25/05/21

#9 Menghitung Hari

 

Source: Tumblr

Di sambungan telepon pada sembilan tahun yang lalu.

“Halo, Bimanya ada?”

“Iya, ini gue.”

“Bim, selamat ulang tahun, ya! Cie makin tua, makin berkurang aturan, nih.”

“Haha.. kata siapa berkurang. Yang ada tanggungjawab makin banyak!”

“Yaudah jalanin aja! Eh besok gue tunggu ya di kafe biasa dekat Braga jam 4 sore!”

“Barengan aja nggak sih balik dari sekolah?”

“Nggak ah, males gue kalo temen-temen pada ciye-ciyein gue sama elo.”

“Atuh kumaha?”

“Gue balik rumah heula, berangkat sendiri-sendiri wehlah.”

“Ye, si ribet! Serah lo, deh! Kumaha sia, weh! Jam 4 ya!”

 

***

 

Bima dan Mentari sudah berteman selama sepuluh tahun lebih. Kala itu Mentari masih bergue-elo sebelum akhirnya merantau ke Yogyakarta mengubah kebiasaannya dalam berbicara. Yogyakarta mengubah banyak hal dalam dirinya, meski Bima tetap ada dalam kehidupannya.

Keduanya pernah masuk sekolah dasar yang sama di kota Bogor.  Selepas lulus sekolah dasar, Mentari hijrah ke Bandung bersama keluarganya. Ternyata Bima juga. Begitu di Bandung, mereka tidak lagi masuk sekolah yang sama. Lulus SMP, rupanya tanpa sengaja mereka mengincar SMA yang sama dan berhasil masuk. Tak heran nama Bima sering terdengar di sela-sela percakapan di dalam rumah Mentari.

Bahkan sampai pada hari ini, ketika Mentari baru saja pulang dari bank.

"Neng, kok nggak cerita sih kalau Bima mau menikah?"

Mentari cuma diam. Pikirannya melayang pada beberapa bulan yang lalu, di pelataran sebuah gedung serbaguna, sebagai titik kumpul Mentari, Bima, dan teman-teman yang lain, hendak membahas pernikahan salah satu anggota komunitas.

“Bim, gimana ya kalau suatu saat hari itu tiba?”

“Gimana apanya, sih? Hari apaan?”

“Hari dimana seseorang menikahiku.”

“Maksudnya?”

“Aku nggak biasa make cincin di jari.”

Bima terkekeh sejenak.

“Ya terus lo mau make cincin dimana? Di hidung? Kayak orang India?”

“Serius, Bim. Khawatir, nih.”

“Ya lo harus belajar mulai dari sekarang. Apa perlu gue yang beliin cincinnya supaya lo mau make?”

Mentari menatap Bima setelah sejak tadi ia berbicara dengan mata melamun.

“Maksud kamu?”

“Bukan apa-apa.”

Bima bercanda. Nyebelin. Batin Mentari.

 "Kamu sudah tahu, kan? Kamu nggak apa-apa?" Bunda membuyarkan lamunan Mentari.

“Nggak apa-apa, Bun. Aku dan Bima nggak sedang dalam perlombaan. Dan mungkin sudah waktunya bagi Bima untuk menemukan. Iya kan, Bun?”

“Kita memang nggak akan pernah menyangka siapa di antara teman-teman kita yang menikah duluan, begitu juga dengan perihal kematian. Maka apa-apanya yang tidak disangka, sebaiknya dipersiapkan mulai dari sekarang. Tidak hanya soal materi, tetapi juga ilmu dan kesiapan mental, Nak.”

Mentari mengangguk setuju.

“Kamu, adalah temannya selamanya, Nak. Tapi kamu tahu kan, kini kamu dan Bima punya batasan yang lebih banyak lagi, lebih jelas lagi.”

“Karena di samping Bima sudah ada orang lain yang akan selalu ada untuk dia ya, Bun?”

Kali ini Bunda yang mengangguk.

"Aturan ini bukan cuma soal etika, tapi agama juga mengaturnya. Kamu adalah teman Bima selamanya, teman dengan batasan. Bukan karena teman, lantas kamu bisa seenaknya haha-hihi bareng dia. Tidak seperti itu ya, Nak. Bima akan menikah."

“Mentari beli kado apa ya buat Bima, Bun? Buat Bima dan calon istrinya.” Tanya Mentari seolah mengalihkan topik pembicaraan.

“Sesuatu yang bisa dikenang selamanya?”

Mentari menggeleng.

“Mentari nggak pengen Bima mengenang Mentari seperti kenangan yang lalu-lalu, harusnya Mentari nggak sedekat itu dengan Bima kalau akhirnya kami harus berteman dengan batasan, bahkan tiba-tiba Mentari merasa bersalah kalau suatu saat Bima mengingat-ingat Mentari saat sedang bersama istrinya. Ya, walaupun kami selama ini cuma berteman.”

“Ih, kamu jangan ge-er atuh.” Bunda tertawa melihat keluguan putrinya yang kini beranjak dewasa itu. Lalu beliau melanjutkan perkataannya.

“Mentari, kita nggak bisa mengubah masa lalu. Calon istrinya Bima ketika memutuskan menerima Bima, haruslah sudah sepaket juga dengan menerima masa lalu Bima. Kamu dan Bima kan cuma teman, dengan banyak kenangan di dalamnya. Yang nggak aneh-aneh, kan?”

“Ya nggak anehlah, Bun. Kebanyakan kenangan yang jeleknya sih kalau sama Bima.”

“Husssh, nggak boleh gitu. Bima sudah banyak bantu kamu juga lho selama ini. Kalau gitu kamu mau beri kado yang bisa mereka berdua pakai? Gitu?”

“Iya, Bunda.”

“Yuk, besok kita ke Mutiara Kitchen. Cari peralatan dapur yang lucu-lucu. Insyaa Allah kepakai untuk rumah tangganya Bima nanti.”

“Kalau gitu, tiap Bima masak bareng sama istrinya, dia bakal ingat aku dong, Bun. Soalnya dia masak make peralatan masak hadiah dari aku, hahaha..”

Mentari tertawa, Bunda juga. Dedaunan bergerak. Angin seolah ikut tertawa menguping pembicaraan mereka. Bima akan menikah, Mentari ikut berbahagia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar