![]() |
Source: Tumblr/kitaplarvsarkilar |
Perjalanan panjang?
“Maksudnya,
Kak?”
Kak Dito tidak
segera membalas. Rasa ge-er menyelimuti Mentari, tapi ia teringat apa kata
Kica. Ada tiga hal yang melunturkan
kegantengan seorang laki-laki, pertama ketidaksholehan, kedua kege-eran, ketiga
kegengsian. Begitu pula pada seorang perempuan. Kege-eran bisa melunturkan
kecantikan.
“Eh, sorry sebelumnya, kok gue jadi pake
aku-kamu, sih. Kayaknya kebawa budaya Yogyakarta nih. Hehe.”
Mentari
menyipitkan mata. Kak Dito melanjutkan typingnya.
“Ngetrip bareng anak-anak yuk! Ke blue fire,
gitu, Mentari.”
Oalah.
“Waaaaa, blue
fire-nya yang mana?”
“Yang di ujung pulau, nanti kita backpackeran
gitu, tapi tenang nanti ada relasi juga di sana.”
“Ujung pulaunya
mana?”
“Banyuwangi.”
“Hah
Banyuwangi??? Impian aku banget. Itu dulu rencanaku sehabis sidang, tapi sampai
sekarang belum kesampaian. Aku pengen, tapi gimana bilangnya ke orang tuaku?”
“Mau gue yang mintain izin?”
“Nggak perlu,
kak.”
Mentari teringat
ekspedisi Kei. Dengan alasan kuat saja tidak berhasil, apalagi sekedar
berjelajah seperti ini.
“Atau ajak aja sekalian ayah lo buat ikut.”
“Nggak mungkin,
Kak. Ayahku pekerja keras. Nggak mungkin mau ambil sembarangan cuti untuk
hal-hal semacam ini.”
“Kata gue sih, lo coba ngomong dulu. Kita nggak
pernah tahu isi hati dan pikiran orang lain. Siapa tahu orang tua lo berubah
pikiran.”
Mentari
merenung. Dipikirkannya kembali tujuan hidupnya.
***
Bima mengatur
nafasnya. Mentari melihatnya dari jauh, Bima dan Salsa. Dialah Salsa yang
akhirnya sah menjadi istri Bima. Bima nampak masih sedikit kaku, mengatur
posenya bersama Salsa. Keduanya nampak serasi dan bahagia. Mentari maju-mundur
naik ke pelaminan untuk menyalami Bima. Bukan ragu, tapi selalu diserobot oleh
tamu-tamu lainnya yang baru datang. Akhirnya tiba saatnya Mentari maju. Bima sedikit
terkejut.
“Heh lo datang?!
Ya ampun, makasih banyak Mentari, nggak nyangka lo datang!”
Lebay ah. Drama banget Bima. Yang harusnya
nggak nyangka tuh aku, nggak nyangka kamu menikah secepat ini, Bim.
“Ih itu tangan
lo kenapa deh? Kok pake hansaplast?”
Bisa-bisanya di pelaminan kayak gini nanya
hal yang nggak penting.
“Ini Mentari
yang sering kamu ceritain itu ya, Bim?” Tanya Salsa sambil menatap Bima dan
Mentari secara bergantian.
“Iya!” seru
Bima.
“Iya, aku
Mentari. Temannya Bima. Selamat ya Salsa, bahagia terus sama Bima, ya!”
Sepulangnya dari
pernikahan Bima, Mentari demam berhari-hari. Tidak tahu juga kenapa. Mungkin kecapekan.
***
“Lho, kok malah
main HP? Kamu masih demam, kan? Lho kok anak Bunda nangis? Kenapa?” Bunda
nyelonong masuk ke kamar Mentari tiba-tiba.
“Aku main HP soalnya
mau lihat acara nikahnya mba Sheila lewat streaming. Bun, mba Sheila udah sah.”
Mentari terlihat terharu sekali menonton pernikahan mba Sheila. Ia memeluk
bunda sambil sesenggukan.
“Mba Sheila yang
dokter itu? Yang melanjutkan pendidikannya ke Swiss waktu itu?”
“Iya, Bun. Sekarang
mba Sheila kalau traveling nggak sendirian lagi. Dulu kalau ke kota-kota
tetangga, sering ngajak aku, muncak ke gunung juga bareng aku. Tapi kalau
keluar jawa aku nggak bisa temenin, mba Sheila sendirian. Aku ingat tahun
kemarin mba Sheila juga manggil aku, minta dibantu untuk acara perpisahan
asrama, bahkan kalau ada acara di rumah Sultan juga minta ditemani aku..”
“Sekarang udah
ada suaminya, pasti mba Sheila lebih bahagia lagi ya..”
“Iya, Bun. Mba Sheila
itu rendah hati banget, Bun. Walau terlahir dari keluarga dokter yang akhirnya
membuat dia harus kuliah kedokteran juga, nggak pernah sekalipun dia tunjukkan
kemewahannya pada orang-orang, dia tetap naik motor bututnya, make gamisnya yang
udah banyak tambalannya dan bolong, bahkan tas ranselnya yang itu-itu aja..”
“Rupanya mba Sheila
ada dalam hidup kamu, barangkali bukan sekedar sebagai teman perjalanan, tapi
lebih dari itu. Dia kasih kamu banyak pelajaran berharga, kan.”
“Iya, Bun. Mba
sheila juga pintar orangnya, setiap jalan-jalan, mba Sheila tetap bawa laptop,
sambil nugas ini-itu di jalan. Aku mual duluan liat bahasa asing berderet di
layar laptopnya, bahasa asingnya bidang kedokteran lagi.”
“Nah, banyak
sekali yang bisa kamu contoh dari ketangguhan mba Sheila, Nak.”
Mentari
mengangguk. Kini mba Sheila sudah memiliki teman perjalanan lain, teman
perjalanan seumur hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar