27/03/20

Masyarakat Indonesia di Tengah Ancaman Covid-19


Minggu-Minggu Awal Wabah Datang

Halo, saya Nina, salah satu masyarakat Indonesia yang ingin berbagi cerita tentang wabah yang melanda hampir seluruh negeri bahkan dunia. Pada minggu-minggu awal wabah datang ke Indonesia, yang mana pasien pertama berlokasi di Depok, Jawa barat, maka kami yang berlokasi di Jawa Tengah tentu masih bersikap biasa saja. Makin lama, wabah ini semakin memakan banyak korban. Orang-orang dinyatakan positif covid-19. Pada awalnya, pemerintah masih mencari sumber jejak penyebaran virus ini sampai pada akhirnya tidak lagi dapat terkendali karena pasien-pasien selanjutnya rupanya tidak mempunyai interaksi dengan pasien-pasien sebelumnya.

Minggu berikutnya, Yogyakarta mulai mengabarkan adanya salah satu warganya yang terkena covid-19 dan kami masih biasa saja. Hari-hari kemudian, satu-persatu sekolah mulai diliburkan, termasuk beberapa universitas. Salah satunya adalah universitas kami. Kami, sebagai mahasiswa perantauan yang sedang kebingungan dalam pergulatan skripsi lantas semakin kebingungan untuk membuat jadwal bimbingan. Para dosen tidak menerima bimbingan face to face padahal kami lebih nyaman untuk bertemu langsung karena akan lebih mudah memahami penjelasan dosen pembimbing yang bersangkutan. Mau dikata apa, surat edaran sudah dibagikan, kami berusaha mengiyakan.

Hari-hari saat itu masih tetap biasa saja, belanja ke warung sayur karena kami hendak memasak bersama. Kami hanya menghabiskan Rp. 20.000,- ribu untuk makan bertiga untuk dua kali makan, pagi dan sore; Sayur asem, tahu goreng, sambal terasi. How a cheap food costs! Wow, yeah, welcome to Jogja, nak! Selain itu, kami juga masih melakukan aktivitas seperti biasanya; menginap bersama, yang satu maskeran wajah, yang satu main handphone, yang satu nonton film, kami bercerita hingga larut malam, bahkan saya juga sempat masih datang ke kafe untuk pertemuan yang memang sudah saya agendakan dengan teman-teman SMA saya. Semua masih terasa biasa saja, meski imbauan love distancing, eh maaf, maksudnya social distancing atau jaga jarak sudah mulai diberlakukan.


Rumah kedua

Satu demi satu teman saya memutuskan untuk pulang ke rumah sebelum wabah kian menyebar dan lockdown yang sesungguhnya mulai diberlakukan. Untuk itu, saya juga segera berkemas bermaksud untuk pulang ke rumah kedua saya di Magelang. Saya bermaksud mengunci diri di daerah yang nyaman itu dengan ladang sawah sejauh mata memandang, juga awan-awan di langit yang berarakan, dan aroma semilir angin yang membuat diri tak berhenti menguap. Berdua dengan sepeda motor, saya melakukan perjalanan pulang yang saya pikir ini akan menjadi liburan yang amat panjang, tetapi semua itu hanya rencana manusia, Allah bisa merubahnya.

Ketenangan yang saya bayangkan ternyata berubah menjadi kebisingan karena rupanya pabrik yang berada di seberang rumah kedua saya itu sedang direnovasi dan dirobohkan, suara-suara yang dihasilkan dari alat-alat keras tersebut membuat saya terbangun dari tidur. Pagi itu, untuk kesekian kalinya ibu saya menghubungi saya dan lagi-lagi memberikan penawaran untuk pulang ke Bandung. Saya sudah sampaikan bahwa adanya imbauan sebaiknya tidak melakukan pulang kampung. Telepon berakhir dengan saya yang tidak berhasil dibujuk. Tidak berselang sampai lima menit, beliau menghubungi kembali. Kali ini yang terdengar adalah suara ayah saya. Wow. Tumben sekali.  Saya masih tidak berhasil dibujuk. Orangtua saya hanya memberikan penawaran yang menurut saya itu masih bisa ditolak, berbeda dengan perintah. Sambungan diputus, tetapi, di akhir pembicaraan saya mendengar helaan nafas yang panjang dan dalam dari ayah saya yang akhirnya membuat saya memutuskan untuk mengiyakan dan pulang ke rumah di Bandung dengan naik kereta esok paginya. Saya berkemas kembali setelah semalam saya sudah menata barang-barang saya di lemari kamar, sedih rasanya harus packing kembali, alias saya malas. Saya tipe manusia yang kalau packing h-beberapa jam. Karena nanti sore saya hendak balik ke Jogja, maka sekarang saya harus packing.

Sore hari saya pamit, hujan sudah benar-benar reda, gerimis pun tak ada. Akan tetapi, baru tiga menit keluar ke jalan raya, hujan turun dengan deras dan mengagetkan pengguna jalan. Orang-orang berteduh. Saya memang membawa mantel tetapi saya juga membawa buku yang banyak. Jika tidak membawa buku, mungkin saya bisa menerobos hujan ini. Pada faktanya, saya berteduh samapi tujuh kali setiap hujan mulai deras. Setiap mereda, saya berjalan kembali. Begitu sampai di kamar kos, buku-buku saya basah, termasuk duit-duit yang terbuat dari kertas itu. Semalaman saya putar kipas agar buku-buku itu kering. Anak-anak yang malang.


Orang-Orang Indonesia Dalam Mata Perjalanan

Tiba di stasiun, para penumpang yang hendak masuk diperiksa suhu tubuhnya terlebih dahulu. Di stasiun juga sudah mulai diberlakukan social distancing dengan cara menandai silang pada kursi-kursi tertentu dengan tujuan untuk mengatur jarak duduk. Hingga saat saya menuliskan tulisan ini sudah ada 450 pasien positif covid-19, 20 pasien yang sembuh, dan 38 pasien meninggal dunia. Meski tulisan ini akan saya posting entah saat angka kasus dan kematian sudah berubah banyak atau tidak.

Dalam tulisani ini, saya ingin menceritakan hal-hal apa saja yang saya lihat selama di perjalanan. Bukan, bukan mengenai indahnya pemandangan, hijaunya sawah sejauh mata memandang, atau teriknya mentari. Ini tentang hal-hal yang dilakukan masyarakat kita, masyarakat Indonesia, sepanjang jalan Yogyakarta menuju Bandung. Sebelumnya, saya mau cerita dulu bahwa keadaan kereta lengang, sangat lengang untuk ukuran gerbong ekonomi, tidak banyak penumpang bahkan di gerbong kereta belakang saya, penumpangnya dapat dihitung jari. Saking lengangnya, rasa dingin AC sampai menusuk-nusuk. Lalu, apa saja yang saya lihat sepanjang perjalanan ini?

Lapangan bola di tengah hutan begitu ramai dipenuhi para remaja yang bermain sepak bola, begitu juga dengan lapangan voli yang dipenuhi ibu-ibu dan bapak-bapak yang bermain bola voli. Tidak berapa lama kemudian, ada lagi lapangan voli dengan ukuran lebih kecil di kawasan pemukiman padat penduduk dipenuhi para ibu dengan seragam tanding voli yang baru saja selesai bermain voli, mereka berkerumun minum air gelas, beristirahat usai bermain voli. Di sisi kanan kereta, terlihat pula para driver ojek online yang berkumpul di sebuah warung sederhana lengkap dengan handphone masing-masing di tangan mereka. Anak-anak kecil mendadahi kereta, ibu-ibu berdaster mengendarai motor tanpa helm dengan kacamata hitam di wajahnya, tukang cilok dan baso masih berjualan seperti biasanya keliling kampung. Yang paling juara dari semuanya adalah momen anak-anak berenang di empang yang cukup dalam yang berada di tengah-tegah persawahan. Air yang keruh tidak membuat mereka jijik, mentari yang meninggi juga justru mengobarkan semangat mereka, bak telaga yang menggembirakan di tengah ladang bila tercebur di dalamnya.

Ya, seperti tidak ada yang berubah dengan keseharian orang-orang Indonesia, meski kabar wabah kian meluas. Apakah yang saya lihat selama di perjalanan hanya sebuah kebetulan?

Kebetulan tukang cilok sedang sangat membutuhkan uang sehingga tetap berjualan seperti biasanya. Kebetulan anak-anak bosan bermain di dalam rumah sehingga berkumpul dan bermain di luar. Kebetulan para remaja dan bapak-bapak jenuh bermain handphone dan menonton televisi sehingga memutuskan bermain bola di lapangan. Kebetulan ibu-ibu sedang butuh membeli keperluan di luar sehingga dengan daster seadanya keluar rumah. Ada pula sekumpulan ibu-ibu lengkap dengan seragam volinya barangkali mereka bertujuan untuk olahraga demi menjaga kebugaran tubuh.

Apakah sebuah kebetulan? Atau memang masyarakat tidak peduli? Ataukah masyarakat kekurangan informasi?


Self-Quarantine

Begitu sampai di Bandung, saya dijemput oleh om dan tante tercinta. Kami sempat ngobrol tentang jalanan di Bandung yang malam itu ramai dan padat. Tetapi, kata om saya, ini masih mendingan, biasanya lebih macet lagi. Apa lagi ini ukuran untuk malam minggu, bisa dibilang tumben tidak terlalu macet. Meski begitu, bagi saya yang biasanya menikmati jalanan di Yogyakarta, jalanan di Bandung termasuk yang cukup ramai, apalagi dalam keadaan wabah sudah menyebar, orang-orang tetap sibuk di jalanan.

Tiba di rumah, gerbang sudah dibuka lebar-lebar seolah kedatangan kami benar-benar sudah ditunggu dan saking parnonya ayah saya, beliau sudah menyiapkan air satu ember dan sabun satu botol besar di garasi. Kami disuruh cuci tangan dulu di garasi. Bahkan ayah saya sudah memperingatkan om saya supaya jangan mengajak saya makan di luar usai menjemput tadi, katanya makan di rumah saja. Ah, tak ada wabah ini pun, ayah saya akan tetap menyuruh untuk makan di rumah.

Ayah saya, meskipun tipe yang cukup cuek, ternyata jika sudah membaca berita yang aneh-aneh seringnya dibawa kepikiran sampai mual. Beliau selalu saja membicarakan soal buku yang ditulis pada tahun 1981 soal wabah virus yang menyerang Wuhan. Beliau terheran-heran bagaimana buku itu bisa menuliskan cerita yang mirip dengan kejadian di tahun 2020 ini. Tetapi, saya menyanggahnya bahwa ada beberapa hal dari buku tersebut yang berbeda. Tujuannya supaya beliau tidak usah terlalu memikiran buku itu. Keesokan harinya, beliau jatuh sakit, dan mengisolasi diri di dalam kamar selama beberapa hari.

Terhitung sudah bahwa tahun ini, setiap bulannya saya pulang ke rumah, sebuah fakta yang tak biasa. Untuk kepulangan bulan ini, saya memutuskan untuk membawa satu koper dan satu ransel dengan tujuan self-quarantine maka perbekalan akan lebih banyak juga. Kali ini hanya membawa sedikit baju; empat baju dan dua celana tidur, serta satu baju pergi. Perbandingan ini saja sudah menegaskan bahwa saya akan lebih banyak tidur ketimbang pergi karena memang kita sedang diimbau untuk #StayAtHome. Selebihnya stok makanan di kos saya bawa pulang, perlengkapan perawatan sehari-hari juga saya bawa pulang supaya tidak beli lagi di luar, tetapi yang paling berat dari semuanya adalah buku-buku; dua buku bacaan, buku catatan toefl, kumpulan soal-soal toefl, buku agenda, buku corat-coret. Buku-buku ini lumayan berat untuk dibawa. Tak lupa juga membawa laptop. Karena keluarga saya hidup nomaden, semua barang pribadi saya dibawa ke kos, tidak ada yang ditinggalkan di rumah, selain buku-buku cerita masa kecil.

Untuk menikmati hari-hari #StayAtHOme ini kita perlu menjaga kesehatan tubuh kita. Beberapa minuman yang asyik diminum hangat-hangat di masa-masa karantina ini;
1. Minum jahe geprek yang dicampur dengan jeruk nipis dan madu. Atau kalau tidak mau ribet, seduh wedang uwuh. Sungguh kenikmatan sederhana yang nagih!
2. Minum matcha. Tak mau ribet, cukup seduh matcha instan dari Matchamu! Sekarang, Matchamu sudah tersedia di berbagai jenis toko. Kayaknya bisa pesan via online juga untuk masa-masa seperti ini. Bukan endorse, ya! Hehe.
3.  Minum susu kambing. Enak!

Setidaknya ketiga minuman itu yang saya bawa di koper saya, ha-ha.  Mau saya habiskan di rumah untuk persediaan #StayAtHome. Tiba-tiba saya memikirkan bagaimana dengan mereka yang tidak punya rumah atau rumahnya bukan rumah yang layak huni? Bagaimana mereka melewati masa-masa ini? apakah mereka tahu tentang wabah ini atau justru tidak tahu? Apakah mereka tahu lantas mengabaikan saja apa yang terjadi? Toh, hidup juga ujungnya mati. Atau bagaimana?

Meski wabah ini menimbulkan kerugian yang amat besar, utamanya krisis ekonomi dan kesehatan tetapi seluruh dunia mengalaminya, setiap orang merasakan dampaknya, kita menghadapi ini sama-sama, jadi ayo berusaha menjalankan ikhtiar ini sama-sama!

Selain kerugian, ada beberapa hikmah yang saya rasakan akhir-akhir ini seperti kami bisa berjama’ah shalat di rumah, bernostalgia dengan menonton video masa kecil dulu bersama-sama, memasak bersama, dan juga jam begadang jadi berkurang banyak karena setiap pukul sembilan malam, orangtua kami mengecek kamar, memastikan kami sudah tidur atau belum.

Meski imbauan #StayAtHome sudah digalakkan, akan tetapi di lingkungan rumah saya masih begitu ramai. Daerah pinggir perbatasan, ada jalan penghubung yang sempit, pertokoan di sepanjang jalan, masjid umum yang sering dihampiri pengendara yang mampir, bagaimana mau sepi jalanan ini. Di sekitar rumah, masih ada yang main petasan siang bolong, suara tukang jualan keliling bersahut-sahutan pun masih ada, kala pagi hari masih banyak orang yang jogging keliling kompleks juga bermain sepeda. Selain itu, masih ada juga yang shalat ke masjid. Di masjid dekat rumah, semua karpet digulung, jama’ah yang ke masjid harus membawa sajadah sendiri dari rumah. Yang paling sedih lagi, driver ojek online masih juga sering berkerumun di warung-warung depan kompleks. Semoga mereka yang harus keluar rumah untuk mencari nafkah menyadari pentingnya imbauan yang sudah disampaikan pemerintah, setidaknya berusaha melakukan social distancing, menggunakan masker, menghindari kerumunan, dan selalu mencuci tangan pakai sabun dengan benar.

Terakhir, semoga segala doa, ikhtiar dan tawakkal kita membawa dampak yang baik; wabah berakhir, bisa fokus menjalani ibadah Ramadhan, dan melanjutkan impian-impian yang sempat tertunda.

Kita hadapi sama-sama, ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar