![]() |
Source: Tumblr |
Di
sambungan telepon pada sembilan tahun yang lalu.
“Halo, Bimanya ada?”
“Iya, ini gue.”
“Bim, selamat ulang tahun, ya! Cie makin
tua, makin berkurang aturan, nih.”
“Haha.. kata siapa berkurang. Yang ada
tanggungjawab makin banyak!”
“Yaudah jalanin aja! Eh besok gue tunggu ya
di kafe biasa dekat Braga jam 4 sore!”
“Barengan aja nggak sih balik dari sekolah?”
“Nggak ah, males gue kalo temen-temen pada
ciye-ciyein gue sama elo.”
“Atuh kumaha?”
“Gue balik rumah heula, berangkat
sendiri-sendiri wehlah.”
“Ye, si ribet! Serah lo, deh! Kumaha sia,
weh! Jam 4 ya!”
***
Bima
dan Mentari sudah berteman selama sepuluh tahun lebih. Kala itu Mentari masih
bergue-elo sebelum akhirnya merantau ke Yogyakarta mengubah kebiasaannya dalam
berbicara. Yogyakarta mengubah banyak hal dalam dirinya, meski Bima tetap ada
dalam kehidupannya.
Keduanya pernah masuk sekolah dasar yang sama di kota Bogor. Selepas lulus sekolah dasar, Mentari hijrah ke Bandung bersama keluarganya. Ternyata Bima juga. Begitu di Bandung, mereka tidak lagi masuk sekolah yang sama. Lulus SMP, rupanya tanpa sengaja mereka mengincar SMA yang sama dan berhasil masuk. Tak heran nama Bima sering terdengar di sela-sela percakapan di dalam rumah Mentari.
Bahkan
sampai pada hari ini, ketika Mentari baru saja pulang dari bank.
"Neng, kok nggak cerita sih kalau Bima mau menikah?"
Mentari
cuma diam. Pikirannya melayang pada beberapa bulan yang lalu, di pelataran
sebuah gedung serbaguna, sebagai titik kumpul Mentari, Bima, dan teman-teman
yang lain, hendak membahas pernikahan salah satu anggota komunitas.
“Bim,
gimana ya kalau suatu saat hari itu tiba?”
“Gimana
apanya, sih? Hari apaan?”
“Hari
dimana seseorang menikahiku.”
“Maksudnya?”
“Aku
nggak biasa make cincin di jari.”
Bima
terkekeh sejenak.
“Ya
terus lo mau make cincin dimana? Di hidung? Kayak orang India?”
“Serius,
Bim. Khawatir, nih.”
“Ya
lo harus belajar mulai dari sekarang. Apa perlu gue yang beliin cincinnya
supaya lo mau make?”
Mentari
menatap Bima setelah sejak tadi ia berbicara dengan mata melamun.
“Maksud
kamu?”
“Bukan
apa-apa.”
Bima bercanda. Nyebelin. Batin Mentari.
"Kamu sudah tahu, kan? Kamu nggak
apa-apa?" Bunda membuyarkan lamunan Mentari.
“Nggak
apa-apa, Bun. Aku dan Bima nggak sedang dalam perlombaan. Dan mungkin sudah
waktunya bagi Bima untuk menemukan. Iya kan, Bun?”
“Kita
memang nggak akan pernah menyangka siapa di antara teman-teman kita yang
menikah duluan, begitu juga dengan perihal kematian. Maka apa-apanya yang tidak
disangka, sebaiknya dipersiapkan mulai dari sekarang. Tidak hanya soal materi,
tetapi juga ilmu dan kesiapan mental, Nak.”
Mentari
mengangguk setuju.
“Kamu,
adalah temannya selamanya, Nak. Tapi kamu tahu kan, kini kamu dan Bima punya
batasan yang lebih banyak lagi, lebih jelas lagi.”
“Karena
di samping Bima sudah ada orang lain yang akan selalu ada untuk dia ya, Bun?”
Kali
ini Bunda yang mengangguk.
"Aturan
ini bukan cuma soal etika, tapi agama juga mengaturnya. Kamu adalah teman Bima
selamanya, teman dengan batasan. Bukan karena teman, lantas kamu bisa seenaknya
haha-hihi bareng dia. Tidak seperti itu ya, Nak. Bima akan menikah."
“Mentari
beli kado apa ya buat Bima, Bun? Buat Bima dan calon istrinya.” Tanya Mentari
seolah mengalihkan topik pembicaraan.
“Sesuatu
yang bisa dikenang selamanya?”
Mentari
menggeleng.
“Mentari
nggak pengen Bima mengenang Mentari seperti kenangan yang lalu-lalu, harusnya
Mentari nggak sedekat itu dengan Bima kalau akhirnya kami harus berteman dengan
batasan, bahkan tiba-tiba Mentari merasa bersalah kalau suatu saat Bima
mengingat-ingat Mentari saat sedang bersama istrinya. Ya, walaupun kami selama
ini cuma berteman.”
“Ih,
kamu jangan ge-er atuh.” Bunda tertawa melihat keluguan putrinya yang kini
beranjak dewasa itu. Lalu beliau melanjutkan perkataannya.
“Mentari,
kita nggak bisa mengubah masa lalu. Calon istrinya Bima ketika memutuskan
menerima Bima, haruslah sudah sepaket juga dengan menerima masa lalu Bima. Kamu
dan Bima kan cuma teman, dengan banyak kenangan di dalamnya. Yang nggak
aneh-aneh, kan?”
“Ya
nggak anehlah, Bun. Kebanyakan kenangan yang jeleknya sih kalau sama Bima.”
“Husssh,
nggak boleh gitu. Bima sudah banyak bantu kamu juga lho selama ini. Kalau gitu
kamu mau beri kado yang bisa mereka berdua pakai? Gitu?”
“Iya,
Bunda.”
“Yuk,
besok kita ke Mutiara Kitchen. Cari peralatan dapur yang lucu-lucu. Insyaa Allah
kepakai untuk rumah tangganya Bima nanti.”
“Kalau
gitu, tiap Bima masak bareng sama istrinya, dia bakal ingat aku dong, Bun. Soalnya
dia masak make peralatan masak hadiah dari aku, hahaha..”
Mentari
tertawa, Bunda juga. Dedaunan bergerak. Angin seolah ikut tertawa menguping
pembicaraan mereka. Bima akan menikah, Mentari ikut berbahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar