Minggu-Minggu
Awal Wabah Datang
Halo, saya Nina, salah satu
masyarakat Indonesia yang ingin berbagi cerita tentang wabah yang melanda hampir
seluruh negeri bahkan dunia. Pada minggu-minggu awal wabah datang ke Indonesia,
yang mana pasien pertama berlokasi di Depok, Jawa barat, maka kami yang
berlokasi di Jawa Tengah tentu masih bersikap biasa saja. Makin lama, wabah ini
semakin memakan banyak korban. Orang-orang dinyatakan positif covid-19. Pada
awalnya, pemerintah masih mencari sumber jejak penyebaran virus ini sampai pada
akhirnya tidak lagi dapat terkendali karena pasien-pasien selanjutnya rupanya tidak
mempunyai interaksi dengan pasien-pasien sebelumnya.
Minggu berikutnya, Yogyakarta mulai
mengabarkan adanya salah satu warganya yang terkena covid-19 dan kami masih
biasa saja. Hari-hari kemudian, satu-persatu sekolah mulai diliburkan, termasuk
beberapa universitas. Salah satunya adalah universitas kami. Kami, sebagai
mahasiswa perantauan yang sedang kebingungan dalam pergulatan skripsi lantas
semakin kebingungan untuk membuat jadwal bimbingan. Para dosen tidak menerima
bimbingan face to face padahal kami
lebih nyaman untuk bertemu langsung karena akan lebih mudah memahami penjelasan
dosen pembimbing yang bersangkutan. Mau dikata apa, surat edaran sudah
dibagikan, kami berusaha mengiyakan.
Hari-hari saat itu masih tetap biasa
saja, belanja ke warung sayur karena kami hendak memasak bersama. Kami hanya
menghabiskan Rp. 20.000,- ribu untuk makan bertiga untuk dua kali makan, pagi
dan sore; Sayur asem, tahu goreng, sambal terasi. How a cheap food costs! Wow, yeah, welcome to Jogja, nak! Selain
itu, kami juga masih melakukan aktivitas seperti biasanya; menginap bersama,
yang satu maskeran wajah, yang satu main handphone,
yang satu nonton film, kami bercerita hingga larut malam, bahkan saya juga
sempat masih datang ke kafe untuk pertemuan yang memang sudah saya agendakan
dengan teman-teman SMA saya. Semua masih terasa biasa saja, meski imbauan love distancing, eh maaf, maksudnya social distancing atau jaga jarak sudah
mulai diberlakukan.
Rumah
kedua
Satu demi satu teman saya memutuskan
untuk pulang ke rumah sebelum wabah kian menyebar dan lockdown yang sesungguhnya mulai diberlakukan. Untuk itu, saya juga
segera berkemas bermaksud untuk pulang ke rumah kedua saya di Magelang. Saya
bermaksud mengunci diri di daerah yang nyaman itu dengan ladang sawah sejauh
mata memandang, juga awan-awan di langit yang berarakan, dan aroma semilir
angin yang membuat diri tak berhenti menguap. Berdua dengan sepeda motor, saya
melakukan perjalanan pulang yang saya pikir ini akan menjadi liburan yang amat
panjang, tetapi semua itu hanya rencana manusia, Allah bisa merubahnya.
Ketenangan yang saya bayangkan ternyata
berubah menjadi kebisingan karena rupanya pabrik yang berada di seberang rumah
kedua saya itu sedang direnovasi dan dirobohkan, suara-suara yang dihasilkan
dari alat-alat keras tersebut membuat saya terbangun dari tidur. Pagi itu,
untuk kesekian kalinya ibu saya menghubungi saya dan lagi-lagi memberikan
penawaran untuk pulang ke Bandung. Saya sudah sampaikan bahwa adanya imbauan
sebaiknya tidak melakukan pulang kampung. Telepon berakhir dengan saya yang
tidak berhasil dibujuk. Tidak berselang sampai lima menit, beliau menghubungi
kembali. Kali ini yang terdengar adalah suara ayah saya. Wow. Tumben
sekali. Saya masih tidak berhasil
dibujuk. Orangtua saya hanya memberikan penawaran yang menurut saya itu masih
bisa ditolak, berbeda dengan perintah. Sambungan diputus, tetapi, di akhir
pembicaraan saya mendengar helaan nafas yang panjang dan dalam dari ayah saya
yang akhirnya membuat saya memutuskan untuk mengiyakan dan pulang ke rumah di
Bandung dengan naik kereta esok paginya. Saya berkemas kembali setelah semalam
saya sudah menata barang-barang saya di lemari kamar, sedih rasanya harus
packing kembali, alias saya malas. Saya tipe manusia yang kalau packing
h-beberapa jam. Karena nanti sore saya hendak balik ke Jogja, maka sekarang
saya harus packing.
Sore hari saya pamit, hujan sudah
benar-benar reda, gerimis pun tak ada. Akan tetapi, baru tiga menit keluar ke
jalan raya, hujan turun dengan deras dan mengagetkan pengguna jalan.
Orang-orang berteduh. Saya memang membawa mantel tetapi saya juga membawa buku
yang banyak. Jika tidak membawa buku, mungkin saya bisa menerobos hujan ini.
Pada faktanya, saya berteduh samapi tujuh kali setiap hujan mulai deras. Setiap
mereda, saya berjalan kembali. Begitu sampai di kamar kos, buku-buku saya
basah, termasuk duit-duit yang terbuat dari kertas itu. Semalaman saya putar
kipas agar buku-buku itu kering. Anak-anak yang malang.
Orang-Orang
Indonesia Dalam Mata Perjalanan
Tiba di stasiun, para penumpang yang
hendak masuk diperiksa suhu tubuhnya terlebih dahulu. Di stasiun juga sudah
mulai diberlakukan social distancing
dengan cara menandai silang pada kursi-kursi tertentu dengan tujuan untuk
mengatur jarak duduk. Hingga saat saya menuliskan tulisan ini sudah ada 450
pasien positif covid-19, 20 pasien yang sembuh, dan 38 pasien meninggal dunia.
Meski tulisan ini akan saya posting entah saat angka kasus dan kematian sudah
berubah banyak atau tidak.
Dalam tulisani ini, saya ingin
menceritakan hal-hal apa saja yang saya lihat selama di perjalanan. Bukan,
bukan mengenai indahnya pemandangan, hijaunya sawah sejauh mata memandang, atau
teriknya mentari. Ini tentang hal-hal yang dilakukan masyarakat kita,
masyarakat Indonesia, sepanjang jalan Yogyakarta menuju Bandung. Sebelumnya, saya mau cerita dulu bahwa keadaan
kereta lengang, sangat lengang untuk ukuran gerbong ekonomi, tidak banyak
penumpang bahkan di gerbong kereta belakang saya, penumpangnya dapat dihitung
jari. Saking lengangnya, rasa dingin AC sampai menusuk-nusuk. Lalu, apa saja
yang saya lihat sepanjang perjalanan ini?
Lapangan bola di tengah hutan begitu
ramai dipenuhi para remaja yang bermain sepak bola, begitu juga dengan lapangan
voli yang dipenuhi ibu-ibu dan bapak-bapak yang bermain bola voli. Tidak berapa
lama kemudian, ada lagi lapangan voli dengan ukuran lebih kecil di kawasan
pemukiman padat penduduk dipenuhi para ibu dengan seragam tanding voli yang
baru saja selesai bermain voli, mereka berkerumun minum air gelas, beristirahat
usai bermain voli. Di sisi kanan kereta, terlihat pula para driver ojek online
yang berkumpul di sebuah warung sederhana lengkap dengan handphone masing-masing di tangan mereka. Anak-anak kecil mendadahi
kereta, ibu-ibu berdaster mengendarai motor tanpa helm dengan kacamata hitam di
wajahnya, tukang cilok dan baso masih berjualan seperti biasanya keliling kampung.
Yang paling juara dari semuanya adalah momen anak-anak berenang di empang yang
cukup dalam yang berada di tengah-tegah persawahan. Air yang keruh tidak
membuat mereka jijik, mentari yang meninggi juga justru mengobarkan semangat
mereka, bak telaga yang menggembirakan di tengah ladang bila tercebur di
dalamnya.
Ya, seperti tidak ada yang berubah
dengan keseharian orang-orang Indonesia, meski kabar wabah kian meluas. Apakah
yang saya lihat selama di perjalanan hanya sebuah kebetulan?
Kebetulan tukang cilok sedang sangat
membutuhkan uang sehingga tetap berjualan seperti biasanya. Kebetulan anak-anak
bosan bermain di dalam rumah sehingga berkumpul dan bermain di luar. Kebetulan
para remaja dan bapak-bapak jenuh bermain handphone
dan menonton televisi sehingga memutuskan bermain bola di lapangan. Kebetulan
ibu-ibu sedang butuh membeli keperluan di luar sehingga dengan daster seadanya keluar
rumah. Ada pula sekumpulan ibu-ibu lengkap dengan seragam volinya barangkali
mereka bertujuan untuk olahraga demi menjaga kebugaran tubuh.
Apakah sebuah kebetulan? Atau memang
masyarakat tidak peduli? Ataukah masyarakat kekurangan informasi?
Self-Quarantine
Begitu sampai di Bandung, saya
dijemput oleh om dan tante tercinta. Kami sempat ngobrol tentang jalanan di
Bandung yang malam itu ramai dan padat. Tetapi, kata om saya, ini masih
mendingan, biasanya lebih macet lagi. Apa lagi ini ukuran untuk malam minggu,
bisa dibilang tumben tidak terlalu macet. Meski begitu, bagi saya yang biasanya
menikmati jalanan di Yogyakarta, jalanan di Bandung termasuk yang cukup ramai,
apalagi dalam keadaan wabah sudah menyebar, orang-orang tetap sibuk di jalanan.
Tiba di rumah, gerbang sudah dibuka
lebar-lebar seolah kedatangan kami benar-benar sudah ditunggu dan saking
parnonya ayah saya, beliau sudah menyiapkan air satu ember dan sabun satu botol
besar di garasi. Kami disuruh cuci tangan dulu di garasi. Bahkan ayah saya
sudah memperingatkan om saya supaya jangan mengajak saya makan di luar usai
menjemput tadi, katanya makan di rumah saja. Ah, tak ada wabah ini pun, ayah
saya akan tetap menyuruh untuk makan di rumah.
Ayah saya, meskipun tipe yang cukup
cuek, ternyata jika sudah membaca berita yang aneh-aneh seringnya dibawa
kepikiran sampai mual. Beliau selalu saja membicarakan soal buku yang ditulis
pada tahun 1981 soal wabah virus yang menyerang Wuhan. Beliau terheran-heran
bagaimana buku itu bisa menuliskan cerita yang mirip dengan kejadian di tahun
2020 ini. Tetapi, saya menyanggahnya bahwa ada beberapa hal dari buku tersebut
yang berbeda. Tujuannya supaya beliau tidak usah terlalu memikiran buku itu.
Keesokan harinya, beliau jatuh sakit, dan mengisolasi diri di dalam kamar
selama beberapa hari.
Terhitung sudah bahwa tahun ini,
setiap bulannya saya pulang ke rumah, sebuah fakta yang tak biasa. Untuk
kepulangan bulan ini, saya memutuskan untuk membawa satu koper dan satu ransel
dengan tujuan self-quarantine maka perbekalan akan lebih banyak juga. Kali ini
hanya membawa sedikit baju; empat baju dan dua celana tidur, serta satu baju
pergi. Perbandingan ini saja sudah menegaskan bahwa saya akan lebih banyak
tidur ketimbang pergi karena memang kita sedang diimbau untuk #StayAtHome. Selebihnya
stok makanan di kos saya bawa pulang, perlengkapan perawatan sehari-hari juga
saya bawa pulang supaya tidak beli lagi di luar, tetapi yang paling berat dari
semuanya adalah buku-buku; dua buku bacaan, buku catatan toefl, kumpulan
soal-soal toefl, buku agenda, buku corat-coret. Buku-buku ini lumayan berat
untuk dibawa. Tak lupa juga membawa laptop. Karena keluarga saya hidup nomaden,
semua barang pribadi saya dibawa ke kos, tidak ada yang ditinggalkan di rumah,
selain buku-buku cerita masa kecil.
Untuk menikmati hari-hari
#StayAtHOme ini kita perlu menjaga kesehatan tubuh kita. Beberapa minuman yang
asyik diminum hangat-hangat di masa-masa karantina ini;
1. Minum jahe geprek yang dicampur dengan jeruk nipis dan madu. Atau kalau tidak mau ribet, seduh wedang uwuh. Sungguh kenikmatan sederhana yang nagih!
2. Minum matcha. Tak mau ribet, cukup seduh matcha instan dari Matchamu! Sekarang, Matchamu sudah tersedia di berbagai jenis toko. Kayaknya bisa pesan via online juga untuk masa-masa seperti ini. Bukan endorse, ya! Hehe.
3. Minum susu kambing. Enak!
1. Minum jahe geprek yang dicampur dengan jeruk nipis dan madu. Atau kalau tidak mau ribet, seduh wedang uwuh. Sungguh kenikmatan sederhana yang nagih!
2. Minum matcha. Tak mau ribet, cukup seduh matcha instan dari Matchamu! Sekarang, Matchamu sudah tersedia di berbagai jenis toko. Kayaknya bisa pesan via online juga untuk masa-masa seperti ini. Bukan endorse, ya! Hehe.
3. Minum susu kambing. Enak!
Setidaknya ketiga minuman itu yang saya bawa di koper saya, ha-ha. Mau saya habiskan di rumah untuk persediaan
#StayAtHome. Tiba-tiba saya memikirkan bagaimana dengan mereka yang tidak punya
rumah atau rumahnya bukan rumah yang layak huni? Bagaimana mereka melewati
masa-masa ini? apakah mereka tahu tentang wabah ini atau justru tidak tahu?
Apakah mereka tahu lantas mengabaikan saja apa yang terjadi? Toh, hidup juga
ujungnya mati. Atau bagaimana?
Meski wabah ini menimbulkan kerugian yang amat besar, utamanya krisis
ekonomi dan kesehatan tetapi seluruh dunia mengalaminya, setiap orang merasakan
dampaknya, kita menghadapi ini sama-sama, jadi ayo berusaha menjalankan ikhtiar
ini sama-sama!
Selain kerugian, ada beberapa hikmah yang saya rasakan akhir-akhir ini
seperti kami bisa berjama’ah shalat di rumah, bernostalgia dengan menonton
video masa kecil dulu bersama-sama, memasak bersama, dan juga jam begadang jadi
berkurang banyak karena setiap pukul sembilan malam, orangtua kami mengecek
kamar, memastikan kami sudah tidur atau belum.
Meski imbauan #StayAtHome sudah digalakkan, akan tetapi di lingkungan
rumah saya masih begitu ramai. Daerah pinggir perbatasan, ada jalan penghubung
yang sempit, pertokoan di sepanjang jalan, masjid umum yang sering dihampiri
pengendara yang mampir, bagaimana mau sepi jalanan ini. Di sekitar rumah, masih
ada yang main petasan siang bolong, suara tukang jualan keliling
bersahut-sahutan pun masih ada, kala pagi hari masih banyak orang yang jogging
keliling kompleks juga bermain sepeda. Selain itu, masih ada juga yang shalat
ke masjid. Di masjid dekat rumah, semua karpet digulung, jama’ah yang ke masjid
harus membawa sajadah sendiri dari rumah. Yang paling sedih lagi, driver ojek
online masih juga sering berkerumun di warung-warung depan kompleks. Semoga
mereka yang harus keluar rumah untuk mencari nafkah menyadari pentingnya
imbauan yang sudah disampaikan pemerintah, setidaknya berusaha melakukan social distancing, menggunakan masker,
menghindari kerumunan, dan selalu mencuci tangan pakai sabun dengan benar.
Terakhir, semoga segala doa, ikhtiar dan tawakkal kita membawa dampak
yang baik; wabah berakhir, bisa fokus menjalani ibadah Ramadhan, dan
melanjutkan impian-impian yang sempat tertunda.
Kita hadapi sama-sama, ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar