26/08/18

"Lebay"

Suatu malam saya curhat melalui sambungan telepon dengan orang yang paling saya sayangi nun jauh di pulau Sulawesi sana.

“Kalau papanya temanku tuh suka nelpon, nanya sudah makan belum? Makan pake apa tadi? Gitu.” Saya curhat begitu dengan maksud menyinggung ayah saya yang berada di ujung sambungan telepon.

Lalu, tahu tidak ayah saya menjawab apa?
“Itu lebay.” Gitu katanya, astaga, saya ngakak.

Diam-diam saya memikirkan, kayaknya saya jiplakan beliau, deh. Dikit-dikit ngatain alay ke orang-orang yang care sama saya. Ya, kenapa sih, nanyanya sudah makan atau belum? Kalau sudah kenapa? Kalau belum terus kenapa?

Saya sempat mengonsultasikan hal ini ke salah seorang teman saya yang merupakan sarjana psikologi, mengapa saya berbeda dengan si B? yang ternyata si B itu bahagianya bukan main ketika ada yang bertanya kamu sudah makan, belum? Ke dirinya.

Menurut psikolog tersebut, rentetan pertanyaan atau kepedulian kecil seperti itu sangat berpengaruh dalam kehidupan seseorang hingga membentuk pribadi atau karakter yang berbeda seperti yang terjadi pada saya dengan si B.

Mengapa saya seringnya mengatai alay pada mereka yang care pada saya? Sebab, saya seolah “muak” karena sejak saya kecil sudah banyak dijejali rentetan pertanyaan dan kepedulian-kepedulian kecil yang membuat di dalam hidup saya terlalu banyak “memakan” hal tersebut karena saya dan si B berada dalam lingkungan yang berbeda yang dimana si B kurang mendapat perhatian orangtuanya yang disebabkan sang ibu sibuk mengurus ekonomi keluarga karena ayahnya sakit keras sehingga potensi rasa bahagia saat ditanya “kamu sudah makan, belum?” terhadap si B lebih besar dibanding saat pertanyaan tersebut dilontarkan pada mereka yang sejak kecil telah mendapatkan perhatian seimbang dari lingkungannya.

Lalu setelah saya curhat dan dijawab lebay, akhirnya ayah saya mencoba membuat banyak pertanyaan, dari mulai bagaimana tempat tinggal baru saya? Bagaimana teman-temannya? Bagaimana cita-cita saya yang dulu ingin jadi reporter? Masih sering menulis? Lanjut ke pembahasan S2, hingga membahas bahwa menikah bagi ayah saya adalah cita-cita dan lahirlah pertanyaan kapan kamu menikah? Uwowooooo.

Kamu tahu apa yang paling megerikan?
“Kalau kamu lanjut S2, berarti nyari laki-lakinya yang S2 juga, dong.”
“Emang kalau aku S2, laki-lakinya nggak boleh S1 saja?”
“Eh, ya, satu saja kalau punya suami.”

Begitulah ayah saya, kesannya terserah saya tetapi diam-diam mengarah pada satu arah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar