Suatu malam saya
curhat melalui sambungan telepon dengan orang yang paling saya sayangi nun jauh
di pulau Sulawesi sana.
“Kalau papanya
temanku tuh suka nelpon, nanya sudah makan belum? Makan pake apa tadi? Gitu.”
Saya curhat begitu dengan maksud menyinggung ayah saya yang berada di ujung
sambungan telepon.
Lalu, tahu tidak
ayah saya menjawab apa?
“Itu lebay.”
Gitu katanya, astaga, saya ngakak.
Diam-diam saya memikirkan,
kayaknya saya jiplakan beliau, deh. Dikit-dikit ngatain alay ke orang-orang
yang care sama saya. Ya, kenapa sih, nanyanya sudah makan atau belum? Kalau
sudah kenapa? Kalau belum terus kenapa?
Saya sempat
mengonsultasikan hal ini ke salah seorang teman saya yang merupakan sarjana
psikologi, mengapa saya berbeda dengan si B? yang ternyata si B itu bahagianya
bukan main ketika ada yang bertanya kamu
sudah makan, belum? Ke dirinya.
Menurut psikolog
tersebut, rentetan pertanyaan atau kepedulian kecil seperti itu sangat
berpengaruh dalam kehidupan seseorang hingga membentuk pribadi atau karakter
yang berbeda seperti yang terjadi pada saya dengan si B.
Mengapa saya
seringnya mengatai alay pada mereka yang care pada saya? Sebab, saya seolah
“muak” karena sejak saya kecil sudah banyak dijejali rentetan pertanyaan dan
kepedulian-kepedulian kecil yang membuat di dalam hidup saya terlalu banyak
“memakan” hal tersebut karena saya dan si B berada dalam lingkungan yang berbeda
yang dimana si B kurang mendapat perhatian orangtuanya yang disebabkan sang ibu
sibuk mengurus ekonomi keluarga karena ayahnya sakit keras sehingga potensi
rasa bahagia saat ditanya “kamu sudah makan, belum?” terhadap si B lebih besar
dibanding saat pertanyaan tersebut dilontarkan pada mereka yang sejak kecil telah
mendapatkan perhatian seimbang dari lingkungannya.
Lalu setelah
saya curhat dan dijawab lebay, akhirnya ayah saya mencoba membuat banyak
pertanyaan, dari mulai bagaimana tempat tinggal baru saya? Bagaimana
teman-temannya? Bagaimana cita-cita saya yang dulu ingin jadi reporter? Masih
sering menulis? Lanjut ke pembahasan S2, hingga membahas bahwa menikah bagi
ayah saya adalah cita-cita dan lahirlah pertanyaan kapan kamu menikah?
Uwowooooo.
Kamu tahu apa
yang paling megerikan?
“Kalau kamu
lanjut S2, berarti nyari laki-lakinya yang S2 juga, dong.”
“Emang kalau aku
S2, laki-lakinya nggak boleh S1 saja?”
“Eh, ya, satu
saja kalau punya suami.”
Begitulah ayah
saya, kesannya terserah saya tetapi diam-diam mengarah pada satu arah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar