meluap-luap?
Lebih bandang dari sebelumnya?
***
Aku
menghela nafas, berusaha tersenyum. Wajahku begitu tegang. Hari kelulusan
bukanlah akhir dari perjuanganku. Ini adalah babak baru perjuangan dalam
hidupku. Waktu menantangku untuk menjawab babak baru ini. Tiap-tiap temanku
mencari teman hidup yang akan menemani mereka di babak baru ini. Aku terpaku
melihat seorang gadis tersenyum sumringah dari jauh kepadaku. Sesekali diseka
dengan hati-hati tepi matanya. Mungkin khawatir make-up yang dikenakannya runtuh. Ia mengenakan sebuah kebaya yang
anggun, membuat penampilannya begitu manis hari ini. Perlahan ia mendekat ke
arahku. Aku masih terpaku.
Ia
berhenti di hadapanku yang masih terpaku. Aku menelan ludah. Mata cokelatnya
memandang ke dalam mataku. Gadis itu menangis, kemudian tangan kirinya menutupi
mulutnya. Sementara itu, buket bunga yang ada di tangan kanannya ia berikan
padaku. Aku menerima buket bunga itu, ingin rasanya memeluknya. Aku tahu, ia
menangis bahagia. Tetapi, aku merasa tak pantas untuk melakukan itu.
Kusentuh
pundaknya pelan. Kudekati bibirku di telinganya. Kubisiki dia.
“Terimakasih
banyak. Sekali lagi terimakasih. Kamu akan selalu menjadi temanku yang terbaik,
Adinda.”
Sesaat
air di matanya bertambah deras. Kini, ia terlihat tak memedulikan lagi riasan
di wajahnya. Rambut poninya mulai tak beraturan. Kemudian, ia berhenti menangis.
“Terimakasih
kembali, Faras. Aku akan selalu ada buat kamu.” Ia berbalik, meninggalkanku.
***
Aku
melewati masa-masa yang cukup sulit dalam hidupku. Masa dimana aku harus
mengambil banyak keputusan yang berdampak permanen, aku harus memilih jalan hidupku,
aku harus menjalaninya meski aku berulangkali diterpa kebimbangan.
Ari
sungguh-sungguh melamar Juleha, beberapa hari selepas hari kelulusan. Aku tahu,
keseriusan Ari bukan main saat membicarakan soal pernikahan. Sedangkan, Jason,
yang kupikir masih begitu kekanak-kanakkan dan sifat jahil yang tak kunjung
hilang itu justru membuatku tercengang karena ia tak mau kalah dari Ari. Lewat
beberapa minggu pernikahan Ari, Jason melamar seorang teman perempuannya, yang
baru kuketahui rupanya perempuan itu adalah Renita, teman kami semasa SMA dulu.
Aku tak tahu sejak kapan Jason mengincar Renita karena saat duduk di bangku
sekolah dulu hanya sosok bernama Febby lah yang sering diceritakan olehnya.
Kupikir ia menyukai Febby, meski pada akhirnya Renita yang menikah dengannya.
Ada banyak misteri di dalam hidup ini, memang tak perlu semua hal kita ketahui,
kita mengerti.
BERSAMBUNG
Sumber gambar:
Tumblr.com
ayo lanjutin
BalasHapusudah ada tuh lanjutannya. Happy reading! ;)
Hapus