![]() |
Source: Tumblr |
Sambil
menatap langit-langit kamar, Mentari memainkan ponselnya. Mencoba menghubungi
Bima lewat pesan teks.
“Bim,
yakin sama perempuan itu?”
“Kenapa emang?”
“Nanya
aja.”
“Jujur nih ya, yang mau serius sama gue itu
nggak banyak. Susah nyarinya. Ketika gue udah nemu satu yang cocok, kenapa gue
harus ngerem?”
Mentari
tertawa dalam hati. Ternyata Bima sadar dirinya tidak selaku barang di Tanah Abang.
“Kan
aku cuma nanya yakin atau nggak.”
“Aneh lo. Udah di tahap ini masa gue nggak
yakin.”
Mentari
menghela nafas. Sebentar lagi temannya akan berkurang satu. Kenapa setiap seorang teman akan menikah,
teman lainnya akan merasa kehilangan? Pertanyaan yang tak kunjung Mentari
temukan jawabannya.
***
Mentari
menulusuri linimasa. Dibuat terkaget-kaget dengan sepasang kekasih yang masih
saja belum halal, tetapi bepergian dari Sabang sampai Merauke bersama-sama dalam
waktu yang berturut-turut. Bagaimana bisa seorang perempuan mendapat
izin dari orang tuanya untuk bepergian seperti ini?
Diam-diam
dalam hati sebenarnya Mentari juga ingin, tapi toh sangat tidak mungkin.
Pertama, ia mungkin tidak akan diizinkan oleh orang tuanya. Kedua, ia tidak
punya kekasih. Mau pergi sama siapa?
Rasa penasarannya membuat jari-jarinya terus berusaha menelusuri jejak-jejak petualangan sepasang kekasih tersebut yang ditinggalkan dalam bentuk banyak potret yang dibagikan oleh keduanya.
Si laki-laki sama sekali tidak pernah memajang foto berdua dengan kekasihnya, sampai di akun si perempuan, si perempuan sendiri yang membagikan potret keduanya dengan caption yang dinilai romantis oleh kalangan muda. Sebuah potret petualangan mereka dan caption yang merangkum keseluruhannya.
"Oalah..
Masnya selama ini share foto-foto sendirian, ternyata si mbanya ini yang
motoin." Mentari berbicara sendiri.
Mentari
masih penasaran sampai akhirnya dia menemukan jawaban mengapa sepasang kekasih
tersebut berani berpetualang bersama. Sebab, mereka sedang dalam ekspedisi
sekaligus volunteering. Tidak hanya berdua, mereka pergi beramai-ramai.
Mengintip
lebih jauh, dalam waktu dekat ini mereka akan membuka pendaftaran volunteering
terbaru dengan lama perjalanan selama satu bulan ke Pulau Kei. Yes, ekspedisi
Kei!
Mentari
menerawang jauh, bagaimana indahnya pulau Kei yang dibayangkannya mungkin mirip
pantainya dengan Pantai Bira berpasir putih yang pernah dikunjunginya. Betapa bahagianya
berada di sana, di antara anak-anak pelosok, menikmati alam sambil mengamalkan
ilmu di kepala. Tiba-tiba rusak bayangannya, tatkala membayangkan bahwa ayahnya
mungkin akan melarangnya ikut, begitu juga bundanya.
“Bun,
ada ekspedisi pulau Kei, lho. Kelihatannya menarik. Mentari boleh ikut?”
Tanyanya menghampiri bunda yang duduk di ruang tengah.
“Nggak
boleh.” Bunda menjawab tanpa pikir panjang.
Mentari
menelan ludah.
“Kenapa?”
tanyanya.
“Perempuan
sebaiknya di rumah, supaya lebih terjaga.” Jawab bunda.
Mulut
Mentari sesaat terkunci.
“Tapi
Bun, ini ramai-ramai, kok.” Mentari memikirkan berbagai alasan.
“Lagian
pulau Kei itu jauh.” Bunda tak kalah mencari berbagai alasan untuk melarang
putrinya.
“Justru
karena itu, Mentari mau nambah pengalaman.” Mentari mulai bernada sedikit
merengek.
“Coba
nanti kamu tanya sama ayahmu.” Mentari menelan ludah lagi. Gimana cara ngomongnya?
***
Esoknya
Minggu pagi, Ayah menyeruput kopinya di teras rumah. Mentari mencoba
peruntungannya.
“Ayah,
ada ekspedisi pulau Kei. Agendanya keren! Kita ke sana jadi volunteer. Mentari
boleh daftar, nggak? Pasti nggak boleh, yah?”
“Itu
kamu sudah tahu jawabannya.”
Mentari
membeku sesaat.
“Yah,
Ayah. Siapa tahu boleh.”
Ayah
diam saja.
***
Gagal. Kenapa sih nggak boleh?
Akhirnya
saat makan malam, ayah dan bunda bicara.
"Kemana
pun kamu itu boleh, asal ada mahromnya."
Apa-apa selalu berujung pada nikah, nikah,
nikah.
“Jadi,
gimana? Mau dikenalin sama anak temannya Bunda?”
Kali
ini Mentari diam saja. Bingung. Lalu izin pamit ke kamar duluan.
Dibukanya
ponselnya. Sebuah pesan teks dari Kak Dito!
“Mentari,
Juni ada waktu nggak? Kira-kira tanggal 18 sampai 20-an, aku mau menawarkan
perjalanan panjang ini ke kamu.”
Glek.
Deg.
Tumben Kak Dito pakai aku-kamu.
Perjalanan panjang?
Mentari
tidak mengerti, pikirannya masih kemana-mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar