30/05/21

#11 Teman Hidup

 

Source: Tumblr/kitaplarvsarkilar


Perjalanan panjang?

“Maksudnya, Kak?”

Kak Dito tidak segera membalas. Rasa ge-er menyelimuti Mentari, tapi ia teringat apa kata Kica. Ada tiga hal yang melunturkan kegantengan seorang laki-laki, pertama ketidaksholehan, kedua kege-eran, ketiga kegengsian. Begitu pula pada seorang perempuan. Kege-eran bisa melunturkan kecantikan.

“Eh, sorry sebelumnya, kok gue jadi pake aku-kamu, sih. Kayaknya kebawa budaya Yogyakarta nih. Hehe.”

Mentari menyipitkan mata. Kak Dito melanjutkan typingnya.

“Ngetrip bareng anak-anak yuk! Ke blue fire, gitu, Mentari.”

Oalah.

“Waaaaa, blue fire-nya yang mana?”

“Yang di ujung pulau, nanti kita backpackeran gitu, tapi tenang nanti ada relasi juga di sana.”

“Ujung pulaunya mana?”

“Banyuwangi.”

“Hah Banyuwangi??? Impian aku banget. Itu dulu rencanaku sehabis sidang, tapi sampai sekarang belum kesampaian. Aku pengen, tapi gimana bilangnya ke orang tuaku?”

“Mau gue yang mintain izin?”

“Nggak perlu, kak.”

Mentari teringat ekspedisi Kei. Dengan alasan kuat saja tidak berhasil, apalagi sekedar berjelajah seperti ini.

“Atau ajak aja sekalian ayah lo buat ikut.”

“Nggak mungkin, Kak. Ayahku pekerja keras. Nggak mungkin mau ambil sembarangan cuti untuk hal-hal semacam ini.”

“Kata gue sih, lo coba ngomong dulu. Kita nggak pernah tahu isi hati dan pikiran orang lain. Siapa tahu orang tua lo berubah pikiran.”

Mentari merenung. Dipikirkannya kembali tujuan hidupnya.

 

***

 

Bima mengatur nafasnya. Mentari melihatnya dari jauh, Bima dan Salsa. Dialah Salsa yang akhirnya sah menjadi istri Bima. Bima nampak masih sedikit kaku, mengatur posenya bersama Salsa. Keduanya nampak serasi dan bahagia. Mentari maju-mundur naik ke pelaminan untuk menyalami Bima. Bukan ragu, tapi selalu diserobot oleh tamu-tamu lainnya yang baru datang. Akhirnya tiba saatnya Mentari maju. Bima sedikit terkejut.

“Heh lo datang?! Ya ampun, makasih banyak Mentari, nggak nyangka lo datang!”

Lebay ah. Drama banget Bima. Yang harusnya nggak nyangka tuh aku, nggak nyangka kamu menikah secepat ini, Bim.

“Ih itu tangan lo kenapa deh? Kok pake hansaplast?”

Bisa-bisanya di pelaminan kayak gini nanya hal yang nggak penting.

“Ini Mentari yang sering kamu ceritain itu ya, Bim?” Tanya Salsa sambil menatap Bima dan Mentari secara bergantian.

“Iya!” seru Bima.

“Iya, aku Mentari. Temannya Bima. Selamat ya Salsa, bahagia terus sama Bima, ya!”

Sepulangnya dari pernikahan Bima, Mentari demam berhari-hari. Tidak tahu juga kenapa. Mungkin kecapekan.

 

***

 

“Lho, kok malah main HP? Kamu masih demam, kan? Lho kok anak Bunda nangis? Kenapa?” Bunda nyelonong masuk ke kamar Mentari tiba-tiba.

“Aku main HP soalnya mau lihat acara nikahnya mba Sheila lewat streaming. Bun, mba Sheila udah sah.” Mentari terlihat terharu sekali menonton pernikahan mba Sheila. Ia memeluk bunda sambil sesenggukan.

“Mba Sheila yang dokter itu? Yang melanjutkan pendidikannya ke Swiss waktu itu?”

“Iya, Bun. Sekarang mba Sheila kalau traveling nggak sendirian lagi. Dulu kalau ke kota-kota tetangga, sering ngajak aku, muncak ke gunung juga bareng aku. Tapi kalau keluar jawa aku nggak bisa temenin, mba Sheila sendirian. Aku ingat tahun kemarin mba Sheila juga manggil aku, minta dibantu untuk acara perpisahan asrama, bahkan kalau ada acara di rumah Sultan juga minta ditemani aku..”

“Sekarang udah ada suaminya, pasti mba Sheila lebih bahagia lagi ya..”

“Iya, Bun. Mba Sheila itu rendah hati banget, Bun. Walau terlahir dari keluarga dokter yang akhirnya membuat dia harus kuliah kedokteran juga, nggak pernah sekalipun dia tunjukkan kemewahannya pada orang-orang, dia tetap naik motor bututnya, make gamisnya yang udah banyak tambalannya dan bolong, bahkan tas ranselnya yang itu-itu aja..”

“Rupanya mba Sheila ada dalam hidup kamu, barangkali bukan sekedar sebagai teman perjalanan, tapi lebih dari itu. Dia kasih kamu banyak pelajaran berharga, kan.”

“Iya, Bun. Mba sheila juga pintar orangnya, setiap jalan-jalan, mba Sheila tetap bawa laptop, sambil nugas ini-itu di jalan. Aku mual duluan liat bahasa asing berderet di layar laptopnya, bahasa asingnya bidang kedokteran lagi.”

“Nah, banyak sekali yang bisa kamu contoh dari ketangguhan mba Sheila, Nak.”

Mentari mengangguk. Kini mba Sheila sudah memiliki teman perjalanan lain, teman perjalanan seumur hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar