26/05/21

#10 Ekspedisi

 

Source: Tumblr

Sambil menatap langit-langit kamar, Mentari memainkan ponselnya. Mencoba menghubungi Bima lewat pesan teks.

“Bim, yakin sama perempuan itu?”

“Kenapa emang?”

“Nanya aja.”

“Jujur nih ya, yang mau serius sama gue itu nggak banyak. Susah nyarinya. Ketika gue udah nemu satu yang cocok, kenapa gue harus ngerem?”

Mentari tertawa dalam hati. Ternyata Bima sadar dirinya tidak selaku barang di Tanah Abang.

“Kan aku cuma nanya yakin atau nggak.”

“Aneh lo. Udah di tahap ini masa gue nggak yakin.”

Mentari menghela nafas. Sebentar lagi temannya akan berkurang satu. Kenapa setiap seorang teman akan menikah, teman lainnya akan merasa kehilangan? Pertanyaan yang tak kunjung Mentari temukan jawabannya.

 

***

 

Mentari menulusuri linimasa. Dibuat terkaget-kaget dengan sepasang kekasih yang masih saja belum halal, tetapi bepergian dari Sabang sampai Merauke bersama-sama dalam waktu yang berturut-turut.  Bagaimana bisa seorang perempuan mendapat izin dari orang tuanya untuk bepergian seperti ini?

Diam-diam dalam hati sebenarnya Mentari juga ingin, tapi toh sangat tidak mungkin. Pertama, ia mungkin tidak akan diizinkan oleh orang tuanya. Kedua, ia tidak punya kekasih. Mau pergi sama siapa?

Rasa penasarannya membuat jari-jarinya terus berusaha menelusuri jejak-jejak petualangan sepasang kekasih tersebut yang ditinggalkan dalam bentuk banyak potret yang dibagikan oleh keduanya.

Si laki-laki sama sekali tidak pernah memajang foto berdua dengan kekasihnya, sampai di akun si perempuan, si perempuan sendiri yang membagikan potret keduanya dengan caption yang dinilai romantis oleh kalangan muda. Sebuah potret petualangan mereka dan caption yang merangkum keseluruhannya.

"Oalah.. Masnya selama ini share foto-foto sendirian, ternyata si mbanya ini yang motoin." Mentari berbicara sendiri.

Mentari masih penasaran sampai akhirnya dia menemukan jawaban mengapa sepasang kekasih tersebut berani berpetualang bersama. Sebab, mereka sedang dalam ekspedisi sekaligus volunteering. Tidak hanya berdua, mereka pergi beramai-ramai.

Mengintip lebih jauh, dalam waktu dekat ini mereka akan membuka pendaftaran volunteering terbaru dengan lama perjalanan selama satu bulan ke Pulau Kei. Yes, ekspedisi Kei!

Mentari menerawang jauh, bagaimana indahnya pulau Kei yang dibayangkannya mungkin mirip pantainya dengan Pantai Bira berpasir putih yang pernah dikunjunginya. Betapa bahagianya berada di sana, di antara anak-anak pelosok, menikmati alam sambil mengamalkan ilmu di kepala. Tiba-tiba rusak bayangannya, tatkala membayangkan bahwa ayahnya mungkin akan melarangnya ikut, begitu juga bundanya.

“Bun, ada ekspedisi pulau Kei, lho. Kelihatannya menarik. Mentari boleh ikut?” Tanyanya menghampiri bunda yang duduk di ruang tengah.

“Nggak boleh.” Bunda menjawab tanpa pikir panjang.

Mentari menelan ludah.

“Kenapa?” tanyanya.

“Perempuan sebaiknya di rumah, supaya lebih terjaga.” Jawab bunda.

Mulut Mentari sesaat terkunci.

“Tapi Bun, ini ramai-ramai, kok.” Mentari memikirkan berbagai alasan.

“Lagian pulau Kei itu jauh.” Bunda tak kalah mencari berbagai alasan untuk melarang putrinya.

“Justru karena itu, Mentari mau nambah pengalaman.” Mentari mulai bernada sedikit merengek.

“Coba nanti kamu tanya sama ayahmu.” Mentari menelan ludah lagi. Gimana cara ngomongnya?

 

***

 

Esoknya Minggu pagi, Ayah menyeruput kopinya di teras rumah. Mentari mencoba peruntungannya.

“Ayah, ada ekspedisi pulau Kei. Agendanya keren! Kita ke sana jadi volunteer. Mentari boleh daftar, nggak? Pasti nggak boleh, yah?”

“Itu kamu sudah tahu jawabannya.”

Mentari membeku sesaat.

“Yah, Ayah. Siapa tahu boleh.”

Ayah diam saja.

 

***

 

Gagal. Kenapa sih nggak boleh?

Akhirnya saat makan malam, ayah dan bunda bicara.

"Kemana pun kamu itu boleh, asal ada mahromnya."

Apa-apa selalu berujung pada nikah, nikah, nikah.

“Jadi, gimana? Mau dikenalin sama anak temannya Bunda?”

Kali ini Mentari diam saja. Bingung. Lalu izin pamit ke kamar duluan.

Dibukanya ponselnya. Sebuah pesan teks dari Kak Dito!

“Mentari, Juni ada waktu nggak? Kira-kira tanggal 18 sampai 20-an, aku mau menawarkan perjalanan panjang ini ke kamu.”

Glek.

Deg.

Tumben Kak Dito pakai aku-kamu.

Perjalanan panjang?

Mentari tidak mengerti, pikirannya masih kemana-mana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar